Anda di halaman 1dari 7

B.

hubungan antara Pancasila dan undang-undang dasar 1945


Pembahasan tentang hubungan antara norma fundamental negara(staatsfundamentalnorm)
Pancasila dan aturan dasar negara/aturan pokok negara (verassungsnorm) undang-undang dasar
1945, dapat dilakukan dengan mencermati rumusan dalam penjelasan tentang undang-undang
dasar 1945 angka III yang merupakan penjelasan yang tidak dapat dipisahkan dari batang tubuh
(pasal-pasal) UUD 1945, yang menentukan sebagai berikut:
“undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkadang dalam pembukaan
didalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari undang-
undang dasar negara republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-vita hukum
(recchtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang
dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok
pikiran ini didalam pasal-pasalnya.”
Dari penemuan tersebut, dapat dilihat bahwa kedudukan dari pembukaan UUD 1945 adalah
lebih utama dari pada batang tubuh UUD 1945, oleh karena pembukaan UUD 1945 itu
mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila. Aoabila “pokok-pokok
pikiran yang terkadnung dalam pembukaan UUD 1945” tersebut mencerminkan Pancasila yang
menciptakan pasal-pasal batang tubuh (pasa-pasal) UUD 1945, dengan demikian Pancasila
merupakan norma fundamental negara yang menjadi dasar dan sumber bagi aturan dasar
negara/aturan pokok negara, yaitu batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945. Oleh karena itu,
dengan jika kita menghilangkan penjelasan UUD 1945 angka III sebenarnya kita tidak lagi
memakai Pancasila sebagai norma fundamental negara.
Selain itu penjelasan UUD 1945 juga menyebutkan istilah “cita-cita hukum” istilah “cita-cita
hukum(rechtsidee)” dalam penjelasan UUD 1945 ini menurut A. h\Hamil S. Attamimi dikatakan
kurang tepat oleh karena istilah “cita-cita” ini berarti keinginan, kehendak, atau suatu harapan,
sedangkan istilah “rechtsidee” sendiri lebih epat kalua diterjemahkan dengan cita hukum.
“cita hukum” ialah terjemahan dari rechtsidee. Berbeda dangan terjemahan yang digunakan
dalam penjelasan UUD 1945, penulis berpendapat rechtside sebaiknya diterjemahkan dengan
“cita hukum” bukan dengan “cita-cita hukum” menginggat cita ialah gagasan, rasa, cipta,
pikiran, sedangkan cita-cita ialah keinginan, kehendak, harapan, yang selalu ada dipikiran atau
dihati”.
Selanjutnya dikemukakan bahwa “kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita
hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
positif merupakan ‘bintang pemadu’ yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua
kegiatan memberi isi kepala tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negative merupakan
kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebu. Terhadap isi
peraturan perundang-undangan sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun sama-sama, baik
tunggan maupun berpasangan merupakan asas hukum umum”
Dengan uraian tersebut, jelaslah bahwa Pancasila sebagai norma fundamental negara
(staatfundamntalnorm) dan sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta
pedoman bagi batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945 sebagai aturan dasar negara/aturan pokok
negara serta peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, menghilangkan penjelasan
UUD 1945 tidak akan terlihat hubungan dan keterkaitan Pancasila dengan aturan dasar
negara/aturan pokok negara serta peraturan perundang-undangan dinegara republiik Indonesia.
c. hubungan undang-undang dasar 1945 dan ketetapn MPR
1. sebelum perubahan UUD 1945
Apabila dilihat dari teori jenjang norma hkum dari hans nawiasky, kelompok norma dari
staatsgrundgesetz dinegara republik Indonesia terdiri dari verfassungsnorm UUD 1945 yang
terdapat dalam batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945, ketetapan MPR, serta hukum dasar tidak
tertulis (konvensi ketatanegaraan)
Norma-norma hukum yang ada didalam aturan dasar negara/aturan pokok negara yaitu dalam
verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam ketetapan MPR merupakan norma-norma hukum yang
masih bersifat umum dan garis besar serta masih menggunakan norma tunggal, jadi belum
dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Secara hierarkis, kedudukan
verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada ketetapan MPR, walaupun keduanya dibentuk
oleh lembaga yang sama, yaitu majelis permusyarawatan rakyat sebagai lembaga tinggi dinegara
republik Indonesia. oleh karena itu secara norma, kedudukan verfassungsnorm UUD 1945 tidak
sejajar dengan ketetapam MPR.
Selama ini (sebelum adanya perubahan UUD 1945) masih banyak orang yang mempersoalkan
mengapa ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah dari undang-undang
dasar 1945, padahal keduanya dibentuk oleh sebuah lembaga yang sama, yaitu majelis
permusyarawatan rakyat? Pertanyaan ini timbul karna selama ini banyak yang beranggapan
bahwa ketiga fungsi dari majelis permusyarawatan rakyat itu mempunyai bobot yang sama,
namun demikian, apabila diperhatikan secara seksama, ketiga fungsi dari majelis
permusyarawatan rakyat itu bisa dibedakan dua kualitas, yaitu:
Fungsi I : menetapkan undang-undang dasar
Fungsi IIa : menetapkan garis-garis dari pada Haluan negara.
IIb : memilih presiden dan wakil presiden
Majelis permusyarawatan rakyat dalam menjalankan fungsi yang pertama mempunyai
kedudukan yang lebih utamama dari pada delam menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena
dalam menjalankan fungsi yang pertama majelis permusyarawatan rakyat mempunyai kualitas
sebagai “kontituante”, yaitu menetapkan undang-undang dasar yang hanya dilaksanakan apabila
negara benar-benar menghendaki, jika tidak secara teratur; sedangkan dalam menjalankan fungsi
yang kedua itu dapat dilaksanakan secara teratur dalam waktu jangka lima tahun sekali, yaitu
pada wakty majelis permusyarawataan rakyat bersidang.
Kedudukan verfassungsnormn UUD 1945 ysng berada diatas ketetapan MPR ini menjadi lebih
jelas apabila dikaji dengan teori pengikat diri (selbtsbindungtheorie) dari George jellinek. Secara
teori, majelis permusyarawatan rakyat yang mempunyai kualitas utama sebagai konstituane atau
mula-mula menjalankan fungsi yang pertama, yaitu menetapkan undang-undang dasar negara.
Setelah undang-undang daar negara itu terbentuk, kemudian majelis permmusyarawatan rakyat
tersebut mengikat diri dalam ketentuan dalam undang-undang dasar yang ia bentuk (sesuai
dengan selbtsbindungtheorie). Selanjutnya dalam menjalankan fungsinya yang kedua, yaitu
menetapkan garis-garis besar dari pada hukum negara dan memilih presiden dan wakil presiden
yang dituangkan dalam ketetapan-ketetapan MPR, dan pada saat itu majelis permusyarawataan
rakyat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam undang-undang dasar negara tersebut.
Selain itukajian berdasarkan fungsinya, kedudukan majelis permusyarawatan rakyat, dapat pula
dikaji dari tata cara atau proses “perubahannya”. Dalam hal perubahan undang-undang dasar
negara 1945, terdapat persyaratan-persyaratan formal yang tertuang dalam pasal 37 UUD 1945
sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah
anggota majelis permusyarawatan rakyat harus hadir
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekuarang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota
yang hadir
Kemudian persyaratan-persyaratan formal lainnya yang ditentukan untuk perubahan undang-
undang dasar 1945 adalah harus memenuhu ketentuan ketetapan MPR No. IV/MPR/1983
tentang referendum, yang menentukan dalam pasal 2 sebagai berikut:
Pasal 2
Apabila majelis permusyarawataan rakyat berkehendak untuk merubah undang-undang dasar
1945, terlebih dahulu harus meminta penbdapat rakyat melalui referendum.
Disamping persyaratan formal tersebut, sebenarnya terdaoat persyaratan-persyaratan material
yang lebih utama dan esensial, yaitu: “perubahan UUD 1945 tidak boleh ‘menganggu’
keselarasan dan harmoni kaidah-kaidah yang tercantum dalam pembukaannya sebagaimana
terlihat dalam penjelasan umum UUD 1945 angka II yang berbunyi ‘undang-undang dasar
menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam pasal-pasalnya’.”
Ini berarti bahwa norma-norma hukum yang tertuang dalam pasal-pasal batang tubuh UUD
1945 adalah “penciptaan” atau pertanggungjawabn dari pokok-pokok pikiran yang terkadandung
dalam pembukaan, yang menurut tafsiran penjelasan UUD1945 sendiri tidak lain dan tidak
bukan adalah Pancasila.
Apabila dilihat dari uraian tersebut, jelaslah bahwa dalam hal menetapkan, mengubah, ataupun
mencabut undang-undang dasar (dalam hal ini UUD 1845) diperlukan syarat yang sangat berat
sedangkan dalam hal menetapkan, mengubah, dan mencabut suatu ketetapan MPR tidak
diperlukan persyaratan formal dan materil seberat persyaratan bagi undang-undang dasar, dalam
hal ini btang tubuh UUD 1945, oleh karena ketetapanMPR itu tidak secara langsung merupakan
“penciptaan dalam pasal-pasal” dari norma fundamental negara atau Pancasila, yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945.
Dengan adanya oerubahan kualitas dan fungsi majelis permusyarawatan rakyat dan mengaitkan
teori pengikatan, serta perbedaan dalam hal penetapan, perubaha, dan pencabutan, dari undang-
undang dasar 1945 dan ketentuan MPR, jelas terlihat bahwa kedudukan verfassungsnorm UUD
1945 itu lebih tinggi dari pada norma hukum ketetapan MPR yang ditetapkan setiap lima tahun
itu.
Kedudukan verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada norma-norma hkum dan
ketetapan MPR, namun demikian keduanya termasuk dalam aturan dasar negara/aturan pokok
negara. Hubungan antara kedua norm aitu adalah sesuai dengan jenjang normanya.
Verfassungsnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar dari pembentukan norma-norma
ketetapan MPR.
Apabila dikaji dai segi fungsi, ketetapan MPR mempunyai fungsi untuk mengatur lebih lanjut
ketentuan dalam verfassungsnorm UUD 1945 yang masih mengatur hal-hal yang pokok saja.
Selain it, perlu menjabarkan lebih lanjut perihal ketentuan dalam verfassungsnorm UUD 1945
secara ebih terinci dan mengarahkan garis-garis besar dari pada Haluan negara sesuai
perkembangan negara republik Indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

2. sesudah perubahan UUD 1945


Seusah perubahan UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar tentang fungsi majelis
permusyarawatan rakyat. Berdasarkan perubahan UUD 1945, fungsi majelis permusyarawatan
rakyat adalah :
Fungsi I : mengubah dan menetapkan undang-undang dasar
Funsi II : melantik presiden dan wakil presidan.
Fungsi IIIa : memberhentikan presiden dan waki presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
IIIb : memilih wakit presiden (dalam hal terjadi kekosongan)
IIIc : memilih presiden dan wakil presiden (dalam hal terjadi kekosongan)

Fungsi majelis permusyarawatan rakyat tersebut secara rinci dirumuskan dalam pasal-pasal
sebagai berikut:
a. Pasal 3 UUD 1945 (perubahan)
(1) Majelis permusyarawatan rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-
undang dasar
(2) Majelis permusyarawatan rakyat melantik presiden dan wakil presiden
(3) Majelis permusyarawatan rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan wakil
presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.
b. Pasal 8 UUD 1945 (perubahan):
(1) Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam
puluh hari, majekis permusyarawatan rakyat menyelenggarakan siding memilih wakil
presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden
(2) Jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah mentri luar negri, dalam negri, dan mentri pertahanan secara
Bersama-sama, selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, majelis permusyarawatan
rakyat menyelnggarakan siding untuk memilih presiden dan wakil presiden daru dua
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presiden meraih
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya.
c. Pasal 37 UUD 1945 (perubahan):
(1) Usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar dapat diagendakan dalam siding
majelis permusyarawatan rakyat apabila diajukan dalam sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota majelis permusyarawataan rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar diajukan secara tertulis untuk
diubah berserta alasannya
(3) Untuk mengubah pasa-pasal undang-undang dasar, siding majelis permusyarawatan
rakyat dihadiri oleh siding majelis permusyarawatan rakyat 2/3 dari jumlah anggota
majelis permusyarawatan rakyat
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal undang-undang dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota majelis permusyarawatan rakyat.

Berdasarkan ketentuan pasal 3 pasal 8 dan pasal 37 UUD1945 (perubahan), maka tidak terdapat
lagi hubungan secara normative anatara undang-undang dasar 1945 dan ketetapan MPR, kecuali
terhadap ketentuan MPR yang dinyatakan tetap berlaku (dengan beberapa persyaratan)
berdasarkan ketetapan MPR No 1/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap status hukum
ketetapan majelis permusyarawatan rakyat sementara dan ketetapan majelis permusyarawatan
rakyat republik Indonesia tahun1960 sampai dengan tahun 2002
Setelah perubahan UUD 1945 tidak terdapat lagi wewenang majelis permusyarawatan rakyat
untuk menetapkan garis-garis besar daripada Haluan negara yang selama ini dibentuk dengan
ketetapan MPR, yang kemudian dimandatkan kepada presiden kemudian dilaksanakan
perubahan ini terjadi oleh karena berdasarkan perubahan UUD 1945, presiden dan wakil
presiden sekarang tidak lagi dipilih oleh majelis permusyarawatan rakyat tetapi dipilih langsung
oleh rakyat, sehingga presiden bukan lagi mandaritas dari majelis permusyarawatan rakyat.

E. hubungan norma hukum dasar dan norma perundang-undangan


Hubungan norma hukum dasar dan norma perundang-undangan dapat dipahami dari rumusan
penjelasan UUD 1945, khususnya pada angka IV yang menentukan sebagai berikut:
“maka telah cukup jikalau undang-undang hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat
garis-garis besar sebagai intruksi pada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggaraan negara
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejetahaan sosial. Terutama bagi negara baru
dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis ini hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-
undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah, dan mencabut”
Apabila membaca uraian tersebut, dapat dilihata bahwa berbagai ketentuan dan aturan-aturan
pokok negara yang tercantum dalam undang-undang dasar 1945 dapat dikebang luaskan atau
diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan
mencabut. Berdasarkan hal itu maka suatu undang-undang dapat melaksanakan atau mengatur
lebih lanjut hal-hal yang ditentukan secara tegas-tegas oleh undang-undang dasar 1945 maupun
hal-hal yang secara tidak tegas-tegas menyebutkannya. Selainitu, undang-undang adalah
peraturan perundang-undangan yang tertinggi direpublik Indonesia, sehingga undang-undang
yang merupakan sumber dan dasar bagi peraturan perundang-undangan lain dibawahnya, yang
merupakan peraturan pelaksanaan peraturan otonom.
Apabila dilihat dari sifat norma hukunya, dapat diketahui bahwa norma-norma hkum dalam
suatu dasar itu masih merupakan norma hkum tunggal, masih mengatur hal-hal umum dan secara
garis besar atau masih merupakan norma-norma hkum yang pokok-pokok saja, sehingga norma-
norma dalam suatu hukum dasar iru belum dapat langsung berlaku mengikat umum. Hal tersebut
berbeda dengan norma dalam perundang-undangan, norma-norma hukum itu sudah lebih
konkret, lebih jelas, dan sudah dapat langsung berlaku mengikat umum, bahkan dalam suatu
peraturan perundang-undangan seudah dapat dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi pemaksa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka agar supaya norma-norma hukum yang terdapat dalam hukum
dasar (verfassunsnorm) itu dapat berlaku sebagaimana mestinya, maka norma-norma hkum itu
harus lebih dahulu dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan (gesetzgebungsnorm)
oleh karena hkumnya bersifat umum dan dapat mengikat seluruh warga negara, sehingga
terhadap penyelenggaraannya sudah dapat dikenakan sanksi pindana atau sanksi pemaksa. Hal
ini merupakan suatu yang sangat logis, oleh karena ketentuan dalam hkum dasar masih
merupakan kebijakan negara yang bersifat garis besar, dan belum bersifat konkret, sehingga
pelanggaran terhadapnya belum dapat dikenakan sanksi pidana atau sanksi pemaksa.

Setelah berlakunya perubahan UUD 1945 terdapat pendapat bahwa penjelasan UUD 1945 sudah
tidak berlaku lagi. Pendapat tersebut biasanya dihubungkan dengan pasal II aturan peralihan
UUD 1945 perubahan, yang menyatakan bahwa “dengan ditetapkannya perubahan undang-
undang dasar ini, undang-undang dasar negara republik indonsesua tahun 1945 terdiri atas
pembukaan dan pasal-pasal.” Pendapat ini secara kajian perundang-undangan adalah tidak tepat,
oleh karena ketentuan dalam pasal II aturan tambahan gtersebut tidak menyatakan pencabutan
secara tegas terhadap penjelasan UUD 1945. Selain itu penjelasan adalah interprestasi yang
merupakan suatu kesatuan dengan ketentuan atau norma yang dijelaskan dan bukan ketentuan
yang berbdeda.
Hal ini sangat penting untuk dipahami, oleh karena masih terdapat pasal-pasal dalam UUD 1845
yang tidak diubah, misalnya pasal 4 ayat (1), pasal 5 ayat (2) dan pasal 22 UUD 1945.
Salah satu prinsip dalam perubahan terhadap suatu peraturan (dalam hal ini undang_undang
dasar 1945) adalah dengan mempertimbangkan secara fisiologis, sosiologis, dan yuridis dari
peraturan yang diubah. Hal ini penting untuk dipahamu, oleh karena sampai saat ini majelis
permusyarawatan rakyat belum pernah menetapkan undang-undang dasar 1945 dalam suatu
kesatuan (yang terdiri atas UUD 1945 sesuai dektrit presiden 5 juli 1959. Perubahan pertama,
perubahan kedua, perubahan ketiga, dan perubahan ke empat).

Anda mungkin juga menyukai