DI INDONESIA
SEP 2
Posted by Robby aneuknangroe
Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai daerah di
Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta semakin
kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai mengubah
konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No. 32 Tahun
2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004).
Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan perubahan terhadap tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena itulah, dibuat
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang. Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak
dimasukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, setelah
lahirnya Ketetapan MPR No. II Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata
urutan tersebut setelah Keputusan Presiden.
Pada tanggal 24 Mei 2004 lalu, DPR telah menyetujui RUU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi UU No. 10 Tahun 2004,
yang berlaku efektif pada bulan November 2004. Keberadaan undang-
undang ini sekaligus menggantikan pengaturan tata urutan peraturan
perundang-undangan yang ada dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 2000.
UUD 1945 pasca amandemen lebih bersifat rigid. Hal ini dikarenakan
persepsi penguasa yang sepakat untuk lebih mengkultuskan UUD 1945
sebagai kesatuan pemikiran dari mayarakat untuk memilih sesuatu yang
ideal dalam hal-hal tertentu yang direfleksikan didalamnya. Selain itu,
nilai historis yang terkandung dalam UUD 1945 membuatnya sebagai
konstitusi memiliki kandungan rigiditas. UUD 1945 tidak lg dipandang
sebagai peraturan perundang-undangan saja melainkan merupakan
wibawa daripada suatu bentuk Hukum tertinggi dari suatu negara.
Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat.