Anda di halaman 1dari 11

UNIVERSITAS PANCASILA

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

TUGAS
SEJARAH HUKUM

RANGKUMAN BUKU PERUBAHAN UUD 1945

Disusun Oleh :

Nama : Dimas Gerianto


No Pokok Mahasiswa : 5218221037

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT PENILAIAN


DALAM MATA KULIAH SEJARAH HUKUM
JAKARTA
2019
BAB 1

A. Kesepakatan MPR dalam Pengubahan UUD 1945


Menjelang Hari Ulang Tahun ke-57 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menyelesaikan perubahan Keempat UUD
1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 sebagai kelanjutan dari Perubahan Pertama
(1999), Perubahan Kedua (2000) dan perubahan ketiga (2001) UUD 1945.
Dalam literatur Hukum Tata Negara dikenal dua teknik perubahan
konstitusi yakni penggantian atau perubahan secara menyeluruh (re-new) dan
perubahan yang dikenal dengan istilah amandemen. Amandemen adalah :
1. Suatu perubahan atau usul dari lembaga perwakilan atau dalam sebuah komisi dengan
cara menambahkan, mencoret, atau menegaskan kata-kata dari bagian tertentu dari
sebuah rancangan undang-undang atau sebuah pernyataan .
2. Sebuah penambahan atau perubahan, sebuah konstitusi atau undang-undang dasar
dengan cara menambahkan pada naskah terkait dari penyisipan perihal tertentu yang
tidak terkait dengan naskhg yang dimaksud.
Undang-undang dasar (UUD) telah menyediakan dua diktum yang dapat
digunakan MPR untuk mengubah UUD 1945 degan konstitusi yang baru melalui
pasal 3 UUD 1945 dan melalui pasal 37 UUD 1945 yang dirumuskan sbb :
(1.) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurngnya 2/3 dari pada
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir
(2.) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumalh anggota
yang hadir.

Teknik pengubahan UUD 1945 dengan cara amandemen telah disepakati oleh
Rapat Panitia AdHoc III Badan Pekerja MPR pada tanggal 12 Oktober 1999.
Mengacu pada pernyataan tersebut terdapat suatu kesepakatan yang telah disepakati
oleh Panita AdHoc III badan pekerja MPR RI yang dibebani tugas melakukan
pembahasan rancangan Perubahan UUD 1945 mengnai hal-hal sbg:
1. Pengubahan UUD 1945 dilakukan teknik amandemen, sehingga diktum lama yang
diubah tetap menjadi bagian naskah UUD 1945 dan diktum baru disisipkan pada
dokumen UUD 1945, dengan demikian diktum yang telah diubah tetap dpat
ditemukan dalam dokumen UUD yang telah di ubah
2. Pembukaan yang berisi Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat diubah
3. Sistem Pemerintahan Presidensial dan Bentuk Negara Kesatuan tidak menjadi objek
amandemen
4. Materi Penjelasan yag berkualitas sebagai norma hukum diangkat menjadi diktum paa
bagian batang tubuh,
5. Jika pembahasan tidak tercapai kesepakatan terhadap rancangan diktum maka
dikembalikan pada diktum dalam naskah UUD1945(asli).

Namun sejak awal UUD 1945 diubah MPR dengan memberi istilah Perubahan
UUD 1945, bukan amandemen UUD 1945, sehingga secara praktis UUD 1945
memang telah diubah atau diganti dengan konstitusi baru. Dalam ilmu hukum,
Aturan Peralihan ( Transitoirrecht ) merupakan suatu keniscayaan guna
menghindari terjadinya kekeosongan hukum ( rechtsvacum ) sekaligus penghubung
dari berlakunya hukum yang berbeda. Hakekat aturan peralohan dipahami, karena
sistem hukum baru berkualifikasi sebagai aturan yang menggantikan sistem hukum
yang masih berlaku secara efektif. Pengertian aturan peralihantersebut sebagaimana
diatur dalam Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diubah, sebagai berikut:

Pasal I

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan


kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia

Pasal II

Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, slama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar itu

Pasal III

Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
Pasal IV

Sebelum Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewa Perwakilan Rakyat dan Dewan


Pertimangan Agung dibentuk menurut Undang_undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dialankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.

Dari diktum pasal-pasal Aturan Peralihan tersebut, dapat dipahami bahwa


UUD 1945 dibentuk untuk menggantikan indische staatsregeling-We op de
staatsinriching van indonesie(1854) sebagai produk hukum kolonial Belanda yang
erkualifikasi sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Pencantum aturan
Peralihan dalam Perubahan UUD 1945dapat dipahami sebuah diktum yang secara
ekspilit menyatakan bahwa peruahan UUD 1945 merupaan konstitusi baru yang
menggantian UUD 1945.

Digantikannya UUD 1945 dengan konstitusi baru yang berupa Perubahan


UUD 1945 juga tampak pada terjadinya penghapusan pasal atau ayat , perubahan
subtansi yang terkandung pada pasal atau ayat, serta penambahan pasal atau ayat
dalam perubahan UUD 1945. Pengubahan konstitusi menyentuh persoalan-
persoalan hukum dan politik, sehingga Perubahan UUD 1945 juga merupakan
objek penyelidikan disiplin ilmu hukum negara maupun disiplin ilmu politik.

B. KONSEKUENSI PERUBAHAN UUD 1945 BAGI DISIPLIN ILMU HTN


Disiplin ilmu hukum ketatanegaraan acapkali bersentuhan dengan
pendekatan yang digunakan pada disiplin ilmu lainnya, misalnya ilmu
politik.disiplin ilmu hukum tata negara dan disiplin ilmu hukum politik juga sama-
sama meyelidiki hakikat kekuasaan : cara pembentukan lembaga-lembaga negara,
pembagian kekuasaan sampai dengan cara pembatasan kekuasaan antarlembaga-
lembaga negara.
Terkait dengan keeratan hubugan antara (ilmu) hukum tata negara dan
(ilmu) politik juga dinyatakan, bahwa hukum tata negara (konstitusi) merupakan
bingkai bagi politik (lukisan) yang senantiasa berkembang, sehingga dinamika
politik dapat tersaji secara proporsional.
Dinamika hukum tata negara khususnya di Indonesia diawali sejak
persidangan MPR diselenggarakan setiap tahun sebagaimana dirumuskan pada
Pasal 49 ayat (2) Ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1999 tentang peraturan Tata
Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Berdasarkan diktum pasal tersebut, MPR berwenang mengajukan
rekomendasi kepada Presiden dan lembaga negara tinggi lainnya mengenai
pelaksanaan Ketetapa MPR tentang Garis-Garis Besar Hukum Negara serta
ketetapan lain yang berkualifikasi sebagai GBHN.
Berdasarkan persoalan mendasar lain yang turut mempengaruhi tatanan
kehidupan ketatanegaraan, antara lain aktifnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
melaksanaan hak interpelasi, hak angket terhadap kebijakan pemerintah.

C. PERUBAHAN UUD 1945: POLITIK HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

Perubahan UUD 1945 yang dihasilkan oleh MPR 1999-2002 pada


hakikatnya merupakan bagian dari politik hukum tata negara Indonesia dengan
mengganti penataan terhadap suprastruktur ketatanegaraan antara lain menghapus
keberadaan lembaga-negara DPA; digantikan dengan dewan pertimbangan dibawah
kekuasaan Presiden, menambah lembaga-lembaga negara baru seperti Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) sertah Mahkamah Konstitusi (MK) disamping Komisi
Yudisial; mengurangi tugas dan wewenang MejelisPermusyawaratan Rakyat,
membatasi kekuasaan Presiden, dan menambah kekuasaan Dewan Perwakilan
Rakyat.

Dalam pendekatan ilmiah, politik hukum merupakan suatu kajian disipliner


karena memadukan dua pendekatan yakni ilmu politik dan ilmu hukum. Namun,
jika hukum diibaratkan sebagai sebuah pohon, politik hukum merupakan bagian
akar terhadap pohon ilmu hukum tersebut ( the science tree of law ).

Displin ilmu hukum juga dibagi dalam disiplin ilmu hukum tata negara,
disiplin ilmu hukum administrasi negara serta disiplin ilmu hukum pidana yang
mengkaji persoalan-persoalan hukum publik disamping disiplin ilmu hukum
perdata yang mengkaji persoalan-persoalan hukum perseorangan.

Pengertian politik hukum dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas
yang menjadi dasar rencana atau garis pedoman merumuskan kebijakan bidang
hukum. Pedoman bidang hukum tersebut pada umumnya dapat berisi bejikana
tentang materi hukum, sarana dan prasarana, aparat hukum, budaya hukum,
pelayanan hukum, kepastian hukum, dan keadilan hukum.

Padmo Wahyono menyatakan bahwa; “politik hukum adalah kebijakan


dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang dibentuk”. Perubahan
UUD 1945 sebagian politik Hukum Tata Negara merupakan politk hukum yang
sesuai dengan pendapat Padmo Wahyono, karena berisi kbijakan yang bersifat
fundamental. Dengan demikian perubahan UUD 1945 dapat juga dinyatakan
sebagai perwujudan kebijakan dan asas yang menjadi garis besar dan rencana
dalam pelaksanaan Hukum Tata Negara di Indonesia antara lain berupa :

a. Pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum secara langsung ole rakyat
untuk mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota lembaga-lembaga
perwakilan seperti Dean Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah serta
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Penguatan lemabaga perwakilan rakyat dalam penyeleggaraa pemerintahan negara
bersama-sama Presidn baik sebagai Kepala Negra maupun sebagai Kepala
Pemerintahan
c. Pembatasan kekuasaan Presiden baik selaku Kepala Pemerinthan maupun selaku
Kepala Negara.

Perubahan terhadap UUD 1945 hampir menyeluruh telah dilakukan oleh


MPR 1999-2002 ternyata mengundang berbagai pertentangan, sehingga
skhirnya MPR menerbitkan Ketetapan MPR-RI Nomer I/MPR/2002 tentang
pembentukan Komisi Konstitusi ( 11 Agustus 2002) sebagai upaya merendam
pertentangan terhadap Perubahan UUD 1945.
Dari ketetapan yang terdiri dari empat pasal tersebut intinya menegaskan
kepada Badan Pekerja MPR (BP-MPR) untuk merumuskan susunan,
kedudukan, kewenangan, dan keanggotaan komisi konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945.

BAB 2
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI PERUBAHAN UUD 1945
Pengubahan yang dilakukan oleh MPR 1999-2003 dilakukan secara periodik
terhadap UUD 1945 secara parsial. Artinya dalam periode pertama pada tahun 1999
dilakukan perubahan terhadap 15 diktum kemudian periode kedua pada tahun 2000
dilakukan perubahan terhadap 59 diktum, dilanjutkan periode ketiga pada tahun
2001 dilakukan perubahan terhadap 68 diktum serta periode ke empat pada tahun
2002 dilakukan perubahan terhadap 29 diktum.

B. Sri soemantri menyatkan, bahwa perubahan UUD pada dasarnya merupakan suatu
keniscayaan, karena “pertama, generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat
generasi yang akan datang, kedua hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari
hukum tatanegara, serta ketiga ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau
undang-undang dasar selalu dapat diubah, selanjutnya Sri Soemantri menyatakan bahwa
“prosedur serta system perubahan undang-undang dasar 1945 seharusnya merupakan
perwujudan dua hal yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan
memungkinkan adanya perubahan (kursif dari penulis).”
Mengacu pada uraian Soekarano perlu dipahami bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa UUD sebagai revolutie grondwet merupakan pendapat pribadi
anggota soekarno yang tidak dapat mendapat persetejuan dari Rapat Paripurna
PPKI, sehingga tidak dapat diajukan sebagai alasan yuridis-formal terhadap sifat
kesementaraan UUD 1945.

Alasan kedua yang diajukan Abdul Muhtie Fadjar dilandaskan pada alasan
yang bersifat filsafat, bahwa :
Alasan filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat percampuradukan
beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat
dengan faham integralistik, antara faham negara hukum dengan faham negara
kekuasaan (Nasution : 1993 ).

Alasan teoritis dari sudut pandang teori konstitusi (konstitualisme)


keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi
kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang tetap justru UUD 1945
kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut melainkan lebih menonjolkan
pengintegrasian (mahasin, 1973).

Alasan yuridis, sebagaimana lazimnya setiap konstitusi tertulis (UUD) yang


selalu memuat adanya klausula perubahan di dalam naskahnya, UUD 1945 juga
mencantumkan hal itu dalam pasal 37, sebab betapa pun selalu disadari akan
ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau
menyusun UUD. Seperti dinyatakan oleh Moris seorang peserta dan penandatangan
naskah UUD Amerika Serikat (ditetapkan 1787) bahwa” Nothing human can be
perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those
who should come after us take counsel from experience, and exercise prudently the
power of amandemen, which we had provided ” (kelompok reformasi hukum dan
perundang-undangan 1999).
Alasan politis praktis diajukan Abdul Mukhtie fajar sebagai alasan kelima
perlunya perubahan UUD 1945, yakni :

Alasan politis-praktis bahwa secara sadar atau tidak sadar langsung atau
tidak langsung, dalam praktik politik sebenar-benarnya UUD 1945 sudah sering
mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949,
maupun masa 1959-1998, seperti terjadinya perubahan system pemerintahan dari
presindensial ke system parlementer (tahun 1946), penetapan Soekarano oleh
MPRS sebagai presiden seumur hidup (ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963). Ini
berarti menyimpang / mengubah ketentuan pasal 7 UUD 1945, dan digunakannya
mekanisme referendum untuk mengubah UUD 1945 (ketetapan MPRS nomor
IV/MPRS/1983 juncto nomor UU nomor 5 tahun 1985 tentang referendum) yang
berarti telah menyimpang/mengubah ketentuan pasal 37 UUD 1945. Selain itu
praktik politik sejak tahun 1959-1998 selalu memanipulasi kelemahan-kelemahan
pengkaidahan dalam UUD 1945 yang memungkinkan multi interprestasi sesuai
selera pemimpin yang berkuasa.

Terhadap opini Abdul Mukhtie Fadjar tersebut, perlu diajukan koreksi bahwa
ketentuan referendum diatur dalam ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1983
tentang referendum bukan ketetapan MPRS nomor IV/MPRS/1983, karena sejak
1970 status MPRS tidak lagi bersifat sementara.

C. KRONOLOGI PERUBAHAN UUD 1945 (1999-2002)


Usai Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada tanggal 21 mei
1998 mulai banyak tuntutan untuk melakukan perubahan mendasar diantaranya
melakukan pembatasan kekuasaan presiden.

Secara yuridis terdapat kendala bagi terlaksananya percepatan pemilihan


umum, yakni dalam ketetapan MPR-RI Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis
besar haluan negara 1998-2002 (11 maret 1998) menyatakan dengan tegas bahwa
pemelihan umum akan diselenggarakan pada tahun 2002.
Terdapat dua belas ketetapan MPR yang dihasilkan pada sidang istimewa
tersebut, empat di antaranya merupakan ketetapan yang berkualifikasi sebagai
materi konstitusi antara lain :
1. Ketetapan MPR-RI nomor VIII/MPR/1998 tentang pencabutan ketetapan MPR-
RI Nomor IV/MPR/1983 tentang referendum (13 November 19830
2. Ketetapan MPR-RI Nomor XIII/MPR/1998 Tentang pembatasan masa jabatan
presiden dan wakil presiden republic Indonesia (13 November 1998)
3. Ketetapan MPR-RI nomor XIV/MPR/1998 tentang pemilihan umurm (13
November 1998)
4. Ketetapan MPR-RI Nomor XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan ketetapan MPR-
RI Nomor II/MPR/1978 tentang pedoman pengahayatan dan pengamalan
Pancasila (eka prasetya pancakarsa) dan penetapan tentang penegasan Pancasila
sebagai dasar negara (13 november 1998).

Konflik tersebut diawali dari dewan perwakilan rakyat yang


beramsumsi bahwa sebagai kebijakan preseiden Abdurrahman Wahid telah
melanggar pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah jabatan dan ketetapan MPR-
RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut merupakan dasar
penetepan memorandum kesatu da memorandum kedua DPR yang berisi
peringatan kepada presiden Abdurahman Wahid. Kedua memorandum
tersebut dinafikan oleh presiden Abdurarahman wahid, sehingga pada
tanggal 31 mei 2001 dalam rapat paripurna DPR diputuskan untuk
menyelenggarakan sidang istimewa MPR guna meminta
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman wahid.

Melalui surat Nomor R-55/Pres/VII/2001 tertanggal 21 Juli 2001, presiden


Abdurrahaman Wahid menolak memberikan pertanggung jawaban dalam
sidang istimewa MPR tahun 2001. Bahkan tanggal 23 juli 2001, presiden
Abdurrahman wahid menetapkan maklumat presiden yang intinya, pertama
membekukan DPR dan MPR RI; kedua mempercepat pemilihan umum
dalam waktu satu tahun; dan ketiga membekukan partai golongan karya
sambil menunggu keputusan mahkamah agung.

Anda mungkin juga menyukai