Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

DOSEN : DR. IR. TUTANG MUHTAR KAMALUDIN ST, M.SI.


DISUSUN OLEH :
F13121007 AYYASY ABDUR RAZAK
F13121035 YUMIRON MORIB
F131210 FATUR RAHMAN
F13121050 NURLELA

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 3

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 3

1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 5

2.1. HUKUM / ATURAN DASAR ............................................................ 5

2.2 SEJARAH KETATANEGARAAN ..................................................... 9

2.3 PANDANGAN TERHADAP AMANDEMEN UUD 1945............... 10

2.3.1. Hak Asasi Manusia (HAM) .......................................................... 13

2.3.2 Pemerintahan Daerah ................................................................... 19

2.3.4. Wilayah Negara ............................................................................ 20

2.3.5. Warga Negara dan Penduduk ...................................................... 20

2.3.6. Pertahanan dan Keamanan .......................................................... 21

2.4 PANDANGAN PENOLAKAN TERHADAP UUD 1945................. 22

BAB III KESIMPULAN ......................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 25

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konstitusi adalah hukum dasar negara, fondasi konstitusi memainkan peran
yang sangat penting dan strategis dalam menyusun undang-undang. Secara
hierarkis, sebagai hukum dasar suatu negara atau negara, semua undang-undang
dan peraturan yang dibentuk oleh negara atau negara tersebut berasal dari
konstitusi dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum (rechtsstaat)
sebagaimana ditentukan dalam penjelasan UUD 1945 yang kemudian "diangkat"
menjadi Pasal 1 ayat (3) Amandemen Ketiga UUD 1945 (2001) dengan
rumusan: Negara Indonesia adalah negara hukum. Kemudian dalam Keputusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan (selanjutnya
disingkat TAP MPR No. III/MPR/2000). Menempatkan Pancasila yang termuat
dalam Pembukaan UUD 1945 (serta sila-silanya: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia), dan
Pertengahan Struktur UUD 1945 (dan Perubahannya) sebagai sumber hukum
esensial nasional. Pengaturan dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 ini
menempatkan struktur (dalam hal ini Struktur UUD 1945 dan revisinya).

1.2 Perumusan Masalah


Dalam kerangka kerja ketatanegaraan, masalah perundang – undangan adalah
sangat penting untuk berjalannya kerangka kerja pemerintah suatu negara, karena
berjalannya kerangka kerja pemerintah tidak dapat diisolasi dari referensi yang harus
dieksekusi dalam perundang-undang negara.
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas pada makalah kali ini ialah
tentang perubahan UUD 1945 yang saat ini masih menjadi perbincangan yang
hangat.
Dalam pegangan tersebut, revisi Struktur 1945 menyebabkan pembicaraan
tentang, penyusun membedakan beberapa masalah utama sebagai berikut :

3
1. Sejarah sakral Republik Indonesia sejak dimulainya penataan Struktur UUD 1945
sampai sekarang.

2. Isu yang muncul diperdebatkan sehingga ada pra- definisi perubahan UUD 1945.

3. Beberapa anggapan tentang koreksi terhadap UUD 1945.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. HUKUM / ATURAN DASAR

Dalam klarifikasi umum Angka I konstitusi UUD 1945, dikatakan bahwa


UUD hanyalah bagian dari hukum esensial bangsa. UUD adalah hukum dasar
tersusun atau tertulis, sedangkan dalam perluasan ke Konstitusi ada terlalu
banyak hukum dasar yang tidak tertulis, untuk menjadi spesifik aturan-aturan
penting yang muncul dan dipertahankan dalam kekuasaan organisasi negara
memang terlepas dari kenyataan bahwa mereka tidak tersusun. Klarifikasi ini
memberikan premis yang dilindungi bahwa tradisi sakral adalah bagian dari
hukum esensial. Artinya, Indonesia menganut paham hukum yang hakiki tentang
tersusun dan tidak tertulis, yang dituangkan ke dalam konstitusi. Konstitusi yang
tersusun adalah UUD 1945, sedangkan yang tidak tertulis, misalnya, adalah
wacana Presiden beberapa waktu lalu bersama DPR disetiap tanggal 16 Agustus
dan pembagian arti penyelesaian dan kesepakatan. Sependapat dengan Sri
Soemantri, konstitusi sama dengan UUD. Anggapan Sri Soemantri itu ternyata
membawa dampak yang luar biasa besar bagi PAHII BP MPR, sehingga TAP
MPR No. III/MPR/2000 telah memutuskan bahwa sumber hukum nasional yang
hakiki adalah Pancasila dan UUD 1945 adalah hukum dasar yang tersusun.
Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 dan pengaturan pembatalan
Penjelasan UUD 1945, tidak ada kualifikasi antara konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis, sebagaimana yang ditegakkan dalam UUD 1945 yang
terdapat dalam Penjelasan.

Sungguh mencengangkan bahwa sebagian besar ahli hukum perlindungan


dan perseorangan MPR yang duduk di PAH I B MPR (yang diberi tugas
mengubah UUD 1945) berpendapat bahwa di dunia ini Indonesia adalah bangsa
yang seada-adanya. yang strukturnya memiliki klarifikasi. UUD 1945 harus
dibatalkan. Alasan lain perlunya pembatalan adalah karena klarifikasi dilakukan
oleh Soepomo, yang bukan ahli hukum suci - Soepomo adalah ahli hukum
standar. dan Penjelasan UUD 1945 lahir satu tahun kemudian setelah lahirnya
UUD 1945 pada Agustus 18, 1945.

Para ahli dan individu MPR ini mengabaikan bahwa semua lulusan hukum

5
memikirkan hukum yang dilindungi. Sementara itu, menurut sang pencipta,
hukum suci tidak bertenaga, sama sekali tidak seperti hukum keuangan, yang
terus bergerak di sisi kemajuan ekonomi dunia. Atau bidang ilmu lain seperti
ilmu kefarmasian dan pengobatan (farmasi) yang terus berkreasi dari waktu ke
waktu dan dari waktu ke waktu tidak aktif, seperti hukum yang dilindungi, yang
sejak zaman sekarang mayoritas mengatur organisasi negara yang sah, pada
dasarnya tidak membuat lagi. Tampaknya MPR Periode Perubahan sangat
dipengaruhi oleh anggapan para ahli hukum yang dilindungi, sehingga mereka
perlu mengeluarkan klarifikasi UUD 1945 dari dunia legislasi Indonesia, dengan
alasan klarifikasi Struktur itu tidak biasa di dunia. konstitusi.

Dalam hal alasan pembatalan UUD 1945 adalah karena dalam gambar
tersebut terdapat berbagai standar yang sah yang seharusnya dicantumkan dalam
Tubuh UUD 1945, dengan memahami hipotesis dan cara penyusunan undang-
undang dan pengawasan, yang di dalamnya norma-norma hukum yang
terkandung dalam Penjelasan UUD 1945 kemudian disebut dengan Struktur.
dalam Tubuh UUD 1945. Akan tetapi, apabila alasannya “biasa” karena di
seluruh dunia tidak ada satu pun struktur yang memiliki klarifikasi, karena
sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 (Klarifikasi Umum Nomor I,
bagian kedua dan bagian ketiga):

“...Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droitconstitutionnel) suatu negara,


tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD (loi constitutionelle) saja, akan
tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana
kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari UUD tersebut.
UUD negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja.
Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara kita harus
mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-
keterangannya juga harus diketahui dalam suasana apa teksitu dibikin...”
Klarifikasi UUD 1945 memberi judul bahwa dalam menyusunnya agar
pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi dasar dan suasana dunia
lain lahirnya tulisan-tulisan pasal-pasal tersebut. Oleh karena itu, apabila kita
perlu mengetahui alasan-alasan pembatalan Ilustrasi UUD 1945, maka untuk
mengetahui alasan-alasan pembatalan tersebut, penting untuk mengetahui dasar
dan suasana yang mempesona dari pembatalan tersebut. Hal ini mungkin
diketahui jika kita mempelajari berita acara perubahan dalam Sidang MPR atau
6
bertemu dengan orang-orang MPR yang meneliti perubahan UUD 1945,
khususnya pembatalan Ilustrasi. maka berita acara Sidang MPR seolah-olah
sebagai pelengkap klarifikasi.
Berdasarkan literatur, hukum dasar negara disebut standar esensial (grund-
norm) yang dalam rantai komando standar melibatkan tingkat yang paling tinggi dan
diandaikan yang ditetapkan sebelumnya oleh masyarakat manusia, dan dapat
diselidiki terlebih dahulu. dan bersifat spekulatif dan imajiner. Lebih lanjut Maria
Farida mengatakan bahwa berdasarkan hipotesis stoefen Hans Kelsen, standar yang
sah secara terus menerus didasarkan dan bersumber dari standar di atas dan di
bawahnya. Itu akan menjadi sumber pembiayaan untuk standar yang lebih rendah.
Dalam sebuah organisasi masyarakat yang disebut negara, standar-standar penting
ini pada saat itu menjadi dasar pemikiran untuk penataan suatu struktur atau struktur.
Hans Nawiasky – murid Hans Kelsen – membuat hipotesis instrukturnya dengan
mengelompokkan standar hukum menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Staatsfundamentalnorm (norma funda mental negara);
2. Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara);
3. Formell Gesetz (undang-undang formal);
4. Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturanotonom).
Jika hipotesa berlebihan itu terkait dengan kerangka dan tata tertib
hukum dan peraturan di Indonesia, maka yang dikatakan sebagai “dasar negara”
adalah Pancasila yang dapat menjadi kesempurnaan hukum (rechts idee ) dan
sebagai “bintang pengarah” (leitstern) dari UUD 1945 yang memuat “aturan/asas
dasar negara” seperti yang diungkapkan oleh A. Hamid, SA.
Aturan/asas dasar negara adalah aturan umum yang masih dalam tata
letak, sehingga masih menjadi standar tunggal dan belum diikuti oleh standar
tambahan (sanksi). Sependapat dengan Hans Nawiasky sebagaimana dikutip
oleh A. Hamid SA dan Maria Farida, aturan esensial disebut staatsverfassung
dan jika dinyatakan dalam laporan yang berbeda, mereka disebut
staatsgrundgesetz.
Salah satu hal pokok/asas negara yang terkandung dalam UUD 1945
adalah pengaturan dalam Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya yang berbunyi:
1. Presiden dengan persetujuan DPR mengumumkan perang, berdamai,
dan memperlakukan dengan negara lain (menyetujui aslinya).
2. Presiden dalam membuat pengertian-pengertian universal lainnya yang
mempunyai akibat yang luas dan hakiki bagi kehidupan orang-orang yang
7
berkaitan dengan beban keuangan negara, dan/atau memerlukan revisi atau
penyusunan undang-undang harus ditegaskan oleh DPR.
3. Pengaturan lanjutan tentang pengaturan universal dikendalikan oleh
hukum.
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, sebelum diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya
disingkat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000), berdasarkan Surat Presiden
Republik Indonesia (Soekarno) kepada DPR-GR Nomor 2826/HK/60 tanggal 22
Agustus 1960 tentang "membuat perjanjian dengan negara lain", dibedakan antara
perjanjian dan perjanjian. Suatu pengaturan yang ditandai dengan Indonesia sebagai
negara yang ikut serta dikukuhkan dengan undang-undang. Substansi pengaturan
biasanya adalah hal-hal politik kritis yang akan mempengaruhi jalannya pengaturan
jarak jauh. Sementara itu, dalam bentuk penetapan, cukup ditegaskan dengan
Proklamasi Presiden yang kemudian disampaikan ke DPR untuk dijadikan data.
Dalam UU no. 24/2000 yang disampaikan ke DPR merupakan rangkap dari Dekrit
Presiden tentang Penegasan Tata Dunia (Pasal 11 ayat (2) UU No. 24/2000). Dalam
UU no. 24/2000 tidak dikenal antara istilah "pengertian" dan "perjanjian"
(arrangement) karena seolah-olah menggunakan istilah "perjanjian". Dalam Pasal 10
UU No.24/2000 dikatakan bahwa:
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. Kedaulatan atau hakberdaulat negara;
d. Hak asasi manusia danlingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukumbaru;
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Dalam Pasal 11 Perubahan Ketiga UUD 1945 secara khusus sebagaimana
terdapat pada ayat (3) dinyatakan bahwa: Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan DPR.
Aturan mendasar di atas, terutama klausula “menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
8
negara” mungkin sudah terkover dalam Pasal 10 huruf f UU No.24/2000. Akan
tetapi klausula “mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” tetap
harus diwaspadai dan dipertimbangkan bersama apakah sudah dijamin dalam Pasal
11 (khususnya huruf e) UU No. 24/2000 atau ada alasan lain dari produsen struktur.

Perkumpulan ketiga, Formell Gsetz, itulah yang kita kenal sekarang dengan
sebutan Undang-Undang (UU). Dalam hal ini, gagasan hukum dalam arti formal
dan fabrik tidak sesuai di sini karena apa yang dimaksud Formell Gesetz di sini
adalah seolah-olah undang-undang itu dibentuk oleh DPR dan Presiden. Dalam
hal ini standar yang sah dapat digabungkan dengan standar tambahan, khususnya
dalam bentuk sanksi untuk penegakan hukum.

Kelompok keempat, untuk lebih spesifik Arahan Aktualisasi dan Kontrol


Independen, menjalankan kontrol Undang-Undang (Formell Gesetz) yang dibuat
oleh pengajar atau otoritas berdasarkan baik spesialis atribusi (untuk arahan
independen) atau spesialis penunjukan (untuk melaksanakan peraturan).
Kewenangan atributif diberikan/dibuat oleh suatu Undang-Undang Dasar/UU
kepada lembaga/pejabat negara tertentu untuk membentuk peraturan perundang-
undangan, sedangkan spesialis delegatif ditunjuk dari pemegang spesialis
atribusi kepada lembaga/pejabat di bawahnya untuk membuat undang-undang
dan arahan.

2.2 SEJARAH KETATANEGARAAN


Ketika para founding fathers mengakui pengesahan UUD 1945 yang dimulai
oleh Prof. Soepomo dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, mereka menyadari
bahwa UUD 1945 seolah-olah bersifat sementara atau istilah Bung Karno "konstitusi
cepat". Mereka semua berkomitmen bahwa jika keadaan memungkinkan, individu
Indonesia akan mengambil keputusan untuk menciptakan struktur modern yang
berwibawa berdasarkan kekuasaan rakyat. Sejarah penyelenggaraan negara kita yang
menggunakan struktur UUD 1945 sebagai dasar pemikiran telah melahirkan
berbagai kerangka pemerintahan yang khas, bahkan bertentangan secara konseptual.

Pada masa progresif, seolah-olah di tengah-tengah kabinet utama Soekarno-


Hatta (Agustus 1945-sampai keluarnya Maklumat X pada 16 Oktober 1945), berarti
sudah dua bulan sebelum kita mengeksekusi Struktur "awal" 1945. yang kendali
penuhnya ada di tangan Presiden.

Kebiasaan buruk Wakil Proklamasi Presiden No X pada tingkat yang sangat


9
mendasar mengubah kerangka organisasi negara dari Presidensial menjadi
Parlementer, meskipun masih menggunakan UUD 1945 sebagai strukturnya. Pada
tahun 1949 rakyat Indonesia telah menggantikan Struktur 1945 dengan Struktur RIS
dan pada tahun 1950 sekali lagi digantikan dengan Struktur Sementara 1950, tetapi
tetap mengikuti gagasan sistem berdasarkan suara suci meskipun dengan kerangka
yang khas. Baru pada tahun 1955 pemilihan utama diadakan dan Majelis
Konstituante dibentuk untuk menciptakan struktur yang modern dan berwibawa.
Beberapa waktu yang lalu tugas itu selesai, Konstituante Konstituante dibubarkan
melalui Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Tidak sejak Konstituante
Kumpul mengalami kegagalan atau terhenti dalam menyusun struktur modern seperti
yang diinstruksikan dalam semua bentuk pemerintahan tentu saja sejarah
pembacaan, tetapi karena ada interaksi politik dari militer dan pendukung Sukarno.

Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Deklarasi 5 Juli 1959,


sebuah pemerintahan diktator bangkit di bawah standar pemerintahan Rakyat
Terpimpin Sukarno, diambil setelah pemerintahan diktator Suharto Tata Modern
dengan standar Demokrasi Pancasila. Pada masa pemerintahan transisi, baik di masa
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati beberapa waktu lalu Pemilu 2004, kita
melihat betapa rapuhnya Struktur UUD 1945 dalam mengendalikan organisasi
kontrol negara karena sifatnya yang multitafsir. Pemegang kendali negara dapat
melakukan berbagai pelintiran dan penyimpangan nilai dan sistem pemerintahan
yang berkeadilan. Dalam kondisi sekarang ini, dikhawatirkan kita akan mengulang
sejarah, ada sisa-sisa militer dan pendukung Soekarno yang membutuhkan
kembalinya "pemerintahan mayoritas terpimpin". Dulu mereka bertugas
menggagalkan Pertemuan Konstituen dengan menggunakan "pedang" Deklarasi 5
Juli 1959. Atau para pendukung Suharto yang membutuhkan kembalinya
“Pemerintahan Pancasila Populer” yang pada premis UUD 1945 yang “murni dan
mantap” diawasi untuk menjalankan pertunjukan untuk waktu yang lama.
Permintaan untuk kembali ke UUD 1945 jelas dicap oleh sentimentalitas atau
kekacauan diktator dan totaliter menjalankan pertunjukan yang disenangi di masa
lalu dan merasa "hilang" atau mungkin tidak ada untuk membangun kontrol politik
dalam setting UUD 1945.

2.3 PANDANGAN TERHADAP AMANDEMEN UUD 1945

10
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang
letaknya "paling tinggi" karena dianggap sebagai representasi kekuasaan rakyat bisa
jadi merupakan badan yang dianggap ahli untuk membenahi Struktur. Hal ini juga
dapat didasarkan pada pengaturan Pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“untuk mengadakan perubahan Susunan, diputuskan dan ditegaskan sekurang-
kurangnya 2/3 dari seluruh anggota Perhimpunan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang digelar. Juga pengaturan lain


yang termuat dalam Pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas MPR adalah membentuk
Susunan, dalam perluasan memilih dan menetapkan Presiden dan kebiasaan buruk
Presiden serta membuat GBHN. Di tengah perubahan sidang-sidangnya, MPR telah
empat kali merevisi UUD 1945. Di awal koreksi, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945
tentang masalah spesialis eksekutif-legislatif dan pembatasan masa jabatan pejabat
(presiden).

Bahwa dalam perubahan saat itu, MPR tidak seperti perubahan tetapi lebih-
lebih meliputi substansi kain yang terkandung di dalamnya. Pembetulan dan
penambahan tersebut menyangkut wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak
asasi manusia, ahli DPR, Pemerintah Daerah (kemerdekaan teritorial), Pertahanan
dan Keamanan Negara, Spanduk, Dialek, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
telah ada beberapa kemajuan, terutama dengan distribusi isu-isu hak asasi manusia.
Sebagai inti dari konstitusionalisme yang membutuhkan pengakuan dan jaminan hak
asasi manusia, itu diarahkan dalam konstitusi.

Dalam ekspansi, dengan terhambatnya spesialis dan masa jabatan pejabat


(presiden), telah mengurangi dominasi pemerintahan resmi yang berlebihan. Dan
sebagai penyesuaian, kekuasaan diberikan kepada DPR, sebagai upaya untuk
melibatkan dewan, terutama dalam tugasnya mengendalikan pejabat.

Perubahan ini berangkat dari keterlibatan pemerintah yang terjadi begitu jauh
dengan pejabat (presiden) yang luar biasa solid dan kekurangan DPR, sehingga
"tidak ada" kontrol sama sekali dari DPR atas pelaksanaan pemerintahan.
Keterlibatan dengan pemerintah yang didominasi eksekutif dan kebutuhan untuk
mengontrol mereka telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan memiliki hasil yang
sama seperti sekarang ini. Dengan bertambahnya tenaga ahli ke DPR, khususnya
dalam hal kapasitas administratif dan pengawasan, dapat dikatakan telah terjadi
pergerakan dalam pendulum politik menuju legislatif.

Namun, langkah itu sendiri belum terlihat jelas kerangka pemerintahan yang
11
akan diaktualisasikan. Mengingat seolah-olah ada dua model pemerintahan yang
dianut oleh pemerintahan rakyat lainnya, antara kerangka pemerintahan presidensial
atau parlementer.

Indonesia dikategorikan memiliki kerangka campuran (semi) antara keduanya


berdasarkan dispersi kontrol bukan pada premis pembagian kekuasaan. Kerangka
kerja dengan perpaduan semacam itu tampaknya masih mencuat isu, jika dikaitkan
dengan kejelasan hak-hak tertentu dan spesialis pengajaran dan hubungan negara
(checks and equalizations).

Perubahan dan penambahan tenaga ahli DPR tersebut seolah-olah


memindahkan isu-isu modern dan menyeret keluar darurat politik, karena mereka
tidak mundur dari sistem fundamental yang berjalan dengan pemahaman yang jelas.
Semuanya masih menggantung, selain itu perubahan-perubahan itu tidak dilakukan
sekaligus, membersihkan hukum (pengendalian hukum yang bebas) yang tidak
berubah yang begitu jauh tidak dapat dipisahkan dari penguasaan pejabat.

Hal pokok lagi adalah keberadaan MPR yang dalam kedudukannya sebagai
lembaga negara yang paling tinggi mengacaukan kerangka pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang, karena bagiannya sebanding dengan bagian badan yang
berwenang, tetapi bukan badan administratif. MPR, yang dimaknai sebagai
representasi dari kontrol individu yang paling penting dan dapat melakukan kontrol
atas kekuatan lain, menjadi sebuah badan super yang tidak dapat dikendalikan.
Sekalipun telah ada pemikiran dan kemauan dari terbuka untuk mereproduksi
kedudukan dan bagian MPR sehubungan dengan keinginan untuk
mengkoordinasikan keputusan-keputusan presiden untuk mengakhiri kerangka
bikameral atau membatalkannya terus-menerus tentang pembetulan UUD 1945
belum menyentuh persoalan-persoalan tentang MPR.

Selain mengubah dan memasukkan struktur UUD 1945, MPR juga memilih
untuk tidak mengubah Pembukaan, Kerangka Pemerintahan Presidensial, dan
Konsep Negara Kesatuan. Pilihan untuk tidak mengubah ketiga hal ini secara politis
tampaknya telah berakhir pada kehendak sebagian besar negara. Bagaimanapun,
pilihan itu tidak lepas dari kenyataan yang ada dan dilalui dengan pemahaman dan
pengakuan terbuka yang bijaksana. MPR pun bergegas menutup lingkaran terbuka
yang perlu mempertanyakan kembali intisari ketiganya dan keterbukaan dibatasi
untuk mengakui sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka dan
sebenarnya khas. Lingkaran terbuka telah ditahan secara politik oleh MPR.
12
Dalam kasus negara kesatuan, misalnya, masyarakat telah menantang konsep
negara kesatuan dan perlu menggantinya dengan negara pemerintahan untuk
menghindari sentralisasi dan penyalahgunaan yang selama ini terjadi dalam negara
kesatuan. Sedangkan penetapan kerangka pemerintahan presidensial, pada
kenyataannya masih ada komponen pemerintahan parlementer yang diterima dan
diaktualisasikan. Memang jika saya sah, model pemerintahan saat ini yang
dijalankan cenderung jauh ke arah parlementer.

Soal pembukaan itu, MPR tidak memberikan alasan yang substansial dan
bijaksana untuk diakui secara terbuka. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan
pada apresiasi para pendiri negara yang mendefinisikannya, ketakutan akan
disintegrasi negara jika diubah dan adanya sistem kepercayaan negara pancasila
dalam pengenalannya. Sebenarnya, ketakutan akan disintegrasi negara jika
pendahuluan diubah tidak beralasan, karena memang para pendiri yang
mendefinisikan pendahuluan juga telah mengubahnya dalam pendahuluan Struktur
RIS 1949 dan UUDS 1950. Dengan adanya “penutupan” lingkaran terbuka untuk
dapat mengakui ketiga hal tersebut secara objektif dan normal, dikhawatirkan masih
akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Ibarat bom waktu yang sewaktu-
waktu bisa meledak, tuntutan dan tuntutan terhadap pembukaan, kerangka
presidensial dan negara kesatuan seolah muncul kapan saja.

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa terjadinya koreksi


terhadap UUD 1945 tidak menunjukkan perubahan yang esensial bagi pembangunan
negara Indonesia yang demokratis di masa depan. Mengingat bagian dari struktur
sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai sistem berdasarkan hukum
yang mengatur dan memutuskan kedudukan dan hubungan presidensial, pendidikan
yang berwibawa dan hukum, serta pemerintahan yang terdesentralisasi, maka
lahirlah revisi-revisi tersebut. UUD 1945 tidak memberikan kepastian apapun
mengenai hal ini. Selain itu, munculnya pembetulan terhadap UUD 1945 namun
belum menciptakan karakter bangsa yang tidak terpakai yang dimaknai dengan
keinginan, kerinduan dan jiwa yang sedang diciptakan saat ini.

Catatan-catatan ini bertujuan untuk dapat melihat secara komprehensif dan


melihat beberapa kekurangan dari revisi UUD 1945. Dalam rangka mendorong
pemahaman, not-not di bawah ini disusun secara metodis berdasarkan tema/isu (bab
perubahan) yang dibuat, khususnya sebagai berikut;
2.3.1. Hak Asasi Manusia (HAM)
13
Pertimbangan materi HAM dalam revisi UUD 1945 bisa menjadi langkah
maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 bisa dikatakan tidak ada materi atau
pasal yang dipartisi tentang HAM. Pengertian struktur HAM dalam bab tersendiri
diharapkan dapat memberikan kepastian dan kepastian bagi pelaksanaan HAM di
Indonesia.
Pengertian HAM ini dikemukakan dalam Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab XA
Pasal 28 Koreksi Momen UUD 1945 yang definisinya terdiri dari 10 pasal (A – J).
Beberapa kekurangan yang terkandung dalam definisi HAM ini adalah:
a. Rincian hak asasi manusia ini, jika dijelaskan secara agregat, sangat tidak meluas
pada semua hak asasi manusia secara rinci, sehingga memberikan kesan bahwa Insan
MPR tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang substansi hak asasi
manusia yang harus diarahkan di dalamnya. struktur. Apalagi biasanya terlihat dalam
ilustrasi tentang hak-hak yang diberikan kepada warga negara dalam pasal 28 D (3)
“Setiap warga negara berhak mendapat titik impas dengan bukaan-bukaan dalam
pemerintahan” yang seperti yang diamanatkan dalam satu pasal. Sebenarnya masih
banyak lagi hak-hak yang pada dasarnya diberikan kepada warga negara karena
Struktur itu bisa menjadi hukum dasar yang substansinya memuat antara lain
hubungan antara negara dan warga negara. Jika dilihat dari tujuan negara
sebagaimana diarahkan dalam Kata Pengantar Struktur, ada hak-hak yang secara
khusus dituntut dan diizinkan oleh negara sebagaimana halnya terhadap warga
negara. Oleh karena itu, pengaturan tentang hak-hak warga negara harus diarahkan
dan dalam menjelaskan pengaturan tentang hak asasi manusia adalah mendasar untuk
mengakui antara hak yang diperbolehkan untuk setiap orang dan hak yang
diperbolehkan untuk warga negara.
b. Definisi pasal-pasal tentang hak asasi manusia juga kurang tepat dan tidak didasarkan
pada dialog hak asasi manusia dalam hal hak politik, hak menghormati, hak ekonomi,
hak sosial budaya. Hal ini dapat dilihat, misalnya, benar untuk bekerja dipisahkan
dari yang benar untuk memilih sebuah karya, serta yang benar untuk instruksi
dipisahkan dari yang tepat untuk memilih instruksi dan instruksi. Pada kenyataannya,
definisi tersebut digabungkan atau dicampur antara satu alamat dengan alamat
lainnya. Memang dalam beberapa masalah perincian dikatakan dua kali, untuk lebih
spesifik. Sebagai gambaran, persoalan siksaan dalam Pasal 28 G (2) dan 28 I (1),
serta hak beragama (Pasal 28E ayat 1 dan Pasal 28I ayat 1) dan hak hidup (Pasal 28A
dan Pasal 28I bagian (1). Rincian hak asasi manusia ini apalagi tidak sesuai dengan
Common Statement of Human Rights atau Universal Contract on Gracious and
14
Political Rights (ICCPR), masih kabur, menimbulkan ketidakpastian dan
masalah/kontroversi modern, hal ini dapat dilihat dari definisi Pasal 28D (2) yang
berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja” pengertian tersebut memiliki pemikiran
untuk mencoba menghilangkan/menyembunyikan tanggung jawab negara. Intisarinya
berbeda dari persamaan yang membaca "setiap orang berhak untuk bekerja ...",
sebagaimana tercantum dalam pasal 23 ayat 1 UDHR. Demikian juga dalam
perincian pasal-pasal lainnya seperti petunjuk layak mendapatkan (pasal 28 C ayat 1)
benar mendapatkan data (pasal 28 F). Seharusnya komitmen negara untuk
mengamankan apa yang telah diakui sebagai hak asasi manusia, bukan
menyelundupkannya.
c. Pasal 28I (3) yang berbunyi “Sifat dan hak-hak sosial masyarakat konvensional
dianggap sejalan dengan kemajuan zaman dan peradaban”. Definisi ini menanyakan
alamat apa yang dimaksud dengan “terhormat dalam pengertian dengan kemajuan
zaman dan peradaban”? Penggunaan kata 'tradisional' menimbulkan batasan
pengertian, yaitu karena berkaitan dengan kepribadian sosial dan tidak diartikan
secara luas untuk memasukkan hak-hak finansial, sosial dan politik.
d. Pengertian Pasal 28 I (1) memuat hak untuk tidak dituntut atas dasar asas hukum
yang berlaku surut (non retroactive asas) yang mengkaji secara utuh “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk fleksibelitas berpikir. dan hati, yang benar
untuk beragama, yang benar untuk tidak tertindas.” , hak untuk diakui sebagai pribadi
beberapa waktu belakangan ini hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun”.
Ada penegasan untuk tidak dituntut dengan premis hukum yang berlaku surut
karena belum ada pengaturan sebelumnya atau yang dikenal dengan pedoman non-
retroaktif yang secara kasar menerima Tradisi Pemurah dan Hak Politik tanpa
mengetahui standar fundamentalnya. Pedoman ini sebenarnya merupakan aturan
hukum pidana tingkat lanjut yang oleh kerangka hukum universal ditempatkan
sebagai hak tambahan ketika mengelola dengan aturan kesetaraan dan adanya
pelanggaran hak asasi manusia yang serius, sebagaimana disinggung dalam Tradisi
Jenewa 1949.
Perincian tersebut memiliki standar non-retroaktif dan tidak membuka celah
untuk penggunaan standar hukum di seluruh dunia sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 11(2) UDHR dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Tradisi tentang Hak Hormat dan
Politik ). Ini berarti bahwa definisi tersebut tidak mengasimilasi semua keinginan
15
dalam UDHR dan ICCPR yang mengakui spesialis untuk melakukan pelanggaran
hak asasi manusia di masa lalu, yang dianggap kejahatan di bawah hukum nasional
dan universal. Terlepas dari kenyataan bahwa ada klausul lain dalam pasal 28 J (2)
yang menyatakan bahwa wajib untuk memenuhi batasan-batasan yang ditentukan
oleh undang-undang, hal ini dapat berdampak nyata mengingat pengaturan pasal ini
dalam struktur yang merupakan undang-undang yang paling penting yang tidak dapat
dikalahkan oleh hukum dan kontrol di bawahnya. Oleh karena itu, kehadiran pasal
tersebut bukan untuk mengamankan para pelanggar HAM tetapi untuk menutupi para
pelaku pelanggaran HAM. Perincian artikel ini juga dianggap sangat lemah, dan akan
menjadi situasi jika itu diimplementasikan.
Artinya, dengan memperhitungkan hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable) ke dalam Struktur, dalam hal
berkaitan dengan pengaturan tentang hak-hak fakir miskin dan anak-anak terlantar
sebagaimana juga termasuk dalam Struktur, itu' akan mengakibatkan masalah
pelanggaran hak asasi manusia. Sementara itu, di sisi lain, cadangan pemerintah yang
terbatas yang terus menerus menjadi alasan untuk mengasuh anak-anak terlantar dan
terlantar diakui oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk benar-benar
mempertimbangkan apakah aturan hak-hak yang tidak dapat dikurangi akan
dipertahankan dalam Konstitusi atau dihilangkan, terutama ketika
mempertimbangkan bahwa PBB sendiri menempatkan hak-hak yang tidak dapat
dikurangi dalam kontrak, yang memiliki hak yang sama. statusnya sebagai hukum.
Karena kita tampak bergandengan tangan, sesuatu yang tidak diperhatikan oleh insan
MPR.

2.3.2. System Pemerintahan

Yang akan dipelajari dalam kerangka pemerintahan ini adalah rincian


perubahan yang berkaitan dengan pemberian wewenang/kekuasaan kepada DPR dan
pengurangan jabatan presiden serta hambatan masa jabatannya.

1. Terhadap pemberian kewenangan/kekuasaan kepada DPR dapat terlihat dalam


rumusan-rumusan perubahan pertama UUD 1945. Yakni dalam soal presiden
mengangkat duta/konsul dan penerimaan/penempatan duta negara lain (pasal 13),
presiden memberi amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), presiden membentuk
departemen (pasal 17 ayat 4), harus dilakukan dengan memperhatikan
pertimbangan DPR. Sedangkan dalam perubahan yang kedua kekuasaan DPR
ini ditambah dengan memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak
16
menyatakan pendapat untuk menjalankan fungsinya (pasal 20A ayat 2).
Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan adanya upaya pemberdayaan dan
meningkatkan peran DPR, yang secara tidak langsung pula menandakan
pembatasan kewenangan presiden yang besar, termasuk dalam hal ini ketika
presiden memberikan grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan MA
(pasal 14 ayat 1) dan dalam memberikan gelar serta tanda jasa yang harus diatur
dengan undang- undang (pasal 15). Perubahan-perubahan itu menjadikan
lembaga DPR “setara” dengan presiden sebagai balance sekaligus kontrol
terhadap peranan presiden.

Bagaimanapun, akibat yang terjadi kemudian adalah keterlambatan dalam


bentuk-bentuk pemulihan yang harus dilakukan oleh presiden karena semuanya
harus melalui komponen atau strategi DPR. Sebagai gambaran, hal ini terlihat dari
keterlambatan keluarnya Br. Budiman Sujatmiko karena harus mempertahankan
metode dari DPR dan disintegrasi Dinas Sosial dan Data yang menyebabkan
pertikaian antara Presiden dan DPR. Ini menjadi situasi, di satu sisi membiarkan
kontrol membuat DPR "kokoh" dan di sisi lain membuat presiden "lemah" dan tidak
berdaya. Perkembangan semacam ini tampaknya juga tidak berguna untuk
menjalankan sistem berbasis suara.

Perubahan yang berjiwa "parlemen" itu menempatkan DPR pada posisi yang
tidak seimbang karena tidak beranjak dari kebutuhan-kebutuhan paling mendesak
yang dibutuhkan saat ini. Sama halnya dengan pembetulan Pasal 7 yang membatasi
masa jabatan presiden dan kebiasaan buruk presiden menjadi dua periode. Artinya,
meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang
diungkapkan di atas, dapat diterima bahwa selama masa peralihan tidak akan ada
lagi manipulasi kontrol oleh presiden.

2. Perubahan lain yang terjadi adalah dalam hal pencatatan dan pengesahan undang-
undang. Berdasarkan perubahan utama Pasal 5 UUD 1945, Presiden berhak
menyerahkan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam
perubahan Pasal 20 (1) DPR memiliki kewenangan untuk membuat undang-
undang. Kontrol ini tidak seperti yang dilembagakan oleh DPR tetapi lebih dari
itu oleh dan oleh. Insan DPR berhak mengeluarkan rekomendasi rancangan
undang-undang (pasal 21). Perubahan ini menempatkan DPR pada posisi sebagai
pemegang kendali otoritatif yang sudah dipegang oleh presiden.
17
Bagaimanapun, ada pengaturan lain yang mengatur bahwa dalam wacana RUU
itu dibahas oleh DPR bersama dengan presiden untuk disetujui bersama. (pasal 20
ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan “Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disepakati bersama tidak disetujui oleh Presiden dalam waktu 30 hari
setelah dakwaan itu disahkan, dakwaan tersebut bersifat substansial sebagai undang-
undang dan harus dinyatakan. ". Kedua pengaturan ini membingungkan dan
mengundang diskusi karena menyatukan kekuasaan presiden dan DPR untuk
mengesahkan undang-undang, di satu sisi. Di sisi lain, pengaturan ini menimbulkan
mishandle control terhadap ahli DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang
serta menghambat Presiden untuk mengesahkan RUU yang diajukan DPR. Sejak
dakwaan yang diajukan DPR kepada Presiden, dalam kesimpulan Presiden tidak
berhak menyetujui atau menolak dakwaan yang diajukan DPR.

Dalam perkembangannya, pengaturan ini juga membuat jera lagi, apakah


pengaturan ini berlaku surut terhadap suatu dakwaan yang belum disetujui oleh
Presiden sebelumnya hingga saat revisi terhadap Struktur tersebut. Misalnya, dalam
hal Rancangan Undang-Undang Keadaan Membahayakan (RUU PKB) dan Tuntutan
Terhadap Serikat Pekerja yang nasibnya masih kabur. Tampaknya ide dari pemegang
kendali untuk membuat undang-undang ini belum diperiksa dengan baik, karena
revisi Pasal 20 (4) menyatakan bahwa Presiden menyetujui rancangan undang-
undang yang telah disepakati dengan DPR dan Presiden untuk diakhiri. sebuah
undang-undang. Dalam pengendalian pembentukan undang-undang, terdapat 3 hal
pokok yang terkandung, yaitu pengesahan DPR dan Presiden, artikulasi yang
menegaskan tuntutan untuk menjadi undang-undang, dan ahli menyambut undang-
undang. Dalam hal ini, penjelasan mengenai pengesahan dakwaan oleh Presiden
menimbulkan pertanyaan, dan merupakan bagian dari kontrol terhadap metode
penerapan kontrol untuk membuat undang-undang.

Seharusnya, kalau mau mantap, strateginya di bawah pakar DPR sesuai pasal
20 (1) Revisi Struktur UUD 1945. Dengan kata lain, DPRlah yang harus
mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang berdasarkan pedoman
kekuasaan rakyat.

3. Perubahan-perubahan dalam tatanan kerangka pemerintahan tampaknya


cenderung memperkuat, terutama pekerjaan kontrolnya kepada DPR dengan
mengurangi peran dan spesialis presiden. Perubahan itu termasuk dalam
18
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 yang perlu mendapat persetujuan DPR
jika Presiden menetapkan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kapolri,
yang sudah menjadi hak istimewa presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 10
UUD 1945. tidak berdaya untuk perselisihan antara Presiden dan DPR.

4. Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa "Presiden boleh jadi warga negara
Indonesia yang asli" (pasal 6) tidak jelas apa yang dimaksud dengan derajat
"pertama". Rumusan ini dapat menimbulkan penjabaran yang tidak adil terhadap
hak warga negara untuk terlibat dalam jabatan dalam pemerintahan (presiden).

5. Sehubungan dengan perluasan pasal 9 yang menyatakan “dalam hal MPR/DPR


tidak dapat menyelenggarakan sidang, Presiden dan kebiasaan buruk Presiden
baru-baru ini mengambil sumpah/janji kewenangan MPR di dekat pemerintahan
Pengadilan Tinggi". Definisi ini tampaknya telah diterima dari Proklamasi MPR
No.VII/MPR/1973 yang digunakan sebagai premis yuridis untuk pengunduran
diri Suharto sebagai presiden. Definisi seperti itu dapat menimbulkan terjemahan
yang berbeda, terutama untuk komponen intrik politik, baik yang dilakukan
untuk antarmuka presiden sendiri atau kelompok politik di lingkungan MPR.
Karena masih belum jelas apa yang dimaksud dengan tidak mampu
menyelenggarakan sidang, dalam kondisi apa atau dalam kondisi apa MPR/DPR
dikatakan tidak mampu menyelenggarakan sidang.

2.3.2 Pemerintahan Daerah

a. Secara umum, perincian yang terkandung dalam Pasal 18 tidak


mensistematisasikan apa yang seharusnya benar-benar dikendalikan dalam
Struktur sehubungan dengan kemerdekaan teritorial. Hampir semua objek yang
merupakan suatu luasan hukum diarahkan pada pasal ini. Seperti soal-soal,
pemekaran daerah (ps 18 pasal 1), keputusan kepala daerah dan DPRD (ps 18
pasal 3&4), hingga alamat pengakuan masyarakat hukum baku (keahlian. 18B
pasal 2). Memang jika hendak diarahkan dalam Konstitusi, alamatnya pada saat
itu adalah kecenderungan apa karena harus diarahkan (atribusi) sekali lagi dalam
undang-undang, dan apa yang hendak dikonseptualisasikan dalam struktur ini
berkenaan dengan pemerintahan teritorial. (kemerdekaan wilayah). Hal ini dapat
dikaitkan dengan perbedaan rancangan peraturan perundang-undangan
berkenaan dengan pemerintahan daerah/kemerdekaan daerah, khususnya dalam

19
Momen Revisi UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Usulan
Pendekatan Dalam Penggunaan Kemerdekaan Teritorial. dan UU no. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Teritorial.

b. Penggunaan kata “terpencil” dalam pengertian “Negara kesatuan Republik Indonesia


yang dipisahkan atas wilayah-wilayah dan wilayah-wilayah yang dipisahkan menjadi
daerah dan kota…” Dapat menimbulkan inkonsistensi. Karena gagasan "berbagi"
tergantung pada terjemahan pemerintah pusat yang tidak didasarkan pada substansi
dan tujuan masing-masing daerah. Dan kata yang terdiri harus digunakan yang
muncul aturan otonomi dan populisme dalam mewujudkan kemerdekaan teritorial.
Dalam kasus lain, meskipun aturan pemerintahan teritorial dengan kemerdekaan
teritorial adalah inti dalam pengaturan negara kesatuan, di sisi lain kenyataan bahwa
ada permintaan untuk daerah-daerah yang bebas (otonom) seperti Aceh dan Papua. ,
dan keinginan untuk mengubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme tidak
dapat disangkal. adil. Sehingga situasi konsep pemerintahan teritorial dalam struktur
masih menjadi kendala, karena mungkin bukan merupakan perincian terakhir
berdasarkan kemauan politik seluruh rakyat Indonesia.

c. Konsep kemerdekaan wilayah dalam perincian pasal 18 (5) yang membaca


“Pemerintah daerah mengusahakan kemerdekaan yang seluas-luasnya, …” memiliki
makna yang beragam dari apa yang telah ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1999,
khususnya kemerdekaan yang luas, sejati dan cakap. Pengaruh kontras ini dalam
ekspansi menyebabkan inkonsistensi hukum, apalagi akan menyebabkan penjelasan
yang berbeda dalam penggunaannya.

2.3.4. Wilayah Negara

Masalah daerah negara diatur dalam Bab IX A pasal 25 E yang menyatakan


bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berupa negara kesatuan yang
bercirikan kepulauan dengan wilayah dan hak-hak yang diatur dengan undang-
undang”. Ada ketidakpastian di sini apa yang dimaksud dengan "nusantara"? lalu
apa yang menjadi patokan? Bagaimana jaminannya, meskipun akan diarahkan
sekali lagi melalui hukum, tetapi harus tetap dari jaminan wilayah ini, dengan
mengacu pada hukum dunia, untuk menghindari terulangnya "perpanjangan"
dalam kasus Timor Timur.

2.3.5. Warga Negara dan Penduduk


20
Pasal 27 ayat (3) pasal tentang warga negara menyatakan bahwa setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya melindungi negara.
Urusan bela negara seharusnya sudah cukup menjadi hak dan bukan kewajiban
warga negara. Dengan komitmen ini, itu akan membuatnya lebih mudah bagi
siapa saja yang memiliki ahli (dalam hal ini alat negara yang disebut TNI) untuk
melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga. Pengerahan tenaga ini
sangat tidak berdaya untuk kemungkinan bentrokan tingkat yang dapat
menyebabkan kerusuhan kasar dalam skala luas.

2.3.6. Pertahanan dan Keamanan

Pasal 35 Ayat 1 Perubahan UUD 1945 saat itu menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak dan berkewajiban memelihara kepentingan dalam
penyelenggaraan pertahanan negara”. Dalam upaya pertahanan negara, ini
seharusnya tidak menjadi komitmen tetapi hak dan kehormatan bagi warga
negara. Dalam hal ini menjadi kewajiban bagi warga negara, terlihat adanya
pengekangan negara terhadap warga negaranya untuk berkepentingan dalam
upaya pertahanan negara. Pengaturan Pasal 35 Pembetulan UUD 1945
(berkenaan dengan Pertahanan dan Keamanan Negara) menyempurnakan
pengaturan Pasal 30 UUD 1945 (sehubungan dengan Pertahanan Negara).

Dalam pengaturan Pasal 35 Perubahan UUD 1945 diisolasi antara kekuatan


pertahanan dan keamanan negara yang semula dalam satu kerangka (Kerangka
HANKAMARATA), dimana kerangka Pertahanan dipegang oleh TNI dan
kerangka keamanan. kerangka kerja dipegang oleh POLRI. Dari pembagian
kedua kerangka tersebut, yang harus diwaspadai kemudian adalah siapa yang
berwenang menengahi jika suatu saat terjadi bentrokan antara kekuatan
pertahanan dan keamanan. Dengan pengaturan Pasal 35 itu, juga mengandung
arti bahwa pengaturan pengawasan di bawah Struktur yang berkaitan dengan
TNI dan POLRI, (misalnya Kepolisian) juga harus diperhatikan agar arahnya
tidak saling berbenturan. Dari UUD 1945 masih terdapat pengaturan pasal-pasal
yang menimbulkan efek jera. Sebagai gambaran dari pengaturan Pasal 7 UUD
1945 yang menghendaki bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas
Angkatan Bersenjata, Angkatan Laut, dan Bahas Kendala. Oleh karena itu ahli
untuk menyebutkan Panglima Angkatan Bersenjata, Angkatan Laut dan
Penggerak Udara ada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan Panglima TNI

21
impas dengan atau bahkan melebihi jabatan dinas, apabila menilik Ketetapan
MPR Nomor VII/MPR/2000 bahwa untuk kepastian Panglima TNI/Kapolri
harus ditegaskan oleh DPR. Pendekatan ini sangat bertolak bela kang dengan
permintaan permintaan penolakan kerja ganda TNI dan situasi kontrol militer di
bawah sipil. Tampaknya masih ada upaya untuk mengkonsolidasikan militer dan
menarik militer kembali ke arena politik. Jadi hanya ada dua negara di dunia yang
Panglima TNInya tidak berada di bawah Menhankam, yaitu Indonesia dan
Myanmar.

2.4 PANDANGAN PENOLAKAN TERHADAP UUD 1945

Keuntungan dan kerugian koreksi UUD 1945 dilihat dari segi konstitusionalisme
adalah karena kaburnya konsep negara (staatsidee) yang kita anut, apakah itu paham
negara integralistik atau sistem berbasis suara yang dilindungi. Secara umum,
pengertian revisi UUD 1945 memiliki beberapa kekurangan pokok, yaitu:

a. Untuk mulai dengan, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep
atau rencana sakral yang jelas mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai melalui
pengaturan pembetulan.

b. Saat ini menyangkut metode yuridis, lebih spesifiknya kemampuan legislasi yang
tidak berdaya dalam mendefinisikan dan menyusun pasal, yang dapat dilihat dari segi
sistematika samar-samar dan dialek legitimasi yang digunakan. Akibatnya, banyak
artikel yang muncul dari koreksi tersebut menutupi, meniadakan, dan mengizinkan
berbagai penjelasan. Bagaimanapun juga, adanya kekurangan-kekurangan tersebut
tidaklah kejam bahwa kita harus kembali ke UUD 1945. Ada beberapa alasan
penolakan terhadap revisi UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut:

c. Perubahan UUD 1945 dianggap tidak transformatif. Struktur ini masih setengah
jalan, lebih berpusat pada sudut pandang defensif negara dan orang dalam hak asasi
manusia. Sudut pandang terlarang ini bisa menjadi perbaikan koordinat untuk,
misalnya, tidak munculnya kendala istilah presiden di bawah Presiden Soeharto.
Selain itu, peningkatan kemerdekaan teritorial telah membatasi kontrol pusat. Selain
bersifat larangan, pembetulan UUD 1945 juga memiliki sudut integrator yang
tercermin dalam susunan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian
kerinduan teritorial. Revisi UUD 1945 juga bersifat defensif dengan memasukkan 10
pasal (28A sampai 28J) tentang hak asasi manusia, jaminan dialek teritorial, dan suku

22
bangsa.

d. Rapat Permusyawaratan Rakyat itu dibuat, bukan dengan komisi gratis.

e. Revisi UUD 1945 ini juga tidak memiliki substansi draf yang utuh, dan klarifikasi
pasal-pasal yang dikoreksi dapat diabaikan. Dalam ekspansi, kerjasama terbuka
diperdebatkan. Terbuka tidak diberi kesempatan untuk mensurvei perubahan yang
dibuat.

f. Koreksi yang dilakukan masih mencopot tiga hal yang bersifat imperatif dari segi
kedaulatan:

1. kegagalan pemilih untuk menarik kembali kedaulatannya

2. Tidak ada spesifikasi kehebatan spesialis sipil atas militer

3. tidak hadirnya kemerdekaan luar biasa bagi Aceh dan Papua serta Yogyakarta,
sehingga kontrol di bawah struktur dapat mengurangi makna kemerdekaan yang luar
biasa.

g. Revisi tersebut tidak menjadi penghalang dalam kontrol administratif atas pemilih,
militer atas warga sipil, dan pemerintah pusat atas daerah-daerah luar biasa merdeka.

h. Malangnya kapasitas individu sebagai pemegang kekuasaan. “Salah satu gambaran


perombakan itu ada dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi bahwa kekuasaan
ada di tangan perseorangan dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. MPR dan
sekarang bukan direktur negara yang paling terkemuka, ini akan menimbulkan
perdebatan. . saya. Kebutuhan kapasitas individu sebagai pemegang kekuasaan untuk
membenahi partai bergantung pada kekuasaan, khususnya DPR. Pemilih tidak bisa
menegur agen rakyat yang tidak menjalankan tujuannya. Di sisi lain, desain pengusiran
pejabat resmi dapat dilakukan oleh dewan.

23
BAB III KESIMPULAN

Melihat pembicaraan yang telah digambarkan dalam bab sebelumnya. Sehingga


para pencipta dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Isu yang paling banyak diperbincangkan adalah definisi perubahan UUD 1945
yang memiliki penjelasan yang berbeda-beda, lebih spesifik lagi ketidakberdayaan
kapasitas pembuat undang-undang dalam mendefinisikan dan menyusun pasal-pasal,
yang terlihat dari sistematika yang kabur dan dialek yang halal digunakan.
Akibatnya, banyak artikel yang muncul dari revisi mencakup, meniadakan, dan
mengizinkan banyak terjemahan.
2. Kontras anggapan yang terjadi apalagi berkaitan dengan persoalan konseptual.
MPR tidak memiliki konsep atau rencana sakral yang jelas mengenai pos dan tujuan
yang akan dicapai melalui pengaturan perubahan.
3. Empat revisi yang telah dilakukan masih mencopot tiga hal yang bersifat imperatif
dari segi goyangannya. Untuk mulai dengan, kegagalan pemilih untuk menarik
kembali kekuasaan mereka. Saat ini, tidak ada spesifikasi kehebatan spesialis sipil
atas militer. Ketiga, tidak ada kemerdekaan luar biasa bagi Aceh dan Papua serta
Yogyakarta, sehingga kontrol di bawah struktur dapat mengurangi makna
kemerdekaan luar biasa.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://www.pikiran-rakyat.com/ (diakses pada tanggal 4 Juni 2022)

http://www.mpr.go.id/ (diakses pada tanggal 5 Juni 2022)

http://makalahdanskripsi.blogspot.com (diakses pada tanggal 2 Juni 2022)

25

Anda mungkin juga menyukai