PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DAFTAR ISI............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 5
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1. Sejarah sakral Republik Indonesia sejak dimulainya penataan Struktur UUD 1945
sampai sekarang.
2. Isu yang muncul diperdebatkan sehingga ada pra- definisi perubahan UUD 1945.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Para ahli dan individu MPR ini mengabaikan bahwa semua lulusan hukum
5
memikirkan hukum yang dilindungi. Sementara itu, menurut sang pencipta,
hukum suci tidak bertenaga, sama sekali tidak seperti hukum keuangan, yang
terus bergerak di sisi kemajuan ekonomi dunia. Atau bidang ilmu lain seperti
ilmu kefarmasian dan pengobatan (farmasi) yang terus berkreasi dari waktu ke
waktu dan dari waktu ke waktu tidak aktif, seperti hukum yang dilindungi, yang
sejak zaman sekarang mayoritas mengatur organisasi negara yang sah, pada
dasarnya tidak membuat lagi. Tampaknya MPR Periode Perubahan sangat
dipengaruhi oleh anggapan para ahli hukum yang dilindungi, sehingga mereka
perlu mengeluarkan klarifikasi UUD 1945 dari dunia legislasi Indonesia, dengan
alasan klarifikasi Struktur itu tidak biasa di dunia. konstitusi.
Dalam hal alasan pembatalan UUD 1945 adalah karena dalam gambar
tersebut terdapat berbagai standar yang sah yang seharusnya dicantumkan dalam
Tubuh UUD 1945, dengan memahami hipotesis dan cara penyusunan undang-
undang dan pengawasan, yang di dalamnya norma-norma hukum yang
terkandung dalam Penjelasan UUD 1945 kemudian disebut dengan Struktur.
dalam Tubuh UUD 1945. Akan tetapi, apabila alasannya “biasa” karena di
seluruh dunia tidak ada satu pun struktur yang memiliki klarifikasi, karena
sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 (Klarifikasi Umum Nomor I,
bagian kedua dan bagian ketiga):
Perkumpulan ketiga, Formell Gsetz, itulah yang kita kenal sekarang dengan
sebutan Undang-Undang (UU). Dalam hal ini, gagasan hukum dalam arti formal
dan fabrik tidak sesuai di sini karena apa yang dimaksud Formell Gesetz di sini
adalah seolah-olah undang-undang itu dibentuk oleh DPR dan Presiden. Dalam
hal ini standar yang sah dapat digabungkan dengan standar tambahan, khususnya
dalam bentuk sanksi untuk penegakan hukum.
10
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang
letaknya "paling tinggi" karena dianggap sebagai representasi kekuasaan rakyat bisa
jadi merupakan badan yang dianggap ahli untuk membenahi Struktur. Hal ini juga
dapat didasarkan pada pengaturan Pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“untuk mengadakan perubahan Susunan, diputuskan dan ditegaskan sekurang-
kurangnya 2/3 dari seluruh anggota Perhimpunan.
Bahwa dalam perubahan saat itu, MPR tidak seperti perubahan tetapi lebih-
lebih meliputi substansi kain yang terkandung di dalamnya. Pembetulan dan
penambahan tersebut menyangkut wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak
asasi manusia, ahli DPR, Pemerintah Daerah (kemerdekaan teritorial), Pertahanan
dan Keamanan Negara, Spanduk, Dialek, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
telah ada beberapa kemajuan, terutama dengan distribusi isu-isu hak asasi manusia.
Sebagai inti dari konstitusionalisme yang membutuhkan pengakuan dan jaminan hak
asasi manusia, itu diarahkan dalam konstitusi.
Perubahan ini berangkat dari keterlibatan pemerintah yang terjadi begitu jauh
dengan pejabat (presiden) yang luar biasa solid dan kekurangan DPR, sehingga
"tidak ada" kontrol sama sekali dari DPR atas pelaksanaan pemerintahan.
Keterlibatan dengan pemerintah yang didominasi eksekutif dan kebutuhan untuk
mengontrol mereka telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan memiliki hasil yang
sama seperti sekarang ini. Dengan bertambahnya tenaga ahli ke DPR, khususnya
dalam hal kapasitas administratif dan pengawasan, dapat dikatakan telah terjadi
pergerakan dalam pendulum politik menuju legislatif.
Namun, langkah itu sendiri belum terlihat jelas kerangka pemerintahan yang
11
akan diaktualisasikan. Mengingat seolah-olah ada dua model pemerintahan yang
dianut oleh pemerintahan rakyat lainnya, antara kerangka pemerintahan presidensial
atau parlementer.
Hal pokok lagi adalah keberadaan MPR yang dalam kedudukannya sebagai
lembaga negara yang paling tinggi mengacaukan kerangka pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang, karena bagiannya sebanding dengan bagian badan yang
berwenang, tetapi bukan badan administratif. MPR, yang dimaknai sebagai
representasi dari kontrol individu yang paling penting dan dapat melakukan kontrol
atas kekuatan lain, menjadi sebuah badan super yang tidak dapat dikendalikan.
Sekalipun telah ada pemikiran dan kemauan dari terbuka untuk mereproduksi
kedudukan dan bagian MPR sehubungan dengan keinginan untuk
mengkoordinasikan keputusan-keputusan presiden untuk mengakhiri kerangka
bikameral atau membatalkannya terus-menerus tentang pembetulan UUD 1945
belum menyentuh persoalan-persoalan tentang MPR.
Selain mengubah dan memasukkan struktur UUD 1945, MPR juga memilih
untuk tidak mengubah Pembukaan, Kerangka Pemerintahan Presidensial, dan
Konsep Negara Kesatuan. Pilihan untuk tidak mengubah ketiga hal ini secara politis
tampaknya telah berakhir pada kehendak sebagian besar negara. Bagaimanapun,
pilihan itu tidak lepas dari kenyataan yang ada dan dilalui dengan pemahaman dan
pengakuan terbuka yang bijaksana. MPR pun bergegas menutup lingkaran terbuka
yang perlu mempertanyakan kembali intisari ketiganya dan keterbukaan dibatasi
untuk mengakui sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka dan
sebenarnya khas. Lingkaran terbuka telah ditahan secara politik oleh MPR.
12
Dalam kasus negara kesatuan, misalnya, masyarakat telah menantang konsep
negara kesatuan dan perlu menggantinya dengan negara pemerintahan untuk
menghindari sentralisasi dan penyalahgunaan yang selama ini terjadi dalam negara
kesatuan. Sedangkan penetapan kerangka pemerintahan presidensial, pada
kenyataannya masih ada komponen pemerintahan parlementer yang diterima dan
diaktualisasikan. Memang jika saya sah, model pemerintahan saat ini yang
dijalankan cenderung jauh ke arah parlementer.
Soal pembukaan itu, MPR tidak memberikan alasan yang substansial dan
bijaksana untuk diakui secara terbuka. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan
pada apresiasi para pendiri negara yang mendefinisikannya, ketakutan akan
disintegrasi negara jika diubah dan adanya sistem kepercayaan negara pancasila
dalam pengenalannya. Sebenarnya, ketakutan akan disintegrasi negara jika
pendahuluan diubah tidak beralasan, karena memang para pendiri yang
mendefinisikan pendahuluan juga telah mengubahnya dalam pendahuluan Struktur
RIS 1949 dan UUDS 1950. Dengan adanya “penutupan” lingkaran terbuka untuk
dapat mengakui ketiga hal tersebut secara objektif dan normal, dikhawatirkan masih
akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Ibarat bom waktu yang sewaktu-
waktu bisa meledak, tuntutan dan tuntutan terhadap pembukaan, kerangka
presidensial dan negara kesatuan seolah muncul kapan saja.
Perubahan yang berjiwa "parlemen" itu menempatkan DPR pada posisi yang
tidak seimbang karena tidak beranjak dari kebutuhan-kebutuhan paling mendesak
yang dibutuhkan saat ini. Sama halnya dengan pembetulan Pasal 7 yang membatasi
masa jabatan presiden dan kebiasaan buruk presiden menjadi dua periode. Artinya,
meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang
diungkapkan di atas, dapat diterima bahwa selama masa peralihan tidak akan ada
lagi manipulasi kontrol oleh presiden.
2. Perubahan lain yang terjadi adalah dalam hal pencatatan dan pengesahan undang-
undang. Berdasarkan perubahan utama Pasal 5 UUD 1945, Presiden berhak
menyerahkan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam
perubahan Pasal 20 (1) DPR memiliki kewenangan untuk membuat undang-
undang. Kontrol ini tidak seperti yang dilembagakan oleh DPR tetapi lebih dari
itu oleh dan oleh. Insan DPR berhak mengeluarkan rekomendasi rancangan
undang-undang (pasal 21). Perubahan ini menempatkan DPR pada posisi sebagai
pemegang kendali otoritatif yang sudah dipegang oleh presiden.
17
Bagaimanapun, ada pengaturan lain yang mengatur bahwa dalam wacana RUU
itu dibahas oleh DPR bersama dengan presiden untuk disetujui bersama. (pasal 20
ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan “Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disepakati bersama tidak disetujui oleh Presiden dalam waktu 30 hari
setelah dakwaan itu disahkan, dakwaan tersebut bersifat substansial sebagai undang-
undang dan harus dinyatakan. ". Kedua pengaturan ini membingungkan dan
mengundang diskusi karena menyatukan kekuasaan presiden dan DPR untuk
mengesahkan undang-undang, di satu sisi. Di sisi lain, pengaturan ini menimbulkan
mishandle control terhadap ahli DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang
serta menghambat Presiden untuk mengesahkan RUU yang diajukan DPR. Sejak
dakwaan yang diajukan DPR kepada Presiden, dalam kesimpulan Presiden tidak
berhak menyetujui atau menolak dakwaan yang diajukan DPR.
Seharusnya, kalau mau mantap, strateginya di bawah pakar DPR sesuai pasal
20 (1) Revisi Struktur UUD 1945. Dengan kata lain, DPRlah yang harus
mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang berdasarkan pedoman
kekuasaan rakyat.
4. Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa "Presiden boleh jadi warga negara
Indonesia yang asli" (pasal 6) tidak jelas apa yang dimaksud dengan derajat
"pertama". Rumusan ini dapat menimbulkan penjabaran yang tidak adil terhadap
hak warga negara untuk terlibat dalam jabatan dalam pemerintahan (presiden).
19
Momen Revisi UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Usulan
Pendekatan Dalam Penggunaan Kemerdekaan Teritorial. dan UU no. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Teritorial.
Pasal 35 Ayat 1 Perubahan UUD 1945 saat itu menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak dan berkewajiban memelihara kepentingan dalam
penyelenggaraan pertahanan negara”. Dalam upaya pertahanan negara, ini
seharusnya tidak menjadi komitmen tetapi hak dan kehormatan bagi warga
negara. Dalam hal ini menjadi kewajiban bagi warga negara, terlihat adanya
pengekangan negara terhadap warga negaranya untuk berkepentingan dalam
upaya pertahanan negara. Pengaturan Pasal 35 Pembetulan UUD 1945
(berkenaan dengan Pertahanan dan Keamanan Negara) menyempurnakan
pengaturan Pasal 30 UUD 1945 (sehubungan dengan Pertahanan Negara).
21
impas dengan atau bahkan melebihi jabatan dinas, apabila menilik Ketetapan
MPR Nomor VII/MPR/2000 bahwa untuk kepastian Panglima TNI/Kapolri
harus ditegaskan oleh DPR. Pendekatan ini sangat bertolak bela kang dengan
permintaan permintaan penolakan kerja ganda TNI dan situasi kontrol militer di
bawah sipil. Tampaknya masih ada upaya untuk mengkonsolidasikan militer dan
menarik militer kembali ke arena politik. Jadi hanya ada dua negara di dunia yang
Panglima TNInya tidak berada di bawah Menhankam, yaitu Indonesia dan
Myanmar.
Keuntungan dan kerugian koreksi UUD 1945 dilihat dari segi konstitusionalisme
adalah karena kaburnya konsep negara (staatsidee) yang kita anut, apakah itu paham
negara integralistik atau sistem berbasis suara yang dilindungi. Secara umum,
pengertian revisi UUD 1945 memiliki beberapa kekurangan pokok, yaitu:
a. Untuk mulai dengan, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep
atau rencana sakral yang jelas mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai melalui
pengaturan pembetulan.
b. Saat ini menyangkut metode yuridis, lebih spesifiknya kemampuan legislasi yang
tidak berdaya dalam mendefinisikan dan menyusun pasal, yang dapat dilihat dari segi
sistematika samar-samar dan dialek legitimasi yang digunakan. Akibatnya, banyak
artikel yang muncul dari koreksi tersebut menutupi, meniadakan, dan mengizinkan
berbagai penjelasan. Bagaimanapun juga, adanya kekurangan-kekurangan tersebut
tidaklah kejam bahwa kita harus kembali ke UUD 1945. Ada beberapa alasan
penolakan terhadap revisi UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut:
c. Perubahan UUD 1945 dianggap tidak transformatif. Struktur ini masih setengah
jalan, lebih berpusat pada sudut pandang defensif negara dan orang dalam hak asasi
manusia. Sudut pandang terlarang ini bisa menjadi perbaikan koordinat untuk,
misalnya, tidak munculnya kendala istilah presiden di bawah Presiden Soeharto.
Selain itu, peningkatan kemerdekaan teritorial telah membatasi kontrol pusat. Selain
bersifat larangan, pembetulan UUD 1945 juga memiliki sudut integrator yang
tercermin dalam susunan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian
kerinduan teritorial. Revisi UUD 1945 juga bersifat defensif dengan memasukkan 10
pasal (28A sampai 28J) tentang hak asasi manusia, jaminan dialek teritorial, dan suku
22
bangsa.
e. Revisi UUD 1945 ini juga tidak memiliki substansi draf yang utuh, dan klarifikasi
pasal-pasal yang dikoreksi dapat diabaikan. Dalam ekspansi, kerjasama terbuka
diperdebatkan. Terbuka tidak diberi kesempatan untuk mensurvei perubahan yang
dibuat.
f. Koreksi yang dilakukan masih mencopot tiga hal yang bersifat imperatif dari segi
kedaulatan:
3. tidak hadirnya kemerdekaan luar biasa bagi Aceh dan Papua serta Yogyakarta,
sehingga kontrol di bawah struktur dapat mengurangi makna kemerdekaan yang luar
biasa.
g. Revisi tersebut tidak menjadi penghalang dalam kontrol administratif atas pemilih,
militer atas warga sipil, dan pemerintah pusat atas daerah-daerah luar biasa merdeka.
23
BAB III KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25