Anda di halaman 1dari 16

SISTEM HUKUM DAN PENERAPANNYA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Untuk memenuhi tugas Akhir Mata Kuliah UUD NRI Tahun 1945 dan Sistem
Ketatanegaraan RI yang Dibina Oleh Prof. Dr. Sukowiyono, S.H., M.H

Oleh :
Moh Nurkholis
200712865512

Universitas Negeri Malang


Fakultas Ilmu Sosial
S2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Juni 2021
DAFTAR ISI

Halaman Sampul

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................03


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 04

BAB II PEMBAHASAN

A. Sebab-Sebab Terjadinya Amandemen Konstitusi di Indonesia...........05


B. Penerapan Sistem Hukum Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945............................................................... 07

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................14
Daftar Rujukan.................................................................................................16

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pondasi utama dalam menata sistem kehidupan bangsa dan negara adalah suatu
kemutlakan yang dapat terpenuhi melalui Eksistensi Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi Indonesia. Pada mulanya dasar-
dasar utama yang diperlukan telah mampu diletakkan oleh Undang-Undang Dasar 1945
dalam menata berbagai aspek kehidupan, baik itu dasar negara, wilayah negara, warga
negara maupun sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejarah keberlangsungan
sebagai negara dimulai dengan pengesahan Undang-Undang Dasar dan pembentukan
lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan dalam negara, seperti
eksekutif, legislatif maupun yudikatif, meskipun diawal-awal kemerdekaan masih
sangat terbatas. Perjalanan panjang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi
mengalami pergeseran dan dinamika yang sangat rumit, dimana hal ini mengakibatkan
perubahan pula pada sistem penyelenggaraan negara (Ahmadi, 2013:2).
Setelah rezim orde baru mengalami kegagalan dalam menata sistem kehidupan
kenegaraan, maka orde reformasi menjadi harapan baru dalam memperbaiki pengaturan
tata kelola negara, pemerintahan dan masyarakat. Undang-Undang Dasar 1945
menjalani fase baru dengan lahirnya kesepakatan untuk melakukan perbaikan konstitusi
melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen Undang-Undang Dasar
1945 dilakukan sebagai ikhtiar untuk memenuhi tuntutan rakyat sekaligus membentuk
konstitusi modern yang lebih demokratis, elegan dan fleksibel serta dapat menjawab
tantangan zaman. Dinamika perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan menyentuh
berbagai bidang kehidupan, mengharuskan untuk dilakukannya reformasi konstitusi.
Hal itu secara ketatanegaraan dipandang sebagai keharusan hukum karena reformasi
disegala bidang terutama di bidang hukum hampir mustahil dilakukan jika amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 tidak dilakukan.
Hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti
harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur
dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel (Mahfud, 2011: 50). Penekanan
reformasi pada bidang hukum tersebut dirasakan sangat mendesak karena pelaksanaan

3
dan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar
1945. Kekuasaan secara sentralistik harus diakhiri untuk dapat mengatasi kompleksitas
masalah-masalah hukum yang terjadi. Atas kenyataan tersebut, maka penataan atau
perbaikan secara mendasar terhadap sistem hukum dan peradilan dilakukan dengan
mengamandemen beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan
dengan sistem hukum dan peradilan, agar mendapat respon hukum secara positif.
Penataan itu tidak saja bersifat institutional reform sistem hukum dan peradilan, agar
mendapat respon hukum secara positif maupun bersifat instrumen/procedural reform,
tetapi juga berkaitan dengan personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta
perilaku hukum masyarakat sebagai keseluruhan (ethical and cultural reform)
(Asshiddiqie, 2005: 215).
Reformasi sistem hukum menjadi point penting dalam rumusan amandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Aspirasi untuk memperkuat dan memperbaiki sistem
hukum semakin meningkat yang secara bersamaan berkembang pula aspirasi dalam
pengawasan terhadap kinerja dan implementasi sistem hukum itu sendiri. Hal ini
menjadi lazim pada setiap negara bahwa untuk melakukan amandemen terutama
constitutional reform sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang kadang-kadang
sesaat dan bersifat jangka pendek, sehingga dibutuhkan kejernihan pemikiran untuk
membentuk hukum dasar yang lebih kuat dan komprehensif. Penataan pada aspek
pembentukan hukum menjadi sangat mendasar karena berkaitan dengan kelembagaan,
fungsionalisasi dan mekanisme dalam memutuskan peraturan hukum. Di sektor ini
melibatkan dimensi politik yang sangat tajam karena pertaruhan fungsi antar lembaga
tinggi negara tetap terjadi. Pada sisi lain ditekankan pada terciptanya keseimbangan
dalam pelaksanaan sistem hukum yang terkontrol, dengan memberikan wewenang
kepada badan peradilan untuk melakukan judicial review in constitutional cases
(Alrasid, 2004: 120).

B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah yang menjadi sebab-sebab terjadinya amandemen konstitusi di
Indonesia?
2. Bagaimanakah penerapan sistem hukum pasca amandemen UndangUndang Dasar
1945?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab-Sebab Terjadinya Amandemen Konstitusi di Indonesia


Naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dirancang oleh Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) kemudian
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18
Agustus 1945, dirancang dalam situasi dibawah penjajahan Jepang dan ditetapkan
dalam suasana tergesa-gesa sehingga masih terdapat kekurangan dalam menjalankan
praktek berbangsa dan bernegara, itulah salah satu penyebab amandemen konstitusi di
Indonesia. Semangat bangsa Indonesia begitu besar ketika hendak mengumandangkan
kemerdekaanya, apalagi telah mendapatkan persetujuan dari pihak Jepang yang pada
waktu itu secara resmi masih menjajah Indonesia dan mempersilahkan untuk
mempersiapkan kemerdekaannya. Naskah Rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia
dipersiapkan pada masa perang dunia, sehingga mendapat perhatian dari berbagai
negara termasuk Jepang dan Belanda.
Ni’matul Huda (2005: 124) mengemukakan bahwa suasana pada masa itu tentu
saja berbeda dengan masa kemerdekaan yang telah dinikmati bangsa Indonesia,
sehingga Undang-Undang Dasar 1945 sejalan dengan perjalanan waktu ada yang kurang
tepat lagi untuk masa berikutnya, oleh karena itu perlu adanya peninjauan ulang untuk
mengamandemennya, itulah sebabnya kemudian Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi di Indonesia mengalami amandemen. Situasi yang mempengaruhi
amandemen konstitusi juga berasal dari eksternal yaitu negara asing khususnya Belanda
yang mempropaganda agar Indonesia tidak berbentuk negara kesatuan tetapi negara
serikat. amandemen konstitusi berarti juga perubahan sistem ketatanegaraan, sejak awal
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lapang jalannya karena kolonialis
Belanda selalu ingin menancapkan kembali kekuasaannya.
Desakan Belanda ini begitu kuat sehingga memaksa bangsa Indonesia harus
berpikir politis dalam rangka mengelabui Belanda, walaupun menyetujui himbauan
Belanda untuk menjadi negara serikat tetapi tidak berlangsung lama. Keadaan yang
mempengaruhi amandemen konstitusi di Indonesia juga berasal dari internal atau dalam
negeri yang beraneka ragam desakan dalam hal menjalankan sistem ketatanegaraan,

5
namun hal itu juga akibat dari faktor eksternal, yaitu perubahan dari negara serikat
kembali ke NKRI, untuk mengelabui Belanda maka Undang-Undang Dasar yang
dipergunakan pun tidak menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 tetapi menggunakan
Undang-Undang Dasar 1945. Akibat dari amandemen konstitusi maka berubah pula
sistem ketatanegaraan Indonesia waktu itu. Situasi yang genting bisa mempengaruhi
amandemen konstitusi, karena sistem ketatanegaraan tidak dijalankan dengan baik,
pemerintahan kacau dan terjadi ketidak percayaan dalam menjalankan pemerintahan,
maka melalui dekrit presiden kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden mengambil alih kepemimpinan nasional konstitusi (Santoso, 2013: 125).
Mahfud MD (2003: 177), berpendapat bahwa amandemen konstitusional sangat
dimungkinkan karena di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sendiri mengatur prinsip
dan mekanisme amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yaitu termuat dalam Pasal 37
Undang-Undang Dasar 1945. Secara filosofis UndangUndang Dasar 1945 telah
mencampurkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, sehingga
mempengaruhi sistem demokrasi yang tidak bisa berjalan dengan sempurna. Rakyat
merasa banyak dirugikan, demokrasi terberangus dan lain sebagainya kemudian terjadi
tuntutan perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari amandemen konstitusi,
maka untuk menjadi konstitusi yang kuat harus dilakukan perubahan, agar dapat
memfasilitasi bagi tampilnya konfigurasi politik dan pemerintahan yang demokrasi.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 37 mengatur tentang amandemen Undang-
Undang Dasar yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan, namun demikian Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang
Dasar 1945 telah menetapkan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan amandemen. Artinya amandemen memang
bisa dilakukan sepanjang pasalpasal yang dapat dilakukan perubahan. Undang-Undang
Dasar 1945 dapat dilakukan amandemen dengan mengacu pada 5 (lima) prinsip dasar
yaitu:
1. Tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
2. Tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial

6
4. Meniadakan penjelasan dan memasukkan hal-hal normatif penjelasan dan
memasukkan hal-hal normatif penjelasan kedalam Pasal-Pasal UndangUndang
Dasar 1945
5. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan dengan cara addendum.

B. Penerapan Sistem Hukum Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945


Pada saat menjalankan roda pemerintahan dan negara, Negara memerlukan suatu
sistem hukum. Sistem hukum merupakan gabungan dari 2 (dua) istilah yaitu sistem dan
hukum. Sistem itu sendiri menurut Kusnardi (1983: 171), adalah suatu keseluruhan,
terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsionil baik antara bagian-
bagian maupun hubungan terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan
ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya juka salah satu bagian tidak
bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu. Sementara hukum adalah
segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang dalam hubungan hidup
bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas apabila dilanggar. Aturan
hukum meliputi dari tingkat yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar sampai tingkat
yang terendah yaitu Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota yang menjadi
acuan/pedoman prilaku setiap orang (Abdulkadir, 2000: 1).
Menurut Hartono (1991: 32), sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-
tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling
berhubungan dan berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut
perlu kerjasama antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan
pola tertentu. Sistem hukum yang diterapkan di Indonesia menganut sistem hukum
Eropa Kontinental (Civil Law System), dimana sistem ini berkembang di negara-negara
Eropa daratan yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran
romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi. Sistem
Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat
kepada presiden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan
sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem
hukum Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan
dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara
sistematik di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai

7
utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya
dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan hukum manusia
dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan
hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya
berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas
wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak
yang berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata) (Soemardi, 1997: 73).
1. Penegasan Supremasi Hukum
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 membatasi dan juga mengubah
kekuasaan presiden yang sebelumnya sebagaimana termaktub dalam pasal ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Asli, Presiden memegang dua
kekuasaan negara sekaligus, kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk
undang-undang.
Dengan kewenangan yang sedemikian besar itulah maka tatanan hukum
sepenuhnya tergantung kepada penguasa. Logika atau semangat integralistik yang
menjiwai Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 itulah pula yang menempatkan
Presiden sebagai penyelenggaran kekuasaan Negara pada posisi tertinggi, hanya di
bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia dan pemegang kedaulatan rakyat Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat itu secara aktual tidak lebih dari
simbol atau sebagai syarat formal saja dan otomatis tidak pernah menggunakan
kewenangan-kewenangan konstitusionalnya. Lembagalembaga hukum tidak dapat
mengkoreksi manipulasi-manipulasi hukum yang terjadi dan dilakukan oleh Penguasa
saat itu. Sehingga kekuasaan tersebut dalam Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar
1945 pasal 1 ayat (2) diubah menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, maka dari itu diharapkan rule of law
sebagai aktor utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini maka
kedaulatan tertinggi ada di tangan Rakyat Indonesia.
2. Pengakuan Terhadap Negara Hukum
Konstitusi sejatinya adalah merupakan dasar dari ide-ide besar suatu bangsa dan
merupakan panduan menuju masa depan yang lebih baik. Di antara nilai-nilai agung

8
dalam konstitusi itu adalah prinsip negara hukum. Negara hukum (Rechtsstaat atau The
Rule of Law) adalah konsep negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa dan
ditegaskan sebagai negara hukum dikuatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah
amandemen pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.
Sebagai sebuah negara hukum, maka hukum harus dipandang, dipahami dan
dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri dari
elemen-elemen: Kelembagaan (institutional), Kaedah aturan (instrumental) dan Perilaku
para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma
aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum tersebut
mencakup:
a. Kegiatan pembuatan hukum (law making)
b. Kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating)
c. Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang biasa
disebut dengan penegakkan hukum dalam arti sempit (law enforcement).
d. Pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education)
secara luas.
e. Pengelolaan informasi hukum (law information management). Kedua kegiatan
tersebut merupakan kegiatan penunjang yang semakin penting kontribusinya
dalam sistem hukum nasional.
Kelima kegiatan dalam sistem hukum tersebut biasanya dibagi ke dalam tiga
wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu fungsi legislasi dan regulasi, fungsi eksekutif
dan administratif, serta fungsi yudikatif atau judisial (Asshiddiqie, 2005: 21).
Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi
pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum
yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Semua organ harus dihubungkan
dengan hirarkinya masing-masing mulai dari yang tertinggi hingga terendah, yaitu
terkait dengan aparatur tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.
Keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan
saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus
dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945.

9
Asshiddiqie (2005: 22) mengemukakan bahwa saat ini masih terdapat
kecenderungan memahami hukum dan pembangunan hukum secara parsial pada elemen
tertentu dan bersifat sektoral. Sehingga sangatlah penting menyusun dan merumuskan
konsepsi negara hukum Indonesia sebagai satu kesatuan sistem. Semua lembaga atau
institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem
hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka negara hukum tersebut. Untuk itu,
bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue print sebagai desain makro tentang Negara
Hukum dan Sistem Hukum Nasional yang hendak kita bangun dan tegakkan.
Penegasan mengenai negara hukum secara eksplisit dalam Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 pasca amandeman mesti dicatat sebagai suatu kemajuan
yang sangat berarti. Dan yang lebih utama adalah aktualisasinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hadirnya negara hukum tidak ditentukan semata-mata karena
penegasannya pada konstitusi. Karakter negara hukum lebih ditentukan oleh
pembatasan kekuasaan negara, jaminan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, independensi
peradilan, dan adanya due process of law (Buyung Nasution, 2009: 45).
3. Check and Balances
MPR yang mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 memberikan perhatian besar pada pelembagaan prinsip-prinsip check and
balances ke dalam konstitusi. Presiden saat ini sudah tidak lagi memegang kekuasaan
membentuk undang-undang, karena kekuasaan ini telah dialihkan atau diletakkan
menjadi hak Dewan Perwakilan Rakyat. Namun Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
menggunakan kekuasaan ini tanpa keikutsertaan Presiden. Presiden dapat menolak
untuk tidak ikut dalam pembahasan suatu undang-undang yang diprakarsai atau
diajukan pembentukannya oleh DPR.
Presiden memiliki kekuasaan pemerintahan, namun kekuasaan Presiden itu
harus melalui pertimbangan dan persetujuan dari DPR. Perubahan-perubahan tersebut di
satu sisi hendak mengurangi kekuasaan eksekutif agar dapat meminimalisisr terjadinya
kesewenang-wenangan dan penyelewengan sebagaimana yang terjadi di masa
pemerintahan sebelumnya. Namun demikian, yang terjadi adalah suatu kekacauan
sistemik. Peran eksekutif menjadi sangat lemah dan terjadi pergeseran kekuasaan pada
legislatif (legislative heavy) yang berpotensi eksesif.
4. Penataan Sistem Hukum Nasional

10
Konsekuensi dari amandemen konstitusi merupakan suatu keniscayaan dalam
penataan sistem hukum nasional, pada dasarnya amandemen konstitusi telah mengubah
tatanan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan di Indonesia, baik pada
lembaga eksekutif, legislatif, maupun judisial. Yang dimaksud dengan pengubahan
tatanan kelembagaan eksekutif tidak lagi memiliki kekuasaan membentuk undang-
undang, sehingga kekuasaan membentuk undang-undang diberikan kepada lembaga
legislatif.
Selanjutnya pada lembaga judisial diselenggarakan oleh dua mahkamah dan satu
komisi, yaitu:
a. Mahkamah Konstitusi (MK)
MK dalam hal ini dibentuk untuk memastikan tegaknya prinsip-prinsip negara
hukum demokratis.
b. Mahkamah Agung (MA)
MA dalam hal ini dibentuk untuk memastikan penyelenggaraan peradilan yang
dapat menegakkan hukum dan keadilan.
c. Komisi Yudisial (KY)
KY dalam hal ini dibentuk untuk mengawal hakim baik hakim agung maupun
hakim konstitusi, sehingga memiliki kewenangan dalam pengawasan, menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan putusan hakim di
segenap tingkat pengadilan, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah
Konstitusi.
Penataan sistem hukum dimaksud mengacu pada kelembagaan dan penataan
hukum yang sesuai dengan amandemen Undang-Undang Negara RI Tahun 1945.
Pengubahan penataan hukum tersebut memiliki implikasi positif dan negatif,
mengacu pada salah satu tujuan pengubahan konstitusi yakni: menyempurnakan aturan
dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui
pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan
transparan sehingga perlu diajukan kajian sistemik terhadap pengubahan tersebut untuk
dirumuskan solusi yuridik yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan pengubahan
konstitusi secara efektif. Kajian sistemik diajukan dengan menelusuri norma-norma
dalam konstitusi dan interpretasi konsekuensi yuridik perumusan norma dimaksud.
5. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

11
Di Era Reformasi, amandemen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
berhasil dilakukan sebanyak 4 (empat) kali secara fundamental. Norma Hak-Hak Asasi
Manusia telah diadopsi dan diatur secara lebih rinci dalam pasalpasal konstitusi kita.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasca amandemen juga melembagakan
prinsip-prinsip check and balances. Selain itu, amandemen Undang-Undang Dasar 1945
diharapkan dapat mencapai tujuan seperti:
a. Penghargaan Hak Asasi Manusia demi penegakan hukum yang berkeadilan
b. Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap kelompok marjinal
c. Reformasi Birokrasi
d. Kepemimpinan, Kejujuran, dan Rasa Keadilan.
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik
melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan,
dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula
segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang
mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan
sebagaimana mestinya.
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti sempit menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana
yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-
badan peradilan.
6. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya.
Para profesional hukum itu antara lain meliputi:
a. Legislator (politisi)
b. Perancang hukum (legal drafter)
c. Konsultan hukum
d. Advokat

12
e. Notaris
f. Pejabat Pembuat Akta Tanah
g. Polisi
h. Jaksa
i. Panitera
j. Hakim
k. Arbiter atau wasit.
Sebagai usaha dan upaya dalam meningkatkan kualitas profesionalisme masing-
masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi,
termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan
program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap
mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu
dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-
lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat.
Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benarbenar
dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pembinaan kualitas profesional aparat
hukum ini dapat pula dilakukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya
masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan
sebagainya. Dengan demikian, kualitas hakim dapat ditingkatkan melalui peranan
Mahkamah Agung ataupun juga dapat ditingkatkan melalui peranan Ikatan Hakim
Indonesia di lain pihak.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 37 mengatur tentang amandemen Undang-
Undang Dasar yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, namun demikian Pasal 37 ayat (5)
Undang-Undang Dasar 1945 telah menetapkan bahwa khusus mengenai bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan amandemen.
Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilakukan amandemen dengan mengacu pada
5 (lima) prinsip dasar yaitu:
a. Tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
b. Tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan
c. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial
d. Meniadakan penjelasan dan memasukkan hal-hal normatif penjelasan dan
memasukkan hal-hal normatif penjelasan kedalam Pasal-Pasal Undang-
Undang Dasar 1945
e. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan dengan cara addendum.
2. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri dari elemen-elemen: Kelembagaan
(institutional), Kaedah aturan (instrumental) dan Perilaku para subyek hukum
yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu
(elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum tersebut
mencakup: Kegiatan pembuatan hukum (law making), Kegiatan pelaksanaan
hukum atau penerapan hukum (law administrating), Kegiatan peradilan atas
pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang biasa disebut dengan
penegakkan hukum dalam arti sempit (law enforcement), Pemasyarakatan dan
pendidikan hukum (law socialization and law education) secara luas dan
pengelolaan informasi hukum (law information management). Kedua kegiatan
tersebut merupakan kegiatan penunjang yang semakin penting kontribusinya
dalam sistem hukum nasional. Kelima kegiatan dalam sistem hukum tersebut
biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu fungsi

14
legislasi dan regulasi, fungsi eksekutif dan administratif, serta fungsi yudikatif
atau judisial.

15
DAFTAR RUJUKAN

Abdulkadir Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Adnan Buyung Nasution, dkk. 2009. Laporan Akhir Tim Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional Kelompok Kerja: Implikasi Amandemen Konstitusi Terhadap
Sistem Hukum Nasional Dan Demokrasi Di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Hukum dan HAM.
Dedi Soemardi. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Indhillco.
Harun Alrasid. 2004. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali dirubah oleh MPR.
Jakarta: UI Press.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII.
Moh. Kusnardi, dkk. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar
Bakti.
Moh. Mahfud MD. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang
Interaksi politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta.
Moh. Mahfud MD. 2011. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ni’matul Huda. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Bandung: Alumni.
Ahmadi,“Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Pergeseran Kekuasaan
Kehakiman”, Jurnal Al-Izzah Volume 8 Nomor 2, Nopember 2013.
M. Agus Santoso, "Perkembangan Konstitusi Di Indonesia”, Jurnal Yustisia Volume 2
Nomor 3, September - Desember 2013.

16

Anda mungkin juga menyukai