Anda di halaman 1dari 8

NAMA :

NIM
1) Undang-undangan dasar 1945 sudah di amandemen sebanyak empat (4) kali. Hal
tersebut menjelaskan bahwa amandemen/perubahan UUD 1945 bisa saja
dilakukan dalam kurun waktu yang pendek/singkat.
a. Jelaskan mekanisme amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UUD NKRI) 1945 dan sebutkan dasar hukumnya
kemudian
b. simpulkan apakah amandemen sebuah UUD NKRI 1945 bersifat rigid (kaku)
atau fleksibel ?

A. Dengan telah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 maka isi dari
Penjelasan UUD 1945 telah ditiadakan, isi serta muatan penjelasannya telah
dimasukan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kemudian di dalam UndangUndang
Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 pasca amandemen ke ketiga mengatur bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Artinya didalam interaksi berbangsa dan bernegara
senantiasa didasarkan kepada aruran-aturan hukum yang telah disepakati bersama
oleh rakyat yang ada di dalam negara Indonesia. Penegasan tentang negara hukum di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen terdapat di dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak dicantumkan di dalam Batang Tubuh Undang-
Undang Dasar 1945.1 Hal ini di dalam praktek ketatanegaraan dapat menimbulkan
berbagai pemahaman (multi tafsir) terhadap isi Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, pada saat terjadinya amandemen dan untuk menghindari terjadinya
berbagai pemahaman (multi tafsir), maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
saat itu berupaya untuk memasukkan istilah negara hukum yang tadinya di dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam sejarah konstitusi Republik Indonesia, konstitusi telah mengalami
perubahan maupun penggantian yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu sampai
masa kini dengan berbagai pertimbangan kondisi sosial, politik maupun ekonomi
yang sangat sulit untuk dihindarkan. Sejak ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang-Undang
Dasar 1945 karena berbagai situasi dan kondisi politik saat itu belum dapat berjalan
efektik sebagaimana yang diinginkan, yang akhirnya karena tekanan politik kolonial
Belanda dalam konfrensi meja bundar (KMB) di Den Haag (23/08/1949) yang pada
akhirnya tanggal 27 Desember 1949, maka digantilah UUD 1945 dengan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS). 2 Hal ini disebabkan keberadaan pemerintahaan
saat itu masih belum memiliki pengakuan internasional (dejure) sehingga secara
kewilayahan pemerintahan Indonesia masih bergerilya dan berpindah-pindah.
Perjalanan sistem pemerintahan Indonesia dalam kerangka Konstitusi Republik
Iindonesia Serikat (KRIS) dengan sistem federasi ternyata di dalam perjalannya
tidaklah berjalan mulus, pergolakan rakyat untuk menolak sistem federasi yang ingin
kembali kepada negara kesatuan sangatlah kuat. Memperhatikan keadaan tersebut
akhirnya Kabinet RIS mengundangkan Undangundang Darurat Nomor: 10 Tahun
1950 yang mengatur penyerahan tugas-tugas pemerintahan di Jawa Timur kepada
Komisaris Pemerintah. Pada akhirnya keputusan tersebut diikuti seluruh pemerintahan
di wilayah Indonesia, dan kemudian ditetapkanlah Undang- Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950 menggantikan Konstitusi RIS.3 Hal tersebut sudah sewajarnya terjadi
karena memang perubahan konstitusi dari
UUD 1945 dengan konsep negara kesatuan menjadi KRIS dengan konsep federasi
adalah suatu keinginan yang dipaksakan oleh pemerintah belanda bukan keinginan
rakyat Indonesia. Gejolah politik pasca pemberlakuan UUUDS 1950 ternyata
belumlah berjalan kondusif, hal ini ditandai perselisihan dalam rangka pelaksanaan
pelaksanaan pemilu tahun 1955. Terjadi beberapa pergolakan di dalam negeri antara
lain Republik Maluku Selatan (RMS). Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
pimpinan Karto Suwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi, Tengku Daud
Beureuh di Aceh, dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Pemilu tahun 1955 untuk memilih
anggota DPR dan anggota Kontituante tetap dapat dilaksanakan dengan baik. Pemilu
tahun 1955 ini tercatat sebagai Pemilu pertama yang demokratis dalam sejarah
Indonesia. Disamping itu, konflik kepemimpinan di kalangan elit politik tidak dapat
diselesaikan dengan baik, bahkan Wakil Presiden Mohamad Hatta mengundurkan diri
pada tanggal 1 Desember 1956. Yang pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang salah satunya isinya adalah menyatakan kembali
kepada UUD 1945.4 Pada era orde baru yang telah hampir 32 tahun pemerintahan
Presiden Soeharto mensakralkan UUD 1945, sehingga jedah waktu itu tidak terjadi
perubahan. Dengan ditandai dengan gejolak politik pada tahun 1998 dan bergeloranya
semangat reformasi, pada akhirnya UUD 1945 yang disakralkan itu dalam
kenyataannya sampai saat ini telah dilakukan amandemen yang ke empat kalinya dan
semuanya berjalan dengan aman dan terkendali. Namun demikian dalam
pelaksanaanya, terdapat hal-hal yang sudah sempurna maupun hal-hal yang belum
sempurna pasca amandemen yang ke empat ini dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia., Hal ini menunjukan bahwa bagaimana pentingnya kontitusi sebagai
hukum dasar harus senantiasa mampu memberikan perlindungan serta harapan yang
terbaik kepada masyarakat.

analisis UUD 1945 yang bersifat "rigid", UUD 1945 pra amandemen, dan UUD 1945
pasca amandemen

B. UUD 1945 Tergolong dalam Konstitusi yang Bersifat Kaku (rigid)


Sebelum UUD 1945 di amandemen sebanyak empat kali, persyaratan yang ditetapkan
untuk mengubah UUD 1945 adalah “cukup berat”. Hal ini bisa dilihat dari bunyi pasal
37. Ada dua syarat yang ditentukan dalam pasal yaitu:
1) syarat kehadiran atau forum: sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh
jumlah anggota MPR harus hadir;
2) syarat sahnya keputusan: sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah yang hadir
harus menyetujui.
Setelah melalui proses amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 tergolong
konstitusi yang semakain rijid, karena selain tata cara perubahannya yang
tergolong sulit, juga dibutuhkan suatu prosedur khusus . Melihat realitas dan
kondisi Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun termasuk katagori konstitusi
yang sulit dilakukan perubahan tetapi apabila dicermati, terdapat peluang untuk
melakukan suatu perubahan terhadap Undang-Undang Dasar meskipun harus
menempuh jalan yang berat. Berikut ini merupakan prosedur dan proses dalam
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapa dalam
Pasal 37 yang menyebutkan:
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan
dalam siding Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara
tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, siding Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat,
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu
anggoota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan.
Pasal 37 Undang-Undang Dasar tersebut mengandung 4 (Empat) norma dasar,
yaitu;
1. Bahwa yang berwenang untuk melakukan perubahan Undang-Undang
Dasar adalah berada pada lembaga negara yang bernama Majellis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
2. Perubahan hanya dapat dilakukan pada pasal-pasalnya saja dalam arti
selain pasalnya tidak dapat dilakukan perubahan misalnya tentang pembukaaan
dan bentuk negara (Pasal 37 ayat 5)
3. Usul perubahan dilakukan secara tertulis oleh sekurang-kurangnya 1/3
jumlah dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Untuk mengubah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan putusan unntuk perubahan dilakukan
dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

UUD 1945 PRA AMANDEMEN


Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD 1945) bermula dari janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jepang membentuk Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas merancang
Undang-Undang Dasar 1945.
Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Ikrar Kemerdekaan Bangsa
Indonesia dan lahirlah Negara Indonesia. Sehari setelah itu, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan
menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :
1. Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari
Rancangan Undang-Undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni
1945;
2. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya
diambil dari RUU yang disusun oleh Panitia Perancang UUD tanggal 16 Juni 1945;
3. Memilih ketua persiapan Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai Presiden
dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil Presiden;
4. Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi Komite Nasional.
Pengertian pokok tentang Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksudkan adalah
keseluruhan naskah yang terdiri dari :
a. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri 16 Bab berisi 37 pasal, 4
pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan;
c. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
Konsekuensinya, UUD 1945 sebagai konstitusi itu melingkupi keseluruhan naskah
tersebut.
Pada Penjelasan Umum, jelas-jelas disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum
dasar. Dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen, “Stufentheorie”, atau theorie vom
Stufenaufbau-nya Hans Nawiasky Pembukaan mengandung sejumlah tujuan negara
dan dasar falsafah bernegara yaitu Pancasila. Posisi Pancasila dalam UUD adalah
sebagai norma dasar suatu negara (Staatsfundamentalnorm), yang memberikan
landasan bagi Aturan Dasar. Sedangkan materi yang terdapat dalam pasal-pasal UUD
1945 merupakan Grundgezetze, norma dasar yang memiliki kekuatan mengikat
kepada norma-norma hukum peraturan perundang-undangan, atau menggariskan
tatacara membentuk peraturan perundang-undangan secara Umum. Dengan demikian,
UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-
undangan yang lainnya.
Pembentukan UUD 1945 pada awalnya bersifat sementara saja karena proses
pembentukannya yang relatif singkat. Hal ini dapat diketahui melalui ayat (2) Aturan
Tambahan. Secara jelas disebutkan bahwa akan dibentuk MPR yang memiliki
wewenang untuk menetapkan UUD. MPR yang terbentuk akan mengadakan sidang
untuk membahas dan menetapkan UUD sebagai konstitusi Indonesia. Kenyataannya,
sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden, baik itu MPR atau MPRS atau Lembaga
Konstituante tidak menghasilkan apa pun, sehingga diberlakukannya kembali UUD
1945 sebagai UUD. Padahal, BPUPKI bukanlah lembaga perwakilan karena BPUPKI
merupakan badan bentukan Jepang. Meskipun demikian, BPUPKI dapat dikatakan
sebagai lembaga perwakilan yang dapat dipersamakan dengan parlemen.
Dalam pasal 3, mengatur tentang kewenangan MPR namun hanya terdapat tentang
kewenangan menetapkan UUD bukan mengamandemen. Namun, dalam pasal 37
diatur tentang prosedur amandemen UUD. Pengaturan tentang amandemen tersebut
juga sebatas posedur umum. Sedangkan untuk prosedur khususnya diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pun sebatas
merubah/mengamandemen batang tubuh dan penjelasan. Khusus untuk pembukaan
UUD 1945 mutlak tidak dapat diubah/diamandemen, karena didalamnya terdapat
falsafah negara yang merupakan dasar Negara.
Meskipun demikian, UUD 1945 pada dasarnya lebih bersifat fleksibel, karena para
pendiri bangsa sesungguhnya menghendaki adanya perubahan UUD 1945 dengan
tujuan UUD 1945 lebih diharapkan terus hidup dan berkembang dalam masyarakat
menjadi “The Living Constitution”, sehingga selalu memenuhi kebutuhan dan rasa
keadilan dari masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, UUD 1945 pra amandemen bersifat conditional, superior
dan fleksibel.
UUD 1945 PASCA AMANDEMEN
Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari embukaan
dan pasal-pasal (sesuai pasal II Aturan Tambahan UUD 1945.
Konsekuensinya, penjelasan tidak lagi menjadi bagian dari UUD.
Meskipun demikian, penjelasan memiliki fungsi yang penting dalam rangka
menjelaskan tentang norma yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga seharusnya
mengandung norma yang baru.
Penjelasan Umum, disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar. Dikaitkan
dengan teorinya Hans Kelsen, “Stufentheorie”, atau theorie vom Stufenaufbau-nya
Hans Nawiasky Pembukaan mengandung sejumlah tujuan negara dan dasar falsafah
bernegara yaitu Pancasila. Posisi Pancasila dalam UUD adalah sebagai norma dasar
suatu negara (Staatsfundamentalnorm), yang memberikan landasan bagi Aturan
Dasar. Sedangkan materi yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 merupakan
Grundgezetze, norma dasar yang memiliki kekuatan mengikat kepada norma-norma
hukum peraturan perundang-undangan, atau menggariskan tatacara membentuk
peraturan perundang-undangan secara Umum. Hal ini ditunjukkan dalam pasal 7 UU
No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Dalam pasal 3, mengatur tentang kewenangan MPR baik tentang kewenangan
mengubah dan menetapkanUUD. Meskipun MPR bukan lembaga tertinggi Negara
lagi namun MPR merupakan lembaga perwakilan (parlemen) yang oleh konstitusi
diberi wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD. Pembentukan UUD
kewenangannya tidak diberikan kepada lembaga legislatif karena lembaga legislatif
hanya memiliki kewenangan dalam membentuk UU dan kedudukan UU di bawah
UUD.
Sedangkan untuk prosedur amandemen yang diatur dalam pasal 37 terdapat prosedur
khusus dengan ketentuan yang lebih kompleks. Dalam hal substansi
perubahan/amandemen masih terdapat kesamaan dengan UUD 1945 pra amandemen,
yaitu mutlak tidak diperbolehkan untuk merubah/mengamandemen pembukaan UUD
1945, karena didalamnya terdapat falsafah negara yang merupakan dasar Negara.
Selain itu, ada hal lain yang tidak boleh diganti yaitu bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (pasal 37 ayat 5)). Dan ketentuan yang lebih spesifik diatur
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
UUD 1945 pasca amandemen lebih bersifat rigid. Hal ini dikarenakan persepsi
penguasa yang sepakat untuk lebih mengkultuskan UUD 1945 sebagai kesatuan
pemikiran dari mayarakat untuk memilih sesuatu yang ideal dalam hal-hal tertentu
yang direfleksikan didalamnya. Selain itu, nilai historis yang terkandung dalam UUD
1945 membuatnya sebagai konstitusi memiliki kandungan rigiditas. UUD 1945 tidak
lg dipandang sebagai peraturan perundang-undangan saja melainkan merupakan
wibawa daripada suatu bentuk Hukum tertinggi dari suatu negara.
Berdasarkan uraian di atas, UUD 1945 pasca amandemen bersifat conditional,
superior dan rigid.
KESIMPULAN
UUD 1945 merupakan konstitusi karena ditinjau dari materi muatannya, prosedur dan
wewenang pembentukannya serta bentuknya sesuai dengan pengertian konstitusi.
Lebih dari itu, konstitusi mencerminkan tingkat peradaban dari pada suatu bangsa.
Hal ini dikarenakan substansi/materi muatan yang terkandung didalamnya.
UUD 1945 pra amandemen bersifat conditional, superior dan fleksibel sedangkan
UUD 1945 pasca amandemen bersifat conditional, superior dan rigid.

Sumber : http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1123251&val=16848&title=KAJIAN%20YURIDIS%20URGENSI
%20AMANDEMEN%20KELIMA%20UNDANG-UNDANG%20DASAR
%201945%20DALAM%20SISTEM%20HUKUM%20KETATANEGARAAN
%20INDONESIA

2) Kita sepakat bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
ada di Indonesia dan menempatkan Pancasila sebagai filter utama dalam
menyaring peradaban yang berkembang di Indonesia, tetapi belakangan ini ada
wacana bahwa Pancasila akan dibreakdown ke Undang- Undang atau ada juga
yang berpendapat mengenai ekasila,trisila dan lain sebagainya.
A. Jelaskan posisi Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm bangsa Indonesia
dan
B. bagaimana pandangan anda mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU)
Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang saat ini sedang hangat
diperbincangkan?

A. Pancasila Sebagai Sumber Hukum bangsa Indonesia


Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan
oleh Notonagoro (Jimly;2006). Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)
merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif
adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk
menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanannya
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.

Namun dengan penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm berarti


menempatkannya di atas Undang-undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak
termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk
membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsep
norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat Hans
Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945. Memang
hingga kini masih terjadi polemik di kalangan ahli hukum mengenai apakah
Pancasila, atau Pembukaan UUD 1945, atau Proklamasi Kemerdekaan, sebenarnya
yang dapat disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum.

B. Setiap undang-undang tak boleh berpretensi menjadi undang-undang


dasar.Namun, fatsoen ketatanegaraan itu telah dilanggar oleh RUU Haluan Ideologi
Pancasila (HIP) yang kini tengah memancing penolakan di tengah masyarakat.
Pretensi menjadi undang-undang dasar inilah, menurut saya, menjadi alasan
pertama kenapa RUU HIP perlu segera ditarik, dan bukan hanya butuh direvisi.
Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya
jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Ironisnya RUU HIP ini
malah ingin menjadikan Pancasila sebagai undang-undang itu sendiri. Standar nilai
kok mau dijadikan produk yang bisa dinilai? Menurut saya, ada kekacauan logika
di sini. Pancasila tak boleh diatur oleh undang-undang, karena mestinya seluruh
produk hukum dan perundang-undangan kita menjadi implementasi dari Pancasila
itu tadi. Satu-satunya ‘undang-undang’ yang bisa mengatur institusionalisasi
Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di
bawahnya, termasuk bukan juga oleh ‘omnibus law’. Kalau diteruskan, ini akan
melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang

ketatanegaraan. RUU HIP gagal memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Pancasila, dengan
rumusan kelima silanya, adalah “NORMA”. Rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan
UUD 1945. Sementara, istilah “Trisila” dan “Ekasila”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal
7 RUU HIP, itu hanyalah “WACANA” yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali
dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Istilah itu sama sekali tak pernah jadi NORMA.
Jadi, memasukkan WACANA yang sama sekali tidak memiliki yurisprudensi ke dalam sebuah
naskah rancangan undang-undang, seolah itu adalah sebuah NORMA, jelas menunjukkan
adanya cacat materil dalam penyusunan RUU HIP ini. WACANA “Trisila” dan “Ekasila” itu
sama sekali tak pernah menjadi NORMA dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita.
Bahkan, meskipun istilah Pancasila berasal dari Bung Karno, dan kita mengakui 1 Juni sebagai
Hari Lahir Pancasila, namun jangan lupa, yang kemudian dijadikan NORMA dalam sistem
hukum dan ketatanegaraan kita adalah rumusan sila-sila yang disahkan pada 18 Agustus 1945,
bukan rumusan sila-sila yang pertama kali dipidatokan. Ini harus sama-sama kita pahami.
Apalagi teks Pancasila itu lahir dari diskursus pikiran sejumlah tokoh khususnya anggota
BPUPKI 1945. Selain cacat materil, RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini
berpretensi menjadi ‘omnibus law’, padahal kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian.
Kalau kita baca pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal
demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi. Isinya jadi
ke mana-mana. Kelihatannya, latar belakang RUU ini sebenarnya hanya untuk memperkuat
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja. Padahal lembaga BPIP ini tak terlalu
diperlukan, hanya menambah beban negara. Pernyataan pimpinannya sering membuat
kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa. RUU ini tak punya urgensi sama sekali.
Kita saat ini sedang menghadapi bencana pandemi Covid-19. Namun, dengan munculnya
RUU ini, kita kembali bertengkar soal ideologi, kotak pandora yang sebenarnya secara formil
sudah kita tutup sejak lama. Jadi, alih- alih mempersatukan, RUU ini malah bisa membuka
luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah. Sebagian masyarakat curiga RUU ini
digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang. Tak
dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran,
malah makin memupuk penolakan sebagian masyarakat. Apalagi, RUU ini juga
memerintahkan pembentukan kementerian/badan baru di luar Badan Haluan Pembinaan
Ideologi Pancasila. Coba baca Pasal 35 dan 38, setidaknya akan ada tiga badan/kementerian
baru yang akan diperintahkan dibentuk oleh undang-undang ini.

Sumber : https://kliklegal.com/kesalahan-menempatkan-pancasila-dalam-ruu- haluan-


ideologi-pancasila-hip/
3. Jelaskan Perbedaan Konsep Dari Pemisahaan Kekuasaan (Separation Of Power) Dan
Pembagian Kekuasaan (Distribution Of Power) Lalu Berikan Pendapat Anda Apa Yang
Dianut Oleh Indonesia Saat Ini ?

JAWAB :

A. Konsep Pembagiaan Dan Pemisahan Kekuasaan


Dalam konsep pembagian dan pemisahan kekuasaan ada dua tokoh penting yang
pendapatnya bisa dijadikan acuan, yaitu John Locke dan Montesquieu. John Locke dalam
buku Two Treatiesof Government membagi kekuasaan menjadi tiga macam kekuasaan,
yaitu kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan
undang-undang), dan kekuasaan federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara
lain). Berbeda dengan pendapat John Locke, Montesquieu dalam buku L’esprit des Lois
pada tahun1748, mengemukakan pemisahan kekuasaan negaradibedakan dalam tiga organ,
yaitu lembaga legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), lembaga eksekutif
(kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan lembaga yudikatif (kekuasaan mengadili
pelanggaran undang-undang). Teori pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu disebut
Trias Politica. Berdasarkan pendapat Montesquieu, IvorJennings, Rektor Cambridge
University, dalam bukunya berjudul The Law and the Constitution membedakan teori
pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan. Menurut Ivor, pemisahan kekuasaan
berarti pembagian kekuasaan dipertahankan dengan tegas. Artinya, tiap lembaga negara
memiliki tugas dan organ yang berbeda satu dengan lainnya. Adapun pembagian kekuasaan
berarti ketiga lembaga kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dalam praktik
penyelenggaraan negara tidak terdapat pemisahan kekuasaan, misalnya dalam pembuatan
undang-undang dilakukan oleh legislatif dan eksekutif.
 
B. Pembagian Kekuasaan Di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menganut sistem
pemisahan kekuasaan, tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan. Prof. Ismail Sunny,
Guru besar Universitas Indonesia, juga mengemukakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik IndonesiaTahun 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materiel
(separation of power), tetapi pemisahan kekuasaan dalam arti formil (division ofpower) atau
pembagian kekuasaan. Sistem pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri atas tiga lembaga,
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga lembaga negara di Indonesia tidak
dipisahkan secara mutlak, tetapi antaralembaga satu dan lainnya terdapat hubungan
kekuasaan dan keterkaitan. Sistem pembagian kekuasaan negara Indonesia sangat
dipengaruhi oleh teori Trias Politica dari Montesquieu, tetapi dalam pelaksanaannya tidak
diterapkan secara murni dan mutlak. Adanya dinamika dalam kehidupan ketatanegaraan di
Indonesia mengakibatkan sistem pembagian kekuasaan negara juga mengalami
perkembangan. Dalam sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia,
kekuasaan negara dibagi dalam empat lembaga negara, yaitu lembaga legislatif, lembaga
eksekutif, lembaga yudikatif, dan lembaga eksaminatif.
MENURUT PENDAPAT SAYA,
Indonesia saat ini menganut sistem pemerintahan Presidensil, dimana adanya pemisahan
kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang berdasarkan prinsip “checks and
balances”, ketentuan ini tertuang dalam konstitusi, namun tetap diperlukan langkah
penyempurnaan, terutama pengaturan atas pembatasan kekuasaan dan wewenang yang jelas
antara ketiga lembaga Negara tersebut. Penulisan ini menggunakan metode dalam penelitian
hukum yuridis-normatif, penulis mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas kemudian dianalisis. Dalam penulisan ini, penulis ingin
mengetahui dan membahas berbagai teori dan praktek berdasarkan UUD 1945 atas
pelaksanaan sistem pemerintahan Indonesia. Secara teoritis kewenangan lembaga-lembaga
negara di Indonesia mengarah pada sistem pemerintahan presidensil, namun kemudian
secara praktek dalam menjalankan fungsi dan kewenangan, lembaga negara tidak
mencerminkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut pemisahan kekuasaan yang
ada dalam sistem pemerintahan presidensil akan tetapi lebih dekat pada sistem pembagian
kekuasaan. Sehingga ketentuan yang diterapkan berdasarkan UUD 1945 diperlukan kembali
upaya penyempurnaan, agar secara konsepsional dan prakteknya dapat berjalan secara ideal.

Anda mungkin juga menyukai