NIM
1) Undang-undangan dasar 1945 sudah di amandemen sebanyak empat (4) kali. Hal
tersebut menjelaskan bahwa amandemen/perubahan UUD 1945 bisa saja
dilakukan dalam kurun waktu yang pendek/singkat.
a. Jelaskan mekanisme amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UUD NKRI) 1945 dan sebutkan dasar hukumnya
kemudian
b. simpulkan apakah amandemen sebuah UUD NKRI 1945 bersifat rigid (kaku)
atau fleksibel ?
A. Dengan telah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 maka isi dari
Penjelasan UUD 1945 telah ditiadakan, isi serta muatan penjelasannya telah
dimasukan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kemudian di dalam UndangUndang
Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 pasca amandemen ke ketiga mengatur bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Artinya didalam interaksi berbangsa dan bernegara
senantiasa didasarkan kepada aruran-aturan hukum yang telah disepakati bersama
oleh rakyat yang ada di dalam negara Indonesia. Penegasan tentang negara hukum di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen terdapat di dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak dicantumkan di dalam Batang Tubuh Undang-
Undang Dasar 1945.1 Hal ini di dalam praktek ketatanegaraan dapat menimbulkan
berbagai pemahaman (multi tafsir) terhadap isi Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, pada saat terjadinya amandemen dan untuk menghindari terjadinya
berbagai pemahaman (multi tafsir), maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
saat itu berupaya untuk memasukkan istilah negara hukum yang tadinya di dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam sejarah konstitusi Republik Indonesia, konstitusi telah mengalami
perubahan maupun penggantian yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu sampai
masa kini dengan berbagai pertimbangan kondisi sosial, politik maupun ekonomi
yang sangat sulit untuk dihindarkan. Sejak ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang-Undang
Dasar 1945 karena berbagai situasi dan kondisi politik saat itu belum dapat berjalan
efektik sebagaimana yang diinginkan, yang akhirnya karena tekanan politik kolonial
Belanda dalam konfrensi meja bundar (KMB) di Den Haag (23/08/1949) yang pada
akhirnya tanggal 27 Desember 1949, maka digantilah UUD 1945 dengan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS). 2 Hal ini disebabkan keberadaan pemerintahaan
saat itu masih belum memiliki pengakuan internasional (dejure) sehingga secara
kewilayahan pemerintahan Indonesia masih bergerilya dan berpindah-pindah.
Perjalanan sistem pemerintahan Indonesia dalam kerangka Konstitusi Republik
Iindonesia Serikat (KRIS) dengan sistem federasi ternyata di dalam perjalannya
tidaklah berjalan mulus, pergolakan rakyat untuk menolak sistem federasi yang ingin
kembali kepada negara kesatuan sangatlah kuat. Memperhatikan keadaan tersebut
akhirnya Kabinet RIS mengundangkan Undangundang Darurat Nomor: 10 Tahun
1950 yang mengatur penyerahan tugas-tugas pemerintahan di Jawa Timur kepada
Komisaris Pemerintah. Pada akhirnya keputusan tersebut diikuti seluruh pemerintahan
di wilayah Indonesia, dan kemudian ditetapkanlah Undang- Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950 menggantikan Konstitusi RIS.3 Hal tersebut sudah sewajarnya terjadi
karena memang perubahan konstitusi dari
UUD 1945 dengan konsep negara kesatuan menjadi KRIS dengan konsep federasi
adalah suatu keinginan yang dipaksakan oleh pemerintah belanda bukan keinginan
rakyat Indonesia. Gejolah politik pasca pemberlakuan UUUDS 1950 ternyata
belumlah berjalan kondusif, hal ini ditandai perselisihan dalam rangka pelaksanaan
pelaksanaan pemilu tahun 1955. Terjadi beberapa pergolakan di dalam negeri antara
lain Republik Maluku Selatan (RMS). Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
pimpinan Karto Suwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi, Tengku Daud
Beureuh di Aceh, dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Pemilu tahun 1955 untuk memilih
anggota DPR dan anggota Kontituante tetap dapat dilaksanakan dengan baik. Pemilu
tahun 1955 ini tercatat sebagai Pemilu pertama yang demokratis dalam sejarah
Indonesia. Disamping itu, konflik kepemimpinan di kalangan elit politik tidak dapat
diselesaikan dengan baik, bahkan Wakil Presiden Mohamad Hatta mengundurkan diri
pada tanggal 1 Desember 1956. Yang pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang salah satunya isinya adalah menyatakan kembali
kepada UUD 1945.4 Pada era orde baru yang telah hampir 32 tahun pemerintahan
Presiden Soeharto mensakralkan UUD 1945, sehingga jedah waktu itu tidak terjadi
perubahan. Dengan ditandai dengan gejolak politik pada tahun 1998 dan bergeloranya
semangat reformasi, pada akhirnya UUD 1945 yang disakralkan itu dalam
kenyataannya sampai saat ini telah dilakukan amandemen yang ke empat kalinya dan
semuanya berjalan dengan aman dan terkendali. Namun demikian dalam
pelaksanaanya, terdapat hal-hal yang sudah sempurna maupun hal-hal yang belum
sempurna pasca amandemen yang ke empat ini dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia., Hal ini menunjukan bahwa bagaimana pentingnya kontitusi sebagai
hukum dasar harus senantiasa mampu memberikan perlindungan serta harapan yang
terbaik kepada masyarakat.
analisis UUD 1945 yang bersifat "rigid", UUD 1945 pra amandemen, dan UUD 1945
pasca amandemen
Sumber : http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1123251&val=16848&title=KAJIAN%20YURIDIS%20URGENSI
%20AMANDEMEN%20KELIMA%20UNDANG-UNDANG%20DASAR
%201945%20DALAM%20SISTEM%20HUKUM%20KETATANEGARAAN
%20INDONESIA
2) Kita sepakat bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
ada di Indonesia dan menempatkan Pancasila sebagai filter utama dalam
menyaring peradaban yang berkembang di Indonesia, tetapi belakangan ini ada
wacana bahwa Pancasila akan dibreakdown ke Undang- Undang atau ada juga
yang berpendapat mengenai ekasila,trisila dan lain sebagainya.
A. Jelaskan posisi Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm bangsa Indonesia
dan
B. bagaimana pandangan anda mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU)
Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang saat ini sedang hangat
diperbincangkan?
ketatanegaraan. RUU HIP gagal memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Pancasila, dengan
rumusan kelima silanya, adalah “NORMA”. Rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan
UUD 1945. Sementara, istilah “Trisila” dan “Ekasila”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal
7 RUU HIP, itu hanyalah “WACANA” yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali
dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Istilah itu sama sekali tak pernah jadi NORMA.
Jadi, memasukkan WACANA yang sama sekali tidak memiliki yurisprudensi ke dalam sebuah
naskah rancangan undang-undang, seolah itu adalah sebuah NORMA, jelas menunjukkan
adanya cacat materil dalam penyusunan RUU HIP ini. WACANA “Trisila” dan “Ekasila” itu
sama sekali tak pernah menjadi NORMA dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita.
Bahkan, meskipun istilah Pancasila berasal dari Bung Karno, dan kita mengakui 1 Juni sebagai
Hari Lahir Pancasila, namun jangan lupa, yang kemudian dijadikan NORMA dalam sistem
hukum dan ketatanegaraan kita adalah rumusan sila-sila yang disahkan pada 18 Agustus 1945,
bukan rumusan sila-sila yang pertama kali dipidatokan. Ini harus sama-sama kita pahami.
Apalagi teks Pancasila itu lahir dari diskursus pikiran sejumlah tokoh khususnya anggota
BPUPKI 1945. Selain cacat materil, RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini
berpretensi menjadi ‘omnibus law’, padahal kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian.
Kalau kita baca pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal
demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi. Isinya jadi
ke mana-mana. Kelihatannya, latar belakang RUU ini sebenarnya hanya untuk memperkuat
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja. Padahal lembaga BPIP ini tak terlalu
diperlukan, hanya menambah beban negara. Pernyataan pimpinannya sering membuat
kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa. RUU ini tak punya urgensi sama sekali.
Kita saat ini sedang menghadapi bencana pandemi Covid-19. Namun, dengan munculnya
RUU ini, kita kembali bertengkar soal ideologi, kotak pandora yang sebenarnya secara formil
sudah kita tutup sejak lama. Jadi, alih- alih mempersatukan, RUU ini malah bisa membuka
luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah. Sebagian masyarakat curiga RUU ini
digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang. Tak
dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran,
malah makin memupuk penolakan sebagian masyarakat. Apalagi, RUU ini juga
memerintahkan pembentukan kementerian/badan baru di luar Badan Haluan Pembinaan
Ideologi Pancasila. Coba baca Pasal 35 dan 38, setidaknya akan ada tiga badan/kementerian
baru yang akan diperintahkan dibentuk oleh undang-undang ini.
JAWAB :