Anda di halaman 1dari 7

A.

DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

Seperti halnya konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga besifat sementara. Hal ini terlihat
jelas dalam rumusan pasal 134, yang mengharuskan konstituante bersama – sama dengan
pemerintah segera menyusun Undang – Undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan UUDS 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari konstitusi RIS yang tidak sempat
membentuk konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan
Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan umum ini diadakan berdasarkan
ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang – undang ini berisi dua pasal. Pertama, berisi
ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950. Kedua, berisi ketentuan mengenai
tanggal mulai berlakuya UUDS Tahun 1950 itu menggantikan konstitusi RIS, yaitu tanggal 17
Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan
terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada 10 November 1956.

Sejak dikeluarkanya dekrit 5 juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 berlaku dan
diberlakukan sebagai hukum dasar. Apaqbila kita baca konsideran ekrit presiden 5 juli 1959 yang
dimuat dalam Keputusan Presiden No.150 tahun 1959, dekrit tersebut dikeluarkan dengan
alasan:

1. Bahwa anjuran presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang
disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat presiden pada 22 april
1959, tidak memeperoleh keputusan dari konstituante sebagaimana ditentukan dalam
UUD sementara
2. Bahwa berubung dengan pernyataan sebagai terbesar anggota sidang pembuat UUD
untuk tidak menghadiri lagi sidang, konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas
yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia
3. Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan
persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan
semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur
4. Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan
kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara
proklamasi
5. Bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 menjiwai UUD
1945 an adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Meskipun pasal 134 UUDS 1950 menyatakan bahwa konstituante bersama sama pemerintah
menetapkan UUD, menurut Buyung Nasution keterlibatan pemerintah dsisini hanya dalam artian
formal. Dari perdebatan di konstituante mengenai pengaturan prosedur, disepakati bahwa hanya
konstituante yang berwenang dalam membentuk UUD baru. Selain alasan prosedural yang tidak
konstituonal, ada sejumlah alasan fundamental yang menyebabkan para anggota konstituante
nasionalis, komunis, islam menolak diberlakukanya kembali UUD 1945 sebagai pengganti
UUDS 1950. Tidak lain karena adanay kekurangan dan kelemahan yang terdapat didalam UUD
1945 itu sendiri, yakni : pertama, member porsi kekuasaan terlampau besar kepada eksekutif,
yang memungkinkan terwujudnya pemerintahan diktator. Kedua, kurang memberikan
perlindungan terhadap HAM dan hak-hak warga negara. Ketiga, begitu banyak loop holes yang
terdapat dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila dalam
tiga kali pemungutan suara, anjuran atau usul pemerintah, untuk kembali ke UUD 1945 selalu
ditolak oleh konstituante.

Ketika konstituante memasuki reses pada juni 1959, AH Nasution engan angkatan daratnya
memperkeras tekanan terhadap partai-partai politik, dengan melarang kegiatan politik termasuk
rapat-rapat konstituante dan menghubungi pemimpin keempat partai terbesar, PNI, PKI, NU, dan
Masyumi. AH Nasution berhasil memperoleh jaringan dari PKI,PNI dan NU bahwa mereka tidak
akan menentang dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945. Menurut Daniel S. Lev, dibalik
usul Nasution untuk kembali ke UUD 1945 terdapat beberapa pertimbangan yakni : pertama,
beberapa pasal dalam UUD 1945 dapat ditafsirkan sedemikian rupa hingga memberi tempat bagi
perwakilan golongan-golongan fungsional. Kedua, diberlakukanya UUD 1945 akan menghapus
konstituante yang dianggap sebagai forum pertentangan ideologis. Ketiga, pembukaan UUD
1945 mengandung pemikiran pancasila. Keempat, banyak diantara perwira, termasuk yang
bergabung dengan pemberontak, mendukung UUD dan diharapkan dikembalikan UUD tersebut
akan meyakinkan perwira-perwira pemberontak bahwa wawasan anggota angkatan darat yang
tampaknya berbeda-beda itu, akan mendrong mereka untuk mengakhiri pemberontakan tersebut.
Dilanjut Buyung mengemukakan, secara hukum ketatanegaraan, pembubaran constitute tidak
absah karena anggota konstituante tidak dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu yang benar-
benar demokratis, bahwa dalam melaksanakan tugasnya, konstituante tidak bisa bekerja secepat
seperti diinginkan pemerintah adalah soal lain, dan hal ini tidak bisa digunakan sebagai
pembenaran untuk membubarkan konstituante.

Tindakan kembali ke UUD 1945 dan pembubaran konstituante adalah titik awal berakhirnya
proses demokrasi di Indonesia karena Indonesia memasuki era demokrasi terpimpin untuk
memenuhi kepentingan politik Soekarno dan tentara, yang watak kekuasaanya otoriter. Dalam
pandangan Buyung, tindakan Soekarno mengekuarkan dekrit dan membubarkan konstituante itu
sebagai” kudeta konstitusiona”. Suatu kesalahan besar yang menjauhkan bangsa ini dari cita-cita
pembentukan negara konstituonal.

B. Reformasi dan Perubahan UUD 1945

Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945. Sejak keluarnya dekrit 5 juli
1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945 sampai berakhirnya kekuasaan presiden
Soeharto, praktis UUD 1945 belum pernah diubah untuk disempurnakan. Soekarno dengan
demokrasi terpimpinya bukanya menjunjung tinggi nilai-nilai kedaulatan rakyat, tetapi yang
dijunjung tinggi adalah kekuasaan pemimpin, itulah yang sangat dominan. Era ini melahirkan
sistem diktator dalam kepemimpinan negara. Presiden Soekarno telah gagal keluar dari pilihan
dilematisnya antara mengembangkan demokrasi lewat sistem multi partai dengan keinginan
untuk menguasai seluruh partai dalam rangka mempertahankan kekuasaanya. Pengankatan
presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS merupakan salah satu perwujudan
penyelewengan UUD 1945.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh Majelis dengan suara terbanyak,
direduksi menjadi Presiden dan Wakil Presiden dipilih dengan oleh Majelis dengan suara
mufakat, dan calonnya harus tunggal. Jadi, tidak ada pemungutan suara (voting). Di samping itu,
tidak ada masa jabatan bagi Presiden dan Wakil Presiden, asal masih di pilih oleh MPR berapa
kali pun tidak menjadi masalah. Hasilnya, Soeharto berhasil menduduki kursi Presiden selama
kurang lebih 32 tahun, sementara Wakil Presidennya selalu berganti. Bahkkan, tidak sedikit dari
anggota Tim Penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) kala itu ( orde baru
), yang melakukan kampanye “pembodohan” pada masyarakat dengan mengatakan kalau UUD
1945 diubah negara akan “kacau atau hancur” bahkan gagasan perubahan UUD 1945 dianggap
sebagai tindakan subversif, musuh utama negara, dan seterusnya. Akibatnya adalah seluruh celah
kekurangan UUD 1945 bukannya disempurnakan, tetapi “ditutupi” dengan bingkai yuridis
berupa Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, yang berisi
kebulatan tekad anggota Majelis yang akan mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan
tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan
konsekuen. Hal ini memang ironis, padahal Pasal 37 UUD 1945 memberikan peluang
penyempurnaan apabila akan dilakukan perubahan terhadapnya dengan qorum yang telah
ditentukan secara jelas. Tetapi, dalam praktik ketatanegaraan, peluang itu pun dibelokkan
arahnya bahkan direduksi melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR No.
VII/MPR/1988 jo UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Sejak terjadinya reformasi, UUD
1945 yang “disakralkan” mengalami desakralisasi.

Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Mengapa
UUD 1945 harus dilakukan perubahan? Berbagai alasan dapat dikemukakan mengapa perubahan
itu penting dan harus dilakukan. Secara filosofis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah
pertama, karena UUD 1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi
yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai
perubahan, baik di tingkat nasional maupun global. Hal ini tentu saja belum tercakup di dalam
UUD 1945 karena saat itu belum tampak perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh
manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan.
Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun
keluarga. Dari aspek historis, sedari mula pembuatannya UUD 1945 bersifat sementara,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno ( Ketua PPKI ), dalam rapat pertama 18 Agustus
1945, dapatlah disimpulkan bahwa UUD 1945 dibuat secara tergesa – gesa karena akan segera
dipakai untuk melengkapi kebutuhan berdirinya negara baru Indonesia yang sudah
diproklamasikan sehari sebelumnya, yakni 17 Agustus 1945 dan statusnya adalah sementara. Di
samping, para perumus UUD 1945 belum mempunyai pengalaman mengurus negara, sehingga
masih mencari – cari pola dan bentuk negara macam apa yang akan didirikan serta bagaimana
menjalankan roda pemeritahan. Untuk itu, wajar kalau UUD 1945 belum lengkap dan tidak
sempurna sehingga perlu disempurnakan dan dilengkapi. Secara yuridis, para perumus UUD
1945 sudah menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 sudah
menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan
berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan mengalami
perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai produk hukum yang
mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saaat itu, UUD akan aus dimakan masa
apabila tidak diadakan pembaruan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa,
dan bernegara di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Untuk itu, mereka ( perumus
UUD 1945 ) membuat pasal perubahan di dalam UUD 1945, yaitu Pasal 37. Tetapi, ketentuan
dalam Pasal 37 sangat simple karena hanya mengatur segi pengambilan putusan belaka, sehingga
sulit untuk diterapkan karena tidak dijelaskan bagian mana saja yang boleh dan yang tidak boleh
untuk diubah, bagimana cara mengubahnya dan seterusnya. Tidak ada ketentuan lain
menyangkut perubahan UUD 1945 sebab tambahan muncul kemudian, yaitu melalui interpretasi
historis dan filosofis oleh Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966, bahwa pembukaan UUD 1945
dinyatakan tanpa diubah. MPR hasil Pemilu 1999 juga bersepakat untuk tidak mengubahnya.
Perubahan UUD 1945 disandarkan lebih lanjut kepada referendum ( Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1983 jo UU No. 5 Tahun 1985 ), yang kini sudah dicabut dengan Kettetapan MPR No.
VIII/MPR/1998.

Secara substansif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat diketahui
antara lain: pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and
balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu
menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah Soepomo:
“concentration of power and responsibility upon the president”. Kedua, rumusan ketentuan UUD
1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas ( vague ) sehingga
banyak pasal yang menimbulkan multitafsir. Ketiga, unsur – unsur konstitusionalisme tidak
dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945. Keempat, UUD 1945 terlalu menekankan pada
semangat penyelenggara negara. Kelima, UUD 1945 memberikan antribusi kewenangan yang
terlalu besar kepada presiden untuk mengatur berbagai hal penting dengan UU. Akibatnya,
banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya ( Presiden dan DPR )
ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang penting justru
diatur di dalam Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum di dalam pasal – pasal UUD 1945.
Ketujuh, status dan materi penjelasan UUD 1945. Persoalan ini sering menjadi objek perdebatan
tentang status Penjelasan karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur di dalam pasal –
pasal UUD 1945, misalnya materi negara hukum, istilah kepala negara dan kepala pemerintahan,
istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden, dan seterusnya.

Dalam rapat – rapat Panitia Ad Hoc III (PAH) Badan Pekerja MPR masa sidang 1999 belum
sampai pada kesepakatan mengenai materi rancangan perubahan UUD 1945, terlebih dahulu
disepakati dua hal: kesepakatan langsung melakukan perubahan tanpa menetapkan UUD 1945
terlebih dahulu dan kesepakatan dasar antarfraksi MPR dalam melakukan perubahan UUD. Di
tengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan
dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945


2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal – hal normatif dalam Penjelasan
dimasukkan ke dalam pasal - pasal
5. Perubahn dilakukan dengan cara “adendum”

Dalam pasal – pasal UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang melarang untuk mengubah
Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, oleh sebagian besar Anggota MPR sebagaimana diuraikan
di atas, disepakati Pembukaan UUD 1945 sebagai cita – cita luhur bangsa Indonesia sehingga
tidak boleh serta dipandang sudah final. Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar
normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 mngandung
staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) negara, serta
dasar negara yang harus tetap dipertahankan.

Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial bertujuan untuk


memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara
Reepublik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945. Dalam sistem ini,
terdapat lima prinsip penting, yaitu : (I) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah Undang – Undang Dasar.
(2) Presiden danWakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dank arena itu secara politik
tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen,
melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. (3) Presiden dan atau
Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan
atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para menteri adalah
pembantu presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dank arena itu
bertanggung jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. (5)
Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat
sesuai kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan
Presiden lima tahunan boleh dijabar oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.
Peniadaan penjelasan UUD 1945 dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan
status Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan. Selain itu,
Penjelasan UUD 1945 bukan produk Badan Penyelidik Usaha- usaha Persiapan Kemerdakaan
Indonesia (BPUPKI) atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) karena kedua
lembaga ini menyusun rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh ( pasal – pasal ) UUD 1945
tanpa penjelasan. Kesepakatan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara “adendum”, yakni
perubahan UUD 1945 dilkukan dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945
sebagaimana terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan naskah perubahan – perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.

Anda mungkin juga menyukai