Anda di halaman 1dari 9

Arbiter

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Alternatif Penyelesaian Sengketa”

Dosen Pembimbing :
Suyikno, S.Ag MH.

Di Susun Oleh Kelompok 3:


Athifatul Wafirah (C05217004)
Mohd Fathuddin Bin Yusuf (C45217016)
Wan Syauki Bin Wan Mhd Shuhaimi (C45217017)

PRODI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Metode penyelesaian sengketa di Indonesia ada yang berupa litigasi dan


secara non litigasi. Salah satu cara menyelesaikan sengeketa non ligitasi
adalah menggunakan langkah arbiterase. Arbiterase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum didasarkan pada perjanjian
arbiterase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di
Indonesia, arbiterase hanya untuk menyelesaikan sengeketa bisnes menurut
UU. No 30 Tahun 1999. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia terkhusus dalam dunia bisnes ataupun usaha.
Dalam kegiatan bisnes, adanya timbul sengketa suatu hal yang sulit untuk
dihindari karena dalam urusan bisnes sekarang ini, para pelaku bisnes sudah
mulai mengantisipasi atau paling tidak mencoba meminimalisasi terjadinya
sengketa. Langkah yang ditempuh adalah dengan mendapatkan penasihat
hukum (legal adviser) dalam membuat atau menganilisis kontrak yang akan
ditandatangani oleh pelaku usaha. Sehingga dalam kontrak perjanjian bisnes
tersebut jika terjadinya sengketa maka dapat diselesaikan dengan cara ligitasi
dan non ligitasi dan salah satu langkah non ligitasi adalah arbiterase.
Dalam arbiterase ini, para pihak yang bersengketa dapat memilih para
arbiternya sendiri dan untuk itu di makalah ini akan ada sedikit penjelasan
mengenai hal-hal yang melibatkan arbiter karena dalam proses arbiterase yang
memainkan peranan yang penting adalah seorang arbiter.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja syarat-syarat menjadi arbiter?


2. Bagaimana prosedur pengangkatan arbiter?
3. Bagaimana kode etik arbiter?
4. Apa saja tugas dan tanggungjawab arbiter?
5. Bagaimana berakhirnya tugas arbiter?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat arbiter.
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pengankatan arbiter.
3. Untuk mengetahui kode etik arbiter.
4. Untuk mengetahui tugas dan tanggungjawab arbiter.
5. Untuk mengetahui berakhirnya tugas arbiter.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Arbiter
Arbiter dalam proses arbitrase memegang peranan yang sangat penting
terutama dalam kaitannya memimpin jalannya proses tersebut. arbiter
diharuskan berada dalam posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu
pihak yang bersengketa. Sehingga dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan alteratif penyelesaian sengketa pasal 12
memberikan persyaratan bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang arbiter1,
sebagai berikut :
1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi
beberapa syarat:
- Cakap dalam melakukan tindakan hukum
- Berumur paling rendah 35 tahun
- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah dengan salah satu pihak
sengketa
- Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase
- Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling
sedikit 15 tahun.
2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk
atau diangkat sebagai arbiter.
Sedangkan ada syarat tersendiri untuk dapat diangkat dan tunjuk menjadi
arbiter menurut BAPMI. Pengaturan mengenai starat arbiter ini tertuang
dalam peraturan BAPMI Kep-03/BAPMI/11.2002 dalam pasal 3, sebagai
berikut2 :

1
Zuhairi Bharata Ashbahi,2016, “Urgensi penunjukan Arbiter oleh Ketua Pengadilan Negeri
dalam Proses Arbitrase”, Badamai Law Journal , Vol. 1, Issues 1 , April 2016, Hal. 313-
314
2
Ibid, hal. 314
a. Warga Negara Indonesia
b. Cakap melakukan tindakan hukum
c. Berumur paling rendah 35 tahun
d. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidangnya paling
sedikit 15 tahun
e. Tidak pernah dihukum karena suatu tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan yang telah mempunyai kekuatan pasti
f. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
g. Bukan merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menjadi arbiter oleh
ketentuan perundang- undangan yang berlaku
h. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela atau daftar orang yang tidak
boleh melakukan tindakan tertentu dibidang pasar modal sesuai dengan
daftar yang dikeluarkan oleh BAPEPAM dan atau tidak pernah dihukum
karena suatu tindak pidana yang terkait dengan masalah ekonomi atau
keuangan
i. Memahami ketentuan perundang-undangan dibidang pasar modal dan
bidang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia
j. Memahami peraturan dan acara BAPMI
k. Bukan merupakan pejabat dibidang pengawas pasar modal, direksi bursa
efek atau lembaga kliring dan penjaminan atau lembaga penyimpanan
dan penyelesaian
l. Serta bukan merupakan pejabat aktif dari instansi peradilan,kejaksaan
atau kepolisian.

B. Prosedur Pengangkatan Arbiter


Pemilihan atau pengangangkatan arbiter dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa. Tetapi, apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam
memilih arbiter, maka ketua pengadilan Negeri lah yang menunjuk arbiter
atau majelis arbitrase3.
Mengenai pemilihan dan pengangkatan arbiter tunggal dapat dilihat dalam
pasal 14 Undang- Undang No.30 tahun 1999:
(1) Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan
diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk
mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal.
(2) Pemohon dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau
dengan buku ekspedisi harus mengusulkan kepada pihak termohon nama
orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 14 hari setelah termohon menerima
usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) para pihak tidak
berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu
pihak, ketua pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.
Ketua pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan
daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari
organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 34,
dengan memperhatikan baik rekomendasii maupun keberatan yang
diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
Para pihak juga bisa menentukan lebih dari satu arbiter yang akan memeriksa
dan memutus perkaranya sesuai dalam pasal 15 Undang- Undang No.30
Tahun 1999.

C. Kode Etik Arbiter


Setiap pekerjaan dan profesi apapun mempunyai kode etiknya masing-
masing, sebagai asas pegangannya sendiri. Begitu juga untuk menjadi seorang
arbiter, di sini pemakalah menemukan beberapa kode etik sebagai seorang

3
Tri Jata Ayu Pramesti, Syarat dan Prosedur Menjadi Arbiter, 2014,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53abca8761d37/syarat-dan-prosedur-menjadi-
arbiter/ ,diakses 07 July 2014
arbiter, daripada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan
Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI). Dan yang akan dipaparkan adalah kode etik dari BAPMI
karena menurut pemakalah kode etiknya lebih umum dan tidak khusus kepada
organisasinya sendiri.
a. Bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan menjunjung tinggi Negara
Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
b. Bersikap jujur, professional, objektif, hati-hati, dan bertanggung jawab
dalam melaksanakan tugasnya.
c. Berorientasi kepada penegakan keadilan
d. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
dalam masyarakat.
e. Bersikap indipenden dan tidak memihak.
f. Mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan
rasa keadilan dan kepatutan.
g. Bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin siding, baik dalam
ucapan maupun perbuatan.
h. Menjaga kewibawaaan dan ketenteraman persidangan.
i. Menghormati hak para pihak untuk didengar keterangannya.
j. Menjaga kerahasian data dan informasi yang diterima, diketahui,
diperoleh dari atau sehubungan dengan pemeriksaan sengketa atau beda
pendapat yang diselesaikan melalui Arbitrase.
k. Menghindari diri dari adanya benturan kepentingan pada saat
mlaksanakan tugasnya.
l. Berupaya semaksimal mungkin untuk mmberikan putusan dalam waktu
yang telah disepakati atau ditentukan.4

4
Kode Etik (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, 2006),
http://www.bapmi.org/en/arbitrators_codeofconduct.php)
D. Tugas dan Tanggung Jawab Arbiter
Arbiter memiliki peran yang sangat penting dalam suatu proses arbitrase.
Arbiter bertugas untuk menyelesaikan pemeriksaan arbitrase dan selanjutnya
menjatuhkan putusan arbitrase dalam jangka waktu yang di tentukan oleh para
pihak yang menunjuk arbiter tersebut.5 dan jugatugas arbiter selain
memeriksa, memimpin serta menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang
menjadi kewajibannya untuk diselesaikan adalah bahwa seluruh biaya selama
proses pemeriksaan hingga akhir tahapan arbitrase sepenuhnya ditentukan
olehnya6.

E. Berakhirnya Tugas Arbiter


Berakhirnya tugas Arbiter terdapat dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Pada pasal 73, berbunyi:
Tugas arbiter berakhir karena :
a. Putusan mengenai sengketa telah diambil
b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau
sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau
c. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.

5
Aryani Witasari, 2011, “Konsekuensi hukum bagi seorang arbiter dalam memutus suatu
perkara berdasarkan Undang- Undang NO.30 Tahun 1999”, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1,
April 2011.
6 Ibid.
DAFTAR PUSTAKA

Zuhairi Bharata Ashbahi,2016, “Urgensi penunjukan Arbiter oleh Ketua


Pengadilan Negeri dalam Proses Arbitrase”, Badamai Law Journal , Vol. 1,
Issues 1 , April 2016.

Tri Jata Ayu Pramesti, Syarat dan Prosedur Menjadi Arbiter, 2014,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53abca8761d37/syarat-dan-
prosedur-menjadi-arbiter/ ,diakses 07 July 2014.

Kode Etik (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, 2006),


http://www.bapmi.org/en/arbitrators_codeofconduct.php).

Aryani Witasari, 2011, “Konsekuensi hukum bagi seorang arbiter dalam


memutus suatu perkara berdasarkan Undang- Undang NO.30 Tahun 1999”,
Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, April 2011.

Anda mungkin juga menyukai