Anda di halaman 1dari 3

Nama : Livia Noffita

NIM : 12101183030
Kelas : HES VB
Mata Kuliah : Hukum Arbitrase dan Arbitrase Syariah

Jawab:
1. Perbedaan antara arbitrase syariah dan arbitrase secara umum.
a. Berdasarkan dasar hukumnya:
• Arbitrase syariah: tidak hanya menggunakan hukum nasional yaitu
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, tetapi juga menggunakan hukum
islam.
• Arbitrase secara umum: menggunakan hukum nasional yaitu Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999.
b. Eksekusi putusan:
• Arbitrase syariah: Pengadilan Agama.
• Arbitrase secara umum: Pengadilan Negeri.
c. Lembaga Penyelesaian sengketa:
• Arbitrase syariah: Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
• Arbitrase secara umum: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

2. Yang harus dilakukan agar putusan tersebut dapat dieksekusi adalah arbiter atau
kuasanya harus mendaftarkan dan mencatatkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Setelah didaftarkan, Ketua Pengadilan Negeri diberikan hak
untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah
diambil dalam suatu proses yang sesuai. Apabila putusan tersebut telah diambil
dalam suatu proses yang sesuai, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat
menjatuhkan perintah pelaksanaan putusan arbitrase. Perintah pelaksanaan
putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri diberikan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi
didaftarkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Perintah Ketua Pengadilan Negeri
ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase. Putusan arbitrase
yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut, dilaksanakan
sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya
telah mempunyai hukum tetap.

3. Dapat.
Prosedur pelaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia dengan cara
mendaftarkan putusan arbitrase internasional ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Selanjutnya, dalam jangka waktu 14 hari, Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mengirimkan permohonan tersebut ke Mahkamah Agung sebagai
satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan putusan eksekutorial
(exequatur) atas putusan arbitrase internasional tersebut. Setelah exequatur
dikabulkan, maka putusan tersebut dikirimkan kembali ke Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk dilaksanakan. Jika pelaksanaan putusan tersebut di
luar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka putusan tersebut dikirimkan ke
Pengadilan Negeri setempat dimana putusan akan dilaksanakan.

4. Dapat.
Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 71
ditentukan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan
secara tertulis dan dalam waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Sedangkan alasan yang dapat digunakan untuk permohonan pembatalan
putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan dijatuhkan, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan
yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan dijatuhkan atas dasar hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
salah satu pihak dalam memeriksa sengketa.

5. Lahirnya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-


Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa
perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama. Salah satu
perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan
Agama (PA) dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan pasal 49 UU No 3
Tahun 2006 ditegaskan bahwa, PA memiliki kewenangan dalam memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”. Dengan
adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah, maka peran dari PA
akan bertambah luas. Tetapi dengan adanya UU tersebut menjadikan polemik
tentang keberadaan BASYARNAS (Badan Abritase Syariah Nasional) yang
selama ini bertugas dalam menyelesaikan perkara-perkara tentang ekonomi
syaraiah. Terkait dengan penyelesaian non-litigasi melalui arbitrase, Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riil dan lebih spesifik
dalam upaya negara mengaplikasikan dan mensosialisasikan institusi
perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula
dikemukakan bahwa Negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk
menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar pengadilan, baik melalui
konsultasi, mediasi, negoisasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. Jadi tetap ada
pilihan bagi pihak-pihak yang ingin menyelesaiakan sengketa ekonomi syariah
melalui BASYARNAS. Pengadilan Agama berwenang terkait Eksekusi
Putusan, karena BASYARNAS tidak berwenang melaksanakan ekseskusi
putusan arbitrase.
6. Jalur penyelesaian sengketa yang saya pilih adalah melalui arbitrase syariah.
Karena sengketa ekonomi syariah adalah salah satu ruang lingkup dari badan
arbitrase syariah. Disamping itu badan abitrase syariah dapat memberikan suatu
rekomendasi atau pendapat hukum (bindend advice), yaitu pendapat yang
mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak
yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.

Anda mungkin juga menyukai