1
Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 60. Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan peradilan Agama, (Mahkamah Agung R.I: Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama,2014) hal.496
2
Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 70. Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan peradilan Agama, (Mahkamah Agung R.I: Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama,2014) hal.499
pihak. Dalam penjelasannya, kata final ini dimaksudkan bahwa atas
putusan arbitrase tidak bisa diajukan banding, kasasi, atau peninjauan
kembali. Dengan kata lain, putusan arbitrase merupakan putusan pertama
dan terakhir yang mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang
bersengketa. Tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap
putusan arbitrase tersebut.
Namun, Pasal 70 s.d 73 UU AAPS memberikan peluang bagi para
pihak yang bersengketa untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase
ke pengadilan. Menurut Pasal 70 UU AAPS, para pihak yang bersengketa
dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk
mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan
Negeri apabila salah satu unsur di atas terpenuhi. Menurut Munir Fuady,
pembatalan putusan arbitrase ini bukan merupakan upaya hukum biasa,
tapi merupakan upaya hukum luar biasa, tidak sama dengan dengan upaya
banding dalam upaya banding dalam sistem peradilan biasa.
Selanjutnya pembatalan putusan harus didaftarkan ke panitera dan
diajukan ke Ketua Pengadilan Negeri (pasal 70 UU AAPS). Dalam waktu
30 hari semenjak didaftarkan, Ketua Pengadilan Negeri harus memberikan
putusan. Pihak yang mengajukan pembatalan putusan arbitrase harus
memberikan alasan-alasan disertai dengan bukti-bukti. Apabila
permohonan pembatalan putusan arbitrase dikabulkan, masih ada upaya
hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak yang bersengketa atas putusan
tersebut dengan mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir. Dalam waktu 30 hari semenjak
permohonan didaftarkan, Mahkamah Agung akan mengeluarkan
putusannya. Dikarenakan Putusan Mahkamah Agung ini merupakan
putusan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lagi yang bisa
diajukan apabila ada para pihak yang bersengketa berkeberatan.3
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30
hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut
dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan
pembatalan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan permohonan
banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama
dan terakhir. Mahkamah Agung juga hanya diberi waktu maksimal 30 hari
untuk memutuskan permohonan banding tersebut.4
Di dalam UU No. 30 Tahun 1999, aturan hukum mengenai
Pendaftaran Putusan dan Pelaksanaan atau Eksekusi putusan arbitrase,
hanya memuat kewenangan Pengadilan Negeri, tidak memuat kewenangan
Pengadilan Agama, oleh karenanya ada dua pendapat mengenai hal ini.
Pertama, kewenangan tersebut merupakan wewenang Pengadilan Negeri,
berdasar Pasal 59, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64 UU No. 30
Tahun 1999, sehingga putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri. Kedua, berpendapat bahwa semua yang
berkaitan dengan penyelesaian ekonomi syariah berdasar Pasal 49 huruf (i)
merupakan kewenangan Pengadilan Agama, pendapat ini didasarkan
kepada asas hukum lex posteriori derogat legi priori dan lex specialis
derogat legi generali. Berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori,
3
Mahkamah Agung, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
135 PK/Pdt.Sus-BPSK, 2013 hal. 9
4
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000, hal 114
peraturan perundang-undangan yang lebih baru didahulukan berlakunya
daripada peraturan perundang-undangan yang lebih lama/terdahulu.
Sedangkan menurut asas lex specialis derogat legi generali, yaitu
peraturan perundang-undangan yang sifatnya khusus didahulukan
berlakunya daripada peraturan perundangundangan yang sifatnya umum.
Kewenangan Pengadilan Agama untuk melaksanakan Putusan atau
Eksekusi Basyarnas sangatlah tepat sesuai dengan asas hukum lex
posteriori derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generali. Untuk
itu, dasar kewenangan perluasan kewenangan Peradilan Agama adalah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan kedua asas hukum
tersebut, dimana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama sebagai perubahan atas undang-undang Peradilan Agama yang
lama, yang diundangkan pada tanggal 20 Maret 2006, merupakan undang-
undang terbaru dibanding undang-undang Arbitrase yang diundangkan
pada tanggal 12 Agustus 1999.
5
H. Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Makalah
Ilmiah Pada Pembukaan Kuliah Fakultas IAIN Antasari banjarmasin, 30 Agustus 2020, hal 18-19
Daftar Pustaka
Daud Ali Mohammad. 2000, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.