Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertian Hukum Pembatalan BASYARNAS


Pembatalan putusan arbitrase (termasuk badan arbitrase syariah)
adalah merupakan kewenangan Pengadilan Negeri, namun yang menarik
dikaji lebih lanjut adalah tentang kewenangan pembatalan putusan badan
arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa.
Badan Arbitrase Syariah yang ada di Indonesia hanyalah Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang meskipun tidak menutup
kemungkinan dapat menerima dan menyelesaikan perkara-perkara perdata
umum, namun secara histori berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) tersebut adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara di
bidang muamalat (perdata Islam).
Sebagai Badan Arbitrase Syariah, maka sesuai dengan namanya
prosedur penyelesaian perkaranya pun dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah, hal tersebut tercermin pada Peraturan Prosedur Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) pada Pasal 22 ayat (4) yang
menegaskan bahwa:
“Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
Bismillâhirrahmanirrahîm, diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.25 Yang kemudian dipertegas lagi dalam
Pasal 24 ayat (1) Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) bahwa “Putusan arbitrase harus memuat: (a) kalimat
Basmallah yang berbunyi: Bismillâhirrahmanirrahîm di atas kepala
putusan”.

B. Dasar Hukum Pembatalan BASYARNAS

Dasar Hukum Pembatalan Putusan Arbitrase Pembatalan putusan


arbitrase (termasuk Badan Arbitrase Syariah) adalah merupakan upaya
hukum luar biasa, karena berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa di tegaskan bahwa putusan arbitrase adalah bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.1
Sehingga terhadap putusan arbitrase tersebut tidak dikenal upaya hukum
biasa (banding dan kasasi) sebagaimana terhadap putusan lembaga
peradilan pada umumnya. Kemudian ketentuan pembatalan putusan
arbitrase, terdapat dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan
bahwa: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salahsatu pihak dalam pemeriksaan sengketa.2
Kemudian mengenai lingkungan badan peradilan yang berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaian perkara permohonan pembatalan
putusan arbitrase tersebut adalah lingkungan badan peradilan umum
(pengadilan negeri).

C. Tahap Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Syariah (BASYARNAS)

Pasal 60 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) menyatakan bahwa putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para

1
Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 60. Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan peradilan Agama, (Mahkamah Agung R.I: Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama,2014) hal.496
2
Republik Indonesia, Undang-Undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 70. Dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan peradilan Agama, (Mahkamah Agung R.I: Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama,2014) hal.499
pihak. Dalam penjelasannya, kata final ini dimaksudkan bahwa atas
putusan arbitrase tidak bisa diajukan banding, kasasi, atau peninjauan
kembali. Dengan kata lain, putusan arbitrase merupakan putusan pertama
dan terakhir yang mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang
bersengketa. Tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap
putusan arbitrase tersebut.
Namun, Pasal 70 s.d 73 UU AAPS memberikan peluang bagi para
pihak yang bersengketa untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase
ke pengadilan. Menurut Pasal 70 UU AAPS, para pihak yang bersengketa
dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk
mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan
Negeri apabila salah satu unsur di atas terpenuhi. Menurut Munir Fuady,
pembatalan putusan arbitrase ini bukan merupakan upaya hukum biasa,
tapi merupakan upaya hukum luar biasa, tidak sama dengan dengan upaya
banding dalam upaya banding dalam sistem peradilan biasa.
Selanjutnya pembatalan putusan harus didaftarkan ke panitera dan
diajukan ke Ketua Pengadilan Negeri (pasal 70 UU AAPS). Dalam waktu
30 hari semenjak didaftarkan, Ketua Pengadilan Negeri harus memberikan
putusan. Pihak yang mengajukan pembatalan putusan arbitrase harus
memberikan alasan-alasan disertai dengan bukti-bukti. Apabila
permohonan pembatalan putusan arbitrase dikabulkan, masih ada upaya
hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak yang bersengketa atas putusan
tersebut dengan mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir. Dalam waktu 30 hari semenjak
permohonan didaftarkan, Mahkamah Agung akan mengeluarkan
putusannya. Dikarenakan Putusan Mahkamah Agung ini merupakan
putusan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lagi yang bisa
diajukan apabila ada para pihak yang bersengketa berkeberatan.3
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30
hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut
dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan
pembatalan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan permohonan
banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama
dan terakhir. Mahkamah Agung juga hanya diberi waktu maksimal 30 hari
untuk memutuskan permohonan banding tersebut.4
Di dalam UU No. 30 Tahun 1999, aturan hukum mengenai
Pendaftaran Putusan dan Pelaksanaan atau Eksekusi putusan arbitrase,
hanya memuat kewenangan Pengadilan Negeri, tidak memuat kewenangan
Pengadilan Agama, oleh karenanya ada dua pendapat mengenai hal ini.
Pertama, kewenangan tersebut merupakan wewenang Pengadilan Negeri,
berdasar Pasal 59, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64 UU No. 30
Tahun 1999, sehingga putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri. Kedua, berpendapat bahwa semua yang
berkaitan dengan penyelesaian ekonomi syariah berdasar Pasal 49 huruf (i)
merupakan kewenangan Pengadilan Agama, pendapat ini didasarkan
kepada asas hukum lex posteriori derogat legi priori dan lex specialis
derogat legi generali. Berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori,

3
Mahkamah Agung, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
135 PK/Pdt.Sus-BPSK, 2013 hal. 9
4
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000, hal 114
peraturan perundang-undangan yang lebih baru didahulukan berlakunya
daripada peraturan perundang-undangan yang lebih lama/terdahulu.
Sedangkan menurut asas lex specialis derogat legi generali, yaitu
peraturan perundang-undangan yang sifatnya khusus didahulukan
berlakunya daripada peraturan perundangundangan yang sifatnya umum.
Kewenangan Pengadilan Agama untuk melaksanakan Putusan atau
Eksekusi Basyarnas sangatlah tepat sesuai dengan asas hukum lex
posteriori derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generali. Untuk
itu, dasar kewenangan perluasan kewenangan Peradilan Agama adalah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan kedua asas hukum
tersebut, dimana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama sebagai perubahan atas undang-undang Peradilan Agama yang
lama, yang diundangkan pada tanggal 20 Maret 2006, merupakan undang-
undang terbaru dibanding undang-undang Arbitrase yang diundangkan
pada tanggal 12 Agustus 1999.

D. Contoh Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional


Permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam kasus yang
diputuskan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional antara PT. Atriumasta
Sakti vs. PT. Bank Mandiri Syariah (kasus No. 16/Th 2008/Basyarnas)
yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009. PT. Bank Mandiri
Syariah, sebagai termohon saat itu, tidak menerima putusan Basyarnas dan
mengajukan permohonan pembatalan putusan Basyarnas ke Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dengan Perkara No. 792/Pdt.G/2009/PA.JP, di mana
PT. Bank Mandiri Syariah sebagai Pemohon danMajelis Arbiter Basyarnas
dan PT. Atriutama sakti sebagai termohon 1 dan termohon 2.
Alasan yang diajukan PT. Bank Syariah Mandiri dalam Permohonan
pembatalan ini antara lain:
1. Adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
2. Isi amar putusan secara substansi tidak logis yuridis dan
bertentangan dengan satu sama lain
3. Adanya pelaksaan isi putusan arbitrase a quo bertentangan dengan
sifat final dan binding
4. Adanya isi amar putusan telah mereduksi dan/atau menghilangkan
hak-hak pemohon yang dijamin Undang-undang.
5. Adanya isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa tidak mempunyai dasar hukum. Setelah mengkaji,
akhirnya majelis hakim memutuskan menerima permohonan
pemohon dan membatalkan putusan Basyarnas dengan alasan
bahwa Termohon 2 terbukti melakukan perbuatan yang tidak jujur,
hal ini patut dikategorikan sebagai perbuatan tipu muslihat sesuai
yang dimaksud dalam Pasal 70 huruf C UU AAPS.
Atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang membatalkan
putusan Basyarnas tersebut, PT. Atriumasta Sakti dan Majelis Arbiter
Basyarnas mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung (MA)
dengan Termohon Banding adalah PT. Bank Syariah Mandiri. MA dalam
putusannya No. 188 K/AG/2010 membatalkan putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat No. 792/Pdt.G/2009/PA.JP, menyatakan bahwa Pengadilan
Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
Pengadilan Agama telah melampui kompetensinya, seharusnya
permohonan pembatalan putusan arbitrase, sesuai dengan Pasal 71 UU
AAPS, diajukan ke Pengadilan Negeri.
Kemudian, alasan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan pasal 70
UU AAPS yang menyatakan adanya tipu muslihat juga keliru karena tidak
didasarkan putusan pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan
harus diputuskan terlebih dahulu oleh pengadilan sesuai yang ditetapkan
dalam penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Selanjutnya, PT. Bank Mandiri
Syariah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), namun permohonan PK
PT. Bank Syariah Mandiri ditolak oleh MA dengan putusan No.
56/PK/AG/2011 tanggal 1 Desember 2011. Intinya, putusan MA dalam
PK menguatkan pendapat MA di tingkat banding.
Dari penjelasan perkara di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya
putusan arbitrase bersifat final, mengikat dan harus dipatuhi oleh para
pihak yang bersengketa, namun permohonan pembatalan putusan arbitrase
dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dengan mengajukan alasan-alasan
sesuai dengan unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 70 UU AAPS.
Alasan pemohonan pembatalan putusan arbitrase ini harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan ini yang nantinya akan
digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan untuk mengabulkan
atau menolak permohonan.
Terkait dengan penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang mensyaratkan
alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebutkan dalam Pasal ini
harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan, telah dihapus
oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan No. 15/PUU/XII/2014.
Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 70 UU AAPS sudah jelas (expressis
verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan lain. Sedangkan penjelasannya
menimbulkan multitafsir, ketentuan itu bisa diinterpretasikan apakah
alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih
dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan atau alasan
pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai
permohonan pembatalan.5
Dua tafsir ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika penafsiran
pertama yang digunakan, maka akan ada dua proses pengadilan.
Akibatnya, penyelesaian sengketa memakan waktu lama. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 72(3) UU AAPS yang menyatakan pembatalan
putusan arbitrase harus diselesaikan dalam waktu 30 hari oleh Pengadilan
sejak diterima.

5
H. Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Makalah
Ilmiah Pada Pembukaan Kuliah Fakultas IAIN Antasari banjarmasin, 30 Agustus 2020, hal 18-19
Daftar Pustaka

Daud Ali Mohammad. 2000, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

H. Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Makalah


Ilmiah Pada Pembukaan Kuliah Fakultas IAIN Antasari banjarmasin.

Mahkamah Agung. 2013, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 135 PK/Pdt.Sus-BPSK.

Republik Indonesia. 2014, Undang-Undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 60. Dalam Himpunan
Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan peradilan Agama, (Mahkamah
Agung R.I: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama).

Republik Indonesia. 2014, Undang-Undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 70. Dalam Himpunan
Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan peradilan Agama, (Mahkamah
Agung R.I: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama).

Anda mungkin juga menyukai