Anda di halaman 1dari 10

ARBITRASE &

Alternatif Penyelesaian
Sengketa Konstruksi
SEJARAH ARBITRASE INDONESIA
1. Zaman Hindia Belanda
Pada zaman ini, Indonesia dikelompokkan
dalam tiga golongan, antara lain :
a) Golongan eropa dan mereka yang
disamakan berlaku hukum Negara Belanda
(Hukum Barat) dengan badan peradilan
Raad van Justitie dan Residentie-gerecht
dengan hukum acara yang dipakai bersumber
kepada hukum yang termuat dalam
Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering
(B.Rv atau Rv
b) Golongan bumi putra dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-
masing. Namun bagi mereka dapat diberlakukan hukum barat jika ada kepentingan
umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Badan peradilan yang digunakan adalah
Landraad dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik, dan
sebagainya. Dengan hukum acara yang dipakai bersumber pada Herziene Inlandsch
Reglement (HIR) bagi yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya. Dan bersumber pada
Rechtsrgelement Buitengewesten (Rbg).
c) Golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan dengan hukum
Barat dengan beberapa pengecualian. Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian
sengketa pada masa itu dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal
377 HIR atau pasal 705 Rbg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib
menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.
Dari pasal tersebut, menunjukkan bahwa pada zaman Hindia Belanda Arbitrase sudah
diatur dalam tata hukum Indonesia di masa itu. Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP)
yang pada pasal 615 dan 651 Rv yang isinya tentang pengertian, ruang lingkup,
kewenangan dn fungsi arbitrase. Dari ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa
pada waktu itu punya hak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada
seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter), selanjutnya arbiter yang dipercaya tadi
memeriksa dan memutus sengketa yang diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan
ketentuan sesuai yang diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
Ada tiga arbitrase yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu:
a. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.
b. Badan arbitrase tentang kebakaran.
c. Badan arbitrase asuransi kecelakaan.
2. Zaman Pemerintahan Jepang
Pada zaman ini, peradilan Raad van Justitie dan
Residentiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk
satu macam yang berlaku bagi semua orang yang
diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini
merupakan peradilan kelanjutan dari Landraad.
Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg.
Mengenai arbitrase pemerintah Jepang masih
memberlakukan aturan arbitrase Belanda dengan
didasarkan pada peraturan Pemerintah Balatentara
Jepang, isinya : “Semua badan pemerintah dan
kekuasaan hukum dari pemerintah dahulu tetap
diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan
dengan aturan pemerintah militer Jepang”.
3. Indonesia Merdeka
Untuk mencegah kevakuman hukum setelah Indonesia
merdeka diberlakukanlah pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, isinya : “Segala badan Negara dan peraturan yang
ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini”. Dengan demikian maka aturan arbitrase
zaman Belanda masih dinyatakan berlaku.
Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang
menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah:
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338
ayat (1).
c. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
d. Pasal 615-651 Rv.
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan APS
 Dalam kaitan dengan usaha peningkatan arus penanaman modal asing di Indonesia,
pemerintah Indonesia telah pula menanda tangani sejumlah konvensi internasional
yangmenyangkut penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase. Diantaranya adalah
Konvensi New York tahun 1958 tentang Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards atau Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan Arbitrase Asing
yang disahkan melalui Kepres No. 34 tahun 1981.
 Pada tanggal 24 September 1968 Indonesia telah meratifikasi Convention on the
Settlement of Investment Disputes between States and National of Other States (ICSID)
yaitu Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Investasi antar Negara dan WargaNegara
lain yang kemudian diratifikasi melalui UU No. 5 tahun 1968.
 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional Indonesia pertama kali dilakukan
oleh BANI yang didirikan atas prakarsa KADIN tahun 1977. Pendirian BANI didukung penuh
oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (selanjutnya disebut dengan KADIN), yaitu oleh
Marsekal Suwoto Sukendar (sebagai ketua) dan Julius Tahya (sebagai anggota pengurus).
29 BANI didirikan pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarsa tiga pakar hukum
terkemuka yaitu Prof. R. Subekti, S.H.; Harjono Tjitrosoebono, S.H.; dan Prof. Dr.
Priyatna Abdurrasyid.
 Berdirinya SIAC pada tahun 1991 yang merupakan suatu organisasi non profit yang
independen didirikan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bisnis
internasional akan suatu institusi penyelesaian sengketa yang bersifat netral, efisien, dan
dapat diandalkan di Asia
 Dengan dikeluarkannya UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, maka pengaturan tentang pelaksanaan putusan arbitrase nasional
yang diselenggarakan secara institusional oleh BANI yang diatur dalam Anggaran Dasar
BANI maupun Peraturan Prosedur BANI tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU
No. 30 tahun 1999.
KELEBIHAN ARBITRASE
DIBANDING PENGADILAN
JENIS – JENIS ARBITRASE
 Ada dua jenis arbitrase yang diakui eksestensi dan kewenangannya
untuk memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para
pihak yang bersengketa:
1. Arbitrase Ad Hoc (volunteer), dibentuk secara khusus atau
bersifat insidentil untuk memeriksa dan memutus penyelesaian
sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Setelah
memutus sengketa, berakhir pula arbitrase ad hoc ini. Pembentukan
arbitrase ad hoc dilakukan setelahsengketa terjadi.
2. Arbitrase Institusional (permanent), merupakan lembaga atau
badan arbitrase yang bersifat permanen, sehingga disebut juga
permanent arbitral body. Maksudnya yaitu selain dikelola dan
diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus-menerus
untuk jangka waktu tidak terbatas. Ada sengketa atau tidak,
lembaga tersebut tetap berdiri dan tidak akan bubar, bahkan setelah
sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus sekalipun. Tujuan
arbitrase ini didirikan dalam rangka menyediakan sarana
penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan.
PUTUSAN DAN PELAKSANAAN
PUTUSAN ARBITRASE
 Putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan putusan pengadilan, yaitu memiliki kekuatan
eksekutorial. Bahkan dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 diatur secara tegas bahwa
format putusan arbitrase harus memuat kepala
putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
 Putusan arbiter memiliki kekuatan eksekutorial
merupakan ketentuan hukum yang lazim ditemukan
dalam berbagai sistem hukum di dunia. Di Indonesia
ketentuan itu dapat ditemukan dalam Pasal 60 UU No.
30 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa ”putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak”.
 Pasal 59 UUAAPS menyatakan bahwa, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan
arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan
Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan
akta pendaftaran. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Tidak dipenuhinya ketentuan di atas, berakibat putusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan.
 Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan
salah satu pihak yang bersengketa. Perintah Ketua Pengadilan Negeri diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah
pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan
Pasal 4 dan Pasal 5 UUAAPS, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.
 Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan
Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Ketua Pengadilan Negeri tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Perintah Ketua Pengadilan
Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan
sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Anda mungkin juga menyukai