Sebelum Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirase dan Alternatif ("UU
Arbitrase"), proses arbitrase sudah dipraktikan dan digunakan di Indonesia. Contohnya
pada masa penjajahan Belanda, arbitrase dikenal sebagai alternatif penyelesaian sengketa
yang pada saat itu belum mengenal dan hanya mengenal hukum adat. Pada saat itu,
orang-orang belanda telah memiliki lembaga arbitrase yang dibentuk oleh pengussaha
Belanda melalui Kamar Dagang Eropa yang diatur dalam hukum acara perdata bagi
golongan orang Eropa Burgerlijke Reglement op de Rechtvordering ("BRV"). Arbitrase
diatur dalam pasal 615-651 BRV, yang kemudian tidak bisa lagi ditegakkan karena
penjajahan Jepang yang menyebabkan tidak berlakunya BRV dan lembaga arbitrase.1
Setelah penjajahan Belanda dan Jepang, sejarah hukum penyelesaian sengketa arbitrase
dimulai hingga tahun 1945. Pemerintah Indonesia dalam upaya meningkatkan
perkembangannya sebagai suatu Negara kemudian merancangkan Undang-undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kuasa Kehakiman ("UU 14/1970") pada
tanggal 17 Desember 1970 yang didasari oleh ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUD
1945 yang menytakan bahwa: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang."2 Ketentuan dalam pasal
tersebut menunjukan bahwa Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya yang
membawahi penanganan dan pemeriksaan perkara abritrase dikarenakan tidak adanya
suatu peraturan dan badan peradilan khusus yang menangani mengenai arbitrase dibawah
undang-undang pada saat itu. Wewenang dan kompetansi Pengadilan Negeri hingga
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang menangani dan memeriksa perkara
arbitase diperkuat dengan ketentuan pada Pasal 3 UU 14/1970 yang berbunyi:
1
Muhammad, Prof. Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia,cet. III, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2006). hlm. 586.
2
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945. Psl. 24
Undang-undang No. 17 tahun 1970 kemudian menjadi dasar dalam pembentukan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia ("BANI") sebagai lembaga peradilan yang secara khusus
menangani perkara arbitrase dalam negeri. Pembentukan BANI ini diawali oleh Kamar
Dagang Indonesia ("Kadin") melalui akta pendirian yang telah disetujui dan didukung
Menteri Kehakiman, Menteri Negara Perkekonomian dan Perindustrian, Ktua Bappenas,
Ketua mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia, yang dibuat dihadapan notaris
pada tahun 1977 untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap para
pihak yang bersengketa dan memilih untuk menyelesaikan melalui arbitrase, khussunya
di Indonesia kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang Nomor 1 tahun 1987.3
Setelah pendirian BANI di tahun 1977, Indonesia mulai memasukan sumber hukum
internasional keadalam sistem tata hukum nasional Indonesia,lebih tepatnya UNCITRAL
Arbitration Rules yang sudah ditandatangani oleh Indonesia pada tanggal 15 Desember
1976, UNCITRAL Arbitration Rules adalah peraturan yang mengglobalisasikan nilai-
nilai dan tata cara arbitrase dalam hubungan perdagangan internasional.4
Meskipun begitu pada saat itu proses arbitrase di Indonesia tetap dianggap tidak konsisten
dan tidak mampu meneggakan putusan arbitrase asing. Sistem hukum Indonesia sendiri
tidak mampu menciptakan preditability, stability, dan fairness, dikarenakan substansi
peraturan yang tidak seragam atau sinkron, aparatur penegak hukum yang tidak
mendukung dan kualitas budaya hukum yang rendah.5 Lebih lanjut, masih sangat banyak
kekurangan dalam pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia yang disebabkan beberapa faktor, yaitu:
Kemudian sebuah putusan arbitrase asing semakin sulit untuk dilaksanakan di Indonesia
dikarenakan adanya prinsip teritorialitas atau asas kedaulutan territorial yang
mensyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri tidak dapat secara langsung
dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya sendiri. Hal ini diangap sebagai suatu
pelanggaran terhadap asas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar suatu
putusan luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia diperlukan treaty antara Indonesia
dengan Negara lain, serta adanya klausula yang menyatakan tentang tempat putusan
tersebut diambil, untuk menyatakan secara resiprositas bahwa putusan dapat dilaksanakan
dalam wilayah masing-masing seperti halnya suatu putusan domestik. 6 Hal ini
menyebabkan reputasi Indonesia dalam dunia arbitrase internasional menjadi buruk.
6
Tineke Louise, .hlm. 226-227.
negara dengan Angola sebagai negara ke-157 yang mengakui dan meratifikasi Konvensi
ini. Konvensi ini hadir sebagai instrumen yang mengharmonisasi pengakuan dan
pelaksanaan ptusan arbitrase internasional dan berupaya untuk memberikan suatu standar
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 7 Terkecuali pada
Artikel V (2)(b) Konvensi New York terkait ketertiban umum, yang menegcualikan
pelaksanakan putusan arbitrase internasional apabila dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum di mana putusan tersebut dilaksankan. Artikel ini mengatur penolakan
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Terdapat 7 alasan penolakan
terhadap putusan arbitrase internasional yakni:
“(1) perjanjian para pihak tidak sah menurut hukum yang telah dipilih atau hukum
dari negara di mana putusan arbitrase tersebut dibuat; (2) pihak yang
melaksanakan putusan arbitrase tidak diberi pemberitahuan tentang penunjukan
arbiter atau tentang jalannya perkara arbitrase atau tidak diberi kesepatan untuk
membela diri; (3) putusan arbitrase tersebut memuat perbedaan yang tidak diatur
atau tidak tunduk pada ketentuan arbitrase; (4) susunan dari tim arbitrase atau
prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian dari para pihak atau tidak sesuai
dengan hukum di mana arbitrase berlangsung; (5) putusan arbitrase belum
mengikat para pihak atau telah dikesampingkan atau ditunda oleh badan yang
berwenang dari negara di mana putusan arbitrase tersebut dibuat; (6) sengketa
tidak dapat diselesaikan dengan arbitrase menurut hukum dari negara tersebut;
dan (7) pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase bertentangan dengan
ketertiban umum dari negara tersebut”
Pada 7 Oktober 1981 Indonesia mengakui dan meratifikasi Konvensi New York dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan secara resmi tercatat
dalam sistem hukm neggara pada tanggal 7 Oktober 1981. Hal-hal yang diatur dalam
konvensi ini adalah:
7
Bühring-Uhle, Lars Kirchhoff and Gabriele Scherer, Arbitration and Mediation in International Business, hlm. 57.
Pada prinsipnya, Konvensi New York mengahruskan setiap negara perserta untuk
mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional.8 Akan tetapi, Konvensi New
York ini tidak menjelaskan secara rinci mekanime dan tata cara pelaksanaan putusan
arbitrase asing sehingga tercipta multi intepretasi. Seperti konvensi pada umumnya setiap
negara yang meratifikasi memiliki kebebasan yang tergantung pada prinsip negara
tersebut untuk langsung menganut atau diperlukan peraturan pelaksana khusus. Indonesia
sebagai negara penganut sistem ratifikasi campuran yang mana badan eksekutif dan
legislatif sama-sama menentukan proses ratifikasi, dalam hal ini Negara Republik
Indonesia baru dapat mengaplikasikan dan menerima ratifikasi konvensi setelah
dikeluarkannya Keputusan Presiden.
8
Lihat Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, UNCITRAL
(1958), hlm. 9, Art. III.
tersebut akan diteruskan ke Pengadilan Negeri setempat yang bertanggung jawab
melaksanakan putusan tersebut. PERMA No. 1 Tahun 1990, sayangnya, tidak mengatur
batas waktu putusan Mahkamah Agung atas permohonan eksekusi putusan arbitrase
asing.
Berbeda dengan yang dimaksud dengan "arbitrase asing" dalam konteks Konvensi
New York, istilah "putusan arbitrase internasional" digunakan dalam Undang-Undang
Arbitrase. Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dibuat oleh lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia, atau putusan yang dibuat oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang
dianggap sebagai putusan arbitrase, yaitu keputusan berdasarkan hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pengertian ini bersumber dari Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase.
"Since the enactment of the New Law (August,1999) there have been sixteen
foreign-rendered arbital awards registered with the District Court of Central
Jakarta, and judicial enforcement has been sought with respect only to nine of
these, as at mid-February, 2005. Of these nine, exequatur was issued quite
promptly for five. Four related cases were granted cassation (appeal) to the
Supreme Court, and later judicial review by that court, with the final outcome still
pending. Of the five awards for which exequatur was issued, a contest was lodged
with respect to one, at least one award has already been satisfied through court-
ordered auction of assets of the losing party and the others seem to have been
satisfied voluntarily by the parties because there was no further court involvement
after judicial reminders were issued to the losing parties. One award was never
registered by the successful party, but the losing party subsequently deemed it
necessary to register the award itself in order to seek annalen thereof, which
granted by the District Court of Central Jakarta."9
9
Mills, Karen, "Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia..". hlm. 8.