Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Hukum bukanlah sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat, atau
diketahui, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Dengan kata lain bahwa
hukum haruslah dilaksanakan. Setiap orang dapat melaksanakan hukum.
Bahkan tidak jarang orang tanpa sadar telah melaksanakan hukum. Namun
bagaimana sebuah hukum dapat terlaksana, bagaimana pengadilan harus
bertindak, dan bagaimana melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.

Dalam pembahasan makalah ini berisi materi yang dapat membuat pembaca
lebih memahami tentang hukum acara perdata. Dalam makalah ini pula
penyusun berusaha untuk menjelaskan definisi, sumber-sumber, asas-asas,
karakteristik, dan juga putusan hakim dan pelaksanaan hukum acara perdata.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu pengertian dari Hukum Acara Perdata?
2. Bagaimana sejarah Hukum Acara Perdata di Indonesia?
3. Apa saja sumber-sumber Hukum Acara Perdata?
4. Apa saja asas-asas dari Hukum Acara Perdata?
5. Bagaimana putusan hakim dan pelaksanaannya?
6. Apa saja karakteristik Hukum Acara Perdata?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dan pengertian Hukum Acara Perdata.
2. Mengetahui bagiamana sejarah singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia.
3. Mengetahui sumber-sumber Hukum Acara Perdata.
4. Mengetahui apa saja asas-asas Hukum Acara Perdata.
5. Mengetahui karakteristik Hukum Acara Perdata.
6. Mengetahui putusan hakim dan pelaksanaannya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formal. Hukum acara perdata
dibedakan menjadi dua macam, yaitu hukum acara perdata dalam lingkungan
peradilan umum dan hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan agama.
Dalam makalah ini, akan dibahas hukum acara perdata yang berlaku di
lingkungan peradilan umum, yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung.

Hukum acara perdata termasuk hukum perdata, selama hukum tersebut


mengatur tentang cara mempertahankan hukum perdata materiil atau dengan
kata lain mempertahankan kepentingan perdata.1

Adapaun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar


hukum :

1. Wirjono Prodjodikoro : rangkaian peraturan yang memuat cara


bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan
dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum.
2. Sudikno Mertukusumo : peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material
dengan perantaraan hakim.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukum acara


perdata adalah hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana
proses seseorang mengajukan, menjamin, mengatur dan menyelenggarakan
perkara perdata.Bahkan mengatur sampai ke tahap dan proses pelaksanaan
keputusan hakim (eksekusi).

Apabila ditarik kesimpulan, hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur
dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan, menjamin,

1
Kusna Goesniadhie, Tata Hukum Indonesia, (Surabaya : Nasa Media), 2010, hal. 180

5
mengatur dan menyelenggarakan perkara perdata.Bahkan mengatur sampai ke
tahap dan proses pelaksanaan keputusan hakim (eksekusi).

2.2 Sejarah Hukum Acara Perdata di Indonesia

Sejarah hukum acara perdata di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fakta
bahwa dulunya bangsa Indonesia pernah mengalami penjajahan oleh Belanda
dan Jepang. Perkembangan hukum acara perdata di Indonesia pun dipengaruhi
oleh sistem hukum dan peradilan kedua negara tersebut. Menurut Benny
Rijanto, sejarah hukum acara perdata di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga
periodesasi, yaitu 1) zaman Pemerintah Hindia Belanda; 2) zaman Pendudukan
Jepang; dan 3) setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.2

2.2.1 Zaman Pemerintah Hindia Belanda

Hukum acara perdata di Indonesia yang berlaku saat ini merupakan


peninggalan dari zaman Pemerintahan Hindia Belanda yang sampai saat ini
masih dipertahankan keberadaanya. Berbicara mengenai sejarah hukum
acara perdata di Indonesia, tidak dapat terlepas dari membicarakan sejarah
peradilan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan hukum acara perdata itu
sendiri hanya diperlukan apabila seseorang hendak berperkara di
pengadilan.

Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda, terdapat beberapa lembaga


peradilan yang dibedakan menjadi dia macam, yaitu peradilan gubernemen
dan peradilan-peradilan lain yang berlaku bagi golongan pribumi (orang
Indonesia asli).3 Namun dalam perkembangannya, munculah Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) yang berlaku bagi penduduk pribumi di Jawa
dan Madura, dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) yang
berlaku bagi penduduk pribumi di luar Jawa dan Madura.4

2
Benny Rijanto, Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas
Terbuka), 2015, hlm. 5
3
Ibid, hlm. 6
4
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita), 1985, hlm. 5.

6
2.2.2 Zaman Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang tidak banyak perubahan yang dilakukan


dalam sistem peradilan. Perubahan yang dapat disoroti adalah perubahan
susunan dan kekuasan pengadilan untuk semua golongan penduduk, kecuali
orang-orang berkebangsaan Jepang. Berdasarkan peraturan tersebut, semua
golongan penduduk, termasuk juga penduduk golongan Eropa tunduk pada
satu macam pengadilan. Dengan demikian, hukum acara perdata yang
khusus mengatur golongan Eropa tidak berlaku lagi.5

2.2.3 Setelah Proklamasi Kemerdakaan Indonesia.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,


keadaan yang telah ada sejak zaman pendudukan Jepang diteruskan
berlakunya. Sedangkan pada sistem peradilan dengan diundangkannya
Undang-Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara
untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, dan acara pengadilan-
pengadilan sipil, maka untuk semua warga negara Indonesia di seluruh
wilayah Indonesia, hanya ada tiga macam pengadilan sipil sehari-hari,
yaitu6:

1. Pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan


pidana untuk tingkat pertama.
2. Pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan
pidana untuk tingkat kedua atau banding.
3. Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan
pidana dalam tingkat kasasi.

5
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur), 1975,
hlm. 9
6
Benny Rijanto, op.cit, hal. 17

7
2.3 Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber hukum acara perdata yang ada di Indonesia tersebar di berbagai


undang-undang dan ketentuan perundang-undangan.7

2.3.1 Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)

Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah di Pulau Jawa dan
Madura. Hukum Acara perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115-245
yang terdapat dalam BAB IX, serta beberapa pasal yang tersebar antara
Pasal 372-394. Namun Pasal 115 sampai dengan Pasal 117 HIR sudah tidak
berlaku lagi dikarenakan dihapusnya Pengadilan Kabupaten oleh UU No.1
darurat Tahun 1951, dan peraturan mengenai banding dalam pasal 188
194, HIR juga tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura.

2.3.2 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)

Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah di luar pulau Jawa
dan Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) BAB dan 723 (tujuh ratus dua puluh
tiga) pasal yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara
pidananya tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951.

2.3.3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Undang-Undang tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang yang memuat ketentuan-ketentuan hukum acara perdata khusus
untuk kasus kepailitan.

2.3.4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947

Undang-undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang


berlaku sejak 24 Juni 1947, dengan adanya undang-undang ini, peraturan
mengenai banding dalam HIR pasal 188 194 tidak berlaku lagi.

7
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (PT. Aditya Bakti Bandung, Cet. V),
2009, hlm. 4-13

8
2.3.5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951

Undang-Undang tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk


menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-
pengadilan Sipil yang berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951.

2.3.6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku sejak


diundangkan tanggal 15 Januari 2004. Ketentuan Hukum Acara Perdatanya
termuat dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3), selainya juga memuat
hukum acara pada umumnya. Undang-Undang ini telah di ganti dengan
Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.

2.3.7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Undang-Undang tentang Perkawinan, memuat ketentuan-ketentuan Hukum


Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta
menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan
perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian. Undang-undang ini
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

2.3.8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan Kedua Undang-


Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang
tersebut mengatur susunan Mahkamah Agung; kekuasaan Mahkamah
Agung; serta hukum acara Mahkamah Agung, termasuk pemeriksaan
kasasi, pemeriksaan tentang sengketa kewenangan mengadili, dan
peninjauan kembali. Undang-undang ini memuat ketentuan hukum acara
perdata.8

2.3.9 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009

8
Benny Rijanto, op.cit, hlm. 19

9
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum yang
mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan
umum juga sebagai sumber hukum perdata.9

2.3.10 Yurisprudensi

Beberapa yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung menjadi sumber


Hukum Acara Perdata yang sangat penting di negara kita ini, terutama untuk
mengisi kekosongan, kekurangan, dan ketidak sempurnaan yang banyak
terdapat dalam peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata
peninggalan Zaman Hindia Belanda.

2.3.11 Peraturan Mahkamah Agung

Peraturan Mahkamah Agung juga merupakan sumber Hukum Acara


Perdata. Dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009

2.4 Asas Hukum Acara Perdata

Seperti halnya dengan hukum-hukum pada bidang lainnya, hukum acara


perdata juga memilki beberapa asas yang dapat dijadikan dasar ketentuan
dalam hukum acara perdata tersebut. Asas-asas tersebut antara lain10 :

2.4.1 Hakim bersifat menunggu

Asas dari hukum acara perdata sebagaimana halnya asas hukum acara pada
umumnya, bahwa inisiatif untuk mengajukan gugatan sepenuhnya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan bersangkutan (index ne procedat
ex officio). Apabila tidak ada tuntutan atau gugatan, maka tidak ada hakim (wo
kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore). Berdasarkan Pasal
118 HIR, dan Pasal 142 Rbg, yang mengajukan gugatan adalah pihak yang
berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu diajukannya suatu

9
Benny Rijanto, ibid
10
Anonym, Asas-Asas Hukum Acara Perdata, http://www.npslawoffice.com/asas-asas-hukum-
acara-perdata/, diakses pada 4 Mei 2017 pukul 15.20

10
perkara atau gugatan. Hal tersebut berarti hakim tidak boleh secara aktif
mencari-cari perkara di masyarakat. Akan tetapi, ketika suatu perkara diajukan
kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadilinya.11

2.4.2 Hakim bersifat Pasif

Hakim dalam memeriksa suatu perkara haruslah bersikap pasif. Artinya bahwa
ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di
periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan
oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.
Hal tersebut berarti, pihak yang merasa haknya dirugikanlah yang menentukan
apakah ia akan mengajukan gugatan. Seberapa besar tuntutan juga tergantung
pada pihak yang bersangkutan. Apakah nantinya perkara akan dilanjutkan atau
dihentikan karena adanya perdamaian diantara kedua belah pihak juga
tergantung pihak yang bersangkutan.12

2.4.3 Persidangan bersifat terbuka

Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum,


yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1)
UU No. 48 tahun 2009 Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka
untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Seperti untuk
kepentingan kesusilaan hakim dapat menyimpang dari asas ini, walaupun
pemeriksaannya dilakukan secara tertutup akan tetapi putusannya harus tetap
dibacakan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum . Tidak
dipenuhinya syarat ini dapat mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak
memiliki kekuatan hukum.13

11
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
12
Putusan MA 21 Februari tahun 1970 Nomor 339 K/Sip/1969, JJ. Pen.I/70, hlm. 13
13
Benny Rijanto, op.cit, hlm. 31

11
2.4.4 Mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem)

Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama,
tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Seperti yang tertera dalam Pasal
4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 mengandung arti bahwa didalam hukum acara
perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang
sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi
pendapatnya.

2.4.5 Putusan harus disertai alasan-alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang di


jadikan dasar untuk mengadili. Sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 23
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 Ayat (1) HIR. Alasan-
alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim
dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih
tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.

2.4.6 Beracara dikenakan biaya

Seseorang yang akan beperkara di pengadilan pada asasnya akan dikenakan


biaya, sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 182, 183 HIR dan Pasal 145 ayat
(4), 192-194 RBg. Beracara pada asasnya di kenakan biaya sesuai dengan Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 2004 yang berbunyi Pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk
pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.

2.4.7 Tidak ada keharusan mewakilkan

Tiidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili
oleh kuasanya kalau dikehendakinya.

12
2.5 Putusan Hakim dan Pelaksanaanya

2.5.1 Putusan Hakim

Putusan Hakim adalah suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat Negara
yang di beri wewenang untuk itu di ucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Setelah
pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat,
jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan
kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh tergugat selesai
dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan,
maka Hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut.14

Dalam sidang peradilan perdata, putusan hakim dapat dibedakan menjadi


beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :

1. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di
persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun
yang tidak/belum melalui semua tahapan pemeriksaan.
2. Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses
pemeriksaan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.

2.5.2 Pelaksanaan Putusan Hakim

Pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum


tetap harus dilaksanakan suka rela oleh pihak yang dihukum (dikalahkan),
jika tidak dilaksanakan maka akan dilakukan secara paksa oleh panitera dan
juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 60 dan Pasal 65
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206
ayat (1) RBg). Dalam melaksankan putusan hakim, ada beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut15 :

14
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty), hal. 175
15
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico), 1985 hal. 132

13
1. Pelaksanaan putusan yang menghukum pihak yang bersalah/dikalahkan
untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR dan Pasal
208 RBg).
2. Pelaksanaan putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan (Pasal 225 dan 259 RBg).
3. Pelaksanaan putusan riil adalah pelaksanaan putusan hakim yang
memerintahkan pengosongan benda tetap. Bila tidak dilaksanakan,
maka akan dilakukan dengan paksaan (Pasal 1033 Rv).
4. Parate executive atau eksekusi langsung, terjadi apabila seorang
kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai
title eksekutorial (Pasal 1155 KUHPerdata).

2.6 Karakteristik Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata memiliki beberapa karakteristik, yaitu16 :


1 Hukum acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan
sederhana (tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping
juga hukum yang tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
2 Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum
Perdata Materiil.
3 Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka
persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan
keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.

16
Anonym, Pengertian Hukum Acara Perdata, www.suduthukum.com, diakses pada 8 Mei 2017
pukul 12.40

14
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Hukum acara perdata adalah adalah hukum yang mengatur dan
menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan, menjamin,
mengatur dan menyelenggarakan perkara perdata.Bahkan mengatur sampai ke
tahap dan proses pelaksanaan keputusan hakim (eksekusi). Dengan kata lain,
dapat disebut sebagai hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan
gugatan serta melaksanakan putusan hakim.

Sebagai bagian dari hukum acara, maka hukum acara perdata mempunyai
ketentuan dan asas pokok yang bersifat umum. Dalam penerapannya, hukum
acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan
menegakkan ketentuan dan asas hukum perdata materiil. Berdasarkan hal
tersebut, keberadaan hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan
penegakkan hukum perdata materiil.

3.2 Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Kami
mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menjadi evaluasi bagi
penulis dalam menyusun makalah selanjutnya.

15
Daftar Pustaka

Goesniadhie, Kusna. (2010). Tata Hukum Indonesia. Surabaya : Nasa Media


Mertukosumo, Sudikno. (1999). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta :
Liberty.
NPS Law Office. (Tanpa Tahun). Asas-Asas Hukum Acara Perdata.
http://www.npslawoffice.com/asas-asas-hukum-acara-perdata/. (Diakses
pada 8 Mei 2017 pukul 15.20).
Prodjodikoro, Wirjono. (1975). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung :
Penerbit Sumur.
Rijanto, Benny. (2015). Sejarah, Sumber, dan Asas-Asas Hukum Acara Perdata.
Jakarta : Universitas Terbuka.
Samidjo. (1985). Pengantar Hukum Indonesia. Bandung : Armico.
Suduthukum. Inc. (2015). Pengertian Hukum Acara Perdata.
https://www.suduthukum.com/. (Diakses pada 8 Mei 2017 pukul 12.40).
Supomo. (1985). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Syahrani, Riduan. (2009). Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Cet. V).
Bandung : PT. Aditya Bakti.

16

Anda mungkin juga menyukai