Anda di halaman 1dari 9

Nama : Hikmah Monarofah

NIM : C73218042/HPI-C/Sem 5

Matkul : Hukum Acara Pidana (Rangkuman Buku)

Falsafah dan Filosofi Hukum Acara Pidana

DR. MONANG SIAHAN, S.H, M.H

BAB I

A. Hukum Acara Pidana di Indonesia


1. Hukum Acara Pidana
- Keseluruhan dari aturan hukum mengenai penuntutan dan pemeriksaan dalam
sidang pengadilan dari peristiwa pidana dan pelaksanaan hukuman yang
dijatuhkan, hukum pidana formal, hukum acara pidana (KUH acara pidanadari
peraturan-peraturan khusus).
- Penututan hukuman (straf vervloging) tuntutan hukuman terhadap suatu peristiwa
tertentu.

Hukum acara pidana dimulai dari menerima laporan, pemanggilan saksi-saksi,


terdakwa, pencarian atau pengumpulan alat bukti dan barang bukti.

2. Pendapat Para Ahli


- Menurut Simon, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana
dan menjatuhkan pidana.
- Wirjono Prodjodikoro mengatakan hukum acara pidana berhubungan erat dengan
adanya hukum pidana sehingga merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan
negara dengan mengadakan hukum pidana.
3. Tujuan, Fungsi, dan Sifat Hukum Acara Pidana
- Tujuan
Tujuan keseluruhan hukum acara pidana, yaitu mencari atau mengali, menemukan
kebenaran yang sesungguhnya, dan memberikan keadilan yang setimpal.
- Fungsi
J. van Bemmelen, mengatakan ada tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:
1) Mencari dan menemukan kebenaran.
2) Pemberian keputusan oleh hakim.
3) Pelaksanaa keputusan.
- Sifat
Menurut van Apeldoorn sifat hukum acara pidana adalah sebagai hukum public
dan accusatoir.
 Hukum acara pidana termasuk hukum publik karena ia mengatur
kepentingan umum. Perbuatan yang dapat dikenai hukuman kini tidak lagi
dipandang semata-mata sebagai kesalahan yang langsung mengenai orang
yang dirugikan, melainkan pertama-tama sebagai pelanggaran tertib
hukum, sebagai pelanggaran terhadap masyarakat.
 Hukum acara pidana dikatakan bersifat accusatoir karena kedudukan
pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang
sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rechtsstrijd) di muka
hakim yang tidak berpihak.
4. Batas Berlakunya Hukum Acara Pidana
a. Prinsip territorial
Ruang lingkup berlakunya hukum acara pidana (KUHAP) diatur dalam pasal 2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Ketentuan pidana
dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana). “Pasal 2 KUHP ini
menunjukkan luasnya wilayah berlakunya dalam wilayah Indonesia bagi siapa
dan dimana perbuatan tersebut dilakukan.
b. Prinsip exterritorialiteit
Bangsa asing atau pihak asing yang melakukan tindak pidana di wilayah hukum
Indonesia tidak dipidana yang merupakan perkecualian menurut hukum
internasional yang tidak boleh di ganggu gugat disebut prinsip exterritorialiteit
sehingga ketentuan hukum pidana tidak dapat diterapkan kepada bangsa asing
atau pihak asing yang melakukan perbuatan pidana dan hanya dapat diterapkan
kepada undang-undang negaranya sendiri.
5. Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia
a. Zaman penjajahan
1) Herziene Inlands Reglement atau Reglemen Indonesia Bumiputera yang di
baharui (RIB) sesuai staatsblad 1941.441, yang sebelumnya bersumber dari
Inland Reglement (IR).
2) Inland Reglement (IR) yang dikenal juga dengan sebutan Reglemen
Bumiputera dilaksanakan berdasarkan Pengumuman Pemerintah Hindu
Belanda (Gubernur Jendral) tanggal 5 April 1848 (ST 1848-16) dan mulai
berlaku sejak 1 Mei 1848. IR 18 kemudian disahkan dengan firman Raja
tanggal 29 September 1849 No. 93 tentang pemberlakuan IR dari Kerajaan
Belanda terhadap daerah jajahannya disebut asas concorfsntie beginsel.
3) IR sejak diberlakukan tanggal 1 Mei 1848 merupakan hukum acara pidana
bagi golongan Indonesia khususnya untuk seluruh Indonesia.
4) Pengadilan
 Pengadilan bagi golongan Indonesia disebut Landraad (kini menjadi
Pengadilan Negeri).
 Raad vwn Justitie (Pengadilan Tinggi), juga merangkap untuk
penduduk golongan Indonesia.
b. Masa pendudukan Jepang (1942-1945)
1) Pasal 3 Osamu Seirei (undang-undang) No 1 Tahun 1942, yang berlaku mulai
7 Maret 1942 berbunyi “Semula badan-badan pemerintahan dan
kekuasaannya, undang-undang dari pemerintahan yang dulu maka hukum
acara pidana yang berlaku pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) pada
dasarnya berbeda pada masa sebelumnya, yaitu tetap berlaku HIR.
2) Nama pengadilan diganti.
c. Masa Kemerdekaan RI
B. Penyelidikan
Penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasa; 5
angka 5 KUHAP).
C. Penyidikan
Penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan
tersangkanya.
D. Penahanan
Berdasarkan pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan diartikan sebagai penempatan
tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya sesuai dengan aturan hukum.
E. Penggeledahan Badan
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan
dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga kertas ada pada badanya
atau dibawanya serta untuk disita (pasal 1 angka 18 KUHAP).
F. Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
pengadilan.
G. Pemeriksaan Surat
Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal daru tersangka atau terdakwa atau ditunjukan kepadanya atau
kepunyaannya atau dalam peruntukan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat
untuk melakukan tindak pidana.
H. Bantuan hukum
Tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasihat hukum berdasarkan UU no 10
Tahun 2003 tentang advokat.
I. Hak-hak Tersangka atau Terdakwa
J. Tugas dan Kewenangan Penuntut Umum.
K. Penggabungan Perkara
L. Replica atas Pledoi
M. Badan-badan Peradilan
N. Praperadilan
O. Koneksitas
P. Gugatan Ganti Kerugian
Q. Rehabilitasi
R. Penggabungan Perkara Pidana dengan Gugatan Ganti Kerugian
S. Acara Pemeriksaan Biasa
T. Memutus Sengketa Wewenang Mengadili
U. Alat Bukti, Barang Buktu dan Sistem Pembuktian
V. Putusan Pengadilan
W. Acara Pemeriksaan Singkat
X. Acara Pemeriksaan Cepat
Y. Kewenangan Pengadilan
Z. Upaya Hukum Luar Biasa

BAB II

Falsafah dan Asas Hukum Acara Pidana

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang bersifat “ideal” untuk memotivasi aparat
penegak hukum, mengarahkan semangat dan dedikasi pengabdian penegakan hukum,
serta mewujudkan keluruhan, kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, setiap tindakan
penegakan hukum, harus sejajar dengan cita yang terkandung dengan semangat dan
keluruhan tujuan yang dimaksud filosofis. Landasan filosofis Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a
konsiderans, tiada lain adalah Pancasila. Landasan filosofis KUHAP adalah berdasarkan
Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan.
B. Landasan Konstitusional
Landasan konstitusional adalah rujukan yang menjadi sumber ketentuan kaidah hukum
yang tercantum dalam KUHAP adalah penjabaran lebih lanjut dari sumber pokok yang
terdapat pada perundang-undangan negara kita.
Sumber konstitusional KUHAP yang utama, yaitu:
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No.49 Tahun 2009
C. Landasan Operasional KUHAP
Kelahiran KUHAP melalui sejarah pemyusumam, penyempurnaan dan pembahasan yang
panjang. Secara kronologis dapat disingkat sebagai berikut:
1. 1968: diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang dengan materi pokok
berintikan hukum acara pidana dan hak asasi manusia.
2. 1973: Panitia Intern Departemen Kehakiman menyusun naskah KUHAP. Naskah
bertitik tolak dari hasil Seminar Nasional II Semarang. Rancangan ini kemudian
dibahas bersama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Hankam, Polri, dan
Departemen Kehakiman.
3. 1974: RUHAP disampaikan kepada Menteri Kehakiman kepada Sekretariat Kabinet.
4. 1979 (12 September 1979): barulah RUHAP disampaikan kepada DPR RI dengan
amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R.06/P.U/IX/1979.
5. 1981 (23 September): setelah melalui pembicaraan dan pembahasan yang memakan
waktu lebih dari 2 tahun barulah rancangan undang-undang tadi mendapat
persetujuan kata sepakat dari DPR.
6. 1981 (31 Desember): Presiden mengesahkan rancangan menjadi Undang-Undang
No.8 Tahun 1981;LN RI No 76;TLN No 3209.
7. Berdasarkan landasan GBHN TAP MPR No IV Tahun 1978, ditentukan arah
kerangka dan tujuan akhir berupa landasan pokok sebagai ruang gerak operasional
dengan penjabaran rumusannya.
D. Pandangan Pro Kontra terhadap KUHAP
1. Pandangan Positif
- Tanggapan Kapolri Dr. Awaluddin Jamin menyatakan bahwa RUHAP yang
sedang dibahas DPR jauh lebih baik dari HIR yang diciptakan masa penjajahan
dulu.
- Pandangan Ketua Mahkamah Agung RI, Mudjono S.H, menyatakan bahwa hak
merupakan Declaration of Human Right of Pancasila.
2. Pandangan Negatif
- KUHAP hanya berisi monitoring dan legislasi keadaan sekarang dan
menghendaki agar KUHAP harus mampu bertahan antara 100-200 tahun.
- KUHAP yang dibahas lebih mementingkan kepentingan umum dan penegak
hukum daripada kepentingan hak asasi manusia.
E. Asas-Asas KUHAP
1. Asas Legalitas
2. Asas Keseimbangan
3. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
4. Asas Akusator dan Inkisitor
5. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
F. Sumber-Sumber Formal Hukum Acara Pidana
1. UUD 1945
2. Undang-Undang
G. Ilmu-Ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana
1. Logika
2. Psikologi
3. Kriminalistik
4. Psikiatri
5. Kriminologi

BAB III Perbedaan Hakiki Alat Bukti dengan Barang Bukti

A. Pemahaman Alat Bukti dan Barang Bukti


1. Ketentuan Hukum
Sistem pembuktian yang dianut hukum yang berlaku di Indonesia adalah negatief
wettelijk stelsel.
2. Alat Bukti
Berdasarkan pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah antara lain:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
- Bukti elektronik
3. Barang Bukti
Barang bukti adalah barang kepunyaan tersangka atau terdakwa yang diperoleh lewat
kejahatan atau yang dengan sengaja digunakan melakukan kejahatan, sebagaimana diatur
dalam pasal 39 KUHP ayat 1; barang kepunyaan si terhukum yang diperoleh dengan
kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan dapat dirampas.

BAB IV Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi

Asas pembuktian terbalik bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada negara-negara
penganut Anglo Saxon atau negara penganut case law terbatas pada vertain case atau kasus-
kasus tertentu.

Pembuktian terbalik diatur juga dalam undang-undang sebagai berikut :

1. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB V Praktik dalam Penyelesaian Perkara dari Tahap Penyelidikan dan Putusan Hakim serta
Eksekusi

a. Tahap Penyelidikan
Diatur dalam pasal 5 KUHAP
b. Tahap Penyidikan
Diatur dalam pasal 1 ayat 2 KUHAP
c. Tahap Penuntutan
- Meneliti berkas perkara
- Membuat surat dakwaan
- Melimpahkan perkara ke pengadilan
d. Tahap Pesidangan
- Proses persidangan
- Penuntutan
e. Tahap Eksekusi

Anda mungkin juga menyukai