Anda di halaman 1dari 20

HUKUM ACARA ARBITRASE DAN

ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION

Disampaikan pada:

Pendidikan Khusus Profesi Advokat PERADI


MATARAM Bekerjasama dengan Institut Agama
Hindu Negeri GDE PUDJA MATARAM

Jumat 11 Pebruari 2022

Oleh:
JAMASLIN JAMES PURBA, S.H., M.H.
(Managing Partners Law Firm JAMES PURBA &
PARTNERS)
BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain.
Namun demikian, dalam setiap hubungan khususnya dalam kegiatan bisnis, masing-masing
pihak harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi
setiap saat di kemudian hari. Misalnya dalam suatu perjanjian, sengketa yang perlu diantisipasi
dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai bagaimana "cara" melaksanakan
klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa "isi" dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian,
ataupun disebabkan hal-hal lainnya.

Di Indonesia, dalam proses penyelesaian sengketa para pihak, ada beberapa cara yang
biasanya dapat dipilih antara lain, melalui jalur litigasi ataupun jalur nonlitigasi. Penyelesaian
secara litigasi merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui lembaga Pengadilan.
Sedangkan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum serta kehendak dan itikad baik
dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa.

Seiring dengan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat, terdapat kecenderungan


dari para pihak untuk menempuh jalur litigasi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal ini
berimplikasi pada semakin banyaknya perkara yang ditangani oleh Pengadilan sehingga
penyelesaian suatu sengketa membutuhkan waktu yang lebih lama. Disamping itu, faktor
besarnya biaya berperkara di Pengadilan juga menjadi hambatan tersendiri bagi para pihak
dalam penyelesaian suatu sengketa. Dengan demikian asas peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan menjadi semakin sulit untuk diterapkan. Oleh sebab itu, kini mulai
digalakkan alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa secara nonlitigasi di luar Pengadilan,
yakni melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dikenal juga dengan
istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Bila dilihat dari perkembangan hukum, dikenal istilah Alternative Dispute Resolution (ADR)
yang mana dalam bahasa Indonesia sering dimaksudkan dengan Pilihan Penyelesaian Sengketa
(PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif. Tetapi bila
merujuk pada Pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, mengartikan bahwa Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.

BAB II
PEMBAHASAN
ARBITRASE DAN ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR)

I. SEJARAH PERKEMBANGAN ARBITRASE

1. Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda menguasai Indonesia, penduduk Indonesia


dibagi menjadi 3 (tiga) golongan berdasarkan Pasal 131 dan 163 IS (Indische
Staatsregeling). Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan
mereka yang disamakan dengan golongan Eropa berlaku hukum di negeri Belanda
yang juga disebut hukum barat, sedangkan bagi golongan bumiputera dan mereka yang
disamakan dengan golongan bumiputera berlaku hukum adat mereka masing-masing.
Selanjutnya bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya berlaku hukum barat tanpa
pengecualian. Apabila ada kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka golongan
bumiputera dapat juga berlaku hukum barat. Perbedaan golongan tersebut membawa
konsekuensi terhadap keberadaan badan-badan peradilan maupun hukum acara
yang digunakan dalam pemeriksaan perkara, diantaranya bagi golongan bumiputera
dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan bumiputera yang menjadi
wewenang Landraad, yaitu pengadilan tingkat pertama pada jaman Hindia Belanda.
Disamping itu, hukum acara yang dipergunakan berbeda untuk beberapa daerah dan
bahkan sampai saat ini masih dirasakan akibat adanya penggolongan penduduk pada
jaman pemerintahan Hindia Belanda tersebut.

2. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, hukum
acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UU
darurat tersebut adalah sebagai berikut: Untuk daerah Jawa dan Madura yang berlaku
adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR/Renglemen Indonesia yang
Diperbaharui berdasarkan Staatsblaad 1848 No.16 dan Staatsblaad 1941 No.44),
sedangkan untuk daerah Luar Jawa dan Madura berlaku Rechtreglement
Buitengewesten (RBg/Reglemen Daerah Seberang berdasarkan Staatsblaad 1927
No.227).

Berbicara tentang arbitrase di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sejarah arbitrase di
negeri Belanda. Arbitrase di Indonesia berkembang sejak tahun 1977 dengan
dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”). Ini bermula 7 tahun
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada tanggal 03 Desember 1977, Ketua Umum Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Marsekal Purn. Sowoto A. Sukendar
memprakarsai berdirinya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta bersama
Prof. Soebekti, SH (Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia), Haryono Tjitrosoebono
(Ketua IKADIN), Prof. H. Priyatna Abdurrasyid, SH., PhD dan J.R. Abubakar, SH. Hingga
saat ini BANI merupakan arbitrase dalam bentuk lembaga (institusional) yang tertua di
Indonesia.

3. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya


sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di
Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement of de Rechtsvordering (RV)
dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement
Bitengewesten (RBg), karena semula arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 RV.
Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan
diundangkannya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan ADR”).

4. Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 (tentang Pokok-Pokok Kekuasaan


Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang
antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter
hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi dari Pengadilan.

Perkembangan dalam praktek arbitrase terdiri dari dua jalur, yaitu:

a. Arbitrase Ad-hoc, dimana para pihak menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada


seseorang atau beberapa orang yang bukan lembaga arbitrase untuk diputuskan;

b. Arbitrase Institusional, dimana proses penyelesaian sengketa yang keputusannya


ditetapkan oleh satu atau beberapa orang dari lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase ini
semula diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan
dengan itu, yang pengaturannya terdapat dalam RV Bab pertama buku Ketiga Pasal 615
sampai dengan Pasal 651.
5. Pada jaman Hindia Belanda, Arbitrase dipakai oleh para pedagang baik sebagai eksportir
maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap
yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu : a. Badan arbitrase bagi badan ekspor
hasil bumi Indonesia; b. Badan arbitrase tentang kebakaran; c. Badan arbitrase bagi
asuransi kecelakaan.

Dalam Rv terdapat ketentuan yang menyatakan sebagai berikut: “Adalah diperkenankan


kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang
berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan
sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit. Kemudian berdasarkan
Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg maka ketentuan tentang arbitrase yang terdapat dalam
Rv dinyatakan berlaku juga untuk golongan bumiputera. Selengkapnya Pasal 377 HIR
menyatakan sebagai berikut: “Bilamana orang bumiputera dan Timur asing menghendaki
perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah atau arbiter, maka mereka wajib menuruti
peraturan pengadilan untuk perkara yang berlaku bagi orang Eropa.”

Dengan adanya pasal ini, maka sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya
telah terdapat landasan hukum bagi golongan Bumiputera untuk dapat menggunakan
sistem pemeriksaan perkara lewat arbitrase secara Prosedural, sementara secara
material, dasar hukum berlakunya arbitrase adalah lewat prinsip kebebasan berkontrak
seperti terdapat dalam Pasal 1320 Juncto Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

II. PENGERTIAN ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ADR)

6. Pasal 1 angka (1) UU Arbitrase dan ADR berbunyi: arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari definisi
tersebut, ada 3 hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan, yaitu:

a. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;


b. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
c. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan umum.

7. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang


perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Pada Penjelasan
Pasal 66 huruf (b) UU Arbitrase dan ADR, disebutkan yang dimaksud dengan “ruang
lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang:
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan
intelektual.

Sedangkan yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)


sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (10) UU Arbitrase dan ADR adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara: konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

8. Merujuk pada ketentuan UU Arbitrase dan ADR, terdapat beberapa bentuk ADR yang
dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa, antara lain sebagai berikut:

a. Konsultasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan cara meminta masukan dari
pihak yang diyakini mampu memberikan solusi berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya serta dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan
bersama. Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak
konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan
kebutuhannya.
b. Negosiasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan cara berhadapan
langsung melakukan perundingan dan mendiskusikan secara transparan suatu
masalah yang menjadi sumber sengketa untuk mencapai kesepakatan bersama, yang
dilaksanakan secara mandiri oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai
penengah. Pasal 6 ayat (2) UU Arbitrase dan ADR dikatakan bahwa para pihak dapat
dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul diantara mereka,
kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis
dengan melakukan pertemuan langsung antara para pihak yang bersengketa dengan
tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari.
c. Mediasi, yaitu suatu proses alternatif penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga
yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat
pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan,
terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan yang terjadi. Jadi mediator hanya berfungsi
sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa. Mediasi merupakan salah
satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa, yang melibatkan pihak ketiga
dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa disebut
mediator. Tugas Mediator yaitu: bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga terjadi
pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan; menemukan dan merumuskan titik-titik
persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan
pendapat yang timbul.
d. Konsiliasi, yaitu suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar
pengadilan, untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan). Namun
bisa juga terjadi di tiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam
maupun di luar pengadilan, kecuali untuk sengketa atau hal-hal yang telah diputus dan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan
pendapatnya mengenai duduk persoalan dari masalah atau sengketa yang dihadapi,
alternatif penyelesaian yang terbaik, apa keuntungan dan kerugian para pihak, serta
akibat hukumnya. Konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan (pasif). Keputusan
akan diambil sepenuhnya oleh para pihak yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan.

III. ASAS DALAM ARBITRASE INDONESIA

• Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup.

• Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia,
kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih
bahasa lain yang akan digunakan.

• Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
mengemukakan pendapat masing-masing.

• Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa
khusus.

• Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri
dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur
kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa
yang bersangkutan.

• Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan
acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa.

• Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
• Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan, jangka waktu dapat
diperpanjang.

• Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara
pemeriksaan oleh sekretaris.

IV. SURAT PEMBERITAHUAN ARBITRASE

• Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat,
telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekpedisi kepada termohon bahwa
syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.

• Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase (notice of arbitration) memuat


dengan jelas:

a. nama dan alamat para pihak;


b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

• Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan mengenai hal ini harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak.

• Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis harus dibuat dalam
bentuk akta notaris.

• Perjanjian tertulis (akta kompromi) harus memuat:

a. masalah yang dipersengketakan;


b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya
yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

• Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal tersebut batal demi hukum.

• Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di
bawah ini:
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

V. PENUNJUKKAN ARBITER

• Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memuat syarat:

a. cakap melakukan tindakan hukum;


b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase;
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15
tahun.

• Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau
diangkat sebagai arbiter.

• Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau
pengangkatan tersebut.

• Penerimaan atau penolakan wajib diberitahukan secara tertulis kepada para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan
atau pengangkatan.

• Penunjukan seorang arbiter atau beberapa arbiter mengakibatkan bahwa arbiter atau
para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan
mengikat.

• Seorang calon arbiter yang diminta oleh salah satu pihak untuk duduk dalam majelis
arbitrase, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan
mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan
diberikan.

• Seorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter harus memberitahukan kepada


para pihak mengenai penunjukannya.
• Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau pengangkatan, maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.

• Dalam hal arbiter yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan
menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada para pihak.

• Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri, maka yang
bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.

• Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak,
pembebasan arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.

• Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan
putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk
mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada
para pihak.

• Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun
atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan
adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. (Contoh kasus: Putusan Perkara No.
454/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 18 Mei 2016. Dalam perkara tersebut Majelis
Arbitrase telah digugat. Di dalam putusanya dinyatakan Majelis Arbitrase telah
melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum untuk membayar ganti rugi
immateril sebesar Rp 100.000.000,- secara tanggung renteng.)

• Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak
mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya,
seorang arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi
pengangkatan arbiter yang bersangkutan.

• Arbiter menentukan biaya arbitrase.

• Biaya arbitrase meliputi: honorarium arbiter, biaya perjalanan dan biaya lainnya
yang dikeluarkan oleh arbiter, biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa, dan biaya administrasi.

• Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.

• Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada
para pihak secara seimbang.

• Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan
cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan
tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
• Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak
atau kuasanya.

• Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan
kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

• Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.

• Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang
bersangkutan.

• Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari
berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya
setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan.

• Arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari


berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan
pengadilan tersebut.

• Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh
pihak lain, harus mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari sejak diketahui hal tersebut.

• Tuntutan ingkar harus diajukan tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada
pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya.

• Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak disetujui oleh pihak
lain, arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter
pengganti akan ditunjuk.

• Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh
pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.

• Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa tuntutan beralasan, seorang
arbiter pengganti harus diangkat dengan cara yang berlaku untuk pengangkatan
arbiter yang digantikan.

• Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan
tugasnya.

• Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya arbiter dan


wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudian
diangkat.
• Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana terbukti berpihak atau menunjukan sikap
tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.

• Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak
mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya,
seorang arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi
pengangkatan arbiter yang bersangkutan.

• Tugas arbiter berakhir karena:putusan mengenai sengketa telah diambil, jangka waktu
yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak
telah lampau, dan para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.

• Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan
kepada arbiter berakhir.

• Jangka waktu tugas arbiter ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
meninggalnya salah satu pihak.

• Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian
seorang atau lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.

• Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai
kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti, maka Ketua Pengadilan
Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau
lebih arbiter pengganti.

• Arbiter pengganti melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan


berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan.

VI. PUTUSAN ARBITRASE


• Putusan arbitrase harus memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai
keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis
arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
• Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan
ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.
• Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan hukum atau
berdasarkan keadilan dan kepatutan.
• Tidak ditandatanginya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan
sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
• Alasan tentang tidak adanya tanda tangan harus dicantumkan dalam putusan.
• Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
• Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan
ditutup.
• Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak
dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk
melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau
mengurangi suatu tuntutan putusan.

VII. PENDAFTARAN PUTUSAN ARBITRASE


• Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
• Penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan
pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter
atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
• Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan
sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Tidak
dipenuhinya, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
• Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan
kepada para pihak.

VIII. PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE


• Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak.
• Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah
satu pihak yang bersengketa.
• Perintah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
• Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa
terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5,
serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
• Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan, Ketua Pengadilan Negeri
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
• Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
• Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan
arbitrase yang dikeluarkan.
• Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri,
dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

IX. PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE SYARI’AH


Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah menyebutkan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia
berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
b. Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
c. Tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu
pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

X. PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL


• Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
• Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah
hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian,
baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b. putusan Arbitrase Internasional menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
dan
e. putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
• Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
• Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
harus disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai
ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya
dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan
Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan
naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat
Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa
negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral
dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.
• Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan
melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau
kasasi.
• Terhadap putusan Ketua Pengadilan Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui
dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.
• Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi
dalam jangka paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi
tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
• Terhadap putusan Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
• Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi, maka
pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara
relatif berwenang melaksanakannya.
• Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon
eksekusi.
• Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara yang ditentukan
dalam Hukum Acara Perdata.

XI. EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE


• Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa
terhadap yang kalah dalam perkara.
• Ada tiga macam eksekusi yang dikenal oleh Hukum Acara Perdata, yaitu:
1. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya,
dimana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
2. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR, dimana seseorang
dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan. Putusan untuk melaksanakan
suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam
sejumlah uang (Pasal 225 HIR, Pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan
dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
3. Eksekusi riil : pengosongan dilakukan oleh jurusita dan apabila perlu dapat
dibantu oleh beberapa anggota Polisi seperti pengosongan rumah.

• Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase dapat dilakakn jika mengandung


unsur-unsur:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
• Diajukan tertulis kepada KPN dalam waktu 30 hari terhitung sejak hari penyerahan
dan pendaftaran putusan arbitrase.
• Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase dikabulkan, KPN menentukan lebih lanjut
akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
• Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh KPN dalam waktu 30
hari.
• Putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan Permohonan Kasasi ke MA dan diputus
30 hari sejak diterima MA.

XII. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE


Penyelesaian sengketa dengan suatu arbitrase mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan-kelebihan dari arbitrase adalah sebagai berikut:
a. Prosedur tidak berbelit sehingga putusan akan cepat didapat;
b. Biaya yang lebih murah;
c. Putusan tidak diekspos di depan umum;
d. Hukum terhadap pembuktian dan prosedur lebih luwes;
e. Para pihak dapat memilih hukum mana yang diberlakukan oleh arbitrase;
f. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter;
g. Dapat dipilih arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya;
h. Putusan dapat lebih terikait dengan situasi dan kondisi;
i. Putusan umumnya inkracht (final dan binding);
j. Putusan arbitrase juga dapat dieksekusi oleh pengadilan, tanpa atau ada dengan sedikit
review;
k. Prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat banyak;
l. Menutup kemungkinan forum shopping (mencoba-coba untuk memilih atau menghindari
pengadilan).

Keuntungan lain menggunakan ARBITRASE:


a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur
dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Selain itu kelebihan dari arbitrase, seperti:


a. Tidak ada kemungkinan akan terjadi keberpihakan dalam proses pengambilan keputusan;
b. Keputusan diambil oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase yang ahli di bidangnya masing-masing;
c. Lebih cepat daripada Litigasi;
d. Kurang memiliki sifat permusuhan dibandingkan dengan Litigasi;
e. Berlaku secara Internasional;
f. Ada Kesempatan potensial untuk melakukan suatu perbaikan;
g. Tidak konfrontatif;
h. Proses Arbitrase dilakukan dalam bentuk yang sederhana dan tidak terlalu formal;
i. Pengadulan tidak berwenang mengadili sengketa yang pihaknya telah terikat dalam perjanjian
(klausula) arbitrase.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut terdapat juga kelemahan dari arbitrase yaitu sebagai
berikut:
1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka perlu perintah
pengadilan untuk melaksanakan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
3. Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi
hal sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-
perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak yang
bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

XIII. Kompetensi Absolut


• Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3 UU Arbitrase).

• Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri (Pasal 11 (1) UU Arbitrase).

• Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam UU ini (Pasal 11 (2) UU Arbitrase).

-----------------------SEKIAN DAN TERIMAKASIH---------------------

CURRICULUM VITAE
JAMASLIN JAMES PURBA, S.H., M.H.

Alamat
Law Firm JAMES PURBA & PARTNERS
Wisma Nugra Santana, 8th Floor, Suite 807
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8
Jakarta 10220 INDONESIA
Telephone : (62-21) 570 3844
Facsimile : (62-21) 570 3846
Mobile : +6281218706955
Email : jpplawfirm@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1992 Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan
predikat Cum Laude.
2013 Lulus Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

RIWAYAT PEKERJAAN

• Tahun 1993:
Junior lawyer pada Law Firm GEORGE WIDJOJO & PARTNERS, Jakarta
• Tahun 1994-1996:
Associate lawyer at LAW FRIM AMROOS & PARTNERS, JAKARTA
• Tahun 1996 - 1999:
Senior associate lawyer pada Law Firm MAKARIM & TAIRA S., Jakarta
• Tahun 1999 -2002 :
Senior Litigation Lawyer pada Law Firm HOTMAN PARIS & PARTNERS Jakarta
• December 2002: Mendirikan Law Firm JAMES PURBA & PARTNERS

SERTIFIKASI:
1. Lisensi Advokat PERADI tahun 1995

2. Lisensi sebagai Kurator Kepailitan tahun 2010 AKPI)

Kegiatan AKADEMIS :

1. Pengajar Seminar Hukum Bisnis (Kepailitan dan PKPU) di Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Kampus Jakarta
2. Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) khusus Kepailitan dan PKPU di
berbagai Universitas, antara lain : Universitas Trisakti, Universitas Tarumanegara,
Universitas Padjajaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Universitas Bhayangkara, Universitas Islam As-Syafiiyah, PKPA BARESKRIM POLRI-
PERADI, Universitas Kristen Maranatha, Bandung , Universitas Kristen Indonesia,
Universitas Kartini Surabaya, Universitas Janabadra Yogyakarta, Universitas
Muhammadiyah Mataram, Universitas Pamulang, Universitas Negeri Semarang.

3. Pengajar pada Pendidikan Kurator dan Pengurus di Asosiasi Kurator dan Pengurus
Indonesia (AKPI) sejak 2014

4. Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) untuk materi ALTERNATIVE


DISPUTE RESOLUTION di PERADI MATARAM, PERADI KENDARI.

5. Menjadi narasumber pada berbagai seminar, workhsop dan pelatihan khusus


Hukum Kepailitan di berbagai institusi antara lain: Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Bank Mandiri, Bank BCA, Menkopolhukam, BPJS Ketenagakerjaan,
Bank Negera Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mega, Bank Syariah
Mandiri, Bank Tabunagan Negara (BTN), Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta,
Universitas Parahiyangan, Universitas Sriwijaya, Universitas Muhammadiyah
Malang,Universitas Gadjah Mada.

Pengalaman Organisasi:
- Tahun 2010 - 2013: Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat.
- Tahun 2010 - 2015: Pengurus Dewan Pimpinan Pusat AAI.
- Tahun 2013 -2018: Ketua DPC PERADI JAKARTA PUSAT.
- Tahun 2010 - 2015: Pengurus Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI
- Tahun 2015-2020 : Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI
- Tahun 2013 -2019 : Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI)
Tahun Tahun 2018 -2023: Sekretaris Umum Keluarga Alumni FH UGM (KAHGAMA)
- Tahun 2019-2022: Ketua Dewan Penasehat AKPI
- Tahun 2016 - sekarang Ketua Umum PERADI Football Club (PERADI FC).

=============================

Anda mungkin juga menyukai