DOSEN PENGAMPU:
Dr. Rocky Marbun S.H., M.H
UNIVERSITAS PANCASILA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu perjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada
kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang terjadi seringkali terkait cara melaksanakan
klausal-klausal perjajian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya di luar yang diatur
dalam perjajian. Di Indonesia, dalam proses penyelesaian sengketa para pihak, ada beberapa
cara yang biasanya dapat dipilih antara lain, melalui jalur litigasi (pengadilan) atau pun jalur
non litigasi (mediasi, negoisasi, konsiliasi, konsultsi, penilaian ahli, dan arbitrase).
Bebicara mengenai arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya sudah ada dan telah
dipraktekkan selama berabad-abad (bahkan pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat
Yunani sebelum Masehi). Di Indonesia sendiri, arbitrase juga sudah dikenal oleh masyarakat
sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Definisi pasti
mengenai apa itu arbitrase, masih saja ditemui begitu banyaknya perbedaan pendapat. Namun,
perbedaan pendapat tersebut tidak sampai menghilangkan makna arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, melainkan justru memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai
arbitrase. Ini memberikan suatu gambaran bahwa menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
merupakan cara yang paling disukai oleh para pelaku usaha karena dinilai sebagai cara yang
paling serasi dengan kebutuhan dalam dunia bisnis.
Arbitrase tercipta dari klausul yang mereka tuangkan di dalam kontrak yang sudah mereka
setujui. Sehingga, para pihak yang terlibat dalam kontrak/ perjanjian tersebut dapat
menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan metode tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini
akan membahas mengenai pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam sistem
hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. 1
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration
(Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa
oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk
pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.2
Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim atau arbiter
dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang bersengketa. Mereka harus tunduk
dan terikat kepada hasil keputusan tersebut
1 Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesian Sengketa Alternatif, pasal 1 angka 1
3H.Priyana Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar Pengadilan, makalah,
September 1996, hal 1
Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama lain tidaklah
terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase adalah cara penyelesaian
sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya diadakan berdasarkan perjanjian yang telah
dibuat oleh pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil
keputusan terhadap sengketa tersebut. Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan
oleh para pihak yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan
keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.
Di Indonesia, kita sudah lama mengenal lembaga arbitrase ini bahkan dalam Reglement op
de Burgerlijke Rechtsvordering (BRV),yang berlaku sejak tahun 1849, juga terdapat pasal-
pasal tentang Arbitrase. Pengaturan yang sangat sederhana ini masih berlaku sampai sekarang.6
Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian sengketa pada masa itu dikenal pula
adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal 377 HIR atau pasal 705 Rbg seperti
yang sudah penulis paparkan diatas. Dari pasal tersebut, menunjukkan bahwa pada
zaman Hindia Belanda Arbitrase sudah diatur dalam tata hukum Indonesia di masa itu.
Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan 651 Rv yang isinya
tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn fungsi arbitrase. Dari ketentuan
tersebut setiap orang yang bersengketa pada waktu itu punya hak untuk menyerahkan
penyelesaian sengketanya kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter),
selanjutnya arbiter yang dipercaya tadi memeriksa dan memutus sengketa yang
diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang diinginkan para
pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
Pada zaman ini, peradilan Raad van Justitie dan Residentiegerecht dihapuskan. Jepang
membentuk satu macam yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan
peradilan ini merupakan peradilan kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu
pada HIR dan RBg. Mengenai arbitrase pemerintah Jepang masih memberlakukan aturan
arbitrase Belanda dengan didasarkan pada peraturan Pemerintah Balatentara Jepang, isinya :
“Semua badan pemerintah dan kekuasaan hukum dari pemerintah dahulu tetap diakui sah buat
sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang”.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintahan Jepang pernah mengeluarkan
peraturan pemerintah Balentara Jepang yang menentukan bahwa “Semua badan-badan
Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang-undang dari Pemerintah dahulu-Pemerintah
Hindia Belanda-tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan Peraturan
Militer Jepang.
3) Indonesia Merdeka
Untuk mencegah kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka diberlakukanlah pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945, isinya : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Dengan demikian
maka aturan arbitrase zaman Belanda masih dinyatakan berlaku. Beberapa serangkaian
peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah:
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
pada penjelasan pasal 3.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
c. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
d. Pasal 615-651 Rv.
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS 7
7 Yusna Zaidah, Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Sayri’ah di Indonesia (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2015), hal.39-47
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua aturan yang sudah ada sejak zaman
penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap
berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur di dalam Rv juuga tetap berlaku.
Kedaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang–Undang nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa8
a. Pasal 615 s/d Pasal 651 RV (Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering) Ketentuan yang
mengatur tentang arbitrase terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Perdata
(RV). RV merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk
golongan Eropa saja.
Pasal-pasal pada RV yang mengatur tentang arbitrase adalah meliputi lima bagian sebagai
berikut: 9
1) Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 mengatur tentang Persetujuan
Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter.
2) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan Perkara di
depan Arbitrase.
3) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan Arbitrase.
4) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang Upaya-upaya Hukum
terhadap Putusan Arbitrase.
8 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2001), hal. 10-16
9Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
27-28
5) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya Perkara
Arbitrase.
b. Pasal 377 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan Pasal 705 RBG (Reglement Buiten
Govesten)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan bumiputra,
adalah HIR (untuk Jawa dan Madura) dan RBG (untuk Luar Jawa dan Madura). Arbitrase
sebenarnya tidak diatur secara langsung di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata untuk golongan bumiputera, baik di dalam HIR maupun RBG. 10 Hanya saja lewat
Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg ang menyatakan sebagai berikut bilamana orang
Bumiputera dan Timur Asing menghendaki perselisihan tersebut diputuskan oleh arbitrase,
maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan untuk perkara yang berlaku bagi orang
Eropa. Dengan adanya pasal tersebut, maka sebenarnya telah terdapat landasan hukum bagi
golongan bumiputra untuk dapat menggunakan sistem pemeriksaan perkara lewat arbitrase
secara prosedural. 11
10 Munir Fuady,loc.cit
11 Ibid, hal.29
Convention (1958), yaitu Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New York, yang diprakarsai oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
f. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang
Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap Dengan disahkannya Konvensi New
York oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Keppres No. 34 Tahun 1981, maka
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990
tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang
Tetap, pada tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya Perma
tersebut.
g. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dalam perjalanan sejarah hukum selanjutnya, maka ketentuan dalam Pasal 377
HIR dan Pasal 705 RBG telah dinyatakan tidak berlaku oleh undang- undang sejak
disahkan dan diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999, pada tanggal 12 Agustus 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sebagaimana disebutkan dalam
bab XI ketentuan penutup pada Pasal 81, sebagai berikut :
“Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement
op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847 : 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 : 44) dan Pasal 705
Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927 : 227), dinyatakan tidak berlaku.”
Dengan keluarnya UU No. 30 Tahun 1999 ini, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase
di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. 12
Jenis arbitrase yang akan dibahas ini merupakan jenis arbitrase yang kewenangan serta
eksistensi nya diakui sebagai lembaga untuk memriksa, menangani serta memberikan putusan
terhadap sengketa yang terjadi antara pihak- pihak yang telah melakukan perjanjian.
12 Ibid,hal. 39
Berdasarkan terkoordinasi dan tidak terkoordinasinya arbitrase oleh suatu lembaga, maka jenis
arbitrase terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Arbitrase ad-hoc
2. Arbitrase Instutional
Arbitrase ad-hoc atau disebut juga arbitrase volunter adalah arbitrase yang dibentuk khusus
untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan
jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan13
Arbitrase ad-hoc ini dibentuk setelah suatu sengketa terjadi. Arbitrase ini tidak terikat
dengan salah satu badan arbitrase, jadi dapat dikatakan bahwa arbitrase ini tidak memiliki
aturan ketentuan sendiri mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan sengketa maupun
pangikatan arbiternya. Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata
cara yang ditentukan dalam perundang-undangan14
Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan
dan melekatpada suatu badan (body) atau lembaga (institution) tertentu. Sifatnya permanen
dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelasanaan
perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada
umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan atta cara pemeriksaan sengketa
tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.
Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan
aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan
arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para pihak sering kali memilih jalan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional.
13Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2001), hal.52
14 M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1991) hal.150
otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase
dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka.
Ada beberapa lembaga arbitrase institusional yang menyediakan jasa arbitrase, diantaranya
bersifat Internasional dan yang bersifat Nasional.
Yang bersifat Internasional misalnya :
- The International Centre for Setlement of Investment Dispute (ICSID), didirikan oleh World
Bank. Diratifikasi melalui Undang-Undang nomor 5 Tahun 1968.
- United Nation Commisson on International Trade Law (UNCITRAL), didirikan pada tanggal
21 Juni 1985.
Dalam bagian ini sedikit akan dibahas tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
sebagai sebuah lembaga arbitrase institusional dalam lingkup Nasional yang bertujuan untuk
memberikan penyelesaian sengketa yang timbul mengenai permasalahan perdagangan,
industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional secara adil
dan cepat.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini berdiri pada tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia sebagai sarana kepercayaan para pengusaha
Indonesia termasuk pengusaha perdagangan bagi kelancaran usahanya, untuk waktu yang tidak
ditentukan lamanya, berkedudukan di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di tempat-
tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu setelah diadakan mufakat dengan Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) Indonesia.
Prakarsa KADIN dalam pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang antara
lain menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan
Industri dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk pemberian surat keterangan,
penengahan, arbitrase, dan rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk
legalisasi surat- surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya
Jadi walaupun Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini memiliki sifat, ruang lingkup
keberadaan serta hanya meliputi kawasan Indonesia, namun bukan berarti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia ini hanya dapat menyelesaikan sengketa nasional saja, tetapi juga dapat
menyelesaikan sengketa yang bebobot internasional, asalkan hal tersebut diajukan atau diminta
serta disepakati oleh para pihak.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri dari susunan seorang Ketua, seorang Wakil
Ketua, beberapa orang anggota tetap, beberapa orang anggota tidak tetap, dan sebuah
sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, Wakil Ketua, anggota, dan sekretariat
tersebut diangkat dan diberhentikan atas pengusulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh
Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Untuk pertama kali mereka diangkat atas pengusulan
Team Inti Pendiri BANI. Jangka waktu pemangkuan jabatan tersebut adalah untuk waktu lima
tahun, setelah mana mereka dapat diangkat kembali. Ketua, Wakil Ketua, dan para anggota
tetap merupakan pengurus (Board of Managing Directors) Badan Arbitrase Nasional Indonesia
1. Konsultasi
Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tentang
pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak pendapat yang
dikemukakan oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi konsultasi seperti yang
dikemukakan oleh Zins bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada
karakteristik hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi
yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber
pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat
memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam
pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan15
16Bryan A. Garner, editor in chief, “Black’s Law Dictionary” West Group-St, 1999.
17Jurnal resmi
https://www.academia.edu/6362402/MODEL_ALTERNATIF_PENYELESAIAN_SENGKETA_DAN_BERBAGAI_KELE
MAHAN_DALAM. Diakses pada 22 Juni 2019
paling tertutup dari pihak lain dibandingkan cara-cara lainnya. Negosiasi adalah proses
konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka yang
bersengketa.
Komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua
belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi
merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil
keputusan, maupun pengambil keputusan.18
Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa untuk mencari solusi
pemecahan masalah yang mereka hadapi tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
Negosiasi biasanya digunakan dalam kasus yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak
beritikad baik untuk secara bersama memecahkan persoalannya. Negosiasi dilakukan jika
komunikasi antara pihak masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada
keinginan baik untuk mencapai kesepakatan serta menjalin hubungan baik. Penyelesaian
Negosiasi tidak win-lose, tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini
memang dipandang yang memuaskan para pihak. Batasan waktu penyelesaian yang paling
lama 14 hari, dan penyelesaiannya langsung oleh pihak yang bersengketa.19
Ada baiknya apabila sudah mencapai suatu kesepakatan antara para pihak dibuat
tenggat waktu pelaksanaan atas kesepakatan tersebut bagi masing-masing pihak dengan tujuan
meminimalisasi kerugian-kerugian yang akan muncul dari tidak dilaksanakannya kesepakatan
tersebut. Oleh karena itu untuk dapat menjamin adanya kepastian dalam pelaksanaan
kesepakatan, sebaiknya dibuat suatu nota kesepakatan ataupun akta perdamaian di antara para
pihak yang bersifat mengikat para pihak untuk taat dan tunduk terhadap segala hal yang telah
disepakati bersama. Adanya nota kesepakatan atau akta perdamaian tentu dapat dijadikan bukti
oleh para pihak apabila terjadi tindakan wanprestasi dari salah satu pihak dalam pelaksanan
kesepakatan sehingga pihak yang beritikad baik tidak dirugikan.20
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang
bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa
adalah pihak yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa yang diinginkan.
18
Amriani, Nurnaningsih, S.H, M.H., “Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di pengadilan”,
Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal. 23.
19
Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., “Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”,
Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hal. 313.
20
Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., Op.Cit., hal.24
Pihak yang bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah
penyelesaian yang diharapkan.
Kekurangan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah ada kalanya mengalami
jalan buntu, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, dan manakala terdapat pihak
yang kaku.
3. Mediasi
Penyelesaian sengketa dengan mediasi sekarang ini dibatasi. Dibatasi hanya untuk
sengketa keperdataan saja. Di Indonesia terdapat beberapa sengketa yang dapat diselesaikan
dengan mediasi, yakni sengketa perbankan, konsumen, tenaga kerja, dan sengketa di
pengadilan. Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak
memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu
mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.21
Proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya
kepada seorang mediator. Mediator adalah seorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak
– atau lebih – yang bersengketa. Tujuannya adalah untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa
membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua
belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediator juga berkewajiban untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan bebas para pihak.
Mediator tidak mempunyai kewenangan memberikan putusan terhadap objek yang
dipersengketakan, melainkan hanya berfungsi membantu dan menemukan solusi terhadap para
pihak yang bersengketa. Mediator juga harus mempunyai sertifikasi pelatihan sebagai seorang
mediator nonhakim dari lembaga yang sudah disertifikasi oleh Mahkamah Agung.
Ketentuan tentang mediasi dapat ditemukan di dalam Pasal 6 ayat (3) s.d. ayat (5) UU
No. 30 Tahun 1999. Pengalaman, kemampuan, dan integritas dari seorang mediator sangat
menentukan keefektifan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa. Selain itu
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
kemudian diganti dengan peraturan yang baru yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2016.
Ada beberapa poin penting dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 yang berbeda dengan
Perma No. 1 Tahun 2008. Misalnya, jangka waktu penyelesaian mediasi lebih singkat dari 40
hari menjadi 30 hari terhitung. Kedua, kewajiban para pihak menghadiri pertemuan mediasi
dengan atau tanpa kuasa hukum, kecuali ada alasan sah. Hal terpenting adanya itikad baik dan
21
Garry Goodpaster, “Arbitrase di Indonesia”, Jakarta : Ghalia Indonesia,1995, hal. 11
akibat hukum (sanksi) para pihak yang tidak beritikad baik dalam proses mediasi. Perma No.
1 Tahun 2016 juga mengenal kesepakatan sebagian pihak (partial settlement) yang terlibat
dalam sengketa atau kesepakatan sebagian objek sengketanya. Berbeda dengan Perma
sebelumnya apabila hanya sebagian pihak yang bersepakat atau tidak hadir mediasi dianggap
dead lock (gagal). Tetapi, Perma yang baru kesepakatan sebagian pihak tetap diakui, misalnya
penggugat hanya sepakat sebagian para tergugat atau sebagian objek sengketanya.22
Substansi Perma No. 1 Tahun 2016 hampir sama dengan Perma sebelumnya. Misalnya,
prosedur mediasi bersifat wajib ditempuh, jika tidak putusan batal demi hukum; mediator bisa
dari kalangan hakim ataupun nonhakim yang bersertifikat. Hanya saja, pengaturan Perma
Mediasi terbaru cakupannya lebih luas dari Perma sebelumnya.
Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan,
yakni diantaranya adalah:
1. Keputusan yang hemat
2. Penyelesaian secara cepat
3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak
4. Kesepakatan yang komprehensif
5. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan
6. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada proses mediasi terletak
pada kekuatan eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai
dengan cara suka rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang suka
rela pula. Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para pihak yang
benar-benar secara suka rela menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan
demikian, mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama proses mediasi
pun tetap secara suka rela harus diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
4. Konsiliasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha
mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan
menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-
22
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56bc191569359/perma-mediasi-2016-tekankan-pada-iktikad-baik
diakses pada 22 Juli 2019.
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara
negosiasi.23
UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian
atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No.
30 Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu
lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10
dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak
ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan.
Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal
daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan
yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis
dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan
kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para
pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
Dalam upaya menyelesaikan sengketa :
1. Konsiliator tidak harus mengadakan pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah
pihak di suatu tempat, tapi bisa dihasilkan shuttle negotiation antara para pihak.
2. Putusan yang diambilnya dijadikan resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua
belah pihak.
Proses konsiliasi berakhir, apabila :
1. Berdasarkan persetujuan untuk berakhir yang ditandatangani oleh para pihak;
persetujuan tersebut harus tetap bersifat rahasia kecuali dalam perjanjian tersebut
mensyaratkan agar persetujuan tersebut dibuka;
2. Berdasarkan hasil yang dikeluarkan oleh konsiliator mengenai laporan yang
menyatakan bahwa upaya untuk berkonsiliasi tidak berhasil. laporan-laporan demikian
itu tidak perlu mencantumkan alasan-alasannya; dan
3. Berdasarkan pemberitahuan kepada konsiliator oleh satu pihak atau lebih pada saat
proses konsiliasi dinyatakan tidak lagi menyelesaikan perkaranya melalui proses
konsiliasi.
23
Emirzon, Joni, “Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001, hal. 91.
Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama
dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang
menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa
putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya
pada para pihak yang bersengketa.
5. Arbitrase
Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase adalah perjanjian perdata di mana para pihak
sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka yang mungkin akan
timbul di kemudian hari yang diputuskan oleh seorang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh
beberapa orang wasit (arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara
dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjuk
pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.24
Para pihak sepakat menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada pihak yang
netral. Dalam arbitrase, para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan
hukum yang diterapkan. Arbiter hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai
kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi. Putusan yang dimaksud
bersifat final and binding, serta merupakan win-loss solution.
Beberapa jenis arbitrase yaitu:
1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase)
2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)
Disebut juga dengan arbitrase Ad-Hoc atau Volunter Arbitrase karena sifat dari
arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk
memutus dan menyelesaikan satu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai
diputus, maka arbitrase Ad-Hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter
yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang
bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan
penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang
24
Emirzon, Joni, Op,Cit. hlm. 97-98.
baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut
terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditemukan oleh undang-undang.25
Kelebihan alternatif penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase adalah adanya
kebebasan, kepercayaan, dan keamanan. berproses menggunakan arbitrase adalah perkaranya
diproses dengan cepat dan hemat biaya. selain itu adanya arbiter/wasit yang memiliki keahlian
(expertise).
Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase
ini adalah bahwa arbitrase tidak memilikii kekuatan eksekutorial dan kepastian hukum
terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.
25
Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., Op,Cit, hlm. 316.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), prosedur penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dimulai dari pendaftaran dan permohonan
arbitrase kepada Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang
memulai proses arbitrase alias Pemohon. Penyerahan permohonan ini juga
disertai dengan pembayaran biaya pendaftaran dan administrasi (meliputi
biaya administrasi sekretariat, pemeriksaan perkara, arbiter, dan Sekretaris
Majelis).
Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan
didaftarkan ke dalam register BANI. Permohonan akan diperiksa untuk
kemudian ditentukan apakah perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar
kewenangan bagi BANI untuk melakukan pemeriksaan sengketa tersebut.
2. Penunjukan Arbiter
Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya,
pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan
ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam
jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum
arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal
ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter
tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini.
• Jika diinginkan cukup arbiter tunggal, Pemohon dan Termohon wajib
memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini. Pemohon mengusulkan
kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai arbiter tunggal.
Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak
mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan
pengangkatan arbiter tunggal.
• Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing
menunjuk seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang
ditunjuk oleh dua belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk
menjadi arbiter ketiga (akan menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun
waktu 14 hari belum mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri
akan mengangkat arbiter ketiga dari salah satu nama yang diusulkan salah
satu pihak.
Sementara itu, apabila salah satu pihak tidak dapat memberikan
keputusan mengenai usulan nama arbiter yang mewakili pihaknya dalam
kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima surat, maka seorang arbiter
yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi arbiter tunggal. Putusan arbiter
tunggal ini tetap akan mengikat dua belah pihak.
3. Tanggapan Termohon
Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriks dan
memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan
sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis
boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus.
Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-
dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon
memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah
usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter,
maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas
waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat
tertentu. Termohon menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk
menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan
yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.
4. Tuntutan Balik
Dalam janka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya
kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban
tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung
permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu, Termohon
juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus
tersebut.Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik
(rekonvensi), maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan
pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya
pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan
tuntutan balik pada suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan. Tentu
saja, hal ini juga dilakukan atas wewenang dan kebijakan Majelis.Seperti prosedur
permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari
Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk
memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini
dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila
tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah tuntutan balik
akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan tuntutan pokok.
Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua belah pihak untuk
membayar biaya administrasi tuntutan balik—selama biaya tuntutan pokok telah
selesai dilaksanakan—maka hanya tuntutan pokok yang akan dilanjutkan
penyelenggaraan pemeriksaannya.
5. Sidang Pemeriksaan
Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur
dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup,
menggunakan bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar
keterangan dari para pihak.
Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.
Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait
dengan sengketa yang dipersoalkan.Sementara itu, terkait dengan bahasa yang
digunakan, Majelis atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa
asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab
sengketa dilaksanakan dalam bahasa asing (selain Indonesia).Sebagaimana yang
termaktub dalam Undang-Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180
hari terhitung sejak Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat
menjadi faktor Majelis atau arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:
• salah satu pihak mengajukan permohonan hal khusus;
• merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan selalainnya; atau
• dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter.
Putusan akhir paling lama ditetapkan dalam kurun waktu 30 hari sejak
ditutupnya persidangan. Sebelum Majelis atau arbiter juga memberi putusan akhir,
mereka harus memiliki hak untuk memberi putusan-putusan pendahuluan atau putusan-
putusan parsial. Namun, bila dirasa diperlukannya perpanjangan waktu untuk
menetapkan putusan akhir menurut pertimbangan Majelis atau arbiter, maka putusan
akhir dapat ditetapkan pada suatu tanggal berikutnya.26
26
Abdurrasyid,H. Priyatna. Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar Pengadilan. Makalah
september 2015.
BAB III
PENUTUP
Arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa,sebagai landasan hukum dalam berarbitrase.
Penyelesaian Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka
yang terjun di dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen,
maupun lawan atau saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah
itu melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu
mereka akan memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan. Jalur ini lebih aman dibandingkan
jalur pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan dan kemudahan dibandingkan
dengan proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang dikenal di Indonesia ada
Salah satu kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang
Dalam bahasa hukum modern dikenal “WIN WIN SOLUTION” dan inilah tujuan hakiki atau
esensial dariArbitrase, Mediasi, atau cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsolisiasi ,
Dan Arbirase. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Citra Aditya Bakti, 2000.
Garner, Bryan A., and David W. Schultz. A Handbook of Business Law Terms. West Group, 1999.
Harahap, M. Yahya. Arbitrase: Ditinjau Dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI,
International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules,
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Awards, PERMA No. 1 Tahun
1991. Pustaka Kartini, 1991.
Hutagalung, Sophar Maru. Praktik Peradilan Perdata Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sinar
Grafika, 2012.
“Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah.” 123dok.Com,
id.123dok.com/document/zpdep1rz-prinsip-arbitrase-berbasis-syariah-dalam-penyelesaian-sengketa-
perbankan-syariah-1.html.
Sembiring, Jimmy Joses, and Zulfa Simatur. Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan:
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase. Visimedia, 2011.
Subekti, R. Arbitrase Perdagangan: Proyek Penuliasan Karya Ilmiah Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakima, Republik Indonesia. Binacipta, 1992.
Widjaja, Gunawan, and Ahmad Yani. Hukum Arbitrase. PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Zaidah, Yusna. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Dan Arbitrase Syariah Di Indonesia. Aswaja
Pressindo, 2015.