Anda di halaman 1dari 95

ARBITRASE

NOURMA DEWI, S.H.,M.H.


Sengketa adalah fakta kehidupan

 
 
 
 Sengketa bisnis masalah sepanjang sejarah
 Kalangan bisnis kurang menyukai pengadilan asing
 
 
 
 

 Ketidak-pastian hukum dan proses


 
 
 
 

 Biaya-biaya yang tidak jelas


 
 
 
 

 Penegakan hukum yang tidak pasti


 

 Akibat terhadap hubungan bisnis


PENYELESAIAN SENGKETA
LITIGASI NON - LITIGASI

Berdasarkan sistem yang sudah baku Berdasarkan konsensus

Cenderung menggunakan pertimbangan


Menerapkan hukum secara ketat
rasa keadilan dan kepatutan

Terbuka, diketahui oleh publik Rahasia

Kemungkinan banding, mengandung


Putusan tergantung metoda yang dipilih;
resiko proses yang memakan waktu
dapat final (arbitrase), dapat juga tidak
lama

Formal Fleksibel
UNDANG-UNDANG NO. 30/1999
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 1 butir 10:
Alternatif Penyelesaian
ARBITRASE APS / ADR
Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau
KONSULTASI
beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati NEGOSIASI
para pihak, yakni
penyelesaian di luar MEDIASI
pengadilan dengan cara : KONSILIASI
konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau PENILAIAN AHLI
penilaian ahli
LAIN-LAIN
PROSES AJUDIKASI
PUTUSAN • Penentu Putusan : Pihak Ketiga
yang Netral
• Prosedur : Berlawanan/
Berhadapan
HAKIM/ Masing-masing pihak berusaha
ARBITER mengemukakan bukti dan
pendapat yang berlawanan
dengan cara meyakinkan
pengambil keputusan untuk
berpihak kepadanya
BERDASAR • Fokus : Hak Legal dan Kejadian-
HAK
kejadian yang mendahuluinya
(sebelumnya)
PIHAK A PIHAK B
PROSES NON-AJUDIKASI
MEDIATOR/ • Penentu Hasil Ahir
KONSILIATOR
(Kesepakatan) : Para Pihak
Mediator tidak berwenang
membuat keputusan
• Prosedur : Tidak Konfrontatif
BERDASAR
KEPENTINGAN Para Pihak berkomunikasi
dan bekerja sama untuk
mencapai konsensus
PIHAK A PIHAK B
• Fokus : Memecahkan Masalah
Dengan mempertimbangkan
kepentingan para pihak
(keinginan dan keberatan)
KESEPAKATAN
PERISTILAHAN
Istilah “Arbitrase” berasal dari istilah
Arbitrare (bahasa Latin) yang maknanya
adalah kewenangan memutus sengketa
berdasarkan kebijaksanaan. Arbitration
(bahasa Inggris) atau Arbitrage (bahasa
Belanda), sedangkan istilah Arbitrase
digunakan dalam UU No.30/1999.

7
PENGERTIAN ARBITRASE
“……adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak
yang bersengketa” (ps. 1 ayat 1 UU No.30/1999).

“…..a method of dispute resolution involving one or


more neutral third parties who are agreed to by the
disputing parties and whose decision is binding”
(Black’s Law Dictionary, seventh edition, 1999).
8
ARBITRASE
“Arbitration. An alternative dispute resolution system that is
agreed to by all parties to a dispute. The system provides for
private resolution of dispute in a speedy fashion.”

“Arbitrase adalah sebuah alternatif dari cara penyelesaian


sengketa yang disetujui oleh semua pihak yang terkait dalam
sengketa tersebut. Cara ini memberikan sebuah penyelesaian
pribadi yang cepat dari sebuah sengketa.”

 
ARBITRASE
Subekti, dalam bukunya Aneka Perjanjian Mengemukakan bahwa arbitrase ialah
pemutusan suatu sengketa oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak
yang bersengketa sendiri, di luar hukum atau pengadilan.

Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu prosedur


penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang
bersangkutan diserahkan kepada wasit atau lebih.

Z. Asikin Kusumaatmadja, arbitrase adalah aturan komunitas bisnis dalam penyelesaian


sengketa di antara mereka.

Sidik Suraputra, abitrase adalah tindakan atau cara kerja yang sederhana yang dipilih oleh
para pihak dengan suka rela yang menginginkan suatu penyelesaian sengketa yang
diputuskan oleh seorang wasit yang tidak berat sebelah atas pilihan mereka sendiri untuk
memutuskan beralaskan isi dari perkara, mereka kemudian setuju untuk menerima
putusan yang final dan mengikat.
Penjelasan Pengertian
Arbitrase (1)
• Sengketa perdata = perdata khusus dalam ruang
lingkup hukum perdagangan, (ps. 5 (1) jo. 66 (b) UU
No.30/1999 (penjelasan), yang meliputi : perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri
dan hak kekayaan intelektual.
• Diluar Peradilan umum = out of (state) court
dispute settlement. Ps. 1 ke-1, jo. Ps 3, Ps. 11 (2) UU
No.30/1999;

11
Penjelasan Pengertian Arbitrase
(2).
• Berdasarkan perj. arbitrase = kesepakatan tertulis
para pihak untuk menyelesaikan sengketa yg akan
terjadi (pactum de compromi tendo) atau sengketa yg
terjadi (acta van compromise). Ps 1 ke-3, Ps. 4 (2), 7,
9 (1,3), 11 (1) UU No.30/1999;
• Dibuat para pihak bersengketa = subyek hukum
menurut hukum perdata maupun hukum publik.
Orang perorangan sebagai pribadi maupun, badan
hukum perdata maupun badan hukum publik.
• Ps. 1 (2) UU No.30/1999.
12
ARBITRASE DI INDONESIA
• Eksistensi arbitrase sudah dikenal sejak jaman penjajahan dan diatur
dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvoerdering (RV) Stb. 1847 –
52, Pasal 615 s/d 651. Pada dasarnya hanya berlaku bagi penduduk
Hindia Belanda, golongan Eropa.

• Berdasarkan Ps. 377 HIR/705 RBG, bagi golongan Bumiputera dapat


menggunakan arbitrase, dengan syarat melakukan penundukan
hukum terhadap RV.

• Pada saat itu terjadi penggolongan penduduk Hindia Belanda, menjadi


3 golongan, yakni Gol. Eropa, Gol Timur Asing (Tionghoa dan bukan
Tionghoa), serta Gol Bumiputera yang masing2 tunduk pada hukum
perdata berbeda (Ps. 131 dan 163 Indische Staatsregeling).
13
SUMBER HUKUM ARBITRASE
PERDAGANGAN DI INDONESIA
• UU No. 30/1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian
Sengketa (mencabut Pasal 615 s/d 651 Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering Stb 1847-52,
• Konvensi New York 1958 – Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia berdasarkan Keppres No.34/1981;
• Konvensi Washington 1965 – Convention on the Settlement of
Investment Disputes between States and Nationals of other
States yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan
UU No.5/1968.
• UU 1/1967 (UUPMA) sebagaimana diubah & ditambah dengan
UU 11/1970 yang kemudian dicabut dengan UU No. 25/2007
(UUPM),
• PERMA No.1/1990 tentang Prosedur Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing.
14
ALASAN UTAMA PARA PIHAK
MEMILIH ARBITRASE
1. Otonomi para pihak yang luas (Partij Autonomie);
2. Spesifikasi Keahlian Arbitrator (Expert in the Subject
Matter);
3. Jaminan kerahasiaan subyek, substansi, serta proses
berperkara (Private & Confidential)
4. limitasi waktu proses arbitrase (Time Limitation)
5. Putusan arbitrase bersifat final & mengikat (Final &
Binding);
6. Eksekutabilitas putusan Arbitrase (Excecutability &
Enforceability Arbitration Award).
7. Lintas jurisdiksi pada arbitrase internasional (Trans
Jurisditcion) 15

8. Dll.
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
• (1). flexibility,
• (2). focusing on the main issues,
• (3). speed,
• (4). cost.
• Martin Hunter, Freshfileds Guide to Arbitration and ADR : Clauses in
International Contracts, 1993,

16
Alasan memilih arbitrase, :
• (1). choice of tribunal;
• (2). privacy and confidentiality;
• (3). speed;
• (4). technical expertise;
• (5). enforceability of award;
• (6). cost;
• (7). Representation;
• (8) flexibility of procedure;
• (9). extent of jurisdiction

• Chaterine Tay Swee Kian, Resolving Disputes by Arbitration : What


You Need to Know, 1998,
17
ASAS-ASAS ARBITRASE
• Asas kesepakatan/ Kebebasan Berkontrak (pacta sunt servanda
dan itikad baik) dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa :
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku sebagai UU bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

artinya kesepakatan para pihak menyelesaikan sengketanya melalui


arbitrase dengan adanya klausula arbitrase  Pasal 1338 KUHPerdata,
merupakan UU bagi Para Pihak  Law of The Parties
ASAS-ASAS ARBITRASE
Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan
untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara
arbiter dengan Para Pihak maupun antara arbiter itu
sendiri;

Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam


penyelesaian perselisihan melalui arbitrase, yaitu terbatas
pada perselisihan-perselisihan dibidang perdagangan dan
hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
ASAS-ASAS ARBITRASE

Asas final dan binding, yaitu suatu putusan


arbitrase bersifat putusan akhir dan mengikat yang
tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain,
seperti banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya
sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau
perjanjian arbitrase.
OBJEK ARBITRASE
• Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa
keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan
melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5
ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu :
“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa”.
Pengertian Perdagangan
• Pekerjaan menjual / membeli barang dari suatu
tempat / suatu waktu dan menjual barang itu
ditempat lain/pada waktu yang berikut dengan
maksud memperoleh keuntungan
• Perdagangan zaman modern : pemberian
perantaraan kepada produsen dan konsumen u/
menjualkan & membelikan barang2 yg memudahkan
& memajukan pembelian dan penjualan tersebut
PERDAGANGAN
• Membawa / memindahkan barang dari tempat yang
berlebihan (surplus) ke tempat yang kekurangan(minus)
• Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen
• Menyimpan barang-barang tersebut dari masa surplus sampai
mengancam bahaya kekurangan
OBJEK ARBITRASE
• Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup
perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
• Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :
“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.
1. OTONOMI PARA PIHAK :

A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH FORUM


(Choice of Arbitration Forum)
Para pihak berdasarkan perjanjian tertulis dapat
memilih penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase. Apakah Arbitrase ad hoc
ataukah arbitrase institusional (ps. 6 ayat 9), serta apakah Arbitrase Nasional
ataukah Arbitrase Internasional (ps. 34 ayat 1).

25
A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH
FORUM (Choice of Arbitration Forum)
• CATATAN :
Dewasa ini dalam kontrak2 komersial, terutama kontrak internasional, pada umumnya
telah mencantumkan “dispute settlement clause” yang memilih penyelesaian
sengketa melalui “arbitrase”. Pertimbangannya, selain efisiensi waktu, ekspertise
arbitrator, pemeriksaannya tertutup (private & confidential), juga putusannya bersifat
final & binding. Putusan arbitrase internasional bersifat “trans jurisdiksi”, sehingga
dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di wilayah Negara lain.
Sebaliknya para pihak, dalam kontrak kemersial internasional, pada umumnya
menghindari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Nasional salah satu pihak
(kontraktan). Selain karena alasan ketidakpahaman prosedur dan proses hukumnya,
juga karena adanya kekuatiran terjadinya “pemihakan” Pengadilan terhadap pihak
(tuan rumah) yang bersengketa. Selain daripada itu, putusan Pengadilan Nasional
suatu negara tidak memiliki efek mengikat dan efek eksekutorial di wilayah negara
yang lain.

26
A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH
FORUM (Choice of Arbitration Forum)
• CATATAN :
Pencantuman “dispute settlement clause”, dalam hal ini
“arbitration clause” dalam kontrak komersial seringkali dijuluki
sebagai “midnight clause”. Artinya, merupakan klausula yang
terakhir mendapat perhatian para pihak, setelah mereka
merampungkan substansi kontrak lainnya. Hal tersebut karena
tujuan utama para pihak mengadakan kontrak adalah untuk
melaksanakan kontrak itu sendiri. Mereka justru tidak
menginginkan atau menghindarkan terjadinya sengketa.
Karena itu, pencantuman “dispute settlement clause” semata-
mata sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya
sengketa di kemudian hari, meskipun sengketa tersebut belum
tentu terjadi dan pada dasarnya tidak dikehendaki terjadi. 27
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
• Chaterina Tay Swee Kian : “Today, commercial arbitration is widely used by
businessmen in fields such a construction, building, engineering, shipping,
insurance, banking and finance, transportation, professional practice, etc”.
• M. Yahya Harahap, 1991, “commercial arbitration” is “a bussines executive court”.

28
ARBITRASE :
BENTUK & LINGKUPNYA

DARI SEGI BENTUKNYA, DIBEDAKAN MENJADI DUA MACAM :


1. ARBITRASE INSTITUSIONAL.
2. ARBITRASE AD HOC.

DARI SEGI LINGKUPNYA, DIBEDAKAN MENJADI DUA MACAM :


1. ARBITRASE NASIONAL.
2. ARBITRASE INTERNASIONAL.

29
ARBITRASE LEMBAGA
(INSTITUTIONAL ARBITRATION)
• Disebut juga sebagai arbitrase permanen yang eksistensinya
sengaja didirikan oleh komunitas tertentu dalam rangka untuk
melayani kebutuhan jasa penyelesaian sengketa para pihak
bersengketa.
• Misalnya, di Indonesia :
• BANI, didirikan oleh KADIN.
• BAMUI, didirikan oleh MUI & BANK MUAMALLAT
sekarang berubah menjadi BASYARNAS
• BAPMI, didirikan oleh BAPEPAM, HKHPM, BEJ, dll
• DLL
30
LEMBAGA ARBITRASE
INTERNASIONAL
• American Arbitration Association (AAA) berkedudukan
di New York,
• International Chamber of Commerce Court of
Arbitration (ICC) di Paris,
• International Centre for the Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington DC,
• Stockholm Chamber of Commerce (SCC) di Stockholm,
London Court of International Arbitration (LCIA)
• Permanent Court of Arbitration (PCA) di Hague
Netherlands,
• Singapore International Arbitration Centre (SIAC),
• Kualalumpur Regional Centre for Arbitration (KRCA), 31

• dll
ARBITRASE AD HOC
• Arbitrase ad hoc dibentuk secara khusus untuk
menyelesaikan suatu sengketa tertentu yang telah
terjadi, sehingga bersifat insidentil atau “case by
case”.

• Karena sifatnya insidentil, maka arbitrase ad hoc


dengan sendirinya menjadi bubar setelah sengketa
dagang yang diajukan kepadanya telah dijatuhkan
putusan.
32
ARBITRASE BERDASARKAN
RUANG LINGKUPNYA
DIBEDAKAN MENJADI 2 MACAM :
• ARBITRASE NASIONAL, DAN
• ARBITRASE INTERNASIONAL/ASING.
• UU NO. 30/1999 TIDAK MEMBERIKAN PENGERTIAN YANG JELAS TENTANG APA YANG
DIMAKSUD DENGAN ARBITRASE NASIONAL MAUPUN ARBITRASE INTERNASIONAL.

33
PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT
DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL

• Pasal 1 (9) UU No.30/1999 “Putusan Arbitrase Internasional”


adalah : “….putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
atau arbiter perorangan
di luar wilayah hukum Republik Indonesia,
atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional”.
34
PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT
DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL

• Bertolak dari rumusan pasal 1 ayat (9) UU No.


30/1999, maka yang dimaksud dengan Arbitrase
Internasional adalah Arbitrase yang putusannya
dijatuhkan di luar wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, atau yang menurut hukum Indonesia
dianggap sebagai Arbitrase Internasional.

35
UU NO.30/1999 TIDAK MEMBERIKAN BATASAN JELAS
TENTANG MAKNA ARBITRASE NASIONAL
DAN ARBITRASE INTERNASIONAL

• UU No.30/1999 menggunakan istilah “arbitrase


internasional”.
• Perma No. 1/1990 menggunakan istilah “arbitrase asing”,
• Konvensi New York, 1958, menggunakan istilah “foreign
arbitration”.
masing masing istilah digunakan saling bergantian untuk
maksud yang sama (interchangeable).

36
ARBITRASE NASIONAL
Secara a contrario, Pengertian Arbitrase Nasional
adalah arbitrase yang putusannya dijatuhkan di
wilayah Negara Republik Indonesia, atau yang
menurut Hukum Indonesia dianggap sebagai
Arbitrase Nasional.
Arbitrase nasional tidak mengandung “unsur asing”
sama sekali. Misalnya, A dan B, keduanya WNI,
sepakat memilih forum arbitrase yang berkedudukan
di Indonesia, proses arbitrase berlangsung di
Indonesia, menggunakan hukum Indonesia, serta
menyangkut obyek sengketa di Indonesia. 37
B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT
ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION VENUE)
Ps. 37 (1) UU 30/1999.

Dalam memilih tempat (Negara) penyelenggaran Arbitrase


Internasional, perlu dipetirmbangkan faktor faktor :
Favourable legal environment .
Tempat penyelenggaraan arbitrase di negara yang dinilai telah memiliki
sistem hukum & tradisi hukum yang kuat dan dapat dipercaya
kehandalannya;
Enforceability of arbitration award.
Negara yang bersangkutan haruslah negara peserta Konvensi New York
1958, serta memiliki perjanjian bilateral dengan negara para pihak
maupun negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase nantinya.

38
B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT
ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION VENUE)
Ps. 37 (1) UU 30/1999.
Catatan :
Adalah sangat beresiko bagi para pihak apabila
memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
internasional di suatu negara yang tidak memiliki
stabilitas serta sistem hukum dan tradisi hukumnya
masih dinilai lemah, sebagaimana umumnya di
negara berkembang. Selain daripada itu, perlu
dipastikan apakah negara yang bersangkutan telah
meratifikasi Konvensi New York 1958 ataukah tidak.
Hal itu sangat terkait nantinya dengan eksekutabilitas
putusan arbitrase internasional. 39
C. Otonomi Para Pihak Memilih Hukum (Choice of Law)

• C.1. Memilih Hukum Materiil (ps. 56 ayat 2);


Pilihan hukum materiil pada umumnya dijumpai dalam perjanjian
diantara pihak-pihak yang dikuasai dan tunduk terhadap hukum
materiil yang berlainan. Perjanjian dagang internasional yang
bersifat “cross border”. Hukum pilihan para pihak berlaku
terhadap perjanjian, akibat hukum yang timbul, maupun sebagai
dasar hukum bagi penyelesaian sengketa yang timbul di
kemudian hari. Perjanjian dagang internasional mengandung
“element asing”
Sedangkan, pada perjanjian diantara pihak2 yang tunduk dan
dikuasai hukum materiil (nasional) yang sama, maka tidak
relevan melakukan pilihan hukum materiil lain.
.

40
C.2. Pilihan hukum hanya relevan dengan
kontrak dagang internasional,
• Pasal 56 (2) jo. Pasal 31 (1) dan 34 (2) UU No.30/1999
mengatur tentang kemungkinan para pihak
melakukan pilihan hukum, baik terhadap hukum
materiil maupun hukum formil.

• CATATAN :
Persoalan pilihan hukum tidak semata-mata
ditentukan berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak
serta otonomi para pihak saja, melainkan perlu juga
diperhatikan prinsip-prinsip hukum lain yang berlaku.
Antara lain tidak boleh melanggar prinsip “dwingend
recht”, “openbare orde”, “public policy”. 41
C.3. Memilih Hukum Formil
(ps 31 jo. 34 ayat 2);
Pasal 31 (1) : “para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas
dan bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan
dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam UU 30/1999”.

Pasal 31 (2) : dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri


ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan
dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah
terbentuk berdasarkan Pasal 12, 13 dan 14, semua sengketa
yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis
arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan
dalam UU 30/1999. 42
C.3. Memilih Hukum Formil
(ps 31 jo. 34 ayat 2);
• Pasal 31 (3) :
Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase
sebagaimana dimaksud ayat (1), harus ada
kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan
tempat diselenggarakan arbitrase.
• Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak
ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan
menentukan.
43
Catatan Ps. 31 jo. 34 ayat 2.
• Apabila para pihak bermaksud mengadakan pilihan hukum formil,
maka hal itu harus diperjanjikan secara tegas, sepanjang hukum
formil yang dipilih tidak bertentangan dengan UU No.30/1999.
Pilihan hukum formil, dalam arbitrase internasional harus dilakukan
secara hati-hati.

• Oleh karena apabila hukum formil yang dipilih dalam suatu arbitrase
internasional dinilai bertentangan dengan ketertiban umum i.c. UU
No.30/1999, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang menolak memberikan pengakuan dan melaksanakan
putusan Arbitrase Internasional tersebut di wilayah Republik
Indonesia (Vide Pasal 65 jo. 66 huruf “c”).
44
C.4. Cara Pemilihan Hukum;

Pilihan hukum dilakukan dengan cara :


• (a). pilihan hukum yang dilakukan secara tegas;
• (b). pilihan hukum yang dilakukan secara diam-diam;

45
C.4. Cara Pemilihan Hukum;
Pada pilihan hukum secara tegas kiranya telah jelas
tentang apa yang dimaksud dan diinginkan oleh para
pihak dalam perjanjian. Para pihak telah dengan
tegas memilih suatu hukum tertentu .
• Pilihan hukum yang dilakukan secara diam-diam,
meskipun mengandung sedikit keraguan tentang apa
sesungguhnya hukum pilihan para pihak, namun
masih dimungkinkan untuk menyelidiki berbagai
faktor obyektif untuk dijadikan pedoman dalam
menentukan hukum pilihan para pihak.
• Pilihan hukum secara anggapan dan secara hipotetis
menimbulkan keraguan yang semakin tinggi. 46
C.5. CHOICE OF LAW & APPLICABLE LAW

Hukum Pilihan Para Pihak (law of the parties) berlaku


sebagai hukum yang diberlakukan/ diterapkan terhadap
sengketa (applicable law/ governing law), termasuk
terhadap penyelesaian sengketa yang terjadi atau akan
terjadi di antara mereka dan dipergunakan sebagai dasar bagi
arbitrator atau majelis arbitrase untuk memutuskan sengketa.

• C.6.Pilihan hukum hanya dilakukan dalam bidang hukum


perjanjian yang bersifat mengatur (regelend recht) dan tidak
terhadap hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht).
• Pilihan hukum dibatasi pada sistem hukum yang memiliki
hubungan riil dengan dengan substansi perjanjian (the most
characteristic connection).
47
CHOICE OF LAW
WITH A BONAFIDE INTENTION
• pilihan hukum tidak dapat diarahkan pada hukum
yang tidak kaitannya sama sekali dengan substansi
perjanjian.
• Pilihan hukum juga tidak dapat dilakukan dengan
maksud sebagai tindakan penyelundupan hukum.
• Pilihan hukum harus dilakukan dengan maksud-
maksud yang baik (made with a bonafide
intention) dari pihak-pihak yang terlibat di dalam
perjanjian yang bersangkutan.
48
D. Otonomi Para Pihak Memilih Arbitrator/Arbiter
(Choice of Arbitrator) :

D-1, PENGERTIAN ARBITER (Pasal 1 ke-7) :

“Arbiter adalah seorang atau lebih yang :DIPILIH OLEH PARA


PIHAK YANG BERSENGKETA, atau yang DITUNJUK OLEH
PENGADILAN NEGERI, atau OLEH LEMBAGA ARBITRASE, untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.

49
D. Memilih Arbitrator/Arbiter
(Choice of Arbitrator) :
• CATATAN :
Pemilihan arbitrator pada dasarnya merupakan opsi
para pihak bersengketa. Namun apabila opsi tersebut
tidak digunakan oleh para pihak, atau karena
terdapat hambatan prosedural dalam pemilihannya,
maka pemilihan arbitrator dilakukan oleh Pengadilan
atau oleh Lembaga Arbitrase.

50
D.2. Syarat Syarat Menjadi Arbitrator
(ps 12 ayat 1);
• (a). cakap melakukan tindakan hukum;
• (b). berumur paling rendah 35 tahun;
• (c). tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak
bersengketa;
• (d).tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan
lain atas putusan arbitrase;
• (e).memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidang paling sedikit 15 tahun.
51
Single or panel arbitrator
(ps.14 dan 15);
> Para pihak bersengketa dapat menyepakati apakah
arbitrase dilaksanakan dengan model arbiter tunggal
(single) ataukah majelis arbiter (panel).
> Pada arbiter tunggal, para pihak harus sepakat atas
penunjukan figur arbiter tunggal yang bersangkutan.
> Sedangkan pada majelis arbitrase, masing-masing
pihak menunjuk seorang arbiter, selanjutnya arbiter
yang ditunjuk masing-masing pihak tersebut harus
sepakat menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua
majelis arbitrase.
52
Larangan Menjadi Arbitrator
(ps 12 ayat 2);
“Hakim, Jaksa, Panitera dan Pejabat Peradilan lainnya tidak
dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter”.
Penjelasan : ……agar terjamin adanya obyektifitas dalam
pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
Secara a contrario, setelah PURNA TUGAS, maka mereka
dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter, sepanjang
memiliki keahlian dan pengalaman sesuai dengan
substansi sengketa. Serta selalu bersikap profesional, jujur,
obyektif, tidak tercela, serta tidak terdapat “conflict of
interest” dengan pihak pihak bersengketa.

53
Prosedur pengangkatan arbitrator (pasal
13 s/d 19);
• Pada prinsipnya arbitrator dipilih oleh para pihak
bersengketa,
• Pada arbiter tunggal, maka arbiter yang
bersangkutan harus disepakati oleh kedua belah
pihak bersengketa,
• Pada arbiter majelis, masing2 pihak bersengketa
menunjuk seorang arbiter, selanjutnya masing2
arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga untuk
bertindak sebagai ketua majelis arbitrase,
54
Prosedur pengangkatan arbitrator (pasal
13 s/d 19);
• Apabila para pihak bersengketa tidak mencapai
sepakat menunjuk arbiter (tunggal) atau para arbiter
yang telah ditunjuk oleh para pihak tidak mencapai
sepakat menunjuk arbiter ketiga (ketua majelis),
maka atas permohonan pihak2 bersengketa,
Pengadilan berwenang untuk menunjuk arbiter
(tunggal) atau arbiter ketiga (ketua majelis),
• Atau para pihak bersengketa menyerahkan
penunjukkan arbiter yang bersangkutan kepada
lembaga arbitrase 55
Campur tangan Pengadilan
(pasal 13 s/d 19);
• Campur tangan Pengadilan dalam penunjukkan arbiter
dilakukan atas dasar permohonan pihak2 bersengketa, karena
para pihak gagal mencapai sepakat dalam penunjukkan
arbiter, atau para arbiter yang ditunjuk para pihak gagal
mencapai sepakat memilih arbiter ketiga,
• Campur tangan Pengadilan diperlukan untuk mengatasi
“kebuntuan prosedural” sebagai akibat tidak tercapainya kata
sepakat tentang penunjukkan arbitrator.
• Campur tangan Pengadilan dalam pemberhentian arbiter juga
dilakukan atas permohonan pihak2 bersengketa, karena
arbiter yang ditunjuk terbukti memiliki “conflict of interest”,
56
COURT INTERVENTION
• Istilah “court intervention” merupakan pernyataan
yang seringkali ditemukan dalam berbagai literatur
tentang arbitrase bahwa : “The courts role therefore
should be assist the arbitral tribunal to achieve the
purpose of arbitration. Even if a distinction is made
between “court intervention” and “court assistance
and supervision” as in article 5 and 6 of the UNCITRAL
Model Law, its appears that in their respective scopes
the two concepts largely overlap”.
57
Opsi Calon Arbitrator
• Pasal 16 ayat (1) :Seorang yang ditunjuk sebagai arbitrator
memiliki opsi untuk menerima atau menolak penunjukkan
tersebut, dengan alasan menyangkut kompetensi serta
menyangkut hak & kewajiban masing2, atau alasan spesifik
lainnya;
• Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa seseorang yang telah
ditunjuk atau diangkat sebagai arbitrator harus
menyatakan secara tegas dan tertulis tentang sikapnya
apakah ia menerima atau menolak penunjukkan dan
pengangkatan tersebut, dan harus disampaikan kepada
para pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak
penunjukan dan pengangkatannya sebagai arbitrator.
58
Opsi Calon Arbitrato
• Apabila telah tercapai kesepakatan tertulis antara
pihak pihak yang menunjuk dengan arbitrator yang
bersangkutan, maka terjadi perjanjian perdata yang
menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik (pasal
17 ayat 1).
• Arbiter atau para arbiter akan memberikan putusan
nya secara jujur, adil, dan sesuai dgn ketentuan yang
berlaku dan para pihak akan menerima putusannya
secara final dan mengikat seperti yang diperjanjian
bersama (pasal 17 ayat 2). 59
Opsi Calon Arbitrator
• Seorang calon arbitrator yang diminta oleh salah satu
pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib
memberitahukan kepada pihak tentang hal yang
mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan ke berpihakan putusan yang akan
diberikan (pasal 18 ayat 1).
• Seorang yang menerima penunjukkan sebagai
arbitrator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diberitahukan kepada para pihak mengenai
penunjukkannya (pasal 18 ayat 2). 60
Opsi Calon Arbitrator
• Pasal 19 UU No.30/1999 : seseorang menerima
penunjukan dirinya sebagai arbitrator sebagaimana
dimaksud Pasal 16 UU No.30/1999, maka tidak dapat
menarik diri kecuali atas persetujuan para pihak.
• Pengunduran diri arbitrator diajukan secara tertulis
kepada para pihak. Apabila disetujui, maka arbitrator
dibebaskan dari tugas sebagai arbitrator, sedangkan
apabila tidak disetujui maka pembebasan tugas
sebagai arbitrator ditetapkan oleh Pengadilan.
61
Opsi Calon Arbitrator
• Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan
atau pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 16, maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali
atas persetujuan para pihak (pasal 19 ayat 1).
• Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam pasal 19
ayat (1) yang telah menerima penunjukkan dan
pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang
bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada para pihak (pasal 19 ayat 2).

62
Opsi Calon Arbitrator
• Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan
penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari
tugas sebagai arbitrator (pasal 19 ayat 3);
• Dalam hal permohonan penarikan diri tidak
mendapatkan persetujuan para pihak, pembebasan
tugas arbitrator ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri,

63
Perjanjian Perdata antara Arbitrator
dengan Pihak yg Menunjuknya (ps 17 ayat 1);

• Peran arbitrator tidak identik dengan peran lawyer, meskipun


seorang lawyer dapat saja ditunjuk sebagai arbitrator.
• Paradigma peran lawyer dan arbitrator berbeda satu sama
lain, lawyer subyektif memihak kepentingan klien, sedangkan
arbitrator harus tetap independen, obyektif & imparsial.
• Hubungan lawyer dengan klien atas dasar surat kuasa,
sedangkan hubungan arbitrator dengan pihak berperkara
berdasarkan perjanjian perdata;
• Peran lawyer bertindak untuk dan atas nama klien sesuai
dengan surat kuasa khusus, sedangkan arbitrator memeriksa
dan memutus perkara berdasarkan pengalaman dan keahlian
yang dimilikinya. 64
Perjanjian perdata antara arbitrator
dgn pihak yg menunjuknya (ps 17 ayat 1);
• Perjanjian perdata antara arbitrator dengan pihak yang
menunjuknya menimbulkan hak dan kewajiban secara
resiprositas. Arbitrator yang telah menyatakan kesediaannya
untuk diangkat sebagai arbitrator berkewajiban untuk
memberikan jasa layanan berupa kemampuan melakukan
memeriksa dan memutus sengketa sesuai keahlian
&pengalamannya.

• Perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana


berlaku bagi ketentuan perjanjian pada umumnya, termasuk
segala akibat hukum maupun hak dan kewajiban yang timbul
dari adanya perjanjian perdata tersebut.

65
Tuntutan Ingkar terhadap arbitrator
(ps 22 s/d 26);
• Terhadap arbitrator dapat diajukan tuntutan ingkar
apabila terdapat cukup bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbitartor akan
melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil putusan (pasal 22 ayat
1);
• Tuntutan ingkar terhadap arbitrator dapat pula
dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan
kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan
salah satu pihak atau kuasanya (pasal 22 ayat 2). 66
Tuntutan Ingkar terhadap arbitrator
(ps 22 s/d 26);
• Hak ingkar terhadap arbitrator yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan
Negeri yang bersangkutan (pasal 23 ayat 1);
• Hak ingkar terhadap terhadap arbitrator tunggal
diajukan kepada arbitrator yang bersangkutan (pasal
23 ayat 2);
• Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase
diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan
(pasal 23 ayat 3).
67
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Arbitrator yang diangkat tidak dengan penetapan
pengadilan, hanya dapat diingkar berdasarkan alasan yang
baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya
setelah pengangkatan arbitrator yang bersangkutan (pasal 24
ayat 1);
• Arbitrator yang diangkat dengan penetapan Pengadilan,
hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya
setelah adanya penerimaan penetapan Pengadilan tersebut
(pasal 24 ayat 2).
• Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukkan seorang
arbitrator yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan
tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 hari sejak 68
pengangkatan (pasal 24 ayat 3).
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus
diajukan dalam waktu paling lama 14 hari sejak
diketahuinya hal tersebut; (pasal 24 ayat 4).
• Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak
lain maupun kepada arbitrator yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya (pasal 24 ayat 5);
• Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain, arbitrator yang bersangkutan
harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan
ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam UU
30/1999. (pasal 24 ayat 6). 69
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oelh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan negeri
yang putusannya mengikat kedua pihak dan tidak dapat
diajukan perlawanan (pasal 25 ayat 1);
• Dalam hal Ketua Pengadilan negeri memutuskan bahwa
tuntutan sebagaimana dimaksud ayat (1) beralasan, seorang
arbitrator pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana
yang berlaku untuk pengangkatan arbitrator yang digantikan
(pasal 25 ayat 2);
• Dalam hal Ketua Pengadilan negeri menolak tuntutan ingkar,
maka arbitrator melanjutkan tugasnya (pasal 25 ayat 3).
70
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Wewenang arbitrator tidak dapat dibatalkan
dengan meninggalnya arbitrator dan wewenang
tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya
yang kemudian diangkat sesuai dengan UU 30/1999
(Pasal 26 ayat 1);
• Arbitrator dapat dibebastugaskan bilamana ia
terbukti berpihak atau menunjukkan sikap
tercela yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum (pasal 26 ayat 2).

71
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung,
arbitrator meninggal dunia, tidak mampu, atau
mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, seorang arbitrator pengganti akan diangkat
dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan
arbitrator yang bersangkutan (Pasal 26 ayat 3).
• Dalam hal seorang arbitrator tunggal atau ketua majelis
arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan
harus diulang kembali; (pasal 26 ayat 4);
• Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan
sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar arbitrator
(pasal 26 ayat 5). 72
Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);

• Arbitrator atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan


tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang
diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbitrator atau majelis
arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik
dari tindakan tersebut (pasal 21).
• Sebagaimana halnya hakim dan advokat, juga memiliki
imunitas dalam menjalankan kewajiban atau profesinya,
sepanjang dilakukan dengan itikad baik;
• Persoalannya adalah bagaimana mekanisme untuk
membuktikan bahwa arbitrator atau majelis arbitrase telah
melakukan itikad tidak baik pada saat menjalankan tindakan
dalam proses arbitrase hal itu bukanlah merupakan proses
yang sederhana 73
Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);

• Persoalan lainnya adalah siapa yang berwenang untuk


memberikan penilaian terhadap masalah “ada/tidaknya
itikad baik” arbitrator ketika memutus sengketa.Belum
lagi muncul persoalan selanjutnya
• Persoalan lainnya lagi adalah bagaimana dengan status
putusan arbitrase yang telah dijatuhkan, apakah secara
otomatis batal ataukah dimohonkan pembatalan terlebih
dahulu ke Pengadilan ? (lihat pasal 70 s/d 72),
• Persoalan-persoalan tersebut dalam penjelasan UU No.30
tahun 1999, hanya disebutkan “cukup jelas”.
74
Berakhirnya tugas & wewenang
arbitrator (ps 48 jo. 59 ).
• Pasal 73 UU No.30/1999 mengatur bahwa tugas arbitrator
berakhir karena :
• (a). putusan mengenai sengketa telah diambil;
• (b). jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah
lampau; atau
• (c). para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukkan
arbitrator.
CATATAN Pasal 73 huruf “a”, meskipun sengketa telah
diputus namun tugas Arbiter tidak langsung berakhir, karena
Arbiter atau kuasanya masih berkewajiban menyerahkan dan
mendaftarkan putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan 75

Negeri (Pasal 59).


Otonomi Para Pihak Memilih Bahasa
(Choice of Arbitration Language);

Ps. 28 : keharusan proses arbitrase menggunakan


Bahasa Indonesia, KECUALI atas persetujuan
arbitrator atau majelis arbitrase, para pihak dapat
menggunakan bahasa lain yg disepakati.
Pada arbitrase internasional, pemilihan bahasa
merupakan soal yg penting, berkenaan dengan
perbedaan latar belakang bahasa para pihak. Proses
arbitrase, keterangan saksi, serta dokumen bukti
dialihbahasakan ke dalam bahasa yang pilih.
76
Otonomi Para Pihak Memilih Bahasa
(Choice of Arbitration Language);
Persoalannya adalah :

• Bahasa yang telah dipilih dan disepakati oleh para pihak, akan digunakan sebagai
bahasa resmi dalam proses arbitrase yang bersangkutan.
• Penggunaan “bahasa asing” harus mendapatkan persetujuan arbitrator yang akan
menjalankan proses persidangan arbitrase.
• Pentingnya pemilihan bahasa dalam proses arbitrase berkaitan dengan kenyataan
bahwa antara bahasa yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan konseptual
dalam memaknai suatu terminologi dan konsep hukum tertentu sebagai akibat
adanya perbedaan latar belakang sejarah, budaya dan sistem hukum masing2.
• Misalnya konsep “public policy” di negara-negara Anglo American yang maknanya
tidak sama persis dengan konsep “openbare orde” atau “orde publique” di negara
negara Kontinental, maupun dengan konsep “ketertiban umum” di Indonesia
karena masing2 memiliki latar belakang sejarah dan sistem hukum berlainan.

77
PERJANJIAN
ARBITRASE
PERJANJIAN ARBITRASE BERSIFAT
ASESOR
• Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan
masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya
mempersoalkan masalah dan cara lembaga
yang berwenang menyelesaikan “perselisihan”
(dispute settlement) dan difference yang
terjadi antara para pihak yang berjanji.
KEBOLEHAN PERJANJIAN
ARBITRASE
• Kebolehan mengikat diri dalam suatu perjanjian arbitrase harus didasarkan atas
mutual consent .
• Pasal 23 Report of the Excecutive Directors on The Settlement of Invesment
Disputes dikatakan “consent of the parties is the corner stone”.
• Pasal 1321 KUH Perdata menjelaskan mutual agreement dianggap cacat atau tidak
sah jika kata sepakat tersebut mengandung:
a) Salah pengertian atau kekeliruan (dwaling) yang lazim juga disebut mengandung
error (mistake)
b) Adanya pemerasan atau paksaan (dwang), atau
c) adanya penipuan (bedrog,deceit)
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
• Pasal 3 : “Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase”.
• Pasal 11
(1). “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADA KAN
HAK PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan Negeri”.
(2). “Pengadilan Negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN
CAMPUR TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam UNDANG UNDANG INI”.
82
PERJANJIAN ARBITRASE TIDAK BOLEH
MELANGGAR UNDANG-UNDANG.

Pasal 303 Undang Undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, mengatur bahwa : “Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit
dari para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase, sepanjang utang
yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang
ini”.

• Pasal 2 ayat (1) mengatur : “Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”

83
CATATAN Pasal 303 jo. Pasal 2 ayat (1) UU
37/2004 KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN
ARBITRASE
• Norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut,
meskipun terdapat perjanjian arbitrase yang dibuat oleh
para pihak, namun yang berwenang asbolut memeriksa dan
memutus sengketa kepailitan adalah Pengadilan Niaga.
Kedudukan Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya
Pengadilan yang memiliki kompetensi absolut dalam perkara
kepailitan tidak dapat tergantikan atau disingkirkan oleh
adanya perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak.
Hal tersebut menunjukkan sifat memaksa (“dwingend”)
ketentuan tersebut.

84
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Klausula Arbitrase & Perjanjian Arbitrase;

• Klausula arbitrase (arbitration clause/pactum de compromittendo)


merupakan salah salah satu klausula yang terdapat dalam suatu
kontrak dan dibuat sebelum terjadi sengketa, sedangkan perjanjian
arbitrase (arbitartion agreement/acta van compromise) dibuat
tersendiri/ terpisah dengan perjanjian pokoknya namun tetap saling
berkaitan.

• Perbedaan antara klausula arbitrase dengan perjanjian arbitrase hanya


terletak pada saat pembuatan serta cara penuangannya, namun pada
pokoknya, keduanya memiliki kesamaan yakni kesepakatan para pihak
memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Dengan adanya
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase maka yang berwenang
secara absolut menyelesaikan sengketa adalah lembaga arbitrase yang 85
telah disepakati para pihak.
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Dibuat sebelum & sesudah terjadi sengketa (ps.
7);

• Kesepakatan para pihak untuk mengadakan perjanjian


arbitrase dapat dibuat sebelum terjadi sengketa
(arbitration clause/ pactum de compromitendo)
sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya sengketa di
kemudian hari, maupun dalam perjanjian arbitrase
yang dibuat tersendiri setelah terjadinya sengketa
(arbitration agreement/acta van compromis).

86
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Perjanjian Arbitrase Tertulis.
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase dimuat dalam suatu
DOKUMEN YANG DITANDATANGANI PARA PIHAK
(ps. 4 ayat 2). Perjanjian arbitrase dibuat
secara tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak, sedangkan apabila para pihak tidak
dapat menanda tangani maka perjanjian
tertulis tersebut dibuat dalam bentuk AKTA
NOTARIS (Ps. 9 ayat 1 dan 2). 87
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
• Pasal 4 ayat (3) mengatur : Dalam hal disepakati penyelesaian
sengketa melalui arbitrase terjadi DALAM BENTUK
PERTUKARAN SURAT, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimile, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai dengan catatan penerimaan oleh para
pihak.
• CATATAN :
Pasal 4 ayat (3) telah mengakomodasi kemungkinan
pembuatan perjanjian arbitrase melalui berbagai sarana
telekomunikasi akibat pesatnya perkembangan e-commerce.
Rumusan frasa “dalam bentuk sarana komunikasi lainnya”
merupakan antisipasi terhadap kemungkinan munculnya
teknologi mutakhir di bidang komunikasi di masa depan.
88
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Para Pihak dalam Perj. Arbitrase (ps. 1 ke-2);
Para pihak dalam perjanjian arbitrase adalah
SUBYEK HUKUM, MENURUT HUKUM PERDATA MAUPUN
HUKUM PUBLIK.
Subyek hukum perdata meliputi orang dan badan
hukum perdata (misalnya PT, Yayasan, dll).
Subyek hukum publik meliputi badan hukum publik
(misalnya, Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/
Kota).
89
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 9 ayat (3) Perj. Arbitrase harus memuat :

a. masalah yang disengketakan;


b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter dan majelis arbitrase;
d. tempat arrbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya
yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (Ps. 9 ayat 3).

90
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 9 ayat (4) mengatur bahwa perjanjian tertulis
yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) BATAL DEMI HUKUM.
CATATAN :
Unsur2 dalam Pasal 9 ayat (3) bersifat limitatif dan
imperatif, artinya semua unsur tanpa kecuali harus
terpenuhi dan termuat dalam suatu perjanjian
arbitrase. Disertai ancaman sanksi dalam Pasal 9 ayat
(4), yakni “perjanjian arbitrase batal demi hukum”,
apabila terbukti tidak memuat semua unsur Pasal 9
ayat (3). 91
Perjanjian Arbitrase Tertulis &
Perkembangannya
Berkaitan dengan perkembangan Teknologi
Iinformasi/Teknologi Kominukasi maupun E-Commerce, maka
kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat
dibuat dalam bentuk pertukaran surat, melalui teleks,
telegram, e-mail, atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya. Namun hal itu disyaratkan wajib disertai dengan suatu
catatan penerimaan oleh para pihak (ps. 4 ayat 3). Karena itu,
berdasarkan norma yang terkandung dalam pasal 4 ayat (3),
perjanjian arbitrase tidak mutlak harus berbasis kertas serta
ditandatangani para pihak di tempat yang sama, dan pada
waktu yang sama pula. Melainkan dapat memanfaatkan
sarana teknologi yang ada.
92
Wewenang Absolut Arbitrase

Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk mengadili


sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase (ps. 3).
• Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADAKAN HAK
PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan negeri (pasal 11 ayat 1).
• Pengadilan negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN CAMPUR
TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI DALAM HAL-HAL
TERTENTU yang ditetapkan dalam UU ini (ps. 11 ayat 2).

93
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
• I. Pasal 10, Perjanjian arbitrase TIDAK MENJADI BATAL disebabkan
keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. Novasi;
d. Insolvensi salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat2 hapusnya perikatan pokok;
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialitugaskan pada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

94
CONTOH KLAUSULA ARBITRASE
• BANI
• Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan
diselesaikan dan diputus oleh BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang
keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa
sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”.
• ICC:
• All disputes arising in connection with the present contract shall
be finally settled under the Rules of Concilliation and Arbitration
of the International Chamber of Commerce by one or more
arbitrators appointed in accordance with the said Rules”.
CONTOH KLAUSULA ARBITRASE
• Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
• Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any
question regarding its existence, validity or termination, shall be referred
to and finally resolved by arbitration in (Singapore) in accordance with the
Arbitration Rules of Singapore International Arbitration Centre (“SIAC
Rules”) for the time being in force which rules are deemed to be
incorporated by reference to this clause
• UNCITRAL UNDER ICC (Ad-hoc)
• Any dispute, controversy or claim arising out of relating to this contract, or
the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration
in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present in force.
The appointing authority shall be the ICC acting in accordance with the
rules adopted by the ICC for this purpose”.

Anda mungkin juga menyukai