Sengketa bisnis masalah sepanjang sejarah
Kalangan bisnis kurang menyukai pengadilan asing
Formal Fleksibel
UNDANG-UNDANG NO. 30/1999
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 1 butir 10:
Alternatif Penyelesaian
ARBITRASE APS / ADR
Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau
KONSULTASI
beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati NEGOSIASI
para pihak, yakni
penyelesaian di luar MEDIASI
pengadilan dengan cara : KONSILIASI
konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau PENILAIAN AHLI
penilaian ahli
LAIN-LAIN
PROSES AJUDIKASI
PUTUSAN • Penentu Putusan : Pihak Ketiga
yang Netral
• Prosedur : Berlawanan/
Berhadapan
HAKIM/ Masing-masing pihak berusaha
ARBITER mengemukakan bukti dan
pendapat yang berlawanan
dengan cara meyakinkan
pengambil keputusan untuk
berpihak kepadanya
BERDASAR • Fokus : Hak Legal dan Kejadian-
HAK
kejadian yang mendahuluinya
(sebelumnya)
PIHAK A PIHAK B
PROSES NON-AJUDIKASI
MEDIATOR/ • Penentu Hasil Ahir
KONSILIATOR
(Kesepakatan) : Para Pihak
Mediator tidak berwenang
membuat keputusan
• Prosedur : Tidak Konfrontatif
BERDASAR
KEPENTINGAN Para Pihak berkomunikasi
dan bekerja sama untuk
mencapai konsensus
PIHAK A PIHAK B
• Fokus : Memecahkan Masalah
Dengan mempertimbangkan
kepentingan para pihak
(keinginan dan keberatan)
KESEPAKATAN
PERISTILAHAN
Istilah “Arbitrase” berasal dari istilah
Arbitrare (bahasa Latin) yang maknanya
adalah kewenangan memutus sengketa
berdasarkan kebijaksanaan. Arbitration
(bahasa Inggris) atau Arbitrage (bahasa
Belanda), sedangkan istilah Arbitrase
digunakan dalam UU No.30/1999.
7
PENGERTIAN ARBITRASE
“……adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak
yang bersengketa” (ps. 1 ayat 1 UU No.30/1999).
ARBITRASE
Subekti, dalam bukunya Aneka Perjanjian Mengemukakan bahwa arbitrase ialah
pemutusan suatu sengketa oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak
yang bersengketa sendiri, di luar hukum atau pengadilan.
Sidik Suraputra, abitrase adalah tindakan atau cara kerja yang sederhana yang dipilih oleh
para pihak dengan suka rela yang menginginkan suatu penyelesaian sengketa yang
diputuskan oleh seorang wasit yang tidak berat sebelah atas pilihan mereka sendiri untuk
memutuskan beralaskan isi dari perkara, mereka kemudian setuju untuk menerima
putusan yang final dan mengikat.
Penjelasan Pengertian
Arbitrase (1)
• Sengketa perdata = perdata khusus dalam ruang
lingkup hukum perdagangan, (ps. 5 (1) jo. 66 (b) UU
No.30/1999 (penjelasan), yang meliputi : perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri
dan hak kekayaan intelektual.
• Diluar Peradilan umum = out of (state) court
dispute settlement. Ps. 1 ke-1, jo. Ps 3, Ps. 11 (2) UU
No.30/1999;
11
Penjelasan Pengertian Arbitrase
(2).
• Berdasarkan perj. arbitrase = kesepakatan tertulis
para pihak untuk menyelesaikan sengketa yg akan
terjadi (pactum de compromi tendo) atau sengketa yg
terjadi (acta van compromise). Ps 1 ke-3, Ps. 4 (2), 7,
9 (1,3), 11 (1) UU No.30/1999;
• Dibuat para pihak bersengketa = subyek hukum
menurut hukum perdata maupun hukum publik.
Orang perorangan sebagai pribadi maupun, badan
hukum perdata maupun badan hukum publik.
• Ps. 1 (2) UU No.30/1999.
12
ARBITRASE DI INDONESIA
• Eksistensi arbitrase sudah dikenal sejak jaman penjajahan dan diatur
dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvoerdering (RV) Stb. 1847 –
52, Pasal 615 s/d 651. Pada dasarnya hanya berlaku bagi penduduk
Hindia Belanda, golongan Eropa.
8. Dll.
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
• (1). flexibility,
• (2). focusing on the main issues,
• (3). speed,
• (4). cost.
• Martin Hunter, Freshfileds Guide to Arbitration and ADR : Clauses in
International Contracts, 1993,
16
Alasan memilih arbitrase, :
• (1). choice of tribunal;
• (2). privacy and confidentiality;
• (3). speed;
• (4). technical expertise;
• (5). enforceability of award;
• (6). cost;
• (7). Representation;
• (8) flexibility of procedure;
• (9). extent of jurisdiction
25
A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH
FORUM (Choice of Arbitration Forum)
• CATATAN :
Dewasa ini dalam kontrak2 komersial, terutama kontrak internasional, pada umumnya
telah mencantumkan “dispute settlement clause” yang memilih penyelesaian
sengketa melalui “arbitrase”. Pertimbangannya, selain efisiensi waktu, ekspertise
arbitrator, pemeriksaannya tertutup (private & confidential), juga putusannya bersifat
final & binding. Putusan arbitrase internasional bersifat “trans jurisdiksi”, sehingga
dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di wilayah Negara lain.
Sebaliknya para pihak, dalam kontrak kemersial internasional, pada umumnya
menghindari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Nasional salah satu pihak
(kontraktan). Selain karena alasan ketidakpahaman prosedur dan proses hukumnya,
juga karena adanya kekuatiran terjadinya “pemihakan” Pengadilan terhadap pihak
(tuan rumah) yang bersengketa. Selain daripada itu, putusan Pengadilan Nasional
suatu negara tidak memiliki efek mengikat dan efek eksekutorial di wilayah negara
yang lain.
26
A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH
FORUM (Choice of Arbitration Forum)
• CATATAN :
Pencantuman “dispute settlement clause”, dalam hal ini
“arbitration clause” dalam kontrak komersial seringkali dijuluki
sebagai “midnight clause”. Artinya, merupakan klausula yang
terakhir mendapat perhatian para pihak, setelah mereka
merampungkan substansi kontrak lainnya. Hal tersebut karena
tujuan utama para pihak mengadakan kontrak adalah untuk
melaksanakan kontrak itu sendiri. Mereka justru tidak
menginginkan atau menghindarkan terjadinya sengketa.
Karena itu, pencantuman “dispute settlement clause” semata-
mata sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya
sengketa di kemudian hari, meskipun sengketa tersebut belum
tentu terjadi dan pada dasarnya tidak dikehendaki terjadi. 27
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
• Chaterina Tay Swee Kian : “Today, commercial arbitration is widely used by
businessmen in fields such a construction, building, engineering, shipping,
insurance, banking and finance, transportation, professional practice, etc”.
• M. Yahya Harahap, 1991, “commercial arbitration” is “a bussines executive court”.
28
ARBITRASE :
BENTUK & LINGKUPNYA
29
ARBITRASE LEMBAGA
(INSTITUTIONAL ARBITRATION)
• Disebut juga sebagai arbitrase permanen yang eksistensinya
sengaja didirikan oleh komunitas tertentu dalam rangka untuk
melayani kebutuhan jasa penyelesaian sengketa para pihak
bersengketa.
• Misalnya, di Indonesia :
• BANI, didirikan oleh KADIN.
• BAMUI, didirikan oleh MUI & BANK MUAMALLAT
sekarang berubah menjadi BASYARNAS
• BAPMI, didirikan oleh BAPEPAM, HKHPM, BEJ, dll
• DLL
30
LEMBAGA ARBITRASE
INTERNASIONAL
• American Arbitration Association (AAA) berkedudukan
di New York,
• International Chamber of Commerce Court of
Arbitration (ICC) di Paris,
• International Centre for the Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington DC,
• Stockholm Chamber of Commerce (SCC) di Stockholm,
London Court of International Arbitration (LCIA)
• Permanent Court of Arbitration (PCA) di Hague
Netherlands,
• Singapore International Arbitration Centre (SIAC),
• Kualalumpur Regional Centre for Arbitration (KRCA), 31
• dll
ARBITRASE AD HOC
• Arbitrase ad hoc dibentuk secara khusus untuk
menyelesaikan suatu sengketa tertentu yang telah
terjadi, sehingga bersifat insidentil atau “case by
case”.
33
PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT
DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL
35
UU NO.30/1999 TIDAK MEMBERIKAN BATASAN JELAS
TENTANG MAKNA ARBITRASE NASIONAL
DAN ARBITRASE INTERNASIONAL
36
ARBITRASE NASIONAL
Secara a contrario, Pengertian Arbitrase Nasional
adalah arbitrase yang putusannya dijatuhkan di
wilayah Negara Republik Indonesia, atau yang
menurut Hukum Indonesia dianggap sebagai
Arbitrase Nasional.
Arbitrase nasional tidak mengandung “unsur asing”
sama sekali. Misalnya, A dan B, keduanya WNI,
sepakat memilih forum arbitrase yang berkedudukan
di Indonesia, proses arbitrase berlangsung di
Indonesia, menggunakan hukum Indonesia, serta
menyangkut obyek sengketa di Indonesia. 37
B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT
ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION VENUE)
Ps. 37 (1) UU 30/1999.
38
B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT
ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION VENUE)
Ps. 37 (1) UU 30/1999.
Catatan :
Adalah sangat beresiko bagi para pihak apabila
memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
internasional di suatu negara yang tidak memiliki
stabilitas serta sistem hukum dan tradisi hukumnya
masih dinilai lemah, sebagaimana umumnya di
negara berkembang. Selain daripada itu, perlu
dipastikan apakah negara yang bersangkutan telah
meratifikasi Konvensi New York 1958 ataukah tidak.
Hal itu sangat terkait nantinya dengan eksekutabilitas
putusan arbitrase internasional. 39
C. Otonomi Para Pihak Memilih Hukum (Choice of Law)
40
C.2. Pilihan hukum hanya relevan dengan
kontrak dagang internasional,
• Pasal 56 (2) jo. Pasal 31 (1) dan 34 (2) UU No.30/1999
mengatur tentang kemungkinan para pihak
melakukan pilihan hukum, baik terhadap hukum
materiil maupun hukum formil.
• CATATAN :
Persoalan pilihan hukum tidak semata-mata
ditentukan berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak
serta otonomi para pihak saja, melainkan perlu juga
diperhatikan prinsip-prinsip hukum lain yang berlaku.
Antara lain tidak boleh melanggar prinsip “dwingend
recht”, “openbare orde”, “public policy”. 41
C.3. Memilih Hukum Formil
(ps 31 jo. 34 ayat 2);
Pasal 31 (1) : “para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas
dan bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan
dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam UU 30/1999”.
• Oleh karena apabila hukum formil yang dipilih dalam suatu arbitrase
internasional dinilai bertentangan dengan ketertiban umum i.c. UU
No.30/1999, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang menolak memberikan pengakuan dan melaksanakan
putusan Arbitrase Internasional tersebut di wilayah Republik
Indonesia (Vide Pasal 65 jo. 66 huruf “c”).
44
C.4. Cara Pemilihan Hukum;
45
C.4. Cara Pemilihan Hukum;
Pada pilihan hukum secara tegas kiranya telah jelas
tentang apa yang dimaksud dan diinginkan oleh para
pihak dalam perjanjian. Para pihak telah dengan
tegas memilih suatu hukum tertentu .
• Pilihan hukum yang dilakukan secara diam-diam,
meskipun mengandung sedikit keraguan tentang apa
sesungguhnya hukum pilihan para pihak, namun
masih dimungkinkan untuk menyelidiki berbagai
faktor obyektif untuk dijadikan pedoman dalam
menentukan hukum pilihan para pihak.
• Pilihan hukum secara anggapan dan secara hipotetis
menimbulkan keraguan yang semakin tinggi. 46
C.5. CHOICE OF LAW & APPLICABLE LAW
49
D. Memilih Arbitrator/Arbiter
(Choice of Arbitrator) :
• CATATAN :
Pemilihan arbitrator pada dasarnya merupakan opsi
para pihak bersengketa. Namun apabila opsi tersebut
tidak digunakan oleh para pihak, atau karena
terdapat hambatan prosedural dalam pemilihannya,
maka pemilihan arbitrator dilakukan oleh Pengadilan
atau oleh Lembaga Arbitrase.
50
D.2. Syarat Syarat Menjadi Arbitrator
(ps 12 ayat 1);
• (a). cakap melakukan tindakan hukum;
• (b). berumur paling rendah 35 tahun;
• (c). tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak
bersengketa;
• (d).tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan
lain atas putusan arbitrase;
• (e).memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidang paling sedikit 15 tahun.
51
Single or panel arbitrator
(ps.14 dan 15);
> Para pihak bersengketa dapat menyepakati apakah
arbitrase dilaksanakan dengan model arbiter tunggal
(single) ataukah majelis arbiter (panel).
> Pada arbiter tunggal, para pihak harus sepakat atas
penunjukan figur arbiter tunggal yang bersangkutan.
> Sedangkan pada majelis arbitrase, masing-masing
pihak menunjuk seorang arbiter, selanjutnya arbiter
yang ditunjuk masing-masing pihak tersebut harus
sepakat menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua
majelis arbitrase.
52
Larangan Menjadi Arbitrator
(ps 12 ayat 2);
“Hakim, Jaksa, Panitera dan Pejabat Peradilan lainnya tidak
dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter”.
Penjelasan : ……agar terjamin adanya obyektifitas dalam
pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
Secara a contrario, setelah PURNA TUGAS, maka mereka
dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter, sepanjang
memiliki keahlian dan pengalaman sesuai dengan
substansi sengketa. Serta selalu bersikap profesional, jujur,
obyektif, tidak tercela, serta tidak terdapat “conflict of
interest” dengan pihak pihak bersengketa.
53
Prosedur pengangkatan arbitrator (pasal
13 s/d 19);
• Pada prinsipnya arbitrator dipilih oleh para pihak
bersengketa,
• Pada arbiter tunggal, maka arbiter yang
bersangkutan harus disepakati oleh kedua belah
pihak bersengketa,
• Pada arbiter majelis, masing2 pihak bersengketa
menunjuk seorang arbiter, selanjutnya masing2
arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga untuk
bertindak sebagai ketua majelis arbitrase,
54
Prosedur pengangkatan arbitrator (pasal
13 s/d 19);
• Apabila para pihak bersengketa tidak mencapai
sepakat menunjuk arbiter (tunggal) atau para arbiter
yang telah ditunjuk oleh para pihak tidak mencapai
sepakat menunjuk arbiter ketiga (ketua majelis),
maka atas permohonan pihak2 bersengketa,
Pengadilan berwenang untuk menunjuk arbiter
(tunggal) atau arbiter ketiga (ketua majelis),
• Atau para pihak bersengketa menyerahkan
penunjukkan arbiter yang bersangkutan kepada
lembaga arbitrase 55
Campur tangan Pengadilan
(pasal 13 s/d 19);
• Campur tangan Pengadilan dalam penunjukkan arbiter
dilakukan atas dasar permohonan pihak2 bersengketa, karena
para pihak gagal mencapai sepakat dalam penunjukkan
arbiter, atau para arbiter yang ditunjuk para pihak gagal
mencapai sepakat memilih arbiter ketiga,
• Campur tangan Pengadilan diperlukan untuk mengatasi
“kebuntuan prosedural” sebagai akibat tidak tercapainya kata
sepakat tentang penunjukkan arbitrator.
• Campur tangan Pengadilan dalam pemberhentian arbiter juga
dilakukan atas permohonan pihak2 bersengketa, karena
arbiter yang ditunjuk terbukti memiliki “conflict of interest”,
56
COURT INTERVENTION
• Istilah “court intervention” merupakan pernyataan
yang seringkali ditemukan dalam berbagai literatur
tentang arbitrase bahwa : “The courts role therefore
should be assist the arbitral tribunal to achieve the
purpose of arbitration. Even if a distinction is made
between “court intervention” and “court assistance
and supervision” as in article 5 and 6 of the UNCITRAL
Model Law, its appears that in their respective scopes
the two concepts largely overlap”.
57
Opsi Calon Arbitrator
• Pasal 16 ayat (1) :Seorang yang ditunjuk sebagai arbitrator
memiliki opsi untuk menerima atau menolak penunjukkan
tersebut, dengan alasan menyangkut kompetensi serta
menyangkut hak & kewajiban masing2, atau alasan spesifik
lainnya;
• Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa seseorang yang telah
ditunjuk atau diangkat sebagai arbitrator harus
menyatakan secara tegas dan tertulis tentang sikapnya
apakah ia menerima atau menolak penunjukkan dan
pengangkatan tersebut, dan harus disampaikan kepada
para pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak
penunjukan dan pengangkatannya sebagai arbitrator.
58
Opsi Calon Arbitrato
• Apabila telah tercapai kesepakatan tertulis antara
pihak pihak yang menunjuk dengan arbitrator yang
bersangkutan, maka terjadi perjanjian perdata yang
menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik (pasal
17 ayat 1).
• Arbiter atau para arbiter akan memberikan putusan
nya secara jujur, adil, dan sesuai dgn ketentuan yang
berlaku dan para pihak akan menerima putusannya
secara final dan mengikat seperti yang diperjanjian
bersama (pasal 17 ayat 2). 59
Opsi Calon Arbitrator
• Seorang calon arbitrator yang diminta oleh salah satu
pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib
memberitahukan kepada pihak tentang hal yang
mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan ke berpihakan putusan yang akan
diberikan (pasal 18 ayat 1).
• Seorang yang menerima penunjukkan sebagai
arbitrator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diberitahukan kepada para pihak mengenai
penunjukkannya (pasal 18 ayat 2). 60
Opsi Calon Arbitrator
• Pasal 19 UU No.30/1999 : seseorang menerima
penunjukan dirinya sebagai arbitrator sebagaimana
dimaksud Pasal 16 UU No.30/1999, maka tidak dapat
menarik diri kecuali atas persetujuan para pihak.
• Pengunduran diri arbitrator diajukan secara tertulis
kepada para pihak. Apabila disetujui, maka arbitrator
dibebaskan dari tugas sebagai arbitrator, sedangkan
apabila tidak disetujui maka pembebasan tugas
sebagai arbitrator ditetapkan oleh Pengadilan.
61
Opsi Calon Arbitrator
• Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan
atau pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 16, maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali
atas persetujuan para pihak (pasal 19 ayat 1).
• Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam pasal 19
ayat (1) yang telah menerima penunjukkan dan
pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang
bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada para pihak (pasal 19 ayat 2).
62
Opsi Calon Arbitrator
• Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan
penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari
tugas sebagai arbitrator (pasal 19 ayat 3);
• Dalam hal permohonan penarikan diri tidak
mendapatkan persetujuan para pihak, pembebasan
tugas arbitrator ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri,
63
Perjanjian Perdata antara Arbitrator
dengan Pihak yg Menunjuknya (ps 17 ayat 1);
65
Tuntutan Ingkar terhadap arbitrator
(ps 22 s/d 26);
• Terhadap arbitrator dapat diajukan tuntutan ingkar
apabila terdapat cukup bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbitartor akan
melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil putusan (pasal 22 ayat
1);
• Tuntutan ingkar terhadap arbitrator dapat pula
dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan
kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan
salah satu pihak atau kuasanya (pasal 22 ayat 2). 66
Tuntutan Ingkar terhadap arbitrator
(ps 22 s/d 26);
• Hak ingkar terhadap arbitrator yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan
Negeri yang bersangkutan (pasal 23 ayat 1);
• Hak ingkar terhadap terhadap arbitrator tunggal
diajukan kepada arbitrator yang bersangkutan (pasal
23 ayat 2);
• Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase
diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan
(pasal 23 ayat 3).
67
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Arbitrator yang diangkat tidak dengan penetapan
pengadilan, hanya dapat diingkar berdasarkan alasan yang
baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya
setelah pengangkatan arbitrator yang bersangkutan (pasal 24
ayat 1);
• Arbitrator yang diangkat dengan penetapan Pengadilan,
hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya
setelah adanya penerimaan penetapan Pengadilan tersebut
(pasal 24 ayat 2).
• Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukkan seorang
arbitrator yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan
tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 hari sejak 68
pengangkatan (pasal 24 ayat 3).
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus
diajukan dalam waktu paling lama 14 hari sejak
diketahuinya hal tersebut; (pasal 24 ayat 4).
• Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak
lain maupun kepada arbitrator yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya (pasal 24 ayat 5);
• Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain, arbitrator yang bersangkutan
harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan
ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam UU
30/1999. (pasal 24 ayat 6). 69
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oelh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan negeri
yang putusannya mengikat kedua pihak dan tidak dapat
diajukan perlawanan (pasal 25 ayat 1);
• Dalam hal Ketua Pengadilan negeri memutuskan bahwa
tuntutan sebagaimana dimaksud ayat (1) beralasan, seorang
arbitrator pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana
yang berlaku untuk pengangkatan arbitrator yang digantikan
(pasal 25 ayat 2);
• Dalam hal Ketua Pengadilan negeri menolak tuntutan ingkar,
maka arbitrator melanjutkan tugasnya (pasal 25 ayat 3).
70
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Wewenang arbitrator tidak dapat dibatalkan
dengan meninggalnya arbitrator dan wewenang
tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya
yang kemudian diangkat sesuai dengan UU 30/1999
(Pasal 26 ayat 1);
• Arbitrator dapat dibebastugaskan bilamana ia
terbukti berpihak atau menunjukkan sikap
tercela yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum (pasal 26 ayat 2).
71
Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
• Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung,
arbitrator meninggal dunia, tidak mampu, atau
mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, seorang arbitrator pengganti akan diangkat
dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan
arbitrator yang bersangkutan (Pasal 26 ayat 3).
• Dalam hal seorang arbitrator tunggal atau ketua majelis
arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan
harus diulang kembali; (pasal 26 ayat 4);
• Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan
sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar arbitrator
(pasal 26 ayat 5). 72
Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);
• Bahasa yang telah dipilih dan disepakati oleh para pihak, akan digunakan sebagai
bahasa resmi dalam proses arbitrase yang bersangkutan.
• Penggunaan “bahasa asing” harus mendapatkan persetujuan arbitrator yang akan
menjalankan proses persidangan arbitrase.
• Pentingnya pemilihan bahasa dalam proses arbitrase berkaitan dengan kenyataan
bahwa antara bahasa yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan konseptual
dalam memaknai suatu terminologi dan konsep hukum tertentu sebagai akibat
adanya perbedaan latar belakang sejarah, budaya dan sistem hukum masing2.
• Misalnya konsep “public policy” di negara-negara Anglo American yang maknanya
tidak sama persis dengan konsep “openbare orde” atau “orde publique” di negara
negara Kontinental, maupun dengan konsep “ketertiban umum” di Indonesia
karena masing2 memiliki latar belakang sejarah dan sistem hukum berlainan.
77
PERJANJIAN
ARBITRASE
PERJANJIAN ARBITRASE BERSIFAT
ASESOR
• Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan
masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya
mempersoalkan masalah dan cara lembaga
yang berwenang menyelesaikan “perselisihan”
(dispute settlement) dan difference yang
terjadi antara para pihak yang berjanji.
KEBOLEHAN PERJANJIAN
ARBITRASE
• Kebolehan mengikat diri dalam suatu perjanjian arbitrase harus didasarkan atas
mutual consent .
• Pasal 23 Report of the Excecutive Directors on The Settlement of Invesment
Disputes dikatakan “consent of the parties is the corner stone”.
• Pasal 1321 KUH Perdata menjelaskan mutual agreement dianggap cacat atau tidak
sah jika kata sepakat tersebut mengandung:
a) Salah pengertian atau kekeliruan (dwaling) yang lazim juga disebut mengandung
error (mistake)
b) Adanya pemerasan atau paksaan (dwang), atau
c) adanya penipuan (bedrog,deceit)
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
• Pasal 3 : “Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase”.
• Pasal 11
(1). “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADA KAN
HAK PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan Negeri”.
(2). “Pengadilan Negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN
CAMPUR TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam UNDANG UNDANG INI”.
82
PERJANJIAN ARBITRASE TIDAK BOLEH
MELANGGAR UNDANG-UNDANG.
Pasal 303 Undang Undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, mengatur bahwa : “Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit
dari para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase, sepanjang utang
yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang
ini”.
• Pasal 2 ayat (1) mengatur : “Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”
83
CATATAN Pasal 303 jo. Pasal 2 ayat (1) UU
37/2004 KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN
ARBITRASE
• Norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut,
meskipun terdapat perjanjian arbitrase yang dibuat oleh
para pihak, namun yang berwenang asbolut memeriksa dan
memutus sengketa kepailitan adalah Pengadilan Niaga.
Kedudukan Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya
Pengadilan yang memiliki kompetensi absolut dalam perkara
kepailitan tidak dapat tergantikan atau disingkirkan oleh
adanya perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak.
Hal tersebut menunjukkan sifat memaksa (“dwingend”)
ketentuan tersebut.
84
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Klausula Arbitrase & Perjanjian Arbitrase;
86
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Perjanjian Arbitrase Tertulis.
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase dimuat dalam suatu
DOKUMEN YANG DITANDATANGANI PARA PIHAK
(ps. 4 ayat 2). Perjanjian arbitrase dibuat
secara tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak, sedangkan apabila para pihak tidak
dapat menanda tangani maka perjanjian
tertulis tersebut dibuat dalam bentuk AKTA
NOTARIS (Ps. 9 ayat 1 dan 2). 87
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
• Pasal 4 ayat (3) mengatur : Dalam hal disepakati penyelesaian
sengketa melalui arbitrase terjadi DALAM BENTUK
PERTUKARAN SURAT, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimile, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai dengan catatan penerimaan oleh para
pihak.
• CATATAN :
Pasal 4 ayat (3) telah mengakomodasi kemungkinan
pembuatan perjanjian arbitrase melalui berbagai sarana
telekomunikasi akibat pesatnya perkembangan e-commerce.
Rumusan frasa “dalam bentuk sarana komunikasi lainnya”
merupakan antisipasi terhadap kemungkinan munculnya
teknologi mutakhir di bidang komunikasi di masa depan.
88
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Para Pihak dalam Perj. Arbitrase (ps. 1 ke-2);
Para pihak dalam perjanjian arbitrase adalah
SUBYEK HUKUM, MENURUT HUKUM PERDATA MAUPUN
HUKUM PUBLIK.
Subyek hukum perdata meliputi orang dan badan
hukum perdata (misalnya PT, Yayasan, dll).
Subyek hukum publik meliputi badan hukum publik
(misalnya, Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/
Kota).
89
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 9 ayat (3) Perj. Arbitrase harus memuat :
90
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
Pasal 9 ayat (4) mengatur bahwa perjanjian tertulis
yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) BATAL DEMI HUKUM.
CATATAN :
Unsur2 dalam Pasal 9 ayat (3) bersifat limitatif dan
imperatif, artinya semua unsur tanpa kecuali harus
terpenuhi dan termuat dalam suatu perjanjian
arbitrase. Disertai ancaman sanksi dalam Pasal 9 ayat
(4), yakni “perjanjian arbitrase batal demi hukum”,
apabila terbukti tidak memuat semua unsur Pasal 9
ayat (3). 91
Perjanjian Arbitrase Tertulis &
Perkembangannya
Berkaitan dengan perkembangan Teknologi
Iinformasi/Teknologi Kominukasi maupun E-Commerce, maka
kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat
dibuat dalam bentuk pertukaran surat, melalui teleks,
telegram, e-mail, atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya. Namun hal itu disyaratkan wajib disertai dengan suatu
catatan penerimaan oleh para pihak (ps. 4 ayat 3). Karena itu,
berdasarkan norma yang terkandung dalam pasal 4 ayat (3),
perjanjian arbitrase tidak mutlak harus berbasis kertas serta
ditandatangani para pihak di tempat yang sama, dan pada
waktu yang sama pula. Melainkan dapat memanfaatkan
sarana teknologi yang ada.
92
Wewenang Absolut Arbitrase
93
PERJANJIAN ARBITRASE MENJADI
DASAR WEWENANG ARBITRASE.
• I. Pasal 10, Perjanjian arbitrase TIDAK MENJADI BATAL disebabkan
keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. Novasi;
d. Insolvensi salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat2 hapusnya perikatan pokok;
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialitugaskan pada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
94
CONTOH KLAUSULA ARBITRASE
• BANI
• Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan
diselesaikan dan diputus oleh BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang
keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa
sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”.
• ICC:
• All disputes arising in connection with the present contract shall
be finally settled under the Rules of Concilliation and Arbitration
of the International Chamber of Commerce by one or more
arbitrators appointed in accordance with the said Rules”.
CONTOH KLAUSULA ARBITRASE
• Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
• Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any
question regarding its existence, validity or termination, shall be referred
to and finally resolved by arbitration in (Singapore) in accordance with the
Arbitration Rules of Singapore International Arbitration Centre (“SIAC
Rules”) for the time being in force which rules are deemed to be
incorporated by reference to this clause
• UNCITRAL UNDER ICC (Ad-hoc)
• Any dispute, controversy or claim arising out of relating to this contract, or
the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration
in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present in force.
The appointing authority shall be the ICC acting in accordance with the
rules adopted by the ICC for this purpose”.