Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa telah mengatur secara jelas mengenai pembatalan putusan arbitrase. Dalam pasal
tersebut menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan, jika putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau
dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.
Mengingat bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding, maka sewajarnya upaya permohonan
pembatalan putusan arbitrase ini diatur dengan setegas mungkin. Hal ini tercermin dalam penjelasan pasal
70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan ke
Pengadilan. Alasan permohonan pembatalan putusan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau
tidak terbukti, putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk
mengabulkan atau menolak permohonan.”
Dengan adanya syarat-syarat diatas, maka dapat disimpulkan upaya pembatalan putusan arbitrase
adalah langkah upaya hukum extra yang dapat ditempuh apabila memang telah terjadi kecurangan-
kecurangan dalam proses arbitrase tersebut. Sehingga keuntungan arbitrase yaitu kecepatan dalam proses
dapat terpenuhi, karena setiap putusan arbitrase tersebut tidak gampang dibatalkan.
Sumber :
Pemikiran Saya Sendiri
3. Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha, dapat diselesaikan melalui jalur
litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (tidak melalui pengadilan). Penyelesaian melalui
lembaga litigasi dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga, sehingga penyelesaian
melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dimaksud.
Meskipun demikian pengadilan juga tetap muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui
kesepakatan. Terdapat beberapa problematika yang muncul dari eksekusi putusan BPSK. Berdasarkan
Pasal 54 ayat (3) UUPK, putusan BPSK dari hasil konsolidasi, arbitrase, dan mediasi bersifat final dan
mengikat. Final berarti dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh para pihak.
Prinsip resjudicata pro vitate habetur,suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya
hukum dinyatakan sebagai suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Berdasarkan prinsip
demikian, putusan BPSK mestinya harus dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde). Namun apabila prinsip tersebut dibandingkan dengan yang termaktub pada
Pasal 56 ayat (2) UUPK bahwa para pihak ternyata masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan oleh BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan
BPSK yang bersifat final dan mengikat. Permasalahan juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai
kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat eksekusi) ke Pengadilan.
Dalam praktek, tidak mungkin memintakan penetapan eksekusi karena belum ada peraturan atau
petunjuk tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Perma No. 1 Tahun 2006 tentang
tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK pada hakikatnya hanya mengatur mengenai
pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Pasal 2 Perma ini menengaskan yang bisa diajukan
keberatan adalah terhadap putusan arbitrase BPSK. Sedangkan keberatan mengenai putusan konsiliasi atau
mediasi,serta penetapan eksekusisama sekali tidak diatur. BPSK merupakan lembaga penunjang dalam
bidang quasi peradilan. Oleh karenanya, kekuatan BPSK bersifat final dan mengikat. Makna final yang
dimaksud dalam putusan BPSK adalah final pada tingkat BPSK saja sedangkan pada tingkat pengadilan
putusan BPSK tidak bersifat final atau masih dapat dilakukan upaya hukum keberatan ke pengadilan
negeri dan kasasi ke MahkamahAgung. Perlindungan BPSK yang bersifat final dan mengikat belum dapat
melindungi konsumen karena terjadi ketentuan yang bertentangan mengenai arti putusan BPSK yang
bersifat final dan mengikat. Putusan arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial karena tidak
memiliki kepala putusan atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal 48 UUPK menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45
UUPK”. Sedangkan Pasal 45 UUPK secara garis besar menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini
dilaksanakan dengan konsolidasi, mediasi dan arbitrase. Atas pendekatan inilah, maka permohonan
eksekusi putusan BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK jo. Pasal 42 SK Memperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 dapat dilaksanakan karena merupakan kekhususan dari pelaksanaan eksekusi
secara umum menurut ketentuan hukum acara perdata sesuai dengan asas hukum lex specialis derogate
legi generalis yang berarti bahwa ketentuan khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.
Sumber :
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Kepmenperindag Nomor. 350/MPP/Kep/12/ 2001
4. Dengan cara arbitrase berbeda dengan dua cara penyelesaian sengketa yang ada (mediasi dan konsiliasi).
Majelis yang akan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara arbitrase, ketua BPSK tidak berwenang
untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis dan anggota majelis. Adapun yang berwenang
menentukan siapa yang duduk di majelis adalah para pihak yang bersengketa, para pihak dapat memilih
arbiter yang mewakili kepentingannya. Konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari anggota
BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjadi anggota majelis. Demikian
juga, pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha
sebagai arbiter, yang akan menjadi anggota majelis. (Pasal 32 kepmenperindang No.
350/MPP/Kep/12/2001).
Selanjutnya, arbiter hasil pilihan konsumen dan arbiter hasil pilihan pelaku usaha secara bersama-
sama akan memilih arbiter ketiga yang berasal dari unsur pemerintah dari anggota BPSK yang akan
menjadi ketua majelis. Selama proses penyelesaian sengketa, alat bukti (barang dan/tau jasa, keterangan
para pihak, keterangan saksi dan tau saksi ahli, surat dan atau dokumen, bukti-bukti lain yang mendukung)
dapat diajukan oleh Majelis atas permintaan para pihak yang bersengketa. Sekalipun dalam proses
penyelesaian sengketa konsumen beban pembuktian ada pada pelaku usaha, namun pihak konsumen pun
berhak mengajukan bukti untuk mendukung gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari
kedua belah pihak mengenai hal yang dipersengketakan dan mempertimbangkan hasil pembuktian serta
permohonan para pihak, maka Majelis akan membuat Putusan BPSK.
Penyelesaian sengketa BPSK dengan Arbitrase
1) Para pihak yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan masalah
konsumen
2) Kedua belah pihak seutuhkan membiarkan badan tersebut menyelesaikan permasalahan mereka.
3) BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat
4) Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
5) Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak dapat mengajukan
keluhan kepada Pengadilan Negeri dalam 14 hari setelah penyelesaian di informasikan.
6) Tuntutan kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Surat atau dokumen yang diberikan ke Pengadilan adalah diakui atau dituntut salah/palsu
b) Dokumen penting ditemukan dan disembunyikan oleh lawan; atau
c) Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan di pengadilan.
7) Pengadilan Negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian dalam waktu 21 hari
kerja
8) Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka tetap memberikan
kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang cepat kepada pengadilan mahkamah
Agung dalam jangka waktu 14 hari.
9) Mahkamah Agung berkewajiban memberikan penyelesaian dalam jangka waktu 30 hari.
Sumber :
Pasal 32 kepmenperindang No. 350/MPP/Kep/12/2001
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA