Anda di halaman 1dari 8

REVIEW JURNAL

Praktikum Arbitrase
Dosen Pengajar : Nisrina Mutiara Dewi SE. Sy., M.H.

Di susun oleh :

1. Annisa Vebrianty (11160480000002)


2. Alif Yunadi (11160480000011)
3. Ndaru Kusumo Wibowo (11160480000021)
4. Shinta Rajni (11160480000030)

Kelas : Hukum Bisnis 7 A

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019

1
1. Identitas Artikel

Nama : Karimatul Khasanah

Judul : Problematika Hukum Implementasi Sifat Final dan Binding Putusan yang Dibuat
Oleh Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah

Afiliasi : IAIN Pekalongan

Penerbit : Volksgeist, Vol. 1 No. 1 Juni 2018

2. Latar Belakang

Perkembangan bisnis syariah dapat dikatakan sangat pesat hampir di semua aktivitas
bisnis yang berbasiskan konvensional telah diikuti dengan bisnis yang berbasiskan prinsip
syariah. Sebagai contoh, perbankan konvensional diikuti perbankan syariah, asuransi
konvensional diikuti asuransi syariah, pasar modal konvensional diikuti pasar modal syariah,
hotel syariah dan sebagainya. Dengan adanya fenomena tersebut mengindikasikan bahwa
prinsip-prinsip dalam bisnis syariah mulai diaplikasikan oleh masyarakat.

Semakin berkembangnya lembaga keuangan syariah di Indonesia, maka timbulnya


sengketa antara lembaga keuangan syariah dan nasabahnya pun akan semakin besar.
Sengketa yang terjadi bisa saja disebabkan oleh adanya salah satu pihak yang ingkar janji atas
perjanjian yang telah disepakati bersama di dalam kontrak ataupun karena sebab-sebab yang
lainnya. Para pihak yang terlibat dalam sengketa bisnis dapat secara bebas memilih cara
penyelesaian dan hukum yang akan dipergunakan sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati di dalam kontrak.

Terdapat dua cara penyelesaian sengketa, yakni dengan membawa sengketa tersebut
ke pengadilan (litigasi) atau menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (non-litigasi).
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdiri atas berbagai macam cara yakni negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan arbitrase di antara para pihak. Masing-masing cara penyelesaian
sengketa tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap belum memuaskan karena


dianggap menghasilkan kesepakatan yang merugikan yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, lambat dalam penyelesaian, tidak responsif dan menimbulkan
permusuhan diantara pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa secara
non-litigasi menjadi pilihan para pelaku bisnis. Hal ini terjadi karena terdapat keunggulan-

2
keunggulan yang tidak dijumpai dalam penyelesaian sengketa secara litigasi. Jalur non-
litigasi banyak dipilih karena dianggap dapat menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-
win solution” bagi para pihak yang bersengketa.

Salah satu lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah
secara non-litigasi adalah BASYARNAS. Ciri khas BASYARNAS yaitu putusan yang sudah
ditanda-tangani oleh arbiter tunggal atau majelis langsung yang bersifat final dan mengikat
(final and binding), dimana tidak ada upaya hukum banding atau kasasi seperti lazimnya di
pengadilan.

Namun dalam pelaksanaannya, jika para pihak tidak puas dengan putusan
BASYARNAS, para pihak dapat mengajukan pembatalan putusan BASYARNAS tersebut ke
Pengadilan Agama. Berdasarkan hal tersebut, implementasi putusan BASYARNAS yang
bersifat final dan binding seolah-olah tidak memiliki kepastian hukum karena tidak sesuai
dengan tujuan pokok dari adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Karena ketidaksuaian tersebut
putusan BASYARNAS dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah yang bersifat final dan
binding ini masih menjadi sebuah problem.

3. Pembahasan dan Temuan

Badan Arbitrase Syariah Nasional atau disingkat BASYARNAS. Badan ini dibentuk
serta diprakarasai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tanggal 21 Oktober 1993 dalam
bentuk badan hukum yayasan hingga seiring berkembanganya zaman badan ini diubah
berdasarkan Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada
tanggal 23-26 Desember 2002. Di tahap awal pembahasan dalam jurnal ini menjelaskan
tentang bagaimana BASYARNAS itu dibentuk hingga akhirnya disepakati menjadi ke
bentuk yang ada saat ini. Adanya BASYARNAS ini akibat semakin pesatnya perkembangan
syariah yang mulai memasuki beberapa aspek seperti perbankan, asuransi, perkreditan hingga
lembaga keuangan lainnya yang mulai menggunakan sistem syariah. Berkembangnya
lembaga keuangan syariah juga menciptakan peluang besar terjadinya sengketa antara
lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya, oleh karena itu Dewan Syariah Nasional
menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar mendapat
kepastian hukum.

3
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa hukum perjanjian menganut
sistem terbuka (open system). Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah
penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian
arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de
compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat persyaratan
terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase, yaitu sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa,
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dalam praktiknya, terdapat badan-badan arbitrase yang secara spesifik ditujukan
untuk menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah
BASYARNAS yang secara khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa-
sengketa bisnis syariah yang dihadapi oleh umat Islam. Dalam hal ini BASYARNAS
memiliki tugas untuk membantu menyelesaikan sengketa syariah dengan mengedepankan
perdamaian serta sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu hasil yang telah diputuskan
oleh badan Arbitrase maka sifatnya menjadi final dan binding yaitu tetap dan mengikat para
pihak yang bersengketa. Prinsip final dan binding putusan arbitrase terdapat dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 seperti Pasal 17 Ayat (2), Pasal 45 Ayat (2), Pasal 53 dan Pasal
60. Namun putusan arbitrase bersifat final dan binding tersebut dapat dibatalkan dengan cara
pengajuan pembatalan putusan ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 70, 71 dan 72.
Dalam artikel ini ditemukan bahwa adanya penyelesaian sengketa secara Arbitrase
berdasarkan atas kesepakatan bersama-sama yang dilakukan oleh para pihak dan telah tertulis
secara jelas di suatu perjanjian Ketika para pihak yang bersengketa telah sepakat
menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase, maka mereka secara sadar telah melepaskan
haknya untuk membawa sengketa mereka ke lembaga peradilan, sehingga menjadi
kewenangan absolut BASYARNAS untuk menyelesaikannya. Putusan BASYARNAS
bersifat final dan binding dikarenakan lembaga BASYARNAS merupakan suatu lembaga
penyelesaian sengketa bisnis syariah pada tingkat pertama dan terakhir yang berdiri sendiri
berbeda dengan lembaga peradilan litigasi.

4
Temuan pada artikel ini mengarah pada Putusan arbitrase (BASYARNAS) yang
mengacu kepada ketentuan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada Pasal 17
Ayat (2), Pasal 45 Ayat (2), Pasal 53 dan Pasal 60 bahwa putusan arbitrase bersifat final dan
binding. Namun di sisi lain putusan arbitrase dapat dibatalkan melalui Pengadilan Agama
dengan mengacu pada Pasal 70, 71 dan 72. Hal ini dapat menimbulkan ketidakjelasan dan
ketidakpastian aturan hukum itu sendiri. Sementara tujuan dasar hukum adalah memberi
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum pada masyarakat. Ketika peraturan hukum atau
pasal menimbulkan ketidakjelasan atau kepastian hukum, maka hal ini bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D Ayat (1), sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”.
Dalam artikel ini ditemukan bahwa sesungguhnya putusan arbitrase ini belum bersifat
final dan binding dikarenakan dapat dilakukan pembatalan terhadap putusan tersebut maka
pembatalan putusan itu seharusnya ditiadakan atau bisa diganti dengan perbaikan putusan
apabila terbukti terdapat surat atau dokumen yang diakui palsu atau dinyatakan palsu, telah
ditemukan dokumen yang disembunyikan oleh pihak lawan dan dari hasil tipu muslihat.
kemudian ketua arbitrase tersebut bisa membentuk panitia ad hoc atau diserahkan kembali
kepada hakim arbiter (majelis arbiter) yang menangani sengketa tersebut.
Sebaiknya lebih tepat ketika kewenangan pengadilan hanya sebatas memeriksa secara
formal apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, memeriksa alasan pertimbangan
putusan arbiter (hakam), serta mengeksekusi apabila salah satu pihak tidak menaati putusan
arbitrase tersebut. Dengan demikian barulah dikatakan putusan arbitrase (BASYARNAS)
bersifat final dan binding.

4. Metode
Metode teknik menyeleksi sumber data menggunakan data sekunder yakni data
pendukung untuk menjawab masalah penelitian, seperti peraturan turunan dari peraturan
seperti UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
mana pada penelitian di jurnal ini dijelaskan adanya permasalahan dari implementasi putusan
BASYARNAS yang memiliki sifat putusan final and binding tetapi apabila salah satu pihak
merasa keberatan akan hasil arbitrasi maka bisa mengajukan upaya pembatalan putusan di
Pengadilan Agama. Lalu menggunaka juga data tertier, yaitu data pelengkap dari hal yang

5
dipaparkan yang berwujud opini hukum dari profesional-aparat penegak hukum atau
penelitian terdahulu.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kepustakaan yang mana penulis menggunakan buku sebagai rujukan penulisan untuk
mendapatkan data dan juga sumber data untuk penelitian. Dan juga penelitian ini melakukan
metode pendekatan secara analisis kualitatif yang bertujuan memahami suatu situasi,
peristiwa, atau kejadian. Serta adanya pendekatan deskriptif kualitatif yang mana
menggambarkan sesuatu yang tengah berlangsung yakni permasalahan implementasi dari
putusan yang dibuat oleh BASYARNAS dalam penyelesaian sengketa yang bersifat final and
binding.

Pada penelitian ini juga menggunakan metode yuridis yang mana meneliti UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta penerapanya yang
baik dan benar.

5. Kesimpulan
BASYARNAS merupakan lembaga independen di bawah MUI yang berfungsi
sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa bisnis syariah secara non litigasi.
BASYARNAS adalah satu-satunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Secara formal,
eksistensi lembaga ini mempunyai dasar hukum yang kuat dalam struktur hukum Indonesia.
Terkait putusan BASYARNAS, pada dasarnya putusan BASYARNAS bersifat final dan
binding.

Yang dimaksud final dan binding adalah suatu putusan akhir atau proses akhir dari
semua rangkaian, proses atau tahapan pemeriksaan dalam suatu perbuatan atau peristiwa
yang memiliki kekuatan mengikat atas kehendak-kehendak para pihak dan tidak dapat
dibantah lagi sesuai dengan pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa apabila suatu sengketa diselesaikan
melalui suatu lembaga arbitrase, maka tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi atau
peninjauan kembali.

Hal ini selaras juga dengan pasal 25 ayat (1) mengenai Prosedur BASYARNAS yang
menyatakan bahwa Putusan BASYARNAS yang sudah ditandatangani oleh arbiter tunggal
atau arbiter majelis bersifat final dan mengikat (final and binding) bagi para pihak yang
bersengketa, dan wajib ditaati dan dilaksanakan secara sukarela.

6
Namun ketika salah satu pihak tidak puas terhadap putusan yang ditetapkan arbiter
(hakam) sebagaimana alasan yang terdapat pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, maka dapat dilakukan pembatalan putusan yang diajukan ke Pengadilan Negeri.
Namun khusus sengketa ekonomi syariah, Berdasarkan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun
2006, sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang pengadilan Agama, sehingga jika ada
pihak yang mengajukan pembatalan putusan BASYARNAS, maka diajukan ke Pengadilan
Agama. Adanya peluang para pihak mengajukan pembatalan putusan BASYARNAS ke
Pengadilan Agama, menjadikan putusan BASYARNAS masih dapat dilakukan upaya hukum
yaitu melalui pembatalan putusan.

6. Kritik Kelompok Terhadap Artikel


Terimakasih kepada Kakak Karimatul Khasanah, salah satu akademisi dari IAIN
Pekalongan yang dalam hal ini sebagai penulis jurnal dengan judul PROBLEMATIKA
HUKUM IMPLEMENTASI SIFAT FINAL DAN BINDING PUTUSAN YANG
DIBUAT OLEH BASYARNAS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
SYARIAH. Dalam konteks Prosedur BASYARNAS.

BASYARNAS merupakan lembaga independen di bawah MUI yang berfungsi


sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa bisnis syariah secara non litigasi.
Bahwa sesuai dengan Prosedur BASYARNAS 25 ayat (1) mengenai Prosedur
BASYARNAS yang menyatakan bahwa Putusan BASYARNAS yang sudah ditandatangani
oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis bersifat final dan mengikat (final and binding) bagi
para pihak yang bersengketa, dan wajib ditaati dan dilaksanakan secara sukarela. Hal ini pun
sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa apabila
suatu sengketa diselesaikan melalui suatu lembaga arbitrase, maka tidak terbuka upaya
hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Namun ketika salah satu pihak tidak puas terhadap putusan yang ditetapkan arbiter
(hakam) maka dapat dilakukan pembatalan putusan yang diajukan ke Pengadilan Negeri
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

Dan kalau di kaitkan khusus dengan sengketa ekonomi syariah, Berdasarkan Pasal 49
huruf i UU No. 3 Tahun 2006, sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang pengadilan
Agama, sehingga jika ada pihak yang mengajukan pembatalan putusan BASYARNAS, maka
diajukan ke Pengadilan Agama. Adanya peluang para pihak mengajukan pembatalan putusan

7
BASYARNAS ke Pengadilan Agama, menjadikan putusan BASYARNAS masih dapat
dilakukan upaya hukum yaitu melalui pembatalan putusan.

Maka dari itu, kelompok kami berpendapat bahwa ketiga ketentuan secara
keseluruhan perlu diadakan riset terkait dengan sinkronisasi masing-masing antara peraturan
yang satu dengan peraturan yang lainnya. Seperti yang terdapat pertentangan antara aturan
Prosedur BASYARNAS dengan bunyi pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dan juga keterkaitan antara
kegiatan bisnis syari’ah dengan konsep ekonomi syari’ah supaya dari masing-masing
peraturan memiliki kepastian hukum yang kuat substansinya, karena dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa sengketa ekonomi syari’ah lah yang menjadi
kewenangan pengadilan agama. Dan ini menjadi suatu peluang bagi pihak yang ingin
mengajukan pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama yang berarti
keputusan BASYARNAS masih bisa dilakukan upaya hukum, dan ini tidak sesuai dengan
ketentuan Prosedur BASYARNAS.

Anda mungkin juga menyukai