Anda di halaman 1dari 3

Arbitrase mempunyai beberapa dasar hukum, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pasal 377 HIR

Sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, dasar hukum arbitrase diatur dalam Pasal
377 377 HIR , yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan diputuskan oleh
juru pisah maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa
Eropa.”1

Pasal 377 diatas adalah yang menjadi landasan keberadaan arbitrase dalamkehidupan dan
praktek hukum. Pasal ini menegaskan para pihak-pihak yang bersengketa agar dapat
Menyelesaikan sengketa memalui “juru pisah” atau arbitrase dan arbitrase diberi fungsi dan
kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk suatu “keputusan”, maka dari itu baik
para pihak maupun arbitrator atau arbiter, “wajib” menaati peraturan hukum acara yang
berlaku bagi bangsa maupun golongan Eropa.

Dari bunyi pasal 377 HIR tersebut terlihat bahwa dapat memberi kemungkinan dan
kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara
yang timbul di luar jalur kekuasaan “Pengadilan”, apabila mereka menghendakinya.
Penyelesaian serta keputusan dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pusah yang
biasa dikenal dengan sebutan “arbitrase” dan oleh undang-undang, arbitrase tersebut di
limpahi fungsi serta kewenangan untuk “memutus” suatu persengketaan.2

2. UU No. 30 Tahun 1999

Dalam undang-undang No. 30 tahun 1999 arbitrase yang di atur merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
tertulis dari pihak yang bersengketa. Sengketa yang bisa diselesaikan melalui jalur arbitrase
adalah hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengkata atas dasar kata sepakat satu sama lainnya.

3. UU No. 5 Tahun 1968

UU No. 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian


Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal

1
Hj. Susilawetty. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Gramata Publishing, 2013) hlm. 3
2
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 1-2
(Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other
States). Tujuan menetapkan persetujuan konvensi itu bermaksud untuk mendorong dan
membina perkembangan penanaman modal asing di Indonesia. Sebab, dengan diakui
konvensi tersebut oleh Pemerintah Indonesia, sedikit banyak akan memberi keyakinan
kepada pihak pemodal asing, bahwa sengketa yang timbul kelak dapat dibawa kepada forum
arbitrase.

Penyelesaian sengketa yang timbul, tidak didasarkan pada ketentuan tata hukum
Indonesia yang pada umumnya kurang mereka fahami, serta barangkali mereka menganggap
jauh tertinggal dan kurang sempurna menyelesaikan masalah-masalah yang berskala
hubungan Internasional.3

4. KEPRES No. 34 Tahun 1981

Peraturan lain yang menjadi dasar hukum berlakunya arbitrase di Indonesia adalah
Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang Pengesahan
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang biasa
disebut Konvensi New York 1958.

Sejak tanggal berlakunya Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah mengikat diri
dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas
setiap putusan arbitrase. Akan tetapi, pengakuan dan kewajiban hukum tersebut tidak terlepas
penerapannya dari asas “resiprositas” yakni asas “timbal balik” antara negara yang
bersangkutan dengan negara Indonesia. Artinya, kesediaan negara Indonesia mengakui dan
mengeksekusi putusan arbitrase asing, harus berlaku timbal balik dengan pengakuan dan
kerelaan negara lain mengeksekusi putusan arbitrase yang diminta oleh pihak Indonesia.
Keppres No. 34 Tahun 1981 ini bertujuan memasukkan Konvensi New York 1958 ke dalam
tata hukum di Indonesia.4

5. PERMA No. 1 Tahun 1990

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 yang berlaku mulai tanggal 1
Maret 1990 merupakan jawaban terhadap tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
asing, meskipun Pemerintah RI berdasarkan UU No. 5 Tahun 1968 telah menyepakati dan
bergabung dengan Conv ention on the Settlement of Investment Disputes Between States and

3
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 5
4
Ibid, hlm. 18-19
National of Other States yang disingkat dengan (ICSID) atau Centre, ternyata eksekusi
putusan arbitrase asing masih tetap mengalami kegagalan. Bahkan dengan Keppres No. 34
Tahun 1981, Pemerintah juga telah mengesahkan dan bergabung ke dalam konvensi New
York 1958, secara de facto dan yuridis telah menempatka Indonesia sebagai negara yang
terikat dan harus patuh serta rela “mengakui” dan melaksanakan eksekusi setiap putusan
arbitrase asing.

Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, karena setiap permintaan eksekusi putusan
arbitrase asing, selalu kandas di depan pengadilan. Dengan keluarnya perma, maka akan
berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Dan
dengan perma dapat ditampung pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing yang dulu
ditolak. Tujuan dari Perma No.1 Tahun 1990 sendiri adalah untuk mengantisipasi hambatan
atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing.5

6. Uncitral Arbitration Rules

Salah satu dasar hukum arbitrase yang telah dimasukkan ke dalam sistem tata hukum
nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai
resolusi sidang umum PBB tanggal 15 Desember 1976. Pemerintah Indonesia termasuk salah
satu negara yang ikut menandatangani resolusi dimaksud. Dengan demikian UNCITRAL
Arbitration Rules yang menjadi resolusi. Telah menjadi salah satu sumber hukum
Internasional di bidang arbitrase.

Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk mengglobalisasikan serta


menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam menyelesaikan
persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagagan internasional.6

5
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 31
6
Ibid. hlm. 40

Anda mungkin juga menyukai