Anda di halaman 1dari 16

SOCRATES, PLATO, ARISTOTELES, EPICURUS DAN ZENO

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Ilmu Negara

Dosen pembimbing:

Rahmat S.H.I, M.H

Disusun oleh:

Kelompok 1

Miftakhul Nur Arista C05217009

Mohd Asrul bin Hamdani C45217015

Mohd. Fathuddin bin Yusuf C45217016

Achmad Jawahirul Maknun C95217018

Siti Rohmatin C95217041

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami mengucapkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat serta ridha-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang selalu mendukung kami,
baik dalam bentuk materi maupun doanya, dan kami juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dosen yang telah membimbing kami dengan baik, serta kepada teman-
teman Mahasiswa yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT. senantiasa melindungi. Aamiin.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua guna
memperluas wawasan kita. dan kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN.........................................................................................1
A. Socrates.....................................................................................................1
B. Plato...........................................................................................................3
C. Aristoteles..................................................................................................6
D. Epicurus.....................................................................................................7
E. Zeno...........................................................................................................7
BAB II PENUTUP...............................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

ii
BAB I

PEMBAHASAN
A. Socrates
Socrates merupakan anak kelahiran Athena pada tahun 470 M, ajaran akan filosofisnya tidak
pernah ia tulis kecuali hanya dilakukan dengan perbuatan dan praktik dalam kehidupannya
saja. Sehingga Socrates ini dipandang masyarakat sebagi seorang yang adil dan tidak pernah
berbuat kezaliman.1
Sejak terjadinya perang Peloponesus, Athena yaitu tempat kelahiran Socrates telah
mengalami kemunduran dari segi kenegaraan. Sehingga muncullah Socrates yang pertama
kali membahaskan masalah-masalah berkenaan kenegaraan secara sistematis. Menurut
Socrates negara itu bertujuan untuk mendidik warga negara dalam keutamaannya yaitu,
memajukan kebahgiaan warga negara dan membuat jiwa mereka sebaik mungkin. Pemikiran
Socrates ini kemudian berkembang saat kondisi polisi yang penuh dengan penyalahgunaan
penguasa akibat ajaran dari para sophis yang menyesatkan yaitu keadilan dalam negara
adalah segala sesuatu yang akan menguntungkan kepada para penguasa negara.2
Dengan menggunakan metode “dialoog”, Socrates menyatakan bahwa di dalam setiap hati
kecil manusia itu terdapat rasa hukum dan keadilan sejati karena setiap manusia itu
merupakan sebagian dari cahaya Tuhan. Walaupun cahaya keadilan dan kebenaran itu
ditutupi oleh kejahatan, namun cahaya itu tetap ada dan tidak akan pernah menghilang.
Menurut Socrates juga, negara itu bukanlah suatu organisasi untuk mendapatkan keuntungan
bagi kepentingan pribadi seseorang, tetapi negara itu merupakan susunan obyektif yang harus
bersandarkan kepada sifat hakikat manusia yang bertugas untuk melaksanakan dan
menerapkan hukum obyektif keadilan. Sebab itulah, keadilan yang sejati itu merupakan dasar
dari pedoman sesebuah negara karena akibatnya akan membuat warga negara merasakan
kenyamanan dan ketenangan jiwa.3
Dalam mencari kebenaran, Socrates selalu melakukan dialog dengan cara tanya jawab.
Kebenaran itu harus lahir dari jiwa kawan yang merupakan lawan bicaranya. Socrates tidak
mengajar melainkan dengan membantu seseorang untuk mengungkapkan atau mengeluarkan

1
Ajat Sudrajat, “Pemikiran Filosof Yunani Klasik”, 2011, hal 1
2
Mahfud dan Patsun, “Mengenal Filsafat Antara Metode Praktik Dan Pemikiran Socrates, Plato Dan Aristoteles”,
Jurnal Studi Keislaman, Vol. 5 No. 1, 2019, hal 130-131
3
Ibid, hal 131

1
apa yang disimpan dalam hatinya. Sebab itu, metodenya juga bias disebut dengan maieutic,
yaitu menguraikan.4
Selain itu, Socrates juga merupakan antisofisme dan Socrates juga merupakan seseorang
yang telah menentang pemikiran sofisme yang berkembang dalam masyarakat Yunani ketika
itu. Dalam usahanya untuk menentang pemikiran ini, Socrates telah melakukan dua usaha
penting dalam menghapuskan pemikiran sofisme tersebut, yaitu dengan menyampaikan
pemikiran (gerakan pemikiran) dan melalui lembaga pendidikan (gerakan pendidikan).
Dalam gerakan pemikiran, Socrates telah mengemukakan pemikiran sebagai berikut:5
1. Dunia Bayang-Bayang (The Story Of The Caveman)
Manusia adalah makhluk yang sentiasa mencari dirinya sendiri dan akan setiap saat harus
menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. “Hidup yang tidak
dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi”, ini antara kata-kata Socrates dalam
Apologianya. Pemikiran Socrates tentang dunia bayang-bayang ini adalah sebagai bentuk
daya imajinasi seseorang untuk mendesain sebuah temuan atau gagasan terhadap sesuatu.
Ini diperlukan untuk mendefinisikan sesuatu hal demi kesejahteraan dan kemajuan untuk
kehidupan manusia. Ianya juga sebagai awal landasan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan seseorang.6
2. Kebenaran Universal
Kebenaran itu bukan sesuatu yang dapat dimiliki dengan begitu saja melainkan perlu
dicari dengan perjuangan. Karena menurut Socrates, ada kebenaran yang bersifat obyektif
yang tidak bergantung kepada sesiapa pun. Disebabkan itu, dalam pembuktian sesuatu
perkara itu, Socrates menggunakan metode yang bersifat praktis dan dilakukan melalui
percakapan atau yang disebut dengan dialog. Metode ini bertujuan untuk menggali
kebenaran yang obyektif itu.7

Kemudian, usaha kedua yang dilakukan Socrates untuk menentang pemikiran sofisme ini
adalah dengan gerakan pendidikan atau yang dikenal sebagai metode socratic. Dalam metode
socratic ini, Socrates dengan sengaja akan mengajukan beberapa pertanyaan yang
membingungkan kepada orang-orang sophis (mereka yang mengatakan diri mereka adalah

4
Ajat Sudrajat, “Pemikiran Filosof Yunani Klasik”, 2011, hal 1
5
Fahriansyah, “Antisofisme Socrates”, Al Ulum Vol. 1 No. 3, 2014, hal 25
6
Ibid, hal 26-27
7
Ibid, hal 27-28

2
orang yang bijaksana dan berpengetahuan). Supaya pertanyaan dan jawabannya akan
menjadi saling bertentangan, sehingga membuat orang-orang sophis ini bingung akan
kepercayaan mereka sendiri terhadap pemikiran sofisme ini. Metode ini selain membuat
orang-orang sophis bingung dan tidak mempercayai akan pemikiran sofisme ini, ia juga
bertujuan untuk mengupas kebenaran dari pengetahuan semu orang-orang itu.8

B. Teori Plato
Dalam merumuskan pemikiranya Plato menggunakan metode deduktif-spekulatif-
transendental yang dimana sekarang diajarkan ke seklahan yng diberikan nama academica.
Dalam buku pertama Plato yaitu The Republic menunjukkan pandangan yang ideal tentang
kebaikan dan negara Pandangan Plato tentang negara dilandasi oleh pendapatnya tentang
dunia yang terdiri dari dua macam, yaitu:9
1. Dunia cita (ideenwerwld) yaitu “kenyataan sejati” yang ada dalam alam tersendiri
terpisah dari “dunia palsu” dan bersifat immaterial.
2. Dunia alam (natuurwereld) yaitu dunia fana yang palsu dan bersifat materiil.

Dunia cita adalah latar belakang dan yang menjelmakan diri dalam dunia alam. Maka
dunia alam harus selalu diusahakan untuk menyerupai bentuk yang sempurna dari dunia cita.
Ukuran persamaan antara dunia alam dan dunia cita adalah norma (yang seharusnya). Dunia
cita memiliki tiga macam cita-cita mutlak (absolute ideen), yaitu: Cita kebenaran, Cita
keindahan dan cita kesusilaan. Ketiga cita mutlak ini merupakan pedoman bagi perilaku
manusia yang digerakkan oleh kemampuan dasar yang dimiliki manusia yaitu; pikiran, demi
mencari kebenaran, rasa demi mencapai keindahan, dan kehendak demi mencapai kesusilaan.

Perilaku manusia dan cita-cita tersebut harus dijalani manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut manusia tidak bisa
melakukan sendiri, karna manusia saling membantu dengan pembagian tugas masing-
masing. Inilah dasar pembentukan negara menurut Plato.

Negara adalah suatu kesatuan dan keluarga yang besar yang harus dapat memelihara
warga negara dalam kesatuan. Sehingga negara harus memiliki wilayah yang terbatas.
Karena negara merupakan dunia alam, maka tujuan negara adalah untuk mencapai,
8
Ibid, hal 28
9
Muhammad Ali Syafaat, Jurnal Ilmu Negara, hl.2

3
mempelajari dan mengetahui cita yang sebenarnya. Masyarakat akan berbahagian bila
mengetahui cita yang sebenarnya yaitu kebenaran dan kebaikan universal. Untuk mengetahui
cita tersebut memerlukan cara dan kemampuan tertentu yang hanya dimiliki oleh segolongan
orang saja.10

Negara tidak dapat dijalankan dengan sistem demokrasi karena dua alasan; pertama,
karena demoktrasi memungkinkan setiap orang menduduki pemerintahan, dan kedua,
demokrasi berpotensi menimbulkan kekerasan dan perselisihan kepentingan. Sehingga
negara harus dipimpin oleh segolongan orang ini yang dinamakan Philosopher King, karena
kelompok inilah yang mengetahui apa kebaikan dan bagaimana cara mencapainya. Untuk
mencapai negara yang semplurna diperlukan tiga syarat, yaitu;

1. Negara harus dijalankan oleh pegawai yang terdidik khusus,


2. Pemuereintahan harus ditujukan demi kepentingan umum.
3. Harus dicapai kesempurnaan susila dari rakyat.

Masyarakat sebagai bentuk keluarga yang besar dan kesatuan kerja sama manusia
memiliki kelas sosial yang terbentuk berdasarkan sifat manusia; kebenaran, keberanian, dan
kebutuhan. Pluto membagi Kelas-kelas tersebut adalah:

a. The rulers, yaitu golongan pegawai yang terdidik khusus yang merupakan pemimpin-
pemimpin negara yang berusaha tercapainya dan terselenggarannya kesempurnaan, good
dan good life serta kepentingan umum. The rulers ini adalah Philosopher King.
b. The Guardians adalah mereka yang menyelenggarakan keamanan, ketertiban, dan
keselamatan negara.
c. The artisans, yaitu mereka yang menjamin makanan bagi kedua golongan tersebut di atas

The rulers adalah orang-orang ini memang dilahirkan sebagai ruler dan dididik untuk
menjadi ruler. Kelompok ini dapat dilahirkan dari kelompok manapun tanpa memandang
jenis kelamin. Karena itulah pendidikan menjadi salah satu perhatian utama Plato dalam
Republic. Selain itu, demi terwujudnya kebaikan negara, maka elemen-elemen lain yang
berpotensi merusak negara atau menyaingi kesetiaan warga kepada negara harus dihapuskan.

10
Muhammad Ali Syafaat, Jurnal Ilmu Negara, hl.4

4
Dalam hal ini Plato mengusulkan komunisme berupa pembatasan hak milik dan
penghilangan lembaga perkawinan monogami bagi kaum the guardian dan the ruler.

Karya Plato yang selanjutnya, yaitu the Statesman dan the Laws, menunjukkan
refleksi lebih lajut terhadap masalah-masalah yang dihadapi negara kota. Kedua buku
tersebut telah menyentuh pada pendekatan atas kenyataan kehidupan politik. Berbeda dengan
karya pertama yang mengidealkan bentuk monarki murni oleh the philosopher king, dalam
the Laws Plato meletakan hukum sebagai sesuatu yang supreme. Hal ini merupakan bentuk
negara terbaik kedua (second-best) yang dapat dicapai. 11

Negara ideal sebagai perwujudan kerajaan surga di bumi ternyata tidak dapat dicapai.
Maka pemerintahan menurut hukum adalah lebih baik dari pada suatu pemerintahan oleh
seseorang. Seseorang dalam hal ini adalah seorang tiran yang memerintah dengan paksaan,
berbeda dengan raja atau negarawan yang memerintah berdasarkan kesukarelaan. Dalam the
Statesman, Plato membagi negara di dunia menjadi 4 macam sesuai dengan sifat-sifat
manusia, yaitu;

a. Timocracy atau negara militer


b. Oligarchy atau pemerintahan oleh orang kaya
c. Democracy atau pemerintahan oleh semua orang
d. Tyrani yang merupakan pemerintahan terburuk oleh seorang penguasa.

Tipe ideal adalah monarchy yang diperintah oleh the philosopher-king. Namun
bentuk ideal ini terlalu sempurna bagi manusia. Berdasarkan tingkat kemungkinan kepatuhan
kepada hukum, maka demokrasi merupakan bentuk yang paling baik. Namun, demokrasi
harus dilaksanakan dengan mengkombinasikannya dengan monarki (mixed-state) untuk
mencapai harmoni dan keseimbangan kekuatan. Demokrasi menyumbangkan prinsip
kebebasan, sedangkan monarki menyumbangkan prinsip kebijaksanaan (wisdom).

C. Aristoteles

11
Muhammad Ali Syafaat, Jurnal Ilmu Negara, hl.5

5
Aristoteles adalah murid Plato, ia seorang filsuf yang mempunyai banyak pengaruh pada
abad pertengahan. Sebagai murid Plato, walaupun Aristoteles banyak terpengaruh olehnya,
namun tidak semua ajarannya diterima mentah-mentah. Ajarannya dikupas secara praktis.
Pengupasan juga dilakukan secara logis dan sistematis berdasarkan metode induksi atas
penyelidikan ilmiah dan perbandingan sistem yang ada. Terkait dengan tujuan Negara,
Aristoteles sependapat dengan Plato, yakni:
a) Menyelenggarakan kepentingan warga Negara
b) Berusaha supaya warga Negara hidup baik dan bahagia (good life) didasarkan atas
keadilan. Keadilan itu memerintah dan harus ada dalam Negara. Keadilan adalah unsur
negara yang esensil, untuk mencapai kebahagiaan.
Bagi Aristoteles negara itu adalah absolut karena ia merupakan suatu persekutuan hidup
politik yang berada di kedudukan yang tertinggi dan paling berdaulat. Ia disebabkan negara
memiliki tujuan negara jauh melampaui segala tujuan yang dimiliki oleh persekutuan hidup
lainnya. Jelaslah bahwa bagi Aristoteles, negara itu dibentuk oleh manusia yang memiliki
berbagai kebutuhan dan saling membutuhkan antara satu sama lain serta manusia yang
membentuk suatu negara itu adalah orang-orang yang memiliki kebebasan yang sama, yang
harus tetap dipelihara dan dihormati oleh negara dalam batas-batas tertentu.12
Berkaitan dengan terjadinya Negara, menurut Aristoteles manusia berbeda dengan hewan
sebab hewan dapat hidup sendiri sedangkan manusia sudah dikodratkan untuk hidup dengan
manusia lain tidak dapat berdiri sendiri. Ia sependapat dengan Plato bahwa manusia
merupakan Zoon Politicon. Oleh karena itu, manusia tidak dapat dipisahkan dari Negara
karena merupakan bagian dari Negara atau masyarakat. Dengan demikian Negaralah yang
utama. Paham ini disebut Universalism bukan Collectivism.13
Selain itu, hukum berfungsi untuk memberi kepada manusia setiap apa yang menjadi haknya.
Aristoteles berpendapat bahwa dalam setiap Negara yang baik, hukumlah yang mempunyai
kedaulatan tertinggi, bukan orang perorangan. Aristoteles menyukai penguasa yang
memerintah berdasarkan konstitusi dan memerintah dengan persetujuan warga negaranya,
bukan pemerintah diktatur.14

12
J. H. Rapar, “Filsafat Politik Aristoteles”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm 36-37
13
Teuku Saiful Bahri Johan, Perkembangan Ilmu Negara dalam Peradaban Globalisasi Dunia, Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2018. Hal. 138
14
Ibid hal. 139

6
Aristoteles mengklasifikasikan sistem-sistem politik seperti di bawah ini15
a) Monarki (kerajaan), diperintah oleh seorang raja untuk kepentingan semua, tapi jika
sebaliknya dapat berpotensi tirani
b) Aristokrasi, diperintah beberapa orang untuk kepentingan bersama, jika sebaliknya
dapat berpotensi oligarki, memperkaya sekelompok orang saja.
c) Polity atau timokrasi, diperintah semua rakyat untuk kesejahteraan umum, jika
sebaliknya, mayoritas rakyat memerintah untuk kepentingan si miskin saja dapat
menjadi demokrasi.

D. Epicurus
Pendapat Epicurus menyimpang dari pendapat umum yang ada di Yunani pada saat itu.
Menurut pendapat Epicurus, masyarakat ada karena adanya kepentingan manusia sehingga
yang berkepentingan bukanlah masyarakat sebagai satu kesatuan tetapi manusia-manusia itu
yang merupakan bagian dari masyarakat. Manusia sebagai warga di dalam Negara
dimisalkan sebagai sebutir atom atau sebutir pasir, jadi bersifat atomistis, hanya memikirkan
hidup untuk diri sendiri. Pandangan ini disebut pandangan yang bersifat induvidu-alistis.
Berdasarkan individualistis,
Epicurus berpendapat bahwa terjadinya Negara disebabkan karena adanya kepentingan
perorangan. Dan tujuan Negara adalah menjaga tata tertib dan keamanan dalam masyarakat
dan tidak memperdulikan macam, sifat atau bentuk Negara. Sedangkan tujuan masyarakat
adalah kepentingan pribadi. Agar tidak timbul perselisihan diantara warga maka dibuatlah
undang-undang sebagai hasil dari suatu perjanjian. Negara menurut Epicurus itu adalah
merupakan hasil daripada perbuatan manusia, yang diciptakan untuk menyelenggarakan
kepentingan anggota-anggotanya.
Masyarakat tidak merupakan realita dan tidak mempunyai dasar kehidupan sendiri.
Manusialah sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat, yang mempunyai dasar-dasar
kehidupan yang mandiri, dan yang merupakan realita. Jadi menurut Epicurus yang hidup itu
adalah induvidunya, yang merupakan keutuhan itu adalah induvidunya, sedang Negara atau

15
Mahfud dan Patsun, Mengenal filsafat antara metode praktik dan pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles, Jurnal
Studi Keislaman, Vol.5 No.1, 2019, hal. 134

7
masyarakat adalah buatan daripada induvidu-induvidu tersebut, jadi sama benda mati dan
merupakan suatu mekanisme.16
E. Zeno
Seorang pendiri sebuah sekolah yang diberi nama “Stoa”, nama tersebut diambil dari ruangan
sekolahnya yang dipenuhi dengan ukiran ruang, yang disebut sebagai “Stoa” dalam bahasa
Greek. Zeno dilahirkan di Kition pada tahun 340 sebelum Masehi. Awalnya beliau
merupakan seorang saudagar yang suka berlayar. Namun suatu ketika kapalnya telah
tenggelam bersama dengan hartanya, namun dia selamat. Setelah kejadian tersebut beliau
meninggalkan dunia perniagaan dan berpindah kepada mempelajari filsafat. Pada mulanya
dia belajar bersama Kynia dan Megaria dan akhirnya belajar bersama anak murid Plato yang
bernama Xenokrates.17
Ajaran utama Stoa adalah untuk menyempurnakan moral manusia. Dalam literature
lain disebutkan bahwa pokok ajaran Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan
keselarasan dunia. Sehingga pendapat mereka kabajikan adalah akal budi yang lurusyaitu
akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Ajarannya tidak jauh beda dengan ajaran
Epicurus yang terdiri dari tiga bagian, yaitu logika, fisika dan etik.

1. Logika: Menurut Kaum Stoa, memperoleh kritria kebenaran itu haruslah melalui logika.
Mereka memilih kesamaan dengan Epikuros dalam hal ini. Apa yang dipikirkan rak lain
dari yang telah diketahui oleh pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan
itu kena, yaitu memaksa kita membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu
pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang dengan terang dan tajam.
Sehingga orang yang memandang itu terpaksa membenarkan dan menerima isinya.18

Apabila memandang suatu barang, gambarannya tinggal dalam otak kita sebagai ingatan.
Jumlah ingatan yang banyak menjadi pengalaman. Pendapat kaum Stoa ini bertentang
dengan pendapat Plato dan Aritoteles. Bagi Plato dan juga Aristoteles pengertian itu
mempunyai realita, ada pada dasarnya. Ingat misalnya ajaran Plato tentang idea. Pengertian
umum, seperti perkumpulan, kampunng, binatang dan lainnya adalah suatu realita, benar
adanya. Sedangkan menurut kaum Stoa, pengertian umum itu tidak ada realitanya, semuanya
16
Teuku Saiful Bahri Johan, Perkembangan Ilmu Negara Dalam Peradapan Globalisasi Dunia, Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2018, hlm. 141-142.
17
Ahmad Syadai, “Filsafat Umum, Cet. 2”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), hlm 53
18
Ibid, hlm 53

8
dalah cetakan akal pikiran yang subjektif untuk mudah mengolongkan barang-barang yang
nyata. Hanya barang-barang yang kelihatan yang mempunyai realita, nyata adanya. Seperti
orang laki-laki, orang perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita. Pendapat ini
disebut dalama filsafat penadapat nominalisme, sebagai lawan dari realisme.

2. Fisika: Kaum Stoa tidak saja memberi pelajaran tentang alam, tetapi juga meliputu
tentang teologi. Zen menyamakan Tuhan dengan dasar pembangunan. Dasar
pembangunan adalah api yang membangun sebagai satu bagian daripada alam. Tuhan itu
menyebarke seluruh dunia sebagai nyawa, seperti api yang menbangun menurut sesuatu
tujuab. Semua yang ada tak lain dari api atau Tuhan dalam berbagai macam bentuk.

Menurut merek dunia ini akan kiamat dan tejadi lagi berganti-ganti. Pada akhirnya tuhan
menarik semuanya kembli kepadanya. Oleh karena itu pada kebakaran dunia yang hebat, itu
semuanya menjadi api. Dari api tuhan itu. Terjadi kmbali dunia yang barusampaimkepada
bagian sekecil-kecilnya serupa dengan dinua yang kiamat dahulu.

3. Etik: Inti dari filsafat Stoa dalah etik, initu untuk mencari dasar-dasasr umum untuk
bertindak dan hidup yang tepat, dam melaksanakan dasar-dasar itu di dalam kehidupan.
Pelaksanaan tepat dari dasar-dasar itu adalah untuk mengatasi masalah dan memperoleh
kesenangan. Kaum Stoa juga berpendapat bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah
memperoleh “harta yang terbesar nilainya”, yaitu kesenangan hidup. Kemerdekaan moril
seseorang adalah dasar segala etik pada kaum stoa.19

Zeno dalam membuktikan bahwa gerak, ruang kosong dan pluralis itu tidak ada, mengajukan
argumentasi-argumentasi sebagai berikut:

a. Anak Panah yang dilepaskan dari busurnya tidak bergerak, karena setiap saat panah itu
ada di tempat tertentu, jadi dalam keadaan diam. Memang anak panah itu akan jauh tetapi
selalu diam pada tepat tertentu.

b. Sebagai bukti bahwa ruang kosng tidak ada. Seandainya ruang kosong itu ada, maka
ruang kosong itu tentu menempati ruang kosong yang lain. Dan ruang kosong ang lain itu

19
Ahmad Syadai, “Filsafat Umum, Cet. 2”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), hlm 54

9
menempati ruang kosng yang lain, dan seterusnya tiada akan berhenti. Halini tidak
mungkin.

c. Sebagai bukti pluralitas tiadak ada. Seandainya pluralitas ada, tentunya sepotong garis
dapat dibagi-bagi yang masing-masing bagian mempunyai titik pangkal dan ujung. Kalau
pembagian diteruskan terus-menerus tentu tidak mungkin.20

20
Rofiq Choirul Ahmad, Pengantar Filsafat (STAIN Po PRESS, Ponorogo, 2014) hlm, 28.

10
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsep bernegara menurut Socrates itu bertujuan untuk mendidik warga negara dalam
keutamaannya yaitu, memajukan kebahgiaan warga negara dan membuat jiwa mereka sebaik
mungkin. Pemikiran Socrates ini kemudian berkembang saat kondisi polisi yang penuh
dengan penyalahgunaan penguasa akibat ajaran dari para sophis yang menyesatkan yaitu
keadilan dalam negara adalah segala sesuatu yang akan menguntungkan kepada para
penguasa negara. Menurut Socrates juga, negara itu bukanlah suatu organisasi untuk
mendapatkan keuntungan bagi kepentingan pribadi seseorang, tetapi negara itu merupakan
susunan obyektif yang harus bersandarkan kepada sifat hakikat manusia yang bertugas untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum obyektif keadilan. Sebab itulah, keadilan yang sejati
itu merupakan dasar dari pedoman sesebuah negara karena akibatnya akan membuat warga
negara merasakan kenyamanan dan ketenangan jiwa.

Sedangkan, menurut Plato pula, negara adalah suatu kesatuan dan keluarga yang
besar yang harus dapat memelihara warga negara dalam kesatuan. Sehingga negara harus
memiliki wilayah yang terbatas. Karena negara merupakan dunia alam, maka tujuan negara
adalah untuk mencapai, mempelajari dan mengetahui cita yang sebenarnya. Masyarakat akan
berbahagian bila mengetahui cita yang sebenarnya yaitu kebenaran dan kebaikan universal.
Untuk mengetahui cita tersebut memerlukan cara dan kemampuan tertentu yang hanya
dimiliki oleh segolongan orang saja.

Negara tidak dapat dijalankan dengan sistem demokrasi karena dua alasan; pertama,
karena demoktrasi memungkinkan setiap orang menduduki pemerintahan, dan kedua,
demokrasi berpotensi menimbulkan kekerasan dan perselisihan kepentingan. Sehingga
negara harus dipimpin oleh segolongan orang ini yang dinamakan Philosopher King, karena
kelompok inilah yang mengetahui apa kebaikan dan bagaimana cara mencapaainya.

Terkait dengan tujuan Negara, Aristoteles sependapat dengan Plato, yakni dengan
menyelenggarakan kepentingan warga Negara, berusaha supaya warga Negara hidup baik

11
dan bahagia (good life) didasarkan atas keadilan. Keadilan itu memerintah dan harus ada
dalam Negara. Keadilan adalah unsur negara yang esensil, untuk mencapai kebahagiaan.
Berkaitan dengan terjadinya Negara, menurut Aristoteles manusia berbeda dengan hewan
sebab hewan dapat hidup sendiri sedangkan manusia sudah dikodratkan untuk hidup dengan
manusia lain tidak dapat berdiri sendiri. Ia sependapat dengan Plato bahwa manusia
merupakan Zoon Politicon. Oleh karena itu, manusia tidak dapat dipisahkan dari Negara
karena merupakan bagian dari Negara atau masyarakat. Dengan demikian Negaralah yang
utama. Paham ini disebut Universalism bukan Collectivism.
Epicurus berpendapat bahwa terjadinya Negara disebabkan karena adanya kepentingan
perorangan. Dan tujuan Negara adalah menjaga tata tertib dan keamanan dalam masyarakat
dan tidak memperdulikan macam, sifat atau bentuk Negara. Sedangkan tujuan masyarakat
adalah kepentingan pribadi. Agar tidak timbul perselisihan diantara warga maka dibuatlah
undang-undang sebagai hasil dari suatu perjanjian. Negara menurut Epicurus itu adalah
merupakan hasil daripada perbuatan manusia, yang diciptakan untuk menyelenggarakan
kepentingan anggota-anggotanya.
Ajaran utama Stoa adalah untuk menyempurnakan moral manusia. Dalam literature
lain disebutkan bahwa pokok ajaran Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan
keselarasan dunia. Sehingga pendapat mereka kabajikan adalah akal budi yang lurusyaitu
akal budi yang sesuai dengan akal budi dunia. Ajarannya tidak jauh beda dengan ajaran
Epicurus yang terdiri dari tiga bagian, yaitu logika, fisika dan etik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ali Syafaat, Muhammad, Jurnal Ilmu Negara

Syadai, Ahmad. Filsafat Umum, Cet. 2. Bandung: CV Pustaka Setia. 2004.

Ahmad, Rofiq Choirul, Pengantar Filsafat, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2014.

Teuku Saiful Bahri Johan, Perkembangan Ilmu Negara dalam Peradaban Globalisasi
Dunia, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018.

Mahfud dan Patsun, Mengenal filsafat antara metode praktik dan pemikiran Socrates,
Plato, Aristoteles, Jurnal Studi Keislaman, Vol.5 No.1, 2019

Sudrajat, Ajat. Pemikiran Filosof Yunani Klasik. 2011

Fahriansyah. Antisofisme Socrates. Al Ulum Vol. 1 No. 3. 2014

Choirul Ahmad, Rofiq. Pengantar Filsafat. Ponorogo: STAIN Po PRESS. 2014

Rapar, J. H. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1998

13

Anda mungkin juga menyukai