Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

intisari dari buku karangan:


(Nimatul Huda, S.H, M.Hum.)
1.

Perubahan Sistem Pemerintahan Negara


Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel
yang memuat hal-hal yang pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok
tersebut diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita
menyatakan bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan
pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan. Menurut UUD
1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan di Bantu oleh seorang
Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen kecuali sebagai kepala Negara ia juga
sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah
Presiden, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea
Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di
berhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung
jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada
Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga
presiden, akan tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil Presiden diangkat oleh MPR,
sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.Kedua, Wakil Presiden bukan
pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala Negara. Menterimenteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3). Ketiga, apabila Presiden
berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan
presiden kecuali apabila dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8
UUD 1945).
Meskipun tidak bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden
tidaklah tidak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan

Rakyat. Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan)
dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan
pekerjaanya. Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara
melalui departemennya.
Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan kekuasaanya
bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga
berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh
Komite Nasional. Presiden juga mempunya tugas-tugas sebagai berikut.
1. Majelis Perusyawaratan Rakyat
1.

Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)

2.

Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)

3.

Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)

4.

Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden
dan Wakil Presiden (Pasal 9)

5.

Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))

2. Dewan Perwakilan Rakyat


1.

Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))

2.

Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))

3. Dewan Pertimbanag Agung


1.

Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada
Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan
yang besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam
melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya
Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali
tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya.
Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung sampai
terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk, kekuasaan Presiden
adalah mutlak.

Pada 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk
Komisi Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan
Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang yang
dikehendaki.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan perkembangan UUD
1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan dalam masa perjalanan
UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan
Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang
menetapkan sebagai berikut:
Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garisgaris besar daripada haluan Negara
bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan
dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilihantara mereka serta bertanggung jawb
kepada Komite Nasional Pusat.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:
1. Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.
2. Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
3. Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam
bidang pembuatan undang-undang, baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak
mengontrol dan mengawasi pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai
dengan Pasal IV Aturan Peralihan.
Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya dengan Maklumat No.X
belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan ketatanegaraan sebab langkahlangkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang
legislative, kalau tadinya Presiden mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional,
sekarang tugas itu oleh Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan
bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K. Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya
maklumat tersebut Presiden yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi
dengan komite nasional pada tnggal 16 oktober 1945.

Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP
tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang
menyatakan sebagai berikut.
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini be arti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar
haluan negara. Badan Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid)
pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala
macam urusan pemerintah
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya
adalah suatu tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan
cabinet yang ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri
dalam susunan kabinet yang baru.
Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan tetapi stelah terbitnya maklumat
tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai oleh perdana mentri yang dipimpin oleh
Sutan Syahrir.
Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto, di Indonesia telah terjadi konstelasi
ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut sistim presidensil dengan maklumat tersebut
prinsip pertanggung jawaban mentri dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan
eksekutif yang semula mentri bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana
mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan
mengubah sistim ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji
apa dasar hukum kedua maklumat tersebut.
Mengenai perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: Many important
changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of custom
and convention. Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah benar. Perubahan
yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden
No. X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu hanya
penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur
didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menteri Negara kepada perdana

mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini seharisnya tidak
dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 17 UUD 1945.
Sampai saat ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi tentang dasar hokum maklumat
tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukum Maklumat tersebut
adalah kebiasaan atau convention. Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan
tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan
sebagai berikut.
Apabila convention itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu
akan bersifat sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau
DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan umum.Maka
dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud menyempurnbakan susunan
Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya bertentangan dengan UUD pantas kita
sambut dengan tenang hati.
Sementara Assat mempertahankan bahwa, perbuatan Badan Pekerja itu dibenarkan Oleh
Komite Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya
sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik
UUD, mengapa persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah
diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta
kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUD atau lebih rendah. Jika lebih rendah
ia tidak bisa mengatur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan mengubahnya dan jika
lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-undangan tertinggi pada waktu itu ialah UUD
1945.
M. Yamin berpendapat bahwa kementerian yang bertanggung jawab tidak sesuai dengan
UUD 1945 bahkan berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari
Assat bahwa ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan
baru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara pembuatan UndangUndang melalui ketentuan pasal 37. Jika memang hal tersebut tidak diatur maka convention
dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal itu menyalahi aturan. Jika hal ini
dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar pelengkap, bisa dikesampingkan dengan
aturan lain. Perubahan yang sesungguhnya harus dilakukan oleh MPR sebagaimana telah
digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17
UUD 1945, tanpa melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945. Perubahan

tersebut tidak diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup
detat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam
kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belum ada.
B. Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah
berlaku, yaitu: (1 ).UUD 1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939; (2)
Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 19505 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan
dalan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945.
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila
sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Belanda selalu ingin
menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan
memaksakan agar mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah
hancur. Mereka juga secara terus menerus membuat Negara di tubuh RI yang diakui secara
defacto dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan
pengesahan pda tanggal 27 Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap
Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga kesepakatan yaitu:
1. Mendirikan Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu; (a)piagam penyerahan
kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS; (b) Status uni; (c) persetujuan
perpindahan;
3. mendirikan uni antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah Konstitusi RIS disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi
bijeenkomst voor federal overleg (BFO) ke KMB. Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Muhammad Roem dan Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam perumusan UUD. Kemudian
naskah tersebut disepakati kedua belah pihak untuk diberlakukan dan di Indoenesia dikenal
dengan Konstitusi RIS. Disampaikan kepada KNIP dan mendapat persetujuan pada tanggal
14 Desember 1949 kemudian dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949.
Negara RIS terdiri dari 16 negara bagian, tujuh Negara bagian dengan wilayah
menurut status quo yang tercantum dalam Perjanjian Renvile tanggal 17 Jnuari 1948, yaitu
Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan.

Sembilan stuan kenegaraan yang berdiri sendiri yaitu, Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau,
Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur.
Negara yang terpenting dan terluas ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan,
Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur,
Sat itu presiden pertama RIS ialah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai PM pertama.
Tokoh yang duduk dalam cabinet ini antara lain; dari pihak Republik Sri Sultan HB IX, Ir.
Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Soepomo, dr. Leimena, Arnold Manunutu, Ir. Herling Loah,
dan dari BFO yaitu Ide Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II. Anggota cabinet
sebagian besr mendukung unitarisme hanya dri BFO ynag menginginkan Federal. Hal ini
menyebabkan gerakan pembubaran Negara Federal lebih kuat terutama karena hal tersebut
tidak berdasarkan landasan konsepsional.
Hasil dari KMB merupakan bukan cita-cita dari Rakyat Indonesia, hal ini tidak sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945. menurut para Founding Father KMB merupakan taktik untuk
mencapai cita-cita rakyat dengan menerima hasil tersebut lambat laun Indonesia akan
mendapatkan kedaulatan secara utuh, tanpa ikatan apapun.
Program utama cabinet Abdul Halim dari Negara bagian RI yaitu membentuk Negara
Kesatuan dengan mengadakan sentiment anti-KMB dan RIS, yang sangat besar di Ygyakarta.
Sehingga tidak sampai satu tahun tiga belas Negara bergabung dengan RI (Yogyakarta).
Usaha tersebut berhasil setelah Negara Bagian Sumatra Timur dan Negara Bagian Indonesia
Timur bergabung. Dengan demikin tinggal satu Negara RI;RIS mengadakan persetujuan
dengan Negara RI untuk mewujudkan Negara Kesatuan dengan mengubah Konstitusi
Sementar RIS menjadi UUDS kemudian disusul dengan proklamasi pemebentukan Negara
Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno dihadapan sidang senat dan DPRS tanggal 15 Agustus
1950 di Jakarta. Hal tersebut berdasarkan pasal 43 Konstitusi RIS yang berbunyi:
Dalam penyelesaian susunan federasi RIS maka berlakulah asas pedoman, bahwa
kehendak rakyatlah di daerah-daerah bersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka
menurut jalan demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh
daerah-daerah tersebut dalam federasi. Maka kembalilah Indonesia menjadi Negara
Kesatuan atas kehendak rakyat.
Dalam rangka terbentuknya kembali negara kesatuan maka perlu menyiapkan naskan UUD
dan dibentuklah panitia yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai UUD tersebut
disahkan oleh KNIP tanggal 12 Agustus 1950 dan oleh DPR dan Senat Republik Indonesia
Serikat tanggal 14 Agustus 1950 dan mulai diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950, yaitu
dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. UUDS bersifat sementara sehingga isinya tidak

mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS 1949. tetapi menggantikan naskah


Konstitusi RIS dengan nama Undang-Undang Dasar Sementar 1950.
C. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat
jelas dalam rumusan Pasal 134, yang meharuskan Konstituante bersama-sama dengan
pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan UUDS 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari konstitusi RIS yang tidak sempat
membentuk Konstituante sebagai mana diamanatkan didalamnya,amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada
bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan
berdasarkan ketentuan UU No.7 tahun 1953. Undang-undang ini berisi dua pasal. Pertama,
berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua, berisi ketentuan
mengenai tanggal mulai berlakunya UUDS Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS,
yaitu tanggal 17 Agustus 1950. atas dasar UU inilah diadakan pemilu tahun 1955, yang
menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan diBandung pada 10 November
1956.
Majelis Konstituante ini tidak atau beum berhasil, Presiden Soekarno berkesimpulan
Konstituante telah gagal. Ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 juli 1959 sebagai UUD Negara
Republik Indonesia selanjutnya. Tindak mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 menjadi kontroversi
keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, dan isi dekrit yang memberlakukan membubarkan
konstituante; Sejak dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang,UUD 1945 Tterus
berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar.
Dekrit tersebut dikeluarkan dengan alasan:
1. bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan
kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada 22 April 1959, tidak
memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUD Sementara;
2. bahwa berhubung dengan pernyataan sebagai terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat UUD
untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas
yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia;
3. bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang menbahayakan
persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;

4. bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara
Proklamasi;
5. bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjadi UUD 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Dari perdebatan di Konstituante mengenai peraturan prosedur, disepakati bahwa hanya
Konstituante yang berwenang dalam membentuk UUD baru. Sementara itu, peran pemerintah
terbatas pada meresmikan dan mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh
Konstituante.
Selain alasan procedural yang tidak konstitusional, alasan fundamental yang menyebabkan
para anggota Konstituante menolak diberlakukannya kembali UUD 1945 karena adanya
kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni: pertama,
memberi porsi kekuasaan terlampau besar kepada eksekutif, yang memungkinkan
terwujudnya pemerintahan dictator; kedua, kurang memberikan perlindungan terhadap HAM
dan hak-hak warga negara; ketiga, begitu banyak loop holes yang terdapat dalam rumusan
pasal-pasal UUD 1945.
Mayoritas anggota Konstituante berpendirian bahwa andaikata UUD 1945 tetap akan
diberlakukan kembali, mereka mengajukan persyaratan, yaitu harus dilakukan serangkaian
amandemen terhdap UUD 1945 ini. Mereka mengantisipasi akan adanya bahaya diktatur
apabila UUD 1945 diberlakukan kembali secara begitu saja.
Ketika Kontituante memasuki reses pada Juni 1959, AH Nasution dengan Angkatan Daratnya
memperkeras tekanan terhadap partai-partai politik. AH Nasution berhasil memperoleh
jaminan dari PNI, PKI, dan NU bahwa mereka tidak akan menentang Dekrit Presiden untuk
kembali ke UUD 1945.
Tindakan partai-partai tersebut dengan berbagai alasan pragmatis bias dimengerti, hanya saja
sikap mereka itu kurang melihat jauh kedepan. Sistem otoriter UUD 1945 bertentangan
dengan partai-partai politik, sebagaimana terbukti dalam perkembangan kemudian.
Menurut Daniel S. Lev, dibalik usul Nasution untuk kembali ke UUD 1945 terdapat beberapa
pertimbangan, yakni: pertama, beberapa pasal didalam UUD 1945 dapat ditafsirkan
sedemikian rupa hingga memberi tempat bagi prwakilan golongan-golongan fungsional;
kedua, diberlakukannya UUD 1945 akan menghapus konstituate yang dianggap sebagai
forum pertentangan ideologis; ketiga, Pembukaan UUD 1945 mengandung pemikiran
pancasila; keempat, banyak diantara perwira termasuk yang bergabung dengan pemberontak,
mendukung UUD dan diharapkan akan meyakinkan perwira pemberontak bahwa wawasan

Anggota Angkatan Darat yang berbeda itu, akan mengakhiri pemberontakan. Selain itu juga
Nasution mempertimbangkan dengan wewenag eksekutif Soekarno yang kuat dan
kepercayaan rakyat akan terpadu dalam diri satu orang.
Selanjutnya, Buyung mengungkapkan secara hukum pembubaran Konstituante tidak absah
karena pemilihannya tidak langsung oleh rakyat dan tidak dalam pemilu yang demokratis,
dan mengenai tugas yang tidak selesai juga tidak bisa dijadikan alasan pembubaran.
Kembali kepada UUD 1945 merupakan awal runtuhnya Demokrasi, kemudian Indonesia
memasuki era Demokrasi Terpimpin untuk memenuhi kepentingan politik Soekarno dan
tentara yang berwatak Otoriter. Tindakan Soekrno disebut sebagai kudeta konstitusional.
Suatu kesalahan besar yang menauhkan bangsa dari cita-cita Negara konstitusional.
D. Reformasi dan Perubahan UUD 1945
Salah satu berkah Reformasi ialah perubahan UUD 1945. dari Orde Lama dengan Demokrasi
Terpimpin dan pengangkatan sebagai Presiden seumur hidup dengan ketetapan MPR
merupakan salah satu penyelewengan UUD 1945 dan Orde Baru hanya melahirkan system
dictator dalam kepemimpinan nagara.
Ketika Soerharto naik tahta, penyelewengan UUD 1945 kembali terulang. UUD 1945
disakralkan hanya Pemerintah Orde Baru yang boleh menafsirkan UUD, sementara MPR
tinggal mengesahkan saja. Dengan adanya berbagai penyelewengan kemudian seluruh celah
kekurangan UUD 1945 ditutupi dengan bingkai yuridis berupa ketetapan MPR
No.I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, yang berisi tekad anggota MPR yang
tidak akan merubah dan akan melaksanakan secara murni dan konsekuen.
Hal ini sangat ironis, padahal Pasal 37 UUD 1945 memberikan akan adanya perubahan serta
penyempurnaan. Tetapi dalam praktiknya di belokkan melalui Ketetapan MPR No.
I/MPR/1983 jo Tap MPR No. VII/MPR/1988 jo UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.
Sejak terjadi Reformasi UUD menjadi desakralisasi
Alasan perubahan UUD 1945 secara filosofis; pertama, karena UUD 1945 adalah moment
opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominant pada saat dirumuskannya
konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai perubahan, baik ditingkat nasional
maupun global. Hal ini tentu saja belum tercakup didalam UUD 1945 karena saat itu belum
tampak perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya
tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia
tetapi memiliki berbagai kemungkinan kelemahan mupun kekurangan.

Dari aspek histories, dari mulai pembuatannya UUD 1945 bersifat sementara, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI), dalam rapat pertama 18 Agustus 1945, yang
mengatakan sebagai berikut.
tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang
ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan ini
adalah Undang-Undang Dasar kilat, nanti kalau kita telah bernegara dalam susunan yang
lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UndangUndang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna .
Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa yang mereka
lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang
dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan
maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada
saat itu, UUD akan aus dimakan masa apadila tidak diadakan pembaruan sesuai dengan
dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara dibidang politik, ekonomi, sosial,
maupun budaya.
Tidak ada ketentuan lain menyangkut perubahan UUD 1945 sebab tambahan muncul
kemudian, yaitu melalui interpretasi histories dan filosofis oleh ketetapan MPR No.
XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan UUD 1945 dinyatakan tidak dapat dirubah.
Dorongan memperbarui atau mengubah UUD 1945 didasarkan pula pada kenyataan bahwa
UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai
dengan staatsidee mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi.
Secara substansip, UUD 1945 banyak sekali kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain;
pertama kekuasaan eksekuif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and
balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu
menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah Soepomo:
concentration of power and responsibility upon the president; kedua, rumusan ketentuan
UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague)
sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir; ketiga, unsur-unsur konstitusionalisme
tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945; keempat, UUd 1945 terlalu menekan
kepada semangat penyelenggara negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi
kewenangan yang terlalu besar kepada Presiden unuk mengatur berbagai hal penting dalam
UU. Akibatnya, banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya
(Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi
muatan yang penting justru diatur didalam Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum didalam

pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status dan materi Penjelasan UUD 1945. persoalan ini
sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan karena banyak materi Penjelasan
yang tidak diatur didalam pasal-pasal UUD 1945.
Fraksi-fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 tidak menyangkut dan
mengganggu

eksistensi

negara,

tetapi

dimaksudkan

untuk

memperbaiki

dan

menyempurnakan penyelenggaraan Negara agar lebih demokratis, seperti disempurnakannya


sistem checks and balances dan disempurnakannya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia.
Ditengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar
berkaitan dengan perubahan UUD 1945. kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:
1. tidak mengubah Pembukaan UUD1945;
2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normative dalam Penjelasan dimasukan
kedalam pasal-pasal;
5. perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normative yang mendasari seluruh
pasal dalam UUD1945. Pembukaan UUD 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) Negara, serta dasar negarayang harus
tetap diperhatikan.
Kesepakatan untuk tetapmempertahakan bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan dasar untuk mempertegas system pemerintahan
presidensial bertujuan untuk memperkukuh system pemerintahan yang stabil dan demokratis
yang dianut oleh negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun
1945. dalam system ini terdapat lima prinsip penting, yaitu: (1) Presiden dan Wakil Presiden
merupakan satu institusi penyelenggaraan kekuasaan eksekutif negara yang teringgi dibawah
Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara
langsungan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majlis Permusyawaratan
Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang
memilihnya. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan
konstitusi. (4) Para mentri adalah pembantu Presiden. Mentri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden

dan

karena

itu

bertanggungjawab

kepada

Presiden,

bukan

dan

tidak

bertanggungjawab kepada parlemen. (5) Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang


kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat sesuai kebutuhan untuk menjamin

stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan presiden lima tahunan tidak
boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.
Penjelasan UUD 1945 menjadi tidak relevan lagi setelah UUD 1945 diubah sampai keempat
kalinya. Dalam Aturan Tambahan Pasal II Perubahan Keempat UUD 1945, yang
menegaskan:
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Peniadaan
Penjelasan UUD 1945 dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan status
Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan.
Kesepakatan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum, yakni perubahan
UUD 1945 dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana
terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
naskah perubahan-perubahan UUD 1945 diletakan melekat pada naskah asli.

Anda mungkin juga menyukai