Anda di halaman 1dari 107

TATA NEGARA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)


Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah
lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Setelah amandemen UUD 1945, anggota MPR terdiri
dari anggota DPR dan DPD. Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi
negara, yang terdiri dari anggota dewan perwakilan rakyat, utusan daerah, dan utusan
golongan. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.

I. SEJARAH PEMBENTUKAN
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai majelis wakil rakyat yang
namanya sudah tak asing dalam ketatanegaraan Indonesia sudah ada sejak
merdekanya negara ini. Pada awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus
1945 MPR memiliki posisi sebagai lembaga negara tertinggi yang ditetapkan dalam
UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Dengan Pancasila sebagai dasar negara dan sebuah Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (pra Amandemen) yang ditetapkan sehari setelah proklamasi, tepatnya
tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). UUD
1945 yang telah disahkan tersebut di dalamnya telah diatur lembaga-lembaga negara.
Mulai dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsep
penyelenggaraan negara yang bercorak demokrasi oleh lembaga-lembaga negara
tersebut sesungguhnya merupakan wujud dari sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Kehendak untuk mewadahi aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan pertama kali
dikemukakan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
Moh. Yamin juga menyampaikan bahwa diperlukan prinsip kerakyatan dalam
konsep penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Mr. Soepomo yang
mengutarakan gagasannya mengenai Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah.
Istilah prinsip musyawarah itu dinamakan Badan Permusyawaratan. Prinsip
kekeluargaan menjadi dasar ide tersebut. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa
setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya, demikian pula dengan Badan
Permusyawaratan.
Dalam rapat yang diadakan Panitia Perancang UUD, Mr. Soepomo menyampaikan
gagasannya mengenai Badan Permusyawaratan yang diubah namanya menjadi
“Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Diharapkan bahwa majelis ini akan menjadi
perwakilan yang merupakan jelmaan seluruh rakyat Indonesia. Anggotanya sendiri
terdiri atas wakil rakyat, wakil daerah, dan wakil golongan secara keseluruhan. Konsep
Majelis Permusyawaratan Rakyat ini kemudian ditetapkan dalam Sidang PPKI pada
saat pengesahan UUD 1945 (pra Amandemen).

Masa Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1965-1999)


MPR belum dapat dibentuk secara utuh pada masa Orde Lama karena situasi
saat itu tidak mendukung. Hal tersebut telah diantispasi para pejuang kemerdekaan
dengan dibuat Pasal IV Aturan Peralihan UUD RI 1945 (pra Amandemen) yang
berbunyi: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-
perubahan mendasar atas tugas KNIP. Sejak saat itu, lembaran baru dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia dimulai, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal
berlakunya UUD RI 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR,
yakni terbentuknya KNIP sebagai cikal bakal MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan
Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), MPR tidak dikenal sebagai lembaga
dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955
diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi
tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan UUD menemui
jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak mencapai jalan tengah, pada tanggal 22
April 1959 Pemerintah mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi usulan ini juga
tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan:
1. Pembubaran Konstituante.
2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak diberlakukan lagi UUD Sementara
1950.
3. Pembentukan dua lembaga, yaitu MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Untuk melaksanakan pembentukan MPRS sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang isinya
mengatur:
1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
2. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra
Tingkat I dan Golongan Karya.
4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah
menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh
Presiden.
5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh
Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berjumlah 616 orang, terdiri dari
257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.
Sebagai pembersihan dari G-30-S/PKI, diperlukan adanya perombakan total atas
seluruh kebijaksanaan kenegaraan. Setelah terjadi pemberontakan setelah G-30-S/PKI,
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dianggap tidak memadai lagi. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka dilakukan pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI.
Penegasan atas hal tersebut dituang dalam UU No. 4 Tahun 1966 yang isinya:
“sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka
MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR
hasil Pemilihan Umum terbentuk”.
Rakyat yang merasa dikhianati oleh peristiwa G-30-S/PKI kemudian
mengharapkan adanya pertangungjawaban Presiden Soekarno. Tetapi, pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” tidak
membuahkan hasil yang diharapkan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan
MPRS tertuang dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang isinya meminta
Presiden agar menyempurnakan pidato pertanggungjawaban tersebut.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam
suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi
ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. MPRS kemudian mengambil kesimpulan
bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam kewajiban Konstitusional. Sementara itu
DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam
menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan
Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan
bangsa, negara, dan Pancasila”.
MPRS kemudian melangsungkan Sidang Istimewa. Sidang tersebut bertujuan
untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS.
Pengganti Presiden Soekarno yang terpilih adalah Letnan Jenderal Soeharto sebagai
Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966.
MPRS juga memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk melakukan
pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

Masa Reformasi (1999-sekarang)


Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong
para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai
lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar
kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-
Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara
terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak
selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem
ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”, setelah perubahan
Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu
MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh
UUD 1945.
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD
1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang
mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan
sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan
yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

II. TUGAS DAN WEWENANG

 Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar


MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan
terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR.
Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas
pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR
memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang
diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama
30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan
MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR
untuk membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR
memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul
beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi
kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna
MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul
pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
 Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang
paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara
memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara
terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR.
Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November
2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).

 Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil


Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR
mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus
dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota yang hadir.
 Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak
dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat
mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah
Agung.
 Memilih Wakil Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang
paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil
Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
 Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

III. KEANGOTAAN
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi,
MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan
yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692
orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota
MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara
bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna
MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-
sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
Majelis Permusyawaratan Rakyat 2019–2024 atau lebih singkatnya disebut
dengan MPR-RI 2019–2024 adalah masa bakti para anggota legislatif Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang sekarang, berisikan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2019-2024.
Sebagai pemenang Pemilihan Umum 2019, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) memiliki jumlah kursi terbanyak dengan 128 kursi, di luar jumlah
anggota kelompok DPD yang merupakan golongan nonpartisan yang berjumlah 136
kursi. Koalisi Indonesia Kerja pimpinan PDIP memiliki suara mayoritas yang berjumlah
349 kursi, dibandingkan dengan Koalisi Indonesia Adil Makmur yang memiliki suara
minoritas dengan jumlah 226 kursi.
Berikut susunan sepuluh pimpinan MPR masa jabatan 2019-2024:
a. Ketua: Bambang Soesatyo, mewakili Golkar
Wakil
 Ahmad Basarah, mewakili PDI-P
 Ahmad Muzani, mewakili Gerindra
 Lestari Moerdijat, mewakili Nasdem
 Jazilul Fawaid, mewakili PKB
 Syarief Hasan, mewakili Demokrat
 Hidayat Nur Wahid, mewakili PKS
 Zulkifli Hasan, mewakili PAN
 Arsul Sani, mewakili PPP
 Fadel Muhammad, mewakili DPD

HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA


 Hak anggota
 Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
 Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
 Memilih dan dipilih.
 Membela diri.
 Imunitas.
 Protokoler.
 Keuangan dan administratif.
 Kewajiban anggota
 Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
 Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati peraturan perundang-undangan.
 Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan.
 Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

IV. FRAKSI DAN KELOMPOK ANGGOTA

 Fraksi
Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai
politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang
berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk
untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya
sebagai wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi
masing-masing.
Jumlah
Fraksi Ketua
Anggota
Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 136 Intsiawati Ayus
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
128 Ahmad Basarah
Perjuangan (F-PDIP)
Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 85 Idris Laena
Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F- Ahmad Riza
78
Gerindra) Patria
Fraksi Partai NasDem (F-NasDem) 59 Taufik Basari
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 58 Jazilul Fawaid
Benny Kabur
Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 54
Harman
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 50 Tifatul Sembiring
Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 44 Alimin Abdullah
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-
19 Arwani Thomafi
PPP)
 Kelompok anggota
Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh
anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan
efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil
daerah. Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok
Anggota.

V. ALAT KELENGKAPAN
 Pimpinan
Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan
4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari
anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan
dalam sidang paripurna MPR. Namun pada periode 2014 - 2019 pemilihan pimpinan
MPR dilaksanakan dengan mengajukan 2 paket yang di usung oleh dua koalisi besar
(KMP dan KIH) dengan struktur terdiri 4 orang dari DPR dan 1 orang dari DPD.
 Panitia Ad Hoc
Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen)
dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang
susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap
fraksi dan Kelompok Anggota MPR.

VI. SIDANG
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
 sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR
untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
 sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan
menetapkan UUD
 sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
 sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus
usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
 sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus
perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan
pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai hasil yang mufakat.

VII. SEKRETARIAT JENDRAL


Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan (disingkat Setjen MPR) adalah
Aparatur Pemerintah yang berbentuk Kesekretariatan Lembaga Negara. Setjen MPR
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang berada di bawah MPR dan
bertanggung jawab kepada Pimpinan MPR. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris
Jenderal MPR dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal MPR.
 Tugas
Sekretariat Jenderal MPR mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan teknis
dan administratif kepada MPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta
pembinaan terhadap seluruh unsur dalam lingkungan Sekretariat Jenderal MPR.
 Fungsi
Dalam melaksanakan tugas Sekretariat Jenderal MPR menyelenggarakan fungsi
1. Memenuhi segala keperluan/kegiatan majelis, alat kelengkapan majelis, dan
fraksi/kelompok anggota MPR;
2. Membantu Pimpinan, Badan Pekerja/Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis
menyempurnakan redaksi Rancangan-rancangan Putusan Badan
Pekerja/Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis;
3. Membantu Pimpinan Majelis menyempurnakan redaksional/teknis yuridis dari
rancangan-rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis;
4. Membantu Pimpinan Majelis menyiapkan rancangan anggaran belanja Majelis
untuk Sidang Umum/Istimewa;
5. Menyelenggarakan pelayanan kegiatan pengumpulan aspirasi masyarakat,
perundang-undangan dan pertimbangan hukum, persidangan dan
kesekretariatan fraksi/kelompok anggota;
6. Menyelenggarakan kegiatan hubungan masyarakat, keprotokolan, publikasi,
perpustakaan dan dokumentasi;
7. Menyelenggarakan administrasi keanggotaan majelis, administrasi kepegawaian,
keuangan dan ketatausahaan;
8. Menyiapkan perencanaan dan pengendalian kerumahtanggaan dan
kesekretariatan majelis;
9. Menyediakan perlengkapan, angkutan, perjalanan, pemeliharaan serta
pelayanan kesehatan;
10. Menyelenggarakan kegiatan pengkajian mengenai kemajelisan;
11. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Majelis;

 Struktur Organisasi
Struktur organisasi Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari
 Sekretaris Jenderal
 Wakil Sekretaris Jenderal
 Biro Persidangan
 Biro Sekretariat Pimpinan
 Biro Hubungan Masyarakat
 Biro Administrasi dan Pengawasan
 Biro Keuangan
 Biro Umum
 Pusat Pengkajian

SELANJUTNYA BACA DI BUKU

PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN INDONESIA


Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia)
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala
negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala
pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden (pasal 4) dan menteri-
menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-
tugas pemerintah sehari-hari. Presiden berhak mengajukan RUU dan menetapkan
peraturan pemerintahan untuk menjalankan UU (Pasal 5)
Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.

Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:


 Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. (pasal 4 ayat 1)
 Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara (pasal 10)
 Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas
RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU. (pasal 5)
 Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam
kegentingan yang memaksa). (pasal 22 ayat 1)
 Menetapkan Peraturan Pemerintah (pasal 5)
 Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. (pasal 17)
 Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
dengan persetujuan DPR. (pasal 11)
 Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR. (pasal 11)
 Menyatakan keadaan bahaya, yang syarat dan akibat ditetapkan dengan UU
(pasal 12)
 Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan DPR. (pasal 13)
 Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR. (pasal 13)
 Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung (pasal 14)
 Memberi remisi, amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
(pasal 14)
 Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan
UU (pasal 15)
 Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (pasal 23F ayat 1)
 Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan
disetujui DPR. (pasal 24A ayat 3)
 Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan
Mahkamah Agung. (pasal 24C ayat 3)
 Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan
DPR. (pasal 24B ayat 3)

Syarat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UU No 42 tahun


2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana
korupsi dan tindak pidana berat lainnya.
4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelenggara negara.
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara.
8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.
9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
10. Terdaftar sebagai Pemilih.
11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
12. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua)
kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
13. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
14. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
15. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun.
16. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
17. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung
dalam G30S/PKI.
18. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara
Republik Indonesia.

PEMILIHAN
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil
Presiden) dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan
UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara
Presiden dan MPR adalah setara.
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia
diselenggarakan pada tahun 2004.
Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan
sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi
Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak
ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres
Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran
Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

 Pemilihan Wakil Presiden yang lowong


Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Presiden mengajukan 2 calon
Wapres kepada MPR. Selambat-lambatnya, dalam waktu 60 hari MPR
menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Wapres.
 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lowong
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden keduanya berhalangan tetap secara
bersamaan, maka partai politik (atau gabungan partai politik) yang pasangan Calon
Presiden/Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres
sebelumnya, mengusulkan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden kepada MPR.
Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari, MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden.

PELANTIKAN
Sesuai dengan Pasal 9 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden terpilih
bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jika MPR atau DPR tidak
bisa mengadakan sidang, maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah
menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR
dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
 Sumpah Presiden (Wakil Presiden)
Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa.
 Janji Presiden (Wakil Presiden)
Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa
dan Bangsa.
PEMBERHENTIAN
Usul pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR. Apabila
DPR berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden (dalam
rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR), DPR dapat mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota.
Jika terbukti menurut UUD 1945 pasal 7A maka DPR dapat mengajukan
tuntutan pemakzulan (impeachment) tersebut kepada Mahkamah Konstitusi RI
kemudian setelah menjalankan persidangan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi
RI dapat menyatakan membenarkan pendapat DPR atau menyatakan menolak
pendapat DPR dan MPR-RI kemudian akan bersidang untuk melaksanakan keputusan
Mahkamah Konstitusi RI tersebut.
Syarat pemberhentian dan garis besar proses pemakzulan presiden dan/atau
wakil presiden dimuat dalam UUD 1945 Pasal 7A dan 7B.

HAK KEUANGAN / ADMINISTRATIF


Gaji pokok dan tunjangan Presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978
tentang tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas
Presiden dan Bekas Wakil Presiden yakni:
1. Gaji pokok Presiden adalah 6 x (enam kali) gaji pokok tertinggi Pejabat Negara
Republik Indonesia selain Presiden dan Wakil Presiden;
2. Tunjangan jabatan dan tunjangan lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri;
3. Selain gaji dan tunjangan, Presiden juga diberikan seluruh biaya yang
berhubungan dengan pelaksanaan tugas kewajibannya, seluruh biaya rumah
tangganya, dan seluruh biaya perawatan kesehatannya serta keluarganya.
Saat ini gaji pokok Presiden sebesar Rp30,24 juta. Tunjangan jabatan Rp32,50 juta
sehingga total gaji yang diterima presiden setiap bulan sebesar Rp62,74 juta.

Wakil Presiden Republik Indonesia adalah orang yang paling berpengaruh dan


memegang kekuatan terbesar kedua setelah Presiden di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Wakil Presiden merupakan garis pertama dalam pewarisan kekuasaan
Presiden. Pembentukan Wakil Presiden ditetapkan pada 1945 dengan dasar Undang-
Undang Dasar 1945 yang dirumuskan sebelumnya oleh Badan Persiapan Usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Wakil Presiden pertama Indonesia
adalah Mohammad Hatta yang ditetapkan bersama dengan
pengangkatan Soekarno sebagai Presiden pertama Indonesia pada 18 Agustus 1945,
sehari setelah kemerdekaan Indonesia.
Jabatan wakil presiden di Indonesia pernah mengalami kekosongan yaitu sejak
tahun 1949 sampai dengan 1967 semasa pemerintahan Soekarno. Setelah itu,
kala Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden, tahun 1967 sampai dengan 1968,
termasuk ketika secara definitif menjabat sebagai presiden (1973), jabatan ini juga
kosong. Jabatan wakil presiden baru terisi kembali pada waktu Hamengkubuwana
IX mendampingi Soeharto pada tahun, mulai 24 Maret 1973. Tercatat, selama Soeharto
memimpin Indonesia, ada enam wakil presiden yang mendampingi. Kekosongan pasca-
Soeharto pernah terjadi ketika Bacharuddin Jusuf Habibie menggantikannya pada
tahun 1998. Habibie dan Megawati Soekarnoputri merupakan dua wakil presiden yang
akhirnya menjabat sebagai presiden. Sedangkan Muhammad Jusuf Kalla, satu-satunya
wakil presiden yang mendampingi dua presiden, yaitu Susilo Bambang
Yudhoyono pada periode 2004-2009 dan Joko Widodo pada periode 2014-2019.
Jabatan ini kini dipegang oleh Ma'ruf Amin.

Berikut merupakan daftar Presiden dan wakil Indonesia.

Mulai Selesai
Presiden Partai Wakil Presiden Periode
menjabat menjabat

1 18 Partai
Soekarno 13 Juli
Agustus Nasional Mohammad Hatta
1949
1945 Indonesia

Syafruddin
Prawiranegara
(Ketua  PDRI
atau 19
Pemerintahan 13 Juli
Desember Nonpartisan Lowong
Darurat 1949
1948
Republik
IndonesiaI)

27 Partai
13 Juli
Soekarno Desember Nasional Mohammad Hatta
1949
1949 Indonesia 1

Soekarno 27 15 Partai Lowong


(Presiden RIS)[2] Desember Agustus Nasional
1949 1950 Indonesia
Assaat
(Pemangku
Sementara
Jabatan Presiden Nonpartisan
RI)[2]

DI YOGTAKARTA

15 1
Agustus Desember Mohammad Hatta
1950 1956
Partai
Soekarno Nasional
Indonesia
1
12 Maret
Desember
1967
1956

2 Soeharto 12 Maret 27 Maret Golongan Lowong


(Pejabat Karya
Presiden)[3]
1967 1968

Soeharto 27 Maret 23 Maret


2
1968 1973

23 Maret 22 Maret Hamengkubuwana


3
1973 1978 IX

22 Maret 10 Maret
Adam Malik 4
1978 1983

10 Maret 10 Maret Umar


5
1983 1988 Wirahadikusumah

10 Maret 10 Maret
Soedharmono 6
1988 1993

10 Maret 10 Maret Try Sutrisno 7


1993 1998
10 Maret 21 Mei Bacharuddin Jusuf
1998 1998 Habibie

8
Bacharuddin
Jusuf Habibie 21 Mei 20 Oktober Golongan
3 Lowong
1998 1999 Karya

Abdurrahman
Wahid Partai
20 Oktober 23 Juli Megawati
4 Kebangkitan
1999 2001 Soekarnoputri
Bangsa
9

(1999)
Megawati Partai
Soekarnoputr 23 Juli 20 Oktober Demokrasi
5 Hamzah Haz
i 2001 2004 Indonesia
Perjuangan
Susilo 20 Oktober 20 Oktober Muhammad Jusuf 10
Bambang 2004 2009 Partai Kalla (2004)
6
Yudhoyono 20 Oktober 20 Oktober Demokrat 11
Boediono
2009 2014 (2009)

20 Oktober 20 Oktober Partai Muhammad Jusuf 12


Joko Widodo 2014 2019 Demokrasi Kalla (2014)
7
20 Oktober Indonesia 13
Petahana Perjuangan Ma'ruf Amin
2019 (2019)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)

SEJARAH
Masa awal kemerdekaan (1945–1949)
Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD
1945 belum dibentuk. Dengan demikian, Sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam
UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal
bakal badan legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan
terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak 6 kali,
dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan
Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU disamping pengajuan mosi, resolusi,
usul dan lain-lain.
Masa Republik Indonesia Serikat (1949–1950)
Badan legislatif pada masa Republik Indonesia Serikat terbagi menjadi dua
majelis, yaitu Senat yang beranggotakan 32 orang, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang
beranggotakan 146 orang (di mana 49 orang adalah perwakilan Republik Indonesia-
Yogyakarta).[2] Hak yang dimiliki DPR adalah hak budget, inisiatif, dan amendemen,
serta wewenang untuk menyusun RUU bersama pemerintah.[2] Selain itu DPR juga
memiliki hak bertanya, hak interpelasi dan hak angket, namun tidak memiliki hak untuk
menjatuhkan kabinet.[2] Dalam masa kerja yang amat singkat itu, kurang lebih setahun,
berhasil diselesaikan 7 buah undang-undang, yang di antaranya adalah UU No. 7 tahun
1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia; diajukan 16 mosi, dan 1 interpelasi, baik oleh Senat
maupun DPR.[2]
Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950–1956)
Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan
UUDS NKRI (UU No. 7/1950, LN No. 56/1950). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR
dan Senat RIS mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya
NKRI yang bertujuan: 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk
federasi; 2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS
yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang,
yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogyakarta.
Masa DPR hasil pemilu 1955 (1956–1959)
DPR ini adalah hasil pemilu 1955 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak
272 orang. Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante.
Tugas dan wewenang DPR hasil pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara
keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah
fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan
bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu
kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda.
Masa DPR hasil Dekret Presiden 1959 berdasarkan UUD 1945 (1959–1965)
Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah.
Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR
hanya menyetujui 36 miliar rupiah APBN dari 44 miliar yang diajukan. Sehubungan
dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur
Susunan DPR-GR.
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden
dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR
adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana
menyimpang dari pasal 5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR
menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965–1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang
anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa
kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a.
Periode 15 November 1965 – 26 Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966 – 2 Mei
1966. c. Periode 2 Mei 1966 – 16 Mei 1966. d. Periode 17 Mei 1966 – 19 November
1966. Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai
pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk
membentuk 2 buah panitia: a. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam
berbagai masalah bidang politik. b. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan,
bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang
pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
Masa Orde Baru (1966–1999)
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan
dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan
menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang
DPR-GR 1966–1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan
tugas-tugas utama sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23
ayat 1 UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat
1, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD
1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai "tukang s tempel" kebijakan
pemerintah yang berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar yang merupakan
pendukung pemerintah.[butuh rujukan]
Masa reformasi (1999–sekarang)
Banyaknya skandal korupsi, penyuapan dan kasus pelecehan seksual
merupakan bentuk nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan yang
sebelumnya. Mantan ketua MPR-RI 1999–2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR
yang sekarang hanya merupakan stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan
fungsi pengawasannya demi membela kepentingan rakyat. Hal itu tercermin dari
ketidakmampuan DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro
rakyat seperti kenaikan BBM, kasus lumpur Lapindo, dan banyak kasus lagi. Selain itu,
DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan
beberapa undang-undang. Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat
sangat tidak puas terhadap para anggota legislatif. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat
dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR. Banyaknya judicial review yang diajukan oleh
masyarakat dalam menuntut keabsahan undang-undang yang dibuat oleh DPR saat ini
juga mencerminkan bahwa produk hukum yang dihasilkan mereka tidak memuaskan
rakyat.
DPR juga kerap dikritik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena
dianggap malas dalam bekerja. Hal ini terbukti dari pemberian fasilitas mewah, seperti
gaji besar, kendaraan, dan perumahan, namun tidak sebanding dengan hasil yang
diberikan. Hal lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah banyaknya anggota yang
"bolos" dalam sidang paripurna, atau sekadar "menitip absen", sehingga seolah-olah
hadir, namun kenyataannya tidak. Kalaupun hadir, sebagian oknum anggota ternyata
tidur saat sidang, main game, atau melakukan tindakan lain selain mengikuti proses
rapat paripurna.
Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan sebagai lembaga legislatif
yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan
undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi
pengawasan dapat dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan
tindakan kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak sesuai
dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan
dengan baik apabila produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi
aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.
PERSYARATAN
Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun Syarat Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri
3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana
korupsi dan tindak pidana berat lainnya
4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden
5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelenggara negara
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara
8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
10. Terdaftar sebagai Pemilih
11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
12. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
13. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
14. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun
15. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat
16. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam
G.30.S/PKI
17. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara
Republik Indonesia

FUNGSI DAN HAK


DPR mempunyai fungsi yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan
dalam kerangka representasi rakyat.
 Legislasi
Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden
saja
 Anggaran
Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang
diajukan oleh Presiden.
 Pengawasan
Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang dan APBN.

DPR mempunyai beberapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, hak imunitas,
dan hak menyatakan pendapat.
Hak interpelasi
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak angket
Hak angket adalah hak DPR menjelaskan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak imunitas
Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut
di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang
dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik.
Hak menyatakan pendapat
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
 Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air
atau di dunia internasional
 Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket
 Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

ANGGOTA
Hak anggota
Anggota DPR mempunyai hak:
 mengajukan usul rancangan undang-undang
 mengajukan pertanyaan
 menyampaikan usul dan pendapat
 memilih dan dipilih
 membela diri
 imunitas
 protokoler
 keuangan dan administratif
Kewajiban anggota
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
 memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
 melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati peraturan perundangundangan
 mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
 mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan
 memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat
 menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
 menaati tata tertib dan kode etik
 menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
 menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara
berkala
 menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
 memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di
daerah pemilihannya
Larangan
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada
BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural
pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara,
notaris, dokter praktik dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPR.
Penyidikan
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan,
permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari
Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana
korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.

FRAKSI

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta


hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota
DPR. Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta
hak dan kewajiban anggota DPR, fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota
fraksinya dan melaporkan kepada publik. Setiap anggota DPR harus menjadi anggota
salah satu fraksi. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Fraksi mempunyai
sekretariat. Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli
guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.

Jumlah
Fraksi Ketua
Anggota

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-


128 Utut Adianto
PDIP)

Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 85 Aziz Syamsuddin


Jumlah
Fraksi Ketua
Anggota

Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-


78 Ahmad Muzani
Gerindra)

Fraksi Partai NasDem (F-NasDem) 59 Ahmad HM Ali

Cucun Ahmad
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 58
Syamsurijal

Edhie Baskoro
Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 54
Yudhoyono

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 50 Jazuli Juwaini

Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 44 Mulfachri Harahap

Arsul Sani
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) 19

ALAT KELENGKAPAN

1. Pimpinan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik
berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Ketua DPR ialah anggota DPR
yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh
kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Dalam hal terdapat lebih dari 1
(satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum.
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua
dan wakil ketua ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Dalam hal pimpinan DPR belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan
sementara DPR. Pimpinan sementara DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1
(satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi
terbanyak pertama dan kedua di DPR. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPR
ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPR.
Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan keputusan DPR. Pimpinan DPR
sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya dipandu oleh
Ketua Mahkamah Agung.

TUGAS
 memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan
 menyusun rencana kerja pimpinan
 melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan
materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR
 menjadi juru bicara DPR
 melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR
 mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya
 mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan keputusan DPR
 mewakili DPR di pengadilan
 melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau
rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
 menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang
pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna
 menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus
diadakan untuk itu

PEMBERHENTIAN
Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena:
 meninggal dunia
 mengundurkan diri
 diberhentikan
Pimpinan DPR diberhentikan apabila:
 tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa
pun
 melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan
rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR
 dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
 diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
 ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya
 melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
 diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, anggota pimpinan
lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas
pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif. Dalam
hal salah seorang pimpinan DPR berhenti, penggantinya berasal dari partai politik yang
sama. Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan
sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal pimpinan DPR dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali
tugasnya sebagai pimpinan DPR.

2. Komisi
Komisi adalah unit lerja utama dalam DPR. Hampir seluruh ativitas yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi DPR, dikerjakan dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali
pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komis. Pengisian anggota komisi
berhubungan dengan latar bel;akang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap
masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.
Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan,
penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
Tugas Komisi di bidang anggaran lain:
 mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan
anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup
tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
 mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan
anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup
tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
 membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program
kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
 mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN
termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
 menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan dan hasil pembahasan kepada
Badan Anggaran untuk sinkronisasi;
 membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program,
kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi berdasarkan hasil
sinkronisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga oleh Badan Anggaran;
 menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi untuk
bahan akhir penetapan APBN; dan
 membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat
tahunan dan tahun jamak yang menjadi mitra komisi bersangkutan.[1]
Tugas komisi di bidang pengawasan antara lain:
 melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk
APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup
tugasnya;
 membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan
ruang lingkup tugasnya;
 memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan
tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan
dengan ruang lingkup tugasnya;
 melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
 membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.[1]
Komisi dalam melaksanakan, dapat mengadakan:
1. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
2. konsultasi dengan DPD;
3. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
4. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas
permintaan pihak lain;
5. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat
Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup
tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
6. kunjungan kerja.
Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi. Keputusan dan/atau
kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat
antara DPR dan Pemerintah. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa
keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. Komisi
menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan
yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
KOMISI-KOMISI DI DPR LIAT DI BUKU
3. Badan Musyawarah
Badan Musyawarah dan merupakan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan
Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
sidang. Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh)
dari jumlah anggota berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang
ditetapkan oleh rapat paripurna.
Ketua dan/atau sekretaris fraksi karena jabatannya menjadi anggota Badan
Musyawarah. Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan
Musyawarah dan dalam hal ini Pimpinan DPR tidak merangkap sebagai anggota dan
tidak mewakili fraksi.
Sebagian besar keputusan penting DPR dibahas terlebih dahulu di Bamus,
sebulum dibahas dalam rapat paripurna sebagai forum tertinggi DPR yang dapat
mengubah putusan Bamus.
TUGAS
 menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa
persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian
suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan
tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;
 memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan
yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR;
 meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang
lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas
masing-masing;
 mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang
mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi
dengan DPR;
 menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan
tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR;
 mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup
tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal
masa keanggotaan DPR; dan
 melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan
Musyawarah.

4. Badan Anggaran
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan
perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi
Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat
kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan
Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap fraksi.
TUGAS
 membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan
pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan
bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
 menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada
usulan komisi terkait;
 membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang
dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan
Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan
kementerian/lembaga;
 melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana
kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
 membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
 membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

5. Badan Kehormatan
Mahkamah Kehormatan Dewan (disingkat MKD) adalah salah satu alat
kelengkapan DPR RI yang bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dahulu Mahkamah
Kehormatan Dewan bernama Badan Kehormatan.
TUGAS
Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan terhadap anggota karena:
1. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 UU No.
17 Tahun 2014;
2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan
yang sah;
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR sebagaimana ketentuan
mengenai syarat calon anggota DPR yang diatur dalam undang–undang
mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau d.
melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Selain tugas tersebut di atas, Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. Mahkamah Kehormatan
Dewan juga berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama
dengan lembaga lain.
Badan Kehirmatan juga memberikan laporan akhir berupa rekomendasi
pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau
merehabilitasi nama baik anggota. Rapat dewan kehormatan bersifat tertutup. Tugas
dewan kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomdasi kepada
pimpinan DPR
6. Badan Legislasi (Ketua: Supratman Andi Agtas)
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif
dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
TUGAS
 menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan
prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk satu masa
keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan
mempertimbangkan masukan dari DPD;
 mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan
Pemerintah;
 menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas
yang telah ditetapkan;
 melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau
DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan
DPR;
 memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan
oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan
undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang
terdaftar dalam program legislasi nasional;
 melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan
undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah;
 mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi
muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau
panitia khusus;
 memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang
usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
 membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-
undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan
Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

7. Badan Urusan Rumah Tangga (Ketua: Roem Kono)


Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat BURT DPR),
dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BURT ditetapkan
dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh ketua DPR dan paling
banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan
prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
TUGAS
 membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan
kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun
multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau
anggota parlemen negara lain;
 menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
 mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
 memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama
antarparlemen.
8. Badan Kerja Sama Antar Parlemen (Ketua : Nurhayati Ali Assegaf)
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, atau disingkat BKSAP, adalah badan yang
dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Jumlah
anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR
dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan
kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil
ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
TUGAS
 membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan
kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun
multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau
anggota parlemen negara lain;
 menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
 mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
 memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama
antarparlemen.

9. Panitia Khusus

Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat sementara. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus
berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah
anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh)
orang.
Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif
dan kolegial. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling
banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan panitia khusus
sebagaimana dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR
setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.
Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu
yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau
karena tugasnya dinyatakan selesai. Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil
kerja panitia khusus.

SEKRETARIAT JENDRAL DPR


Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (disingkat Setjen DPR RI) adalah unsur penunjang DPR, yang berkedudukan
sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan
DPR.
Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan
beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Pimpinan DPR.
DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, dan
dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Jenderal dapat membentuk Tim Asistensi.
Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan
Presiden.
Kedudukan
Sebagai unsur penunjang DPR yang berkedudukan sebagai Kesekretariatan Lembaga
Negara.
Tugas
Memberikan Bantuan teknis kepada DPR RI Memberikan Bantuan Administratif kepada
DPR RI Memberikan Bantuan Keahlian kepada DPR RI Visi Sekretariat Jenderal DPR
RI Menjadikan Sekretariat Jenderal yang profesional dan akuntabel

BADAN KEAHLIAN
Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan
aparatur pemerintah yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya bertanggung jawab
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan secara
administratif beradadi bawah Sekretariat Jenderal.

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)


Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau DPD),
sebelum 2004 disebut  Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari
setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.

SEJARAH
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128
anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada
awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan
tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi
kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan
kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul
terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional,
sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan.
Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945
oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen,
pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan
konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang
bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri
atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-
golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang
longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS),
gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang
mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.

VISI DAN MISI


LIHAT DI BUKU

HAK DAN KEWAJIBAN


LIHAT DI BUKU

FUNGSI
 Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang
berkaitan dengan bidang legislasi tertentu
 Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu. Anggota DPD dari
setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini
adalah seharusnya 136 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan
berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

PERSYARATAN
Syarat Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun
2017 tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri
3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana
korupsi dan tindak pidana berat lainnya
4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden
5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa
laporan kekayaan penyelenggara negara
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara
8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
10. Terdaftar sebagai Pemilih
11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban
membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
12. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
13. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
14. Berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun
15. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat
16. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam
G.30.S/PKI
17. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara
Republik Indonesia

ANGGOTA
Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan dua orang wakil ketua. Selain
bertugas memimpin sidang, pimpinan DPD juga sebagai juru bicara DPD.
Anggota DPD dipilih setiap provinsi melalui pemil, setiap provinsijumlahnya sama dan
humlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. DPD bersidang
setidaknya sekali dalam setahun (Pasal 22C)
Kekebalan hukum
Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat
DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik
masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang
bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk
dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.

ALAT KELENGKAPAN

a. Komite I
Tugas
Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang
mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.[3]
Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan
memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut[3]:
 Pemerintah daerah;
 Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;
 Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
 Pemukiman dan kependudukan;
 Pertanahan dan tata ruang;
 Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan
 Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara.
Pimpinan
 Ketua Komite I: Teras Narang
 Wakil Ketua I : Fachrul Razi
 Wakil Ketua II: Djafar Alkatiri
 Wakil Ketua III: Abdul Kholik

b. Komite II
Tugas
Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang
mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan
sumber daya ekonomi lainnya.[5]
Lingkup tugas Komite II sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan
urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut[5]:
 Pertanian dan Perkebunan;
 Perhubungan;
 Kelautan dan Perikanan;
 Energi dan Sumber daya mineral;
 Kehutanan dan Lingkungan hidup;
 Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal;
 Perindustrian dan Perdagangan;
 Penanaman Modal; dan
 Pekerjaan Umum.
Pimpinan
Ketua Komite II : Yorrys Raweyai
Wakil Ketua I: Abdullah Puteh
Wakil Ketua II: Bustami Zaenuddin
Wakil Ketua III: Hasan Basri

c. Komite III
Tugas
Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang
mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan agama.[6]
Lingkup tugas Komite III sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan
urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut[6]:
 Pendidikan;
 Agama;
 Kebudayaan;
 Kesehatan;
 Pariwisata;
 Pemuda dan olahraga;
 Kesejahteraan sosial;
 Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
 Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
 Ekonomi Kreatif;
 Administrasi Kependudukan/Pencatatan Sipil;
 Pengendalian Kependudukan/Keluarga Berencana; dan
 Perpustakaan.
Pimpinan
Ketua Komite III: Bambang Sutrino
Wakil Ketua I: Evi Apita Maya
Wakil Ketua II: Muhamammad Gazali
Wakil Ketua III: M Rahman

d. Komite IV
Tugas
Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang
mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
APBN; perimbangan keuangan pusat dan daerah; memberikan pertimbangan hasil
pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK; pajak; dan usaha mikro,
kecil dan menengah.[7]
Lingkup tugas Komite IV sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan
urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut[7]:
 Anggaran pendapat dan belanja negara;
 Pajak dan pungutan lain;
 Perimbangan keuangan pusat dan daerah;
 Pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK;
 Lembaga keuangan; dan
 Koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.
Pimpinan
Ketua Komite IV: Elviana
Wakil Ketua I: Sukiryanto
Wakil Ketua II: Casytha A Kathmandanu
Wakil Ketua III: Novita Anakotta

e. Panitia Perancang Undang-Undang


Tugas
Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat
kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan mempunyai tugas[8]:
1. Merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul
rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap
tahun anggaran;
2. Membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang
telah ditetapkan;
3. Melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
4. Melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan
undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah
dan/atau Sidang Paripurna;
5. Melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang dari DPR atau
Presiden yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah atau Sidang
Paripurna;
6. Melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti
perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas
oleh komite;
7. Melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-
undang;
8. Melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna dan/atau Panitia
Musyawarah;
9. Mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk
dimasukkan dalam acara DPD;
10. Mengadakan persiapan, pembahasan dan penyusunan RUU yang tidak menjadi
lingkup tugas komite;
11. Mengoordinasikan proses penyusunan RUU yang pembahasannya melibatkan
lebih dari 1 (satu) Komite; dan
12. Membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir
tahun sidang dan akhir masa keanggotaan untuk dapat dipergunakan sebagai
bahan Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas Panitia Perancang Undang-Undang
mempunyai tugas:
1. Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permintaan daerah tentang
berbagai kebijakan hukum dan tentang masalah hukum yang berkaitan dengan
kepentingan daerah dan kepentingan umum;
2. Memberikan masukan yang objektif kepada pimpinan, pemerintah daerah, dan
masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan hukum dan saran-saran lain
yang berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang di DPD; dan
3. Mengoordinasikan secara substansi dan fungsional Pusat Perancangan
Kebijakan dan Informasi Hukum Pusat-Daerah (Law Center) DPD.
Pimpinan
Ketua PPUU DPD: Haji Alirman Sori
Wakil Ketua : AJbar, Eni Sumarni, Asyera Respati A Wulandero.

f. Panitia Urusan Rumah Tangga


Tugas
Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) merupakan Alat Kelengkapan DPD RI
yang bersifat tetap dan mempunyai tugas[9]:
1. membantu pimpinan dalam menentukan kebijakan kerumah tanggaan DPD RI,
termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
2. membantu pimpinan dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal, termasuk
pengelolaan kantor DPD RI di daerah;
3. membantu pimpinan dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran
DPD;
4. mengawasi pengelolaan anggaran yang dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal;
5. mewakili pimpinan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan
prasarana kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD;
6. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan
DPD yang ditugaskan oleh pimpinan berdasarkan hasil Sidang Panitia
Musyawarah; dan
7. menyampaikan laporan kinerja dalam Sidang Paripurna yang khusus diadakan
untuk itu.
Pimpinan
Ketua PURT DPD: Habib Ali Alwi
Wakil Ketua: Andi Muh Ihsan sebagai, Riri Damayanti, dan Stefanus B.A.N. Liow.

g. Badan Kehormatan
Tugas
Badan Kehormatan (BK) merupakan Alat Kelengkapan DPD yang bersifat tetap dan
mempunyai tugas[10]:
1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota DPD
karena:
o tidak melaksanakan kewajiban;
o tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangantetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apapun;
o tidak menghadiri Sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam ) kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah;
o tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
o melanggar ketentuan larangan Anggota.
2. menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap Anggota;
3. menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan teradap Anggota pada Sidang Paripurna untu ditetapkan.
4. selain tugas-tugas sebagaimana di atas BK juga melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.
Pimpinan
Ketua Badan Kehormatan DPD: Leonardy Harmainy Dt Bandaro Basa
Wakil Ketua: Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Fernando Sinaga, dan Husain Alting Sjah.

h. Badan Kerjasama Parlemen


Tugas
Badan Kerjasama Parlemen dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD
yang bersifat tetap dan mempunyai tugas[11]:
1. Membina, mengembangkan dan meningkatkan hubungan persahabatan dan
kerja sama antara DPD dan lembaga sejenis, lembaga pemerintah ataupun
lembaga nonpemerintah, baik secara regional maupun internasional, atas
penugasan Sidang Paripurna ataupun atas dasar koordinasi dengan Panitia
Musyawarah, dan Komite;
2. Mengoordinasikan kegiatan kunjungan kerja yang dilakukan oleh alat
kelengkapan baik regional maupun internasional;
3. Mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kunjungan delegasi lembaga
negara sejenis yang menjadi tamu DPD;
4. Memberikan saran atau usul kepada pimpinan tentang kerjasama antara DPD
dan lembaga negara sejenis, baik secara regional maupun internasional;
5. Mengadakan sidang gabungan dengan pimpinan, Panitia Musyawarah, Panitia
Urusan Rumah Tangga, Panitia Perancang Undang-Undang, dan Komite dalam
rangka pembentukan delegasi DPD; dan
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan antar lembaga diatur lebih lanjut
dengan keputusan Panitia Hubungan Antar Lembaga.
Pimpinan
Ketua BKSP DPD: Gusti Farid Hasan Aman
Wakil Ketua: Richard Hamonangan Pasaribu, Ali Ridho Azhari, Wa Ode Rabia Al
Adawia Ridwan.

i. Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan


Tugas
Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah(BPKK
DPD) bertugas antara lain mengkaji sistem ketatanegaraan guna mewajudkan lembaga
perwakilan daerah yang mengejawantahkan nilai demokrasi. Dalam melaksanakan
tugasnya, Kelompok DPD dibantu anggota/pimpinan BPKK DPD[4].
Pimpinan
Ketua BULD DPD: Martin Billa
Wakil Ketua: Ahmad Kanedi, Filep Mawafma, Abdul Hakim.

j. Badan Akuntabilitas Publik


Tugas
Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan
DPD yang bersifat tetap mempunyai tugas[12]:
1. Melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi
kerugian negara secara melawan hukum;
2. Menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi
dan malaadministrasi dalam pelayanan publik;
Pimpinan
Ketua BAP DPD: Sylviana Murni
Wakil Ketua: Zainal Arifin, Zuhri M. Syazali, dan Angelius Wake Kako.

k. Panitia Musyawarah
Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap dan mempunyai tugas[13]:
1. Merancang dan menetapkan jadwal acara serta kegiatan DPD, termasuk sidang
dan rapat, untuk:
o 1 (satu) tahun sidang;
o 1 (satu) masa persidangan; dan
o sebagian dari suatu masa sidang.
2. Merancang rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan
DPD selama 1 (satu) masa keanggotaan;
3. Rencana kerja lima tahunan sebagai program dan arah kebijakan DPD selama 1
(satu) masa keanggotaan dapat direvisi setiap tahun;
4. Menyusun rencana kerja tahunan sebagai penjabaran dari rencana kerja lima
tahunan;
5. Merancang dan menetapkan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah;
6. Merancang dan menetapkan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-
undang, dengan tidak mengurangi hak sidang Paripurna untuk mengubahnya;
7. Memberikan pendapat kepada pimpinan dalam penanganan masalah
menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPD;
8. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPD yang
lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut
pelaksanaan tugas setiap alat kelengkapan tersebut
9. Menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas DPD oleh alat
kelengkapan DPD;
10. Membahas dan menentukan mekanisme kerja antar alat kelengkapan yang tidak
diatur dalam Tata Tertib; dan
11. Merumuskan agenda kegiatan Anggota di daerah.
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas, Panitia Musyawarah mempunyai tugas
menyusun rencana kegiatan untuk disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga
dalam penentuan dukungan anggaran.

SEKRETARIAT JENDRAL DPD


Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (di
singkat Setjen DPD RI) adalah sistem pendukung yang dibentuk untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas DPD RI. Susunan organisasi dan tata
kerja Setjen DPD RI diatur dengan peraturan Presiden atas usul DPD RI. Dalam
melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal DPD bertanggung jawab kepada
pimpinan DPD RI.
Setjen DPD RI pertama kali dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
dan terakhir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah merupakan aparatur pemerintah yang diamanatkan untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan tugas lembaga DPD RI.
Dasar Hukum
Undang-Undang nomor 17 tahun 2014
Tugas
Setjen DPD RI Mempunyai Tugas menyelenggarakan dukungan administratif dan
keahlian kepada DPD RI.
Fungsi
Dalam melaksanakan tugas, Setjen DPD RI mempunyai fungsi:
1. Koordinasi dan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas unit organisasi di
Lingkungan Sekretariat Jenderal DPD RI
2. Pemberian dukungan administratif dan keahlian di bidang perundang-undangan,
pertimbangan dan pengawasan dalam fungsi politik lembaga dan anggota DPD
RI
3. Pembinaan dan pelaksanaan perencanaan, pengawasan, administrasi
keanggotaan, kepegawaian, ketatausahaan, perlengkapan, kerumahtanggaan
dan keuangan di lingkungan DPD RI

KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU)


Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (disingkat KPU RI) adalah lembaga
negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia.

Latar Belakang
KPU yang ada sekarang merupakan KPU keempat yang dibentuk sejak
era Reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun
1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU
pertama dilantik Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan
Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM.
KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April
2001.
KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan
tujuh orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan
birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik
Presiden karena masalah hukum.
Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus
diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi
pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil
tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas,
dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral
sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga
membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang
jujur dan adil.
Tepat tiga tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul
pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan
umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu,
KPU dituntut independen dan non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya
keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar
Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional
mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara
Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara
berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri
menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh
pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan
dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga
pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai
dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh
tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga
mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta
KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc.
Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan
Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan
kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik
Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi,
dan Bawaslu.
Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan
DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU
berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7
orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan
kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan
mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung
sejak pengucapan sumpah/janji.
Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas: mandiri; jujur; adil; kepastian
hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan;
proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.
Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi
calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu
Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13
ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim
Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang
pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270
orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang
lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam
jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.

Tugas dan Wewenang


Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi
Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU
mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut:
 Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
 Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai
peserta Pemilihan Umum;
 Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di
Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
 Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap
daerah pemilihan;
 Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan
untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
 Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan
Umum;
 Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga
ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam
Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan,
KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.
Ketua
No Nama Masa jabatan
1 Rudini 1999–2001 1
2 Nazaruddin Sjamsuddin 2001–2005
2
Pjs. Ramlan Surbakti 2005–2007
3 Abdul Hafiz Anshari 2007–2012 3
4 Husni Kamil Manik 2012–2016
Plt. Hadar Nafis Gumay 2016 4
5 Juri Ardiantoro[1] 2016–2017
6 Arief Budiman[2] 2017–2022 5

Periode
1999–2001
Sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota yang merupakan
anggota sebuah partai politik, namun setelah dikeluarkannya UU No. 4/2000 pada
tahun 2000, maka diharuskan bahwa anggota KPU adalah non-partisan.
2001–2007
Pada awal 2005, KPU digoyang dengan tuduhan korupsi yang diduga melibatkan
beberapa anggotanya, termasuk ketua KPU periode tersebut, Nazaruddin Sjamsuddin.
2007–2012
Selanjutnya setelah 7 (tujuh) peringkat teratas anggota KPU terpilih, disahkan dalam
Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 9 Oktober 2007. Namun hanya 6 (enam) orang
yang dilantik dan diangkat sumpahnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 23 Oktober 2007
2012–2017
7 anggota KPU yang telah dilantik bersama 5 anggota Bawaslu oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada Kamis, 12 April 2012:
BANK SENTRAL (BANK INDONESIA)
Bank Indonesia (BI) adalah bank sentral Republik Indonesia sesuai Pasal 23D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia[2]. Sebelum dinasionalisasi sesuai Undang-
Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, bank ini bernama De Javasche Bank
(DJB) yang didirikan berdasarkan Oktroi pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
[3]
 Sebagai bank sentral, BI mempunyai tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua dimensi, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa domestik (inflasi), serta kestabilan
terhadap mata uang negara lain (kurs).[4]
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga
bidang tugasnya. Ketiga tugas ini adalah:
1. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
3. menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia. [5][6]
Ketiga tugas tersebut dijalankan secara terintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah
tugas mengatur dan mengawasi perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
tugas BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan tetap berlaku, namun difokuskan
pada aspek makroprudensial sistem perbankan[6].
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk
mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI
dipimpin oleh Dewan Gubernur yang diketuai oleh seorang Gubernur Bank Indonesia.
Sejak 24 Mei 2018, Perry Warjiyo menjabat sebagai Gubernur BI menggantikan Agus
Martowardojo.

Sejarah
Pada tahun 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda
sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Pada tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian
Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral,
dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di
samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan
Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB
sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur
kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank
lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank
Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan
kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai
dengan UU No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamendemen dengan fokus
pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amendemen
dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi
krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek dari Bank Indonesia.

Status dan Kedudukan Bank Indonesia


 Sebagai Lembaga negara yang independent
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen
dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang No. 23/1999
tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-
undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara
independen dan bebas dari campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya.
Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai
otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan
wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar
tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank
Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam
bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih
menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan
khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.
Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak
sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia
juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada di
luar Pemerintah. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank
Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter
secara lebih efektif dan efisien.
 Sebagai badan hokum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan
hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik
Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang
merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat
luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank
Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di
luar pengadilan.

Tujuan dan Tugas


Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu
tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai
rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang
dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin
pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini
dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta
batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank
Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:
 Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
 Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
 Menjaga stabilitas sistem keuangan.

Pengaturan Pengawasan Bank


Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia
menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau
kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan
mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan
mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan,
penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan
dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan
kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung
maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk
pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak
langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang
disampaikan oleh bank.
Upaya restrukturisasi perbankan
Sebagai upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem
keuangan dan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh
langkah restrukturisasi perbankan yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan
guna memfungsikan kembali perbankan sebagai lembaga perantara yang akan
mendorong pertumbuhan ekonomi, disamping sekaligus meningkatkan efektivitas
pelaksanaan kebijakan moneter.
Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan
kepercayaan masyarakat, program rekapitalisasi, program restrukturisasi kredit,
penyempurnaan ketentuan perbankan, dan peningkatan fungsi pengawasan bank.

Otoriras Moneter
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk memutuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter yang tepat. Kebijakan itu bisa berupa Open Market
Operation, Discount Policy, Sanering, dan Selective Credit.

Sistem Pembayaran
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk
menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan
kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu
didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN,
maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical.
Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN.
Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta
melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang
bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu
menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai
penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank
sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan
mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut,
menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari
komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan
di Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak
yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga
berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem
pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh
atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk
lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti
menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola
(governance) SPN.
Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga
yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut,
menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam
mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk
dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup,
jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean
money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan
pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari
pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan
pemusnahan uang.
Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan
perencanaan agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga
kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia
meliputi perencanaan pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat
pemalsuan, nilai intrinsik serta masa edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan
terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang yang akan dicetak selama satu tahun
kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian dilakukan pengadaan uang
baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin terhadap uang emisi
lama yang telah dikeluarkan.
Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau
diedarkan di seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di
setiap kantor Bank Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan
pembayaran, penukaran dan penggantian uang selama jangka waktu tertentu.
Kegitan distribusi dilakukan melalui sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk
menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa dilakukan baik melalui pengawalan yang
memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem monitoring.
Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank
umum maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui
penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat
dilakukan melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh
kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan
jasa penukaran uang kecil.
Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia
adalah pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang
tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran
dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta
menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut
dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia atau pihak lain yang telah
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang
layak edar di masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang.
Uang yang dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari
peredaran, uang hasil cetak kurang sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar.
Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak
ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank Indonesia (BI).

Dewan Gubernur
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan
Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin, dibantu oleh
seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-kurangnya empat atau
sebanyak-banyaknya tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan Gubernur dan Deputi
Gubernur selama-lamanya lima tahun, dan mereka hanya dapat dipilih untuk sebanyak-
banyaknya dua kali masa tugas.
Pengangkatan dan Pemberhentian Dewan Gubernur
Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat
oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
tidak dapat diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan
tetap, atau melakukan tindak pidana kejahatan.
Pengambilan keputusan
Sebagai suatu forum pengambilan keputusan tertinggi, Rapat Dewan Gubernur (RDG)
diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan
kebijakan umum di bidang moneter, serta sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu
untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter atau menetapkan
kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis. Pengambilan keputusan dilakukan
dalam Rapat Dewan Gubernur, atas dasar prinsip musyawarah demi mufakat. Apabila
mufakat tidak tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir.

Gubernur Bank Indonesia


 2018- Sekarang Perry Warjiyo
 2013-2018 Agus Martowardojo
 2010-2013 Darmin Nasution
 2009-2010 Darmin Nasution (Pelaksana tugas)
 2009 Miranda Gultom (Pelaksana tugas)
 2008-2009 Boediono
 2003-2008 Burhanuddin Abdullah
 1998-2003 Syahril Sabirin

BADAN PENGAWAS KEUANGAN (BPK)


Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (disingkat BPK RI)
adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki
wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Anggota BPK
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden. Anggota BPK sebelum memangku
jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu
oleh Ketua Mahkamah Agung. Didirikan pada 1 Januari 1947

Sejarah
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa
tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan
itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat
Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan
Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan
sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya
mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama
adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan
suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di
Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa
tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan
peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene
Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat
kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta.
Negara Republik Indonesia yang ibu kotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan
Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh
R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950
No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS)
berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan
Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat
perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31
Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor
menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland
Indies Civil Administration (NICA).
Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang
berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa
Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas
kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS
diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene
Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekret Presiden RI yang menyatakan
berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan
berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan
Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas
Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS
1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD
Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan
ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama
Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No.
1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan
Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk
mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN
No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6
Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang
antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang
kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan
Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing
sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI
dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara.
Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru
direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah
mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun
2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di
bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002
yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai
satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu
lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI
dalam UUD Tahun 1945 telah diamendemen. Sebelum amendemen BPK RI hanya
diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945
dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F,
dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di
bidang Keuangan Negara, yaitu;
 UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
 UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
 UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
Tugas dan Wewenang
Tugas
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik
Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.[2]
Wewenang
Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang[2] :
1. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan
menyajikan laporan pemeriksaan;
2. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang,
unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara;
3. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara,
di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara,
serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti,
rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan negara;
4. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
5. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
6. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara;
7. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja
untuk dan atas nama BPK;
8. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
9. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
10. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah.

Visi dan Misi


LIAT DI BUKU
Nilai-Nilai Dasar
LIAT DI BUKU

Keanggotaan
PK mempunyai 9 orang anggota, dengan susunan 1 orang Ketua merangkap anggota,
1 orang Wakil Ketua merangkap anggota, serta 7 orang anggota. Anggota BPK
memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan. Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh Anggota BPK dalam
sidang Anggota BPK dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak
tanggal diresmikannya keanggotaan BPK oleh Presiden. Ketua dan Wakil Ketua BPK
terpilih wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh
Ketua Mahkamah Agung.[2]
Syarat Keanggotaan
Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut[2] :
1. warga negara Indonesia;
2. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berdomisili di Indonesia;
4. memiliki integritas moral dan kejujuran;
5. setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6. berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara;
7. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih;
8. sehat jasmani dan rohani;
9. paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun;
10. paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di
lingkungan pengelola keuangan negara; dan
11. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
12.
Ketua BPK
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (Ketua BPK RI) adalah
salah satu pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dipilih dari dan
oleh Anggota BPK dalam sidang Anggota BPK dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan terhitung sejak tanggal diresmikannya keanggotaan BPK oleh Presiden.
Pemilihan Ketua dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila
mufakat tidak dicapai, pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara.
[1]
 Pelaksanaan tugas dan wewenang Ketua BPK RI meliputi:
 pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kelembagaan BPK
 Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara secara
umum
 hubungan Kelembagaan Dalam Negeri dan Luar Negeri
Daftar ketua BPK
Nama Dari Sampai
Satrio Budihardjo Joedono 8 Oktober 1998 2004  
Anwar Nasution 2004 2009  
Hadi Poernomo 26 Oktober 2009 28 April 2014  
15 Oktober
Rizal Djalil 28 April 2014  
2014
Harry Azhar Azis 21 Oktober 2014 21 April 2017  
Moermahadi Soerja
21 April 2017 sekarang  
Djanegara
Opini BPK
Opini Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat Opini BPK) merupakan pernyataan
profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam
laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria yakni kesesuaian dengan
standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures),
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem
pengendalian intern. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh
pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar
dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan
(iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion)
Struktur Organisasi
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang
terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana
tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK
sesuai dengan kebutuhan. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK
menggunakan Pemeriksa yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau yang
bukan Pegawai Negeri Sipil. Organisasi dan tata kerja Pelaksana BPK serta jabatan
fungsional ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah
Berikut adalah struktur organisasi BPK berdasarkan Keputusan Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia Nomor 3/K/I-XIII.2/7/2014 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan[7] :
1. Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia (disingkat Setjen BPK RI atau Setjen BPK) adalah salah satu unsur
Pelaksana BPK yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada BPK
melalui Wakil Ketua BPK. Setjen BPK dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.[1]
Tugas
Setjen BPK mempunyai tugas menyelenggarakan dan mengkoordinasikan
dukungan administrasi serta sumber daya untuk kelancaran tugas dan fungsi
BPK serta Pelaksana BPK.[1]
Fungsi
Dalam melaksanakan tugas Setjen BPK menyelenggarakan fungsi[1]
1. perumusan dan pengevaluasian rencana aksi Setjen dengan
mengidentifikasi Indikator Kinerja Utama (IKU) berdasarkan Rencana
Implementasi Renstra (RIR) BPK;
2. perumusan rencana kegiatan Setjen berdasarkan rencana aksi serta tugas
dan fungsi Setjen;
3. perumusan kebijakan di bidang kesekretariatan dan keprotokolan,
hubungan masyarakat dan kerja sama internasional, sumber daya
manusia, keuangan, teknologi informasi, prasarana dan sarana,
administrasi umum serta pendidikan dan pelatihan (diklat);
4. pembinaan di bidang kesekretariatan dan keprotokolan, hubungan
masyarakat dan kerja sama internasional, sumber daya manusia,
keuangan, teknologi informasi, prasarana dan sarana, administrasi umum
serta diklat;
5. penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Jenderal; dan
6. pelaporan hasil kegiatan secara berkala kepada BPK.

2. Inspektorat Utama
3. Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan
Keuangan Negara
4. Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan
Keuangan Negara
5. Auditorat Utama Keuangan Negara I
6. Auditorat Utama Keuangan Negara II
7. Auditorat Utama Keuangan Negara III
8. Auditorat Utama Keuangan Negara IV
9. Auditorat Utama Keuangan Negara V
o Perwakilan-Perwakilan BPK di wilayah barat
10. Auditorat Utama Keuangan Negara VI
o Perwakilan-Perwakilan BPK di wilayah timur
11. Auditorat Utama Keuangan Negara VII
12. Auditorat Utama Investigasi
13. Staf Ahli Bidang Keuangan Pemerintah Pusat
14. Staf Ahli Bidang Keuangan Pemerintah Daerah
15. Staf Ahli Bidang BUMN, BUMD, dan Kekayaan Negara/ daerah yang dipisahkan
lainnya
16. Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
17. Staf Ahli Bidang Investigatif
18. Kelompok Jabatan Fungsional

MAHKAMAH AGUNG (MA)


Mahkamah Agung Republik Indonesia (disingkat MA RI atau MA) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Didirikan 19 Agustus 1945.

Sejarah
Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi
roda pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap Peradilan di Indonesia.
Dari masa dijajah oleh Belanda (Mr. Herman Willem Daendels – Tahun 1807),
kemudian oleh Inggris (Mr. Thomas Stanford Raffles – Tahun 1811 Letnan Jenderal)
dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1842).[5]
Pada masa penjajahan Belanda Hoogerechtshoof merupakan Pengadilan
Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan wilayah Hukum meliputi seluruh
Indonesia. Hoogerechtshoof beranggotakan seorang Ketua, 2 orang anggota, seorang
pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang Panitera dimana perlu dibantu
seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu Gubernur Jenderal dapat menambah
susunan Hoogerechtshoof dengan seorang Wakil dan seorang atau lebih anggota.[5]
Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Presiden
Soekarno melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan itu kemudian
ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung, melalui Surat Keputusan
KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 juga merupakan tanggal disahkannya UUD 1945
beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet Presidentil Pertama di Indonesia.
Mahkamah Agung terus mengalami dinamika sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara
tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibu
kota Republik Indonesia. Pada saat itu terdapat dua Lembaga Peradilan Tertinggi di
Indonesia yaitu[5]:
1. Hoogerechtshof di Jakarta dengan:
1. Ketua: Dr. Mr. Wirjers
2. Anggota Indonesia:
1.Mr. Notosubagio,
2.Koesnoen
3. Anggota belanda:
1.Mr. Peter,
2.Mr. Bruins
4. Procureur General: Mr. Urip Kartodirdjo
2. Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta dengan:
1. Ketua: Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
2. Wakil: Mr. R. Satochid Kartanegara
3. Anggota:
1.Mr. Husen Tirtaamidjaja,
2.Mr. Wirjono Prodjodikoro,
3.Sutan Kali Malikul Adil
4. Panitera: Mr. Soebekti
5. Kepala TU: Ranuatmadja
Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan Tertinggi disebut
Saikoo Hooin yang kemudian dihapus dengan Osamu Seirei (Undang-Undang No. 2
Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan
mengambil alih (mengoper) gedung dan personil serta pekerjaan Hoogerechtschof.
Dengan demikian maka para anggota Hoogerechtschof dan Procureur General
meletakkan jabatan masing-masing dan pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia Serikat (MA-RIS) dengan susunan[5]:
1. Ketua: Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
2. Wakil: Mr. Satochid Kartanegara
3. Anggota:
1. Mr. Husen Tirtaamidjaja,
2. Mr. Wirjono Prodjodikoro,
3. Sutan Kali Malikul Adil
4. Panitera: Mr. Soebekti
5. Jaksa Agung: Mr. Tirtawinata
Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua
Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di bidang
Pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak disahkannya Kekuasaan dan Hukum Acara
Mahkamah Agung yang ditetapkan tanggal 9 Mei 1950 dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung
Republik Indonesia.[5]
Dalam kurun waktu tersebut Mahkamah Agung telah dua kali melantik dan
mengambil sumpah Presiden Soekarno, yaitu tanggal 19 Agustus 1945 sebagai
Presiden Pertama Republik Indonesia dan tanggal 27 Desember 1949 sebagai
Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).[5]
Waktu terus berjalan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sudah harus diganti,
maka pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang Pasal 10 ayat (2)
menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dalam arti
Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan Kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan
yang berasal dari Pengadilan di bawahnya, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama dan
Pengadilan Tingkat Banding yang meliputi 4 (empat) Lingkungan Peradilan[5]:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan TUN
Sejak Tahun 1970 tersebut kedudukan Mahkamah Agung mulai kuat dan terlebih
dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
maka kedudukan Mahkamah Agung sudah mulai mapan, dalam menjalankan
tugastugasnya yang mempunyai 5 fungsi, yaitu[5]:
1. Fungsi Peradilan
2. Fungsi Pengawasan
3. Fungsi Pengaturan
4. Fungsi Memberi Nasihat
5. Fungsi Administrasi

Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun nonteknis semakin
meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur organisasi, administrasi dan
keuangan sendiri tidak bergabung dengan Departemen Kehakiman (sekarang
Kementerian Hukum dan HAM). Waktu terus berjalan, gagasan agar badan Kehakiman
sepenuhnya ditempatkan di bawah pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari
Kementerian Kehakiman.[5]
Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal dengan
lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang ditandai
dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan Kehakiman
bebas dan terpisah dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang tersebut memberi batas waktu lima tahun untuk
pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II ayat (1) yang berbunyi:

“ Pengalihan Organisasi, administrasi dan Finansial dilaksanakan secara


bertahap paling lama 5 Tahun sejak Undang-Undang ini berlaku ”
Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu
Atap dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.[5]
Pada tanggal 23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004
tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan
Umum dan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung, yang
ditindaklanjuti dengan:
1. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari Departemen
Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2004.[5]
2. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan
Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung yang
dilaksanakan tanggal 30 Juni 2004.[5]

Wewenang
Mahkamah Agung memiliki wewenang:
1. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan
2. Mahkamah Agung menguji peraturan secara materiil terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang
3. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua
lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

Struktur Organisasi
Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan Hakim Anggota, Kepaniteraan Mahkamah
Agung, dan Sekretariat Mahkamah Agung. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah
Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang.

1) Pimpinan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pimpinan Mahkamah
Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua
muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan
wakil ketua bidang nonyudisial. Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua
muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan ketua muda tata usaha
negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda
pembinaan dan ketua muda pengawasan. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan
oleh hakim agung dan ditetapkan oleh Presiden.[2]Masa jabatan Ketua Mahkamah
Agung adalah lima tahun.[3]
Sebelum memangku jabatannya, Ketua Mahkamah Agung RI mengucapkan
sumpah atau janji di hadapan Presiden.[2]
Sumpah Ketua Mahkamah Agung[2]:

“ Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua
Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa ”
Janji Ketua Mahkamah Agung[2]:

“ Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban


Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundangundangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2000, Ketua Mahkamah
Agung memperoleh gaji pokok sebesar Rp5.040.000,- setiap bulan.[4] Selain itu
Ketua Mahkamah Agung memperoleh tunjangan jabatan setiap bulan sebesar
Rp121.609.000,- sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun
2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
18 Mei 2001 2 Mei 2006 [10][11]

Prof. Dr.
11 Bagir Manan
S.H, M.CL
2 Mei 2006 31 Oktober 2008

19 Februari
Plt. 1 November 2008 [B]

Dr. 2009
Harifin A. Tumpa
S.H, M.H
12 19 Februari 2009 1 Maret 2012 [12]

Prof. Dr. H. 1 Maret 2012 1 Maret 2017 [13]

Muhammad Hatta
13
Ali
S.H, M.H 1 Maret 2017 Petahana

2) Hakim anggota
Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pada Mahkamah Agung
terdapat Hakim Agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari
sistem karier atau sistem non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung memenuhi syarat:
 hakim karier:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban;
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim,
termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan
pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.[2]
 nonkarier:
1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2,
angka 4, dan angka 5 (syarat hakim karier);
2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling
sedikit 20 (dua puluh) tahun;
3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan
4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.[2]

3) Kepaniteraan
Kepaniteraan Mahkamah Agung mempunyai tugas melaksanakan pemberian
dukungan di bidang teknis dan administrasi justisial kepada Majelis Hakim Agung
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, serta melaksanakan
administrasi penyelesaian putusan Mahkamah Agung. Kepaniteraan Mahkamah
Agung dipimpin oleh satu orang Panitera dan dibantu oleh 7 Panitera Muda.
1. Panitera Muda Perdata,
2. Panitera Muda Perdata Khusus
3. Panitera Muda Pidana
4. Panitera Muda Pidana Khusus
5. Panitera Muda Perdata Agama
6. Panitera Muda Pidana Militer
7. Panitera Muda Tata Usaha Negara.
Dalam melaksanakan tugas, Kepaniteraan Mahkamah Agung
menyelenggarakan fungsi:
1. koordinasi pelaksanaan pemberian dukungan di bidang teknis dan administrasi
yustisial;
2. koordinasi urusan administrasi keuangan perkara di lingkungan Mahkamah
Agung;
3. pelaksanaan pemberian dukungan di bidang teknis dan administrasi yustisial;
4. pelaksanaan minutasi perkara;
5. pembinaan lembaga teknis dan evaluasi;
6. pelaksanaan administrasi Kepaniteraan.

4) Secretariat
Sekretariat Mahkamah Agung adalah aparatur tata usaha negara yang di dalam
menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Ketua Mahkamah Agung. Sekretariat Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang
Sekretaris Mahkamah Agung. Sekretaris Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Tugas dan Fungsi
Sekretariat Mahkamah Agung mempunyai tugas membantu Ketua Mahkamah Agung
dalam menyelenggarakan koordinasi dan pembinaan dukungan teknis, administrasi,
organisasi dan finansial kepada seluruh unsur di lingkungan Mahkamah Agung dan
Pengadilan di semua lingkungan Peradilan. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat
Mahkamah Agung menyelenggarakan fungsi:
1. koordinasi terhadap pelaksanaan tugas unit organisasi di lingkungan Sekretariat
Mahkamah Agung dan Kepaniteraan Mahkamah Agung;
2. pembinaan dan pelaksanaan dukungan teknis, organisasi, administrasi, dan
finansial di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan
Peradilan;
3. perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang
pembinaan tenaga teknis, pembinaan administrasi peradilan, pranata dan tata
laksana perkara pada Pengadilan di semua lingkungan Peradilan;
4. pembinaan dan pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di
lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan;
5. pembinaan dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta pendidikan
dan pelatihan di bidang hukum dan peradilan di lingkungan Mahkamah Agung
dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan;
6. pembinaan dan pelaksanaan perencanaan, pengorganisasian, administrasi
kepegawaian, finansial, perlengkapan dan ketatausahaan Pengadilan di semua
lingkungan Peradilan, serta kehumasan, keprotokolan dan kerumahtanggaan di
lingkungan Sekretariat Mahkamah Agung.

5) Pengadilan tingkat banding


Pengadilan tingkat banding yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri:
1. Pengadilan Tinggi
2. Pengadilan Tinggi Agama
3. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
4. Pengadilan Militer Utama
5. Pengadilan Militer Tinggi

6) Pengadilan tingkat pertama

Pengadilan tingkat pertama yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri:


1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Tata Usaha Negara
4. Pengadilan Militer
Keadaan Perkara
Kewenangan Mahkamah Agung RI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku meliputi: pertama, kewenangan memeriksa dan memutus permohonan kasasi,
sengketa tentang kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; kedua, kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang;
ketiga, memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi. Selain itu, Mahkamah
Agung RI dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum
kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.[8] Berikut daftar keadaan perkara
kasasi, peninjauan kembali, grasi, dan hak uji materil di Mahkamah Agung Republik
Indonesia:
Sistem Kamar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
142/KMA/SK/IX/2011, Mahkamah Agung telah memberlakukan sistem kamar. Dengan
sistem ini hakim agung dikelompokkan ke dalam lima kamar, yaitu perdata, pidana,
agama, tata usaha negara, dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada
dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan
masing-masing kamar.[11] Konsep Sistem Kamar ini diadopsi dari Sistem Kamar yang
selama ini diterapkan di Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda.[12]
Penerapan sistem kamar sangat mempengaruhi produktivitas penanganan perkara di
Mahkamah Agung. Berdasarkan data sisa tunggakan perkara sejak enam tahun
terakhir, tercatat terus mengalami penurunan. Terlebih jika dibandingkan dengan sisa
tunggakan pada tahun 2012 yang mencapai 10.112 perkara sehingga dalam kurun
waktu enam tahun Mahkamah Agung telah mengurangi lebih dari 86 persen sisa
perkara. Bahkan sisa perkara pada 2017 menjadi yang terendah sepanjang sejarah,
yakni sebanyak 1.388 perkara.[13]
Judex Facti dan Judex Juris
Dalam hukum Indonesia, judex facti dan judex juris adalah dua tingkatan
peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan Indonesia
terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti, yang berwenang
memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari
suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. Mahkamah Agung
adalah judex juris, hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak
memeriksa fakta dari perkaranya.
Kedua istilah ini berasal dari bahasa Latin. Judex facti berarti "hakim-hakim [yang
memeriksa] fakta", sedangkan judex juris berarti "hakim-hakim [yang memeriksa]
hukum". Kedua kata ini juga kadang-kadang salah dieja "judex factie" dan "judex
jurist"
Umumnya, Pengadilan Negeri yang berkedudukan di ibu
kota kabupaten atau kota adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara, dan bertindak sebagai judex facti. Pengadilan Tinggi adalah
pengadilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan
memeriksa perkara secara de novo. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang bukti-
bukti dan fakta yang ada. Dengan ini, Pengadilan Tinggi juga termasuk judex facti.
Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Mahkamah Agung tidak lagi
memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Mahkamah Agung hanya memeriksa
interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan
oleh judex facti. Karena ini, Mahkamah Agung disebut judex juris.

MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) (didirikan 18 agusuts 2003)


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI)
adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Sejarah
Latar Belakang[sunting | sunting sumber]
Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review)
bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat
dipimpin William Paterson dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah
Amerika Serikat tahun 1796. Dalam kasus ini, MA menolak permohonan pengujian UU
Pajak atas Gerbong Kertera Api 1794 yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan
bahwa UU a quo tidak bertentangan dengan konstitusi atau tindakan kongres
dipandang konstitusional. Dalam kasus ini, MA menguji UU a quo, namun tidak
membatalkan UU tersebut. Selanjutnya pada saat MA di pimpin John Marshall dalam
kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat
tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA,
tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa
menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan
suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoretis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir
pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-
1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi
dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan
tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan
organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court).

Masa Penyusunan UUD 1945[sunting | sunting sumber]


Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai
pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan
oleh Mohammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai
Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding Undang-undang"
yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini
disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut
dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of
power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua,
tugas hakim adalah menerapkan Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan
ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan
dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan
pengujian Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi
dalam UUD 1945.
Masa Reformasi 1998[sunting | sunting sumber]
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-
2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat.
Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam
perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
Masa Pembentukan Dasar Hukum[sunting | sunting sumber]
Selanjutnya untuk merinci dan menindak lanjuti amanat Konstitusi tersebut,
Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya,
akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan
disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu
juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan
dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari
aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus
sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21.
Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi
menjadi hari lahir MKRI.
Masa Penetapan Hakim Konstitusi[sunting | sunting sumber]
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip
keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim konstitusi
yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui
tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga
tersebut, masing-masing lembaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi
kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H.
Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M.,
Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H.,
MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H.,
Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor
147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim
konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah,
para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Masa Pemantapan Kelembagaan[sunting | sunting sumber]
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi
membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat
administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama
kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh
sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai
memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim
konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M.
Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak
tanggal 16 Agustus 2003 hingga 31 Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004,
Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra,
S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka
Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri
M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas
membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial.
Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan
dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan
yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan
dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt)
Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian
hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK,
pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah
satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya
kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan
kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-
2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-
perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus
2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti
karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK,
usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad
Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H.,
Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H.
Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh
DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan
tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode
kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul
Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. dan
Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly
Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H.
yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang
sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di
periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam
perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim
konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR.
Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009,
sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai
1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H.,
M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah
pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang
menjalankan tugas-tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada
16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan
dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula belum
ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat
menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Masa Pemenuhan Sarana dan Prasarana[sunting | sunting sumber]
Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-
tugas Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan
dengan segera. Setelah melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi, akhirnya
diputuskan dua hal.
Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR RI untuk
memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi justisial.
Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS. Tubun, Slipi,
Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara. Tidak lama kemudian, MK berpindah
kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun, ruangan yang
tersedia bagi MK di Plaza Centris masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang
tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi
ruang kantor modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar
sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1
Oktober 2003 memenangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan
bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK harus meminjam
Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu ruang di Mabes
Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang karena belum memiliki
ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas
kerja para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang
mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena itu, ketika
merumuskan Cetak Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi yang Modern dan Tepercaya", gagasan pembangunan gedung MK mendapat
penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat milik
Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun 2004, barulah
MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas
yang tersedia di gedung tersebut masih belum memadai, terutama ketika MK harus
menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih
sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara
perselisihan hasil pemilihan umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di
gedung MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang
terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu juga ketika harus menggelar persidangan
jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas teleconference.

Kewajiban dan Wewenang


Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga
peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara
tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat
(2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban
Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau
perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Struktur
 Pimpinan
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa
jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU
24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5
tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa
jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar
hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada
rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18
Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr.
M. Laica Marzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi
pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil
memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model
bagi pengadilan modern dan tepercaya di Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof.
Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan
reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden
menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim generasi
pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK,
Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk
dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah
dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan
tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru
diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan
Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan
menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie
Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan
Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengunduran diri dari anggota MK dan
kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Pada periode 2013-2015 terpilih ketua yaitu Akil Mochtar, namun dia mencoreng
nama institusi ini dengan terlibat kasus suap sengketa pemilu Kabupaten
Lebak dengan terdakwa Tubagus Chairi Wardana, dan melibatkan Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah, Akil Mochtar menjadi terdakwa dan diberhentikan pada
tanggal 5 Oktober 2013, dan jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi diserahkan
kepada Hamdan Zoelva pada tanggal 1 November 2013, Hamdan saat itu menjabat
sebagai wakil ketua MK.
Pada tanggal 7 Januari 2015, Hamdan Zoelva resmi mengakhiri jabatannya
sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi. Posisinya
digantikan oleh Arief Hidayat yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi. Arief Hidayat terpilih secara aklamasi sebagai ketua
sementara untuk wakilnya Anwar Usman, terpilih melalui voting pada rapat yang
digelar oleh sembilan hakim konstitusi pada tanggal 12 Januari 2015 [2]. Pada
tanggal 14 Januari 2015, Arief Hidayat dan Anwar Usman resmi membacakan
sumpah jabatan di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla.[3]

N Lembaga
Foto Nama Dari Sampai Prd. Ket.
o Pengusul

22 Agustus 22 Agustus
1
2003 2006
Prof. Dr.
1 Jimly Asshiddiqie Pemerintah
S.H.
22 Agustus 19 Agustus
2
2006 2008

2 Prof. Dr. 19 Agustus 18 Agustus 3 DPR RI


Mohammad Mahfud 2008 2011
M.D 18 Agustus
1 April 2013 4
S.H. 2011

Dr. H.
3 M. Akil Mochtar 5 April 2013 5 Oktober 2013 [ket. 1]
DPR RI
S.H., M.H.

5
Dr.
6 November Mahkamah
4 Hamdan Zoelva 7 Januari 2015
S.H., M.H.
2013 Agung

14 Januari 2015 14 Juli 2017 6


Prof. Dr.
5 Arief Hidayat DPR RI
S.H., M.S.
14 Juli 2017 1 April 2018 7

Dr.
Mahkamah
6 Anwar Usman 2 April 2018 Petahana 8
S.H., M.H.
Agung

 Hakim
Para hakim menjalankan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman. Jabatan Hakim Konstitusi berjumlah sembilan orang dan
merupakan Pejabat Negara yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah lima
tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali dalam hal:
1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
2. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
 Secretariat jendral
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan
dukungan administrasi umum kepada para hakim konstitusi. Sekretariat Jenderal
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
 Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang
administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah
jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim
konstitusi dalam penanganan perkara di MK.

Persidangan
 Sidang panel
Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang
diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini
diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi
permohonan. Hakim konstitusi dapat memberi nasihat perbaikan permohonan.

 Rapat permusyawaratan hakim


Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersifat tertutup dan rahasia.
Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat inilah
perkara dibahas secara mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang harus
dihadiri sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH, Panitera
mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.
 Sidang pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal
dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum
dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan
persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak
terkait serta memeriksa alat-alat bukti.
KOMISI YUDISIAL (dibentuk 2 Agustus 2005)
Komisi Yudisial Republik Indonesia atau cukup disebut Komisi
Yudisial (disingkat KY RI atau KY) adalah lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.[1] Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan
dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik
melalui DPR dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi
secara lengkap dan akurat.[2]
Tujuan Pembentukan
Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah[3]:
1. Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk menegakkan
hukum dan keadilan.
2. Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan
kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan
tugasnya.
Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial & Reformasi
Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di bebarapa negara,
Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai
berikut[4]:
1. Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena
pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan
pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan
kekuasaan kehakiman (judicial power).
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang
memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan
persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan
kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga
khusus.
5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik,
karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga
politik, yaitu presiden atau parlemen.
Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin Thohari adalah[4]:
1. Melakukan pengawasan yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara
melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan
bukan hanya pengawasan secara internal saja. Pengwasan secara internal
dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga
objektivitasnya sangat diragukan.
2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen
Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus
persoalan-persoalan teknis nonhukum, karena semuanya telah ditangani oleh
Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri
hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan
pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman.
Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai
subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek,
karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung
dengan aspek hukum seperti rekrutmen dan monitoring hakim serta pengelolaan
keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih
berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang
diperlukan untuk memutus suatu perkara.
4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa
diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini
diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena
setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari
Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap
kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi
kalau bukan dieliminasi.
5. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim, karena lembaga
yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari
pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan
kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim
yang ada.

Wewenang dan Tugas


Wewenang[sunting | sunting sumber]
Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial
mempunyai wewenang sebagai berikut:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah
Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim;
3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-
sama dengan Mahkamah Agung;
4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH).
Tugas[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:
1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
3. Menetapkan calon hakim agung; dan
4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:
1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
o Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
o Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
o Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
o Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim,
o Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga
mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan
hakim;
3. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial
dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
4. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Anggota
Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum,
akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat
negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap
Anggota). Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
berikut susunan keanggotaan Komisi Yudisial saat ini (periode 2015–2020 paruh
kedua) [5]
Jabatan Nama
Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H.,
Ketua
M.Hum.
Drs. H. Maradaman
Wakil Ketua
Harahap, S.H., M.H.
Dr. Aidul Fitriciada Azhari,
Bidang Rekrutmen Hakim
S.H., M.Hum.
Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Sukma Violetta, S.H., LL.M.
Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Dr. Sumartoyo, S.H.,
Ketua
Penelitian dan Pengembangan M.Hum.
Bidang
Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas
Dr. Joko Sasmito, S.H., M.H.
Hakim
Bidang Hubungan Antarlembaga dan Layanan
Informasi Dr. Farid Wajdi, S.H.,
M.Hum.
Juru Bicara

Sekretariat jendral
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial adalah aparatur pemerintah yang di dalam menjalankan tugas
dan fungsinya berada dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan Komisi Yudisial.
Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. Sekretariat Jenderal mempunyai
tugas memberikan dukungan administratif dan teknis operasional kepada Komisi Yudisial.[6]
Tugas[sunting | sunting sumber]
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial mempunyai tugas memberikan dukungan
administratif dan teknis operasional kepada Komisi Yudisial.[2]
Fungsi[sunting | sunting sumber]
Dalam melaksanakan tugas, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial menyelenggarakan
fungsi[2]:
1. koordinasi dan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas unit organisasi di
lingkungan Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial;
2. penyusunan rencana dan program dukungan administratif dan teknis
operasional;
3. pelaksanaan kerja sama, hubungan masyarakat, dan hubungan antarlembaga,
serta pengelolaan data dan layanan informasi; dan
4. pembinaan dan pelaksanaan pengawasan, administrasi kepegawaian,
keuangan, ketatausahaan, perlengkapan dan kerumahtanggaan di lingkungan
Komisi Yudisial.

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK)
adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan
hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya.[1] Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.[2] Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas,
yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.[1]
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua
merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Pimpinan KPK
memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
[1]
 Pada periode 2011-2015 KPK dipimpin oleh Ketua KPK Abraham Samad, bersama 4
orang wakil ketuanya, yakni Zulkarnaen, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas,
dan Adnan Pandu Praja.[3]
Pada tanggal 17 Desember 2015, Komisi Hukum DPR RI yang diketuai oleh Azis
Syamsuddin, menetapkan Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK terpilih periode 2015-
2019 setelah sebelumnya melakukan dua kali voting[4]. Agus berhasil mendapatkan 53
suara. Sedangkan calon pimpinan KPK lainnya, Basaria Panjaitan mendapatkan 51
suara, Alexander Marwata 46 suara, Saut Situmorang 37 suara, dan Laode Muhammad
Syarif 37 suara.

Tugas dan Fungsi


Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:[5]
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:[5]
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Struktur Organisasi
 Pimpinan
Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang terdiri dari 5 (lima) anggota yakni
Ketua yang merangkap Anggota, serta Wakil Ketua yang terdiri atas 4 (empat)
orang dan masing-masing merangkap Anggota.[2]
Pimpinan KPK menyelenggarakan fungsi:
1. mengambil keputusan strategis dan memimpin pelaksanaan tugas KPK secara
kolegial;
2. menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum tentang pemberantasan
korupsi;
3. membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain
dalam pemberantasan korupsi;
4. mengangkat dan memberhentikan seseorang untuk menjadi Penasihat dan
Pegawai KPK;
5. mengangkat dan memberhentikan Pegawai untuk jabatan Deputi, Direktur,
Kepala Biro, Kepala Sekretariat, Kepala Bagian dan Koordinator Sekretaris
Pimpinan; dan
6. mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan
Sekretaris Jenderal.
Pimpinan KPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia.
DAFTAR PIMPINAN KPK
 Ketua KPK
Ketua KPK adalah salah satu dari lima pimpinan di KPK. Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi juga merangkap sebagai anggota KPK.[6]

N Mulai Akhir
Nama Periode
o Jabatan Jabatan
29 Desember 16 Desember
1 Taufiequrachman Ruki 1
2003 2007
16 Desember
2 Antasari Azhar 6 Oktober 2009
2007
Tumpak Hatorangan
20 Desember
– Panggabean 6 Oktober 2009 2
2010
(Pelaksana Tugas)
20 Desember 16 Desember
3 Busyro Muqoddas
2010 2011
16 Desember 18 Februari
4 Abraham Samad
2011 2015
3
Taufiequrachman Ruki 20 Februari 20 Desember

(Pelaksana Tugas) 2015 2015
21 Desember 20 Desember
5 Agus Rahardjo 4
2015 2019
6 Firli Bahuri 20 Desember Petahana 5
N Mulai Akhir
Nama Periode
o Jabatan Jabatan

2019

 Wakil Ketua KPK


Wakil Ketua KPK merupakan pimpinan KPK yang juga merangkap sebagai anggota
KPK. Wakil Ketua KPK terdiri dari:
1. Wakil Ketua Bidang Pencegahan;
2. Wakil Ketua Bidang Penindakan;
3. Wakil Ketua Bidang Informasi dan Data; dan
4. Wakil Ketua Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
 Tim Penasihat
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan
kepakarannya kepada Komisi Pernberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tim Penasihat yang terdiri dari 4
(empat) anggota.[2]
 Pelaksana Tugas

Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. PER-


08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK,
pelaksana tugas KPK terdiri dari:[7]
1. Deputi Bidang Pencegahan
2. Deputi Bidang Penindakan
3. Deputi Bidang Informasi dan Data
4. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
5. Sekretariat Jenderal

Anda mungkin juga menyukai