Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)

merupakan lembaga negara dari cabang kekuasaan legislatif yang

mencerminkan kedalutan rakyat. Dalam sejarahnya Majelis Permusyawaratan

Republik Indonesia telah mengalami pasang surut sebagai lembaga negara,

sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan mendasar dalam

hal kedudukan dan wewenang nya. Hal ini disebabkan karena Indonesia telah

beberapa kali telah meng-amandemen konstitusinya.

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI Tahun 1945) hingga saat ini sudah dilakukan 4 (empat) kali

amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dengan

dilakukannya amandemen UUD NRI Tahun 1945, terjadi perubahan

fudamental terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia, khususnya pada

lembaga MPR-RI. Sebelum Amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada awal

Era Reformasi (1999-2002), kedudukan MPR-RI merupakan Lembaga

tertinggi negara dengan kekuasaan yang sangat besar. Hal itu mengacu pada

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum Amandemen “Kedaulatan

1
2

adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat”.1

Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia merupakan lembaga

negara yang bersifat khas Indonesia, karena lembaga-lembaga tinggi negara di

Indonesia lainnya berasal dari contoh atau cetak biru zaman Hindia Belanda.

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kemudian dianggap kedudukan

tertinggi tidak memiliki contoh sebelumnya, kecuali di pemerintahan negara-

negara komunis yang menerapkan sistem partai tunggal, yang mana

kedaulatan dan aspirasi rakyat disalurkan ke lembaga majelis rakyat tertinggi

(supreme people’s council), seperti di Uni Soviet, Korea Utara, Vietnam,

Republik Rakyat Tiongkok, Kuba, dan Laos. Oleh karena itu dalam

keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari anggota

Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah dan Utusan Golongan

terdapat elemen-elemen konsepsi kenegaraan yang bersifat kombinatif antara

tradisi liberalisme barat dengan sosialisme timur.2

Terbentuknya MPR-RI sebetulnya merupakan ide dari salah satu bapak

pendiri (founding father) Republik Indonesia, Muhammad Yamin. Dalam

sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

tanggal 11 Juli 1945 atau sebelum terbentuknya Panitia Perancang Undang-

Undang Dasar. Yamin dalam pidatonya menghendaki agar dalam undang-

undang dasar yang akan disusun, ada MPR yang menjadi kekuasaan tertinggi

1
Sri Soemantri, Tentang Lembag-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni,
Bandung, 1983, hal. 85.
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet. Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hal. 139
3

di negara Republik Indonesia sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat.3

Oleh karena itu MPR dirancang sebagai “penjelmaan” seluruh rakyat

Indonesia, yang keanggotaannya terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah,

dan Utusan Golongan. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR mempunyai

wewenang untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden, menetapkan undang-undang dasar, serta menetapkan

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Jadi, dapat dikatakan bahwa

secara formal sebelum UUD NRI Tahun 1945 diamandemen, MPR-RI

memiliki otoritas atau kekuasaan yang cukup besar.4

Selanjutnya MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara merupakan

konsekuensi dari kedudukan MPR-RI sebagai pelaksana sepenuhnya

kedaulatan rakyat.5 Hal tersebut berdampak pada hubungan kekuasaan MPR-

RI dengan lembaga negara lainnya. Menurut ketentuan yang ada dalam Pasal

1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen, maka kekuasaan

tertinggi negara yang berada di tangan rakyat diamanahkan kepada MPR,

kemudian MPR mendelegasikan kekuasaan yang dimilikinya tersebut kepada

lembaga-lembaga negara lainnya. Kekuasaan MPR-RI berdasarkan UUD NRI

Tahun 1945 sebelum amandemen didelegasikan kepada lembaga-lembaga

negara berikut ini (distribution of power), antara lain :6

3
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 : Sistem
Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Fokusmedia Bandung, 2009, hal. 19.
4
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia ; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 27.
5
Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi Edisi Revisi : Paradigma Kedaulatan dalam
UUD 1945 (Pasca Perubahan) Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara, Setara Perss,
Malang, 2015, hal. 163.
6
Ibid., hal.164.
4

1. Kekuasaan eksekutif didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 Ayat 1)


2. Kekuasaan legislatif didelegasikan kepada Presiden dan DPR (Pasal 5
Ayat 1)
3. Kekuasaan yudikatif didelegasikan kepada MA (Pasal 24 Ayat 1)
4. Kekuasaan inspektif didelegasikan kepada DPR dan BPK (Pasal 23
Ayat 5)
5. Kekuasaan konsultatif didelegasikan kepada DPA (Pasal 16 Ayat 1
dan Ayat 2)

Dalam praktek sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945 terutama di

masa pemerintahan Orde Baru, MPR justru “tunduk” kepada Presiden selaku

eksekutif. Kekuasaan yang terlalu besar untuk Presiden yang diberikan oleh

UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen justru membuat tiga pilar

kekuasaan negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi berat

sebelah dan cenderung berat pada kekuasaan eksekutif.

Gerakan reformasi tahun 1998 dan runtuhnya pemerintahan Orde Baru

dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto membawa perubahan besar

terhadap sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Semua perubahan ini

diawali dengan proses amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan

oleh Badan Pekerja MPR di tahun 1999 sampai 2002. Salah satu yang berubah

dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 tersebut adalah kedudukan dan

eksistensi MPR-RI sebagai lembaga perwakilan di Indonesia. MPR-RI bukan

lagi lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat sepenuhnya.

Amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada awal era Reformasi, 1999-

2002 telah mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan Indonesia,

termasuk mengenai kedudukan MPR-RI. Dengan perubahan konstitusi

tersebut, tidak lagi menempatkan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara


5

yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat, hal ini merujuk pada Pasal

1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen. Artinya MPR-RI tidak

lagi sebagai sumber/lembaga/institusi kekuasaan negara yang tertinggi yang

mendistribusikan kekuasaannya pada lembaga-lembaga negara yang lainnya.

Terkait dengan ini, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa setelah

amandemen UUD NRI Tahun 1945, tidak dikenal lagi adanya lembaga

tertinggi negara. Sesuai doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power)

berdasarkan prinsip checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan

negara, MPR-RI mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga-

lembaga negara lainnya.7

Perubahan ketentuan ini dalam rangka penataan ulang sistem

ketatanegaraan Indonesia agar dapat diwujudkan secara optimal sistem

ketatanegaraan yang menganut sistem saling mengawasi dan saling

mengimbangi (checks and balances) antar lembaga negara dalam kedudukan

yang setara, dalam hal ini antara MPR-RI dan lembaga negara lainnya seperti

Presiden dan DPR-RI.8

Perubahan ketentuan pada konstitusi tersebut berarti terjadi perubahan

fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni dari sistem yang

vertikal-hirarkis dengan prinsip supremasi MPR-RI menjadi sistem yang

7
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 147.
8
Sekretariat Jenderal MPR, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR, Jakarta, 2005, hal. 50.
6

horizontal-fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling

mengawasi antar lembaga negara.9

Selain penurunan kedudukan dari lembaga tertinggi negara menjadi

lembaga tinggi negara saja, perubahan konstitusi juga mengubah kewenangan

MPR-RI dalam bentuk pengurangan kewenangan sehingga menyebabkan

MPR-RI tidak sekuat seperti ketika UUD NRI Tahun 1945 sebelum

amandemen. Amandemen UUD NRI Tahun 1945 menyebabkan MPR-RI

tidak lagi berwenang mengeluarkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan

tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Setelah amandemen konstitusi mengenai MPR-RI berselang sekitar 20-

19 tahun lalu (perubahan konstitusi mengenai MPR-RI terjadi pada 2001 dan

2002), muncul gagasan perlunya dilakukan perubahan mengenai MPR-RI.

Substansi wacana tersebut antara lain adanya kehendak untuk mengembalikan

kedudukan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara, diberlakukannya

kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dibuat oleh MPR-RI,

dan peningkatan peranan MPR-RI dalam penyelenggaraan negara.

Komposisi keanggotaan MPR-RI berubah pasca amandemen UUD NRI

Tahun 1945. Menurut Pasal 2 Ayat (1) pasca amandemen UUD NRI Tahun

1945, MPR-RI terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia (DPR-RI) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia (DPD-RI). Utusan Daerah yang sebelumnya menjadi anggota MPR

berubah menjadi sebuah lembaga negara tersendiri, yaitu DPD-RI. Dengan

9
Ibid.
7

adanya DPD-RI dimaksudkan agar keterwakilan daerah-daerah di Indonesia

menjadi lebih maksimal.10

Keberadaan MPR-RI yang tetap ada sebagai lembaga perwakilan dan di

dalamnya terdapat keanggotaan DPR-RI dan DPD-RI. Unsur keanggotaan

yang terdapat di MPR-RI itu bukanlah DPR-RI dan DPD-RI sebagai sebuah

institusi, melainkan para anggota masing-masing lembaga yang secara

bersamaan merangkap jabatan sebagai anggota MPR-RI. Dengan demikian,

maka lembaga MPR-RI itu jelaslah tidak dapat disamakan dengan Conggres

seperti di Amerika Serikat yang terdiri atas House of Representative dan

Senate. Dengan konstruksi yang demikian, dapat dikatakan bahwa struktur

lembaga perwakilan yang ada di Indonesia itu terdiri atas tiga lembaga

sekaligus, yaitu MPR-RI, DPR-RI, dan DPD-RI.

Ketiga lembaga perwakilan tersebut mempunyai tugas, fungsi, dan

kewenangan konstitusionalnya sendiri-sendiri yang diatur dalam amandemen

UUD NRI Tahun 1945. Dalam praktek ketiga lembaga tersebut cenderung

ditafsirkan seolah-olah organisasi kesekretariatannya harus tiga, kegiatannya

juga harus terpisah, dan pimpinannya pun harus terpisah sendiri-sendiri

dengan segala hak-hak dan fasilitas yang melekat di dalamnya, padahal dapat

saja ditafsirkan bahwa pimpinan dan kesekretariatan ketiga lembaga tersebut

ditentukan tidak terpisah-pisah, melainkan dirangkap atau digabung.11

10
Abdy Yuhana, Op. Cit., hal. 129.
11
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 16.
8

Jadi jelas menurut Jimly Asshiddiqie, sistem perwakilan Indonesia tidak

dapat disebut sebagai sistem perwakilan dua kamar (bicameral), akan tetapi

sistem perwakilan tiga kamar (tricameral). Dasar-dasar yang menguatkan

pernyataan dari Jimly Asshiddiqie tersebut adalah :12

1. Susunan anggota MPR secara struktural mengalami perubahan


karena ditiadakannya keberadaan utusan golongan yang
mencerminkan prinsip keterwakilan fungsional dari unsur
keanggotaan MPR. Jadi, keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR
yang mencerminkan prinsip keterwakilan politik dan anggota DPD
yang mencerminkan prinsip keterwakilan daerah ;
2. MPR tidak lagi berfungsi sebagai “supreme body” yang memiliki
kewenangan tertinggi dan tanpa adanya kontrol dari lembaga negara
lain, sehingga kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan
yang mendasar ;
3. Diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)
secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan
Pasal 5 Ayat 1 juncto Pasal 20 Ayat 1 dalam perubahan pertama
UUD 1945, yang kemudian dipertegas lagi dengan tambahan Pasal
20 Ayat 5 pada perubahan kedua UUD 1945. Dengan adanya
perubahan ini, maka UUD 1945 pasca amandemen tidak lagi
menganut prinsip MPR sebagai “supremasi parlemen” dan tidak lagi
dianutnya sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh
lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk mengkaji dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang

berjudul “Studi komparatif kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia (MPR-RI) sebelum dan pasca Amandemen Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”

12
Abdy Yuhana, Op. Cit., hal. 65.
9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan MPR-RI sebelum dan pasca amandemen Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

2. Bagaimana perbandingan kedudukan MPR-RI sebelum dan pasca

amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :

a. Untuk mengetahui kedudukan MPR-RI sebelum dan pasca amandemen

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Untuk mngetahui perbandingan dalam kelebihan dan kekurangan

kedudukan MPR-RI sebelum dan pasca amandemen Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Manfaat

Manfaat dari penelitian yang dilakukan penulis dibagi menjadi 2 (dua),

antara lain:

a. Secara teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pemikiran, serta pemahaman yang komprehensif (menyeluruh),

agar dapat berguna bagi perkembangan disiplin ilmu hukum, khususnya

pada bidang ilmu Hukum Tata Negara, yang mengkaji khusus tentang
10

Studi komparatif kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia (MPR-RI) sebelum dan pasca Amandemen Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesa 1945.

b. Secara praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan

bermanfaat kepada pembaca, khususnya para pihak pada kesempatan lain

yang memiliki minat untuk mengkaji permasalahan yang sama.

D. Kerangka Konseptual

Guna mengetahui dan memahami maksud judul skripsi ini dan untuk

mempermudah dan membahas permasalahan serta untuk menghindari

penafsiran yang berbeda maka penulis perlu menjelaskan beberapa konsepsi

yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu :

1. Studi Komparatif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan studi

adalah penelitian, kajian atau telaah. Sedangkan yang dimaksud dengan

komperatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu berhubungan

dengan perbandingan. Maka, berdasarkan pengertian tersebut, studi

komperatif adalah penelitian ilmiah berdasarkan perbandingan.13

Komparatif yaitu penelitian deskriptif untuk mencari jawaban secara

mendasar tentang sebab dan akibat, dengan menganalisis faktor-faktor

penyebab terjadinya suatu fenomena tertentu.14 Studi komparatif dalam

penelitian ini adalah menganalisi persamaan dan perbandingan serta


13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Tahun 1989.
14
Moh.Nazir, Metode Penelitian ,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 58
11

kelebihan dan kekurangan mengenai kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia sebelum dan pasca amandemen Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) adalah

lembaga legislatif yang merupakan salah satu lembaga negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. MPR-RI terdiri atas anggota DPR-RI dan anggota

DPD-RI yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan

dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR-RI terdiri atas anggota

DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan, menurut aturan yang ditetapkan

undang-undang. Jumlah anggota MPR-RI periode 2014-2019 adalah 692

orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR-RI dan 132 anggota DPD-RI. Masa

jabatan anggota MPR-RI adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat

anggota MPR-RI yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota MPR-RI

sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-

sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna

MPR-RI. Anggota MPR-RI yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji

secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh

pimpinan MPR-RI.15

3. Amandemen

15
https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/kamus/file/kamus-44.pdf diakses pada tanggal
29 November 2020 Pukul 16.15 WIB.
12

Amandemen merupakan bahasa yang diserap bahasa Indonesia dari kata

“Amandement” yang mempunyai makna perubahan Undang-Undang Dasar.

Dapat juga dikatakan amandemen adalah istilah untuk perubahan dalam

dokumen resmi atau catatan tertentu untuk melengkapi dan memperbaiki

beberapa rinciannya, dalam hal ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.16

E. Landasan Teoritis

1. Teori Kedaulatan Rakyat

Salah satu yang mengikuti teori ini yaitu Immanuel Kant yang mengatakan

Bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakan hukum dan


menjamin kebebasan daripada warga negaranya. Dalam pengertian
bahwa kebebasan di sini adalah kebebasan dalam batas-batas
perundang-undangan, sedangkan undang-undang di sini yang
berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu
undang-undang itu merupakan penjelmaan dari pada kemauan atau
kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan.17

Oleh karena itu, rakyat perlu wakil untuk mewakili mereka

melakukan sesuatu yang mereka tidak bisa lakukan sendiri. Seperti pada

tahap pelaksanaan kebijakan, diperlukan partisipasi dan peran aktif dari

masyarakat yang lebih besar.

Hakikat dari konstitusi adalah perwujudan dari paham tentang

konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan

16
Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistetm Perubahan Konstitusi,Cet. 4, Alumni, Bandung,
1987, hal.133-134.
17
Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. I, Kencana, Jakarta, 2019,
hal. 135.
13

pemerintah dan jaminan hak warga negara maupun setiap penduduk.

Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis yang berisikan:

a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau.

b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.

c. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk

waktu sekarang maupun waktu yang akan datang.

d. Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan

ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.18

Hal ini menunjukkan bahwa menurut paham kedaulatan rakyat,

rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegeang kekuasaan

terttinggi dalam suatu negara, dan rakyatlah yang menentukan tujuan yang

ingin dicapai oleh negara dan pemerintahan negara itu.

2. Teori Demokrasi

Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari Bahasa Yunani

„‟demos‟‟ berarti rakyat, dan „’kratos‟‟ yang berarti kekuasaan atau

berkuasa. Dengan demikian demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat,

dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat dan dijalankan

langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem

pemilihan bebas. Demokrasi merupakan asa dan sistem yang paling baik

didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah.

Khasanah pemikiran dan prereformasi politik diberbagai negara sampai

18
Ibid., hal. 136.
14

pada titik temu tentang ini: demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai

pilihan lainnya.19

Teori demokrasi (direct democracy) dari rakyat, oleh rakyat dan

untuk rakyat (as government of the people, by the people and for the

people). Pada dasarnya merupakan reaksi dari adanya kekuasaan raja yang

diktaktor pada negara-negara kota (city state) diyunani kuno. Pada saat itu,

demokrasi yang dipraktekkan secara langsung merupakan hak rakyat yang

bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Praktek domokrasi model

langsung dikenal sebagai demokrasi klasik.20

Menurut Alamudin, demokrasi yang sesungguhnya adalah

seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup

seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang

dan berliku-liku. Sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan

dari kebebasan. Karena itu mungkin saja mengenali dasar-dasar

pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi

dan persamaan didepan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat

untuk secara pantas disebut demokrasi.21

19
Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hal. 196.
20
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, jakarta, 2007, hal. 43.
21
Muslim Mufti dan Didah Durrotun Naafisah, Teori-Teori Demokrasi, Pustaka Setia.
Jakarta. 2013, hal. 115.
15

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam proposal ini adalah Yuridis

Normatif. Bahder Johan Nasution dalam bukunya yang berjudul Metode

Penelitian Hukum menyatakan :

Pendekatan Yuridis Normatif adalah penelitian ilmu hukum normatif,


kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlakukan dengan data-data
dan atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal
data dan atau fakta sosial yang dikenak hanya bahan hukum, jadi untuk
penjelaskan hukum atau mencerminkan dan memberinilai akan hukum
tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang
ditempuh adalah langkah normatif.22
2. Pendekatan Penelitian

a. Pedekatan perundang-undangan (Statue Approach)

Pendekatan perundang-undangan atau statuta approach atau sebagian

ahli hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penilitian

terhadap produk-produk hukum, dalam hal ini dilakukan dengan cara

menganalisa terhadap peraturan Perundang-undangan yang berhubungan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.23.

b. Pendekatan Historis (History Approach)

Penelitian atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk

hukum berdasarkan urutan-urutan periodesasi atau kenyataan sejarah

yang melatarbelakanginya.24

22
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, cet. 1, Mandar Maju,
Bandung, 2008. hal. 87.
23
Ibid, hal. 92.
24
Ibid
16

c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti; sumber hukum,

fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya. Konsep hukum ini

berada pada ranah tataran sesuai dengan tingkatan ilmu hukum itu

sendiri yaitu; tataran ilmu hukum dogmatig konsep hukumnya konsep

umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep dasar.25

d. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)

Penelitian tentang perbandingan hukum baik mengenai perbandingan

sistem hukum antar negara, maupun perbandingan produk hukum dan

karakter hukum antar waktu dalam suatu negara.26

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Karena ini Penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini lebih

difokuskan pada penelitian pustaka untuk mengkaji bahan-bahan hukum.

Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu semua bahan-bahan hukum yang

mempunyai kekuatan.27 Sumber data primer atau data utama dalam

penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

b. Bahan Hukum Sekunder


25
Ibid
26
Ibid, hal. 92-93.
27
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. 6, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 118.
17

Bahan hukum sekunder merupakan bahan atau meteri yang

berkaitan dan menjelaskan mengenai permasalahan dari bahann hukum

primer yang terdiri dari buku-buku dan literature terkait dengan topik

penelitian.28 Sumber data sekunder adalah sumber data yang

dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap data primer,

dalam hal ini adalah seperti jurnal-jurnal dan penelitian mengenai

Studi komperatif kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia (MPR-RI) sebelum dan pasca Amandemen

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa 1945.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang menjadi

pendukung bahan hukum primer maupun sekunder, terdiri dari teks

hukum berupa buku, jurnal, karya ilmiah dan lain sebagainya.

4. Analisis Bahan Hukum

Hasil analisis yang dituangkan dalam bentuk uraian yang bersifat

deskriptif kualitatif, yaitu suatu uraian yang menggambarkan

permasalahan serta pemecahan secara jelas dan lengkap berdasarkan bahan

hukum yang diperoleh. Analisis dilakukan dengan cara :

a. Menginventarisasi semua bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan

Peraturan Perundang-Undangan yang diteliti.

b. Sistematika membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis

tersebut.

28
Bahder Nasution, Op. Cit., hal. 30.
18

c. Menginterprestasikan semua peraturan perundang-undangan sesuai

masalah yang dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini didasarkan pada sistematika penulisan

sederhana, yang bertujuan untuk memperjelas permasalahan-permasalahan

yang ada dan yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Agar lebih terarah,

maka penulis menyusunnya kedalam empat bab, tiap-tiap bab diperincikan

kebagian-bagian terkecil sesuai dengan keperluan, yakni sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan, penulis menguraikan mengenai

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka konseptual, landasan teori, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS

PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

(MPR-RI) SEBELUM DAN PASCA AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945

Bab ini berisikan tinjauan umum mengenai kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebelum dan pasca

amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.
19

BAB III ANALISIS KOMPARATIF MAJELIS

PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SEBELUM DAN PASCA AMANDEMEN UNDANG-

UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 1945

Bab ini merupakan bab inti yang berupa pembahasan dan

permasalahan pada skripsi ini. Pada bab ini membahas tentang

komparatif kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia sebelum dan pasca amandemen. Kemudian membahas

tentang analisis perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia sebelum dan pasca amandemen.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang

merupakan kesimpulan dalam bentuk jawaban atas masalah yang

telah dirumuskan, diikuti saran yang merupakan rekomendasi

penulis.

Anda mungkin juga menyukai