Anda di halaman 1dari 13

MPR DALAM KONSTITUSI

Fikri Mochammad Rizaldy (1213030051) & Muhammad Widi Azzaqi (1213030096)

Fakultas Syariah & Hukum Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah)

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

ABSTRAK

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah institusi negara tertinggi di Indonesia yang dibentuk
berdasarkan Konstitusi tahun 1945. Fungsi dan perannya dalam konstitusi sangat penting dalam
memajukan masyarakat Indonesia. MPR didirikan dalam konteks perjuangan Indonesia untuk
merdeka dari penjajahan Belanda. Rakyat Indonesia berjuang untuk merdeka dan merumuskan
landasan negara berdasarkan Pancasila. Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat dan merdeka dari negara-negara lain.

Sejak awal berdirinya, MPR telah memainkan peran penting dalam menjalankan tugas negara. MPR
memfasilitasi diskusi dan pembentukan hukum, menetapkan arah kebijakan pembangunan nasional,
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, dan mengawasi pelaksanaan konstitusi.

Saat ini, MPR tetap menjadi institusi negara yang sangat penting dalam menjalankan tugas negara.
Selain itu, ia terus mengembangkan dan menyesuaikan tugas dan fungsinya mengikuti perkembangan
zaman. MPR juga berusaha menjalankan tugas dan fungsinya secara transparan, akuntabel, dan
bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan rakyat Indonesia dalam memajukan bangsa.

Dalam sejarah negara Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengalami
transformasi dari institusi negara tertinggi menjadi institusi negara tinggi. Transformasi ini telah
berdampak pada kewenangan MPR, di mana sebelum Amandemen UUD 1945, MPR memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan resolusi MPR/S, sedangkan setelah Amandemen UUD 1945, ia
tidak lagi memiliki kewenangan tersebut.

UUD 1945 telah diamandemen empat kali, pertama pada tahun 1999, kedua pada tahun 2000, ketiga
pada tahun 2001, dan keempat pada tahun 2002. Amandemen UUD 1945 telah berdampak pada
struktur negara Indonesia, dengan dampak signifikan pada MPR. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum
diamandemen menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR. Dalam konteks tersebut, MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat memiliki kewenangan
tertinggi dan kemudian menyerahkan kewenangannya kepada lembaga negara lain di bawahnya.
Kemudian, ketika terjadi amandemen ketiga pada UUD 1945, institusi MPR juga berubah. Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 setelah diamandemen menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan sesuai dengan konstitusi. Amandemen UUD 1945 menggeser posisi MPR dari institusi
negara tertinggi menjadi institusi negara tinggi, yang berarti MPR sejajar dengan lembaga negara
tinggi lainnya.

1
PENDAHULUAN

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga negara tertinggi yang dibentuk
berdasarkan ketetapan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Fungsi dan peran MPR dalam
konstitusi sangat penting dalam menjalankan tugas-tugas negara dalam rangka memajukan
masyarakat Indonesia.

Latar belakang pembentukan MPR adalah berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada
masa penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia telah memperjuangkan kemerdekaan dan
merumuskan dasar negara yang berdasarkan atas Pancasila. Setelah terjadi proklamasi kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945, Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara merdeka dan berdaulat dari
negara-negara lain.

Sejak awal keberadaannya, MPR telah menunjukkan peran dan fungsi pentingnya dalam menjalankan
tugas-tugas negara. MPR menjadi lembaga yang memfasilitasi pembahasan dan pembentukan
undang-undang, menetapkan arah kebijakan pembangunan nasional, memberikan saran dan
pertimbangan kepada Presiden, dan mengawasi pelaksanaan konstitusi.

Saat ini, MPR tetap menjadi lembaga negara yang sangat penting dalam menjalankan tugas-tugas
negara. Selain itu, MPR juga terus melakukan pengembangan dan penyesuaian tugas dan fungsi
mengikuti perkembangan zaman. MPR juga terus berupaya untuk melaksanakan tugas dan fungsi
dengan transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan masyarakat dalam
memajukan bangsa Indonesia.

Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


mengalami transformasi dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara. Transformasi
tersebut berimplikasi terhadap kewenangan MPR, dimana sebelum Amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) MPR berwenang mengeluarkan TAP
MPR/S sedangkan pasca Amandemen UUD 1945 menjadi tidak berwenang.

Amandemen atau perubahan UUDNRI 1945 sudah terjadi sebanyak empat kali, perubahan pertama
terjadi pada tahun 1999, kedua tahun 2000, ketiga tahun 2001, dan keempat tahun 2002. Perubahan
UUDNRI 1945 berdampak terhadap tatanan struktur tatanegara negara Indonesia, dampak yang
signifikan terjadi pada MPR. Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 sebelum perubahan dinyatakan bahwa
kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dalam konteks itu MPR
sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan tertinggi, kemudian
mendelegasikan kekuasaannya kepada

lembaga-lembaga negara lain di bawahnya. Kemudian ketika perubahan ketiga UUDNRI 1945,
kelembagaan MPR turut berubah, Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 perubahan menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Perubahan UUDNRI 1945
membuat MPR mengalami pergeseran kedudukan dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga
tinggi negara, artinya MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.

MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat diakhiri dan hal ini dialihkan sebagai milik rakyat. MPR
tidak lagi terlampau dominan dan menjadi alat legitimasi regim sebagaimana di masa Orde Baru.
Ruang politik transisi yang dihadapi mempersyaratkan kemampuan MPR dalam menerjemahkan
dinamika pelaksanaan setiap tugas dan wewenangnya sebagai lembaga negara. Meskipun masih

2
menganut sistem kepemimpinannya yang tersendiri dan permanen semacam model trikameral, MPR
telah menjelma menjadi forum bersama (joint sitting) antara anggota DPR dan anggota DPD, dalam
rangka melakukan persidangan terkait dengan agenda kenegaraan tertentu.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah dan latar belakang terbentuknya MPR sebagai lembaga negara tertinggi di
Indonesia?

2. Apa saja fungsi dan peran MPR dalam konstitusi Indonesia?

3. Bagaimana transformasi MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara
setelah amandemen UUD 1945?

4. Apa dampak dari perubahan status MPR terhadap tugas dan wewenangnya dalam menjalankan
tugas-tugas negara?

5. Bagaimana peran dan fungsi MPR dalam konteks politik Indonesia saat ini?

TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini ialah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat baik
dari bidang akademis,maupun non akademis tentang MPR di dalam sebuah konstitusi.

Tujuan Umum:

1. Memberikan pengetahuan kepada para pembaca Peran dan juga fungsi Lembaga negara yaitu
MPR sebagaimana yang di bahas.

2. Mengetahui lebih jelas apa itu MPR dalam ruang lingkup Konstitusi

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dapat dideskripsikan,
dibuktikan, dikembangkan dan ditemukan pengetahuan, teori, untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah dalam kehidupan manusia.

Dan metode yang di gunakan dalam jurnal ini ialah Penelitian pustaka (library research), yakni
penelitian yang obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber
datanya.Penelitian ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan menganalisis berbagai literatur
yang ada, berupa Jurnal, Buku-Buku studi, Undang-Undang Dasar, maupun hasil penelitian.

PEMBAHASAN

A.PERKEMBANGAN MPR

Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno pertama kali menyampaikan keinginannya
untuk mengungkapkan keinginan rakyat akan sistem perwakilan. Muhammad Yamin juga
menyampaikan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsep administrasi publik. Begitu juga dengan

3
Soepomo yang menggunakan istilah Dewan Dewan untuk menyatakan gagasannya tentang Indonesia
merdeka berdasarkan asas permusyawaratan. Pemikiran ini didasarkan pada asas kekeluargaan,
dimana setiap anggota keluarga dapat mengemukakan pendapatnya.

Soepomo mengatakan dalam sidang MK bahwa "Majelis Permusyawaratan" telah menjadi "Majelis
Permusyawaratan Rakyat", mengingat majelis ini merupakan perwujudan seluruh rakyat Indonesia
yang anggotanya terdiri dari segala wakil. rakyat, seluruh wakil daerah dan seluruh wakil golongan.
Konsep MPR tersebut akhirnya diputuskan dalam sidang PPKI pada saat pengesahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen).

Masa orde lama (1945-1965) dan orde baru (1965-1999)

Di awal Orde Lama, MPR belum bisa terbentuk sepenuhnya karena situasi genting saat itu. Hal ini
telah diramalkan oleh para pendiri bangsa dalam Pasal IV Ketentuan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD 1945) (sebelum amandemen), yang menyatakan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Agung harus dibentuk di hadapan Dewan
Perwakilan Rakyat. Perakitan. Menurut konstitusi ini, Presiden, dengan dukungan Komite Nasional,
mengendalikan semua kekuasaannya. Pasca terbitnya Keputusan Wapres Nomor X, terjadi perubahan
mendasar pada kedudukan, tugas dan wewenang KNIP. Sejak saat itu, babak baru dalam sejarah
administrasi publik Indonesia dimulai, di mana KNIP dipercayakan dengan kekuasaan legislatif dan
terlibat dalam perumusan kebijakan negara. Dengan demikian, dengan dimulainya berlakunya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen), halaman
pertama sejarah MPR dimulai, yaitu berdirinya KNIP sebagai inti MPR. Pada masa Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-
1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam tatanan ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal
15 Desember 1955, pemilihan parlemen diadakan untuk memilih anggota Majelis Konstituante yang
bertugas merancang konstitusi.
Namun, konstitusi yang semula diharapkan dapat melahirkan konstitusi ternyata menemui jalan buntu.
Di tengah perdebatan yang tak berkesudahan, pada tanggal 22 April 1959, pemerintah mengusulkan
kembali ke UUD 1945, namun usulan itu pun tidak menemukan kesepakatan di kalangan anggota
Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya sebagai berikut:

 Pembubaran Dewan Konstituante


 UUD 1945 dipulihkan dan UUD Sementara 1950 tidak berlaku lagi.
 Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Permusyawaratan Tertinggi Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan pembentukan MPRS, presiden dengan Keputusan Presiden tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 2 Tahun 1959, yang mengatur pembentukan MPRS sebagai
berikut:

 MPRS terdiri dari anggota PDR Gotong Royong dan perwakilan daerah dan golongan
 Presiden memutuskan jumlah anggota MPR
 Daerah dan Kelompok mengacu pada Daerah Otonom dan Kelompok Kerja Tingkat I.
 Anggota MPRS lainnya diangkat oleh Presiden dan menurut agamanya diambil sumpahnya di
hadapan Presiden atau Presiden MPRS yang diberi kuasa oleh Presiden
 MPRS memiliki seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat oleh presiden

4
Jumlah anggota MPRS pada saat dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 199 Tahun 1960 sebanyak
616 orang, meliputi 257 anggota DPR-GR, 241 anggota dewan Golongan Karya dan 118 wakil
daerah.

Perpindahan itu terjadi pada 30 September 1965. Untuk membersihkan anggota MPRS dari unsur-
unsur PKI yang dituduh berada di belakangnya, UU No. 4 Tahun 1966 menetapkan bahwa sebelum
MPRS dibentuk, MPRS yang fungsi dan kekuasaannya berdasarkan UUD MPR 1945 berujung pada
pemilihan parlemen. 1

Masa Reformasi (sejak 1999)


Reformasi yang terus berlangsung yang menghasilkan perubahan konstitusi mendorong para pembuat
kebijakan untuk tidak menempatkan MPR pada posisi lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR
menjadi lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya dan bukan lagi perwujudan
seluruh rakyat Indonesia yang menjalankan kedaulatan rakyat. Amandemen konstitusi menyebabkan
penataan kembali kedudukan lembaga negara, khususnya MPR, yang dipandang bertentangan dengan
pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta perubahan tugas dan wewenang sehingga
sistem ketatanegaraan negara dapat berfungsi optimal.

Dan juga MPR pada masa reformasi menyadari sepenuhnya bahwa “sistem MPR” yang dianut oleh
soekarno dan soeharto tidak sesuai dan tidak sejala ndengan prinsip demokrasi,keterbukaan,dan
kebebasan.Atas dasar itu MPR melakukan perubahan mendasar dengan menurunkan derajat
kedudukan MPR menjadi Lembaga negara yang sejajar dan sama kedudukan nya dengan Lembaga
negara lain nya,yang berbeda hanya pada tugas wewenang nya. 2

Pasal 1(2), yang semula berbunyi sebagai berikut:


“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan secara eksklusif oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.”Perwujudan kedaulatan rakyat tidak lagi hanya dilakukan oleh lembaga negara, yaitu MPR,
tetapi dengan cara yang ditentukan dalam UUD 1945 dan berbagai lembaga negara.
Tugas dan wewenang MPR diatur secara konstitusional dalam Pasal 3 UUD 1945 sebelum dan
sesudah amandemen yang salah satunya harus mengubah dan mengukuhkan konstitusi sebagai hukum
dasar negara, yang mengatur masalah-masalah penting dan mendasar. Oleh karena itu, MPR dan
konstitusi yaitu konstitusi dalam perkembangan sejarahnya sangat erat hubungannya dengan
perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

B. Posisi MPR dalam Struktur Ketatanegaraan RI

1. UUD 1945 Sebelum amandemen

Sejak negara Indonesia merdeka, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menjadi bagian
integral dari struktur ketatanegaraannya dengan status sebagai lembaga negara paling penting.
Berdasarkan UUD 1945, MPR dianggap sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan memiliki hak untuk
memilih serta menunjuk Presiden dan Wakil Presiden untuk masa jabatan 5 tahun. MPR juga
mempunyai kewenangan untuk mencopot Presiden dan Wakil Presiden sebelum masa jabatan
berakhir, jika dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dasar negara, yang mana hak ini berasal dari
tanggung jawab mereka dalam memilih dan menunjuk Presiden dan Wakil Presiden. 3

1
id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_Indonesia,di akses 08 April
2
Jurnal pembaharuan hukum,volume III no.2,Mei-Agustus 2016
3
Anang priyanto,Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam struktru Ketatanegaraan Indonesia,hal 3

5
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum diubah menyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota
DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, yang ditentukan
berdasarkan undang-undang. Ini menunjukkan bahwa MPR adalah ekspansi dari DPR dengan
tambahan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang ditentukan oleh undang-
undang4. Namun, ini menimbulkan pertanyaan tentang arti sebenarnya dari "daerah-daerah" dan
"golongan-golongan", karena tidak ada penjelasan yang jelas dalam UUD 1945. Meskipun Penjelasan
Pasal 2 UUD 1945 hanya memberikan penjelasan tentang golongan-golongan, yang mencakup badan-
badan kolektif seperti kooperasi dan serikat pekerja, sebagai cara untuk memastikan representasi
seluruh rakyat, golongan, dan daerah di dalam MPR 5

Menurut pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan
garis-garis besar dari pada haluan negara.Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UUD 1945
sebelum amandemen tersebut dapat diketahui siapa saja anggota MPR,dan apa kewenangan MPR.
Namun dari kedua pasal tersebut belum lah Nampak kedudukan MPR itu sendiri.Hal ini akan terlihat
apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal pasal UUD 1945 yang lain, antara lain :

 Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR
dengan suara terbanyak
 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dengan demikian terlihat lah bahwa MPR menurut UUD 1945 sebelum perubahan merupakan
lembaga negara tertinggi dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia. Menurut Penjelasan
UUD 1945 dalam Sistem Pemerintahan Negara angka Romawi III, MPR adalah badan negara
tertinggi yang memegang kekuasaan negara tertinggi. Kedaulatan rakyat dipegang oleh MPR sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR memiliki tugas untuk menetapkan Undang-Undang Dasar
dan garis-garis besar haluan negara, serta mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Presiden harus
menjalankan haluan negara sesuai dengan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR, dan
bertanggung jawab kepada MPR sebagai mandataris dari majelis. Sebagai lembaga negara tertinggi,
MPR berada di atas segala kekuasaan lembaga negara lainnya di Indonesia. MPR merupakan
pemegang kedaulatan rakyat dan negara demokrasi, di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat,
yang dijelmakan oleh MPR. Oleh karena itu, seluruh anggota MPR adalah wakil rakyat sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

2. UUD 1945 Setelah Amandemen

Gagasan perubahan UUD 1945 muncul bersamaan dengan gerakan reformasi yang menentang rezim
pemerintahan Suharto. Alasan perubahan UUD 1945 adalah agar isi UUD tidak disalahartikan oleh
penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya seperti masa pemerintahan Suharto. Salah satu latar
belakang perubahan adalah meninjau kembali tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR.

Dampak reformasi terhadap UUD 1945 adalah restrukturisasi MPR untuk memulihkan kedaulatan
rakyat dengan mengubah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD6. Dalam perubahan UUD 1945, MPR tetap dipertahankan keberadaannya dan
diposisikan sebagai lembaga negara sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Predikat MPR

4
Ibid.hal 4
5
Juniarto (1990), Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Rineka Cipta, Jakarta. hal.46

6
Media Indonesia,15 Juli 2003

6
sebagai lembaga tertinggi negara telah dihapuskan karena pengalaman sejarah selama Orde Baru, di
mana lembaga MPR terkooptasi kekuasaan eksekutif Suharto dan hanya sebagai 'pengemban stempel'
penguasa.

Setelah perubahan UUD 1945, MPR mengalami perubahan mendasar dari lembaga yang menjalankan
kedaulatan rakyat menjadi lembaga yang disebut oleh beberapa pihak sebagai sidang gabungan (joint
session) antara anggota DPR dan anggota DPD7. Kewenangan MPR juga menjadi lebih terbatas, di
mana satu-satunya kewenangan rutin yang dimilikinya adalah melantik Presiden dan Wakil Presiden
terpilih hasil pemilihan umum8, sedangkan kewenangan insidentalnya termasuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar,
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, serta kewenangan insidental lainnya seperti yang
diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan. Kewenangan rutin dilaksanakan
setiap 5 tahun sekali, sedangkan kewenangan insidental akan dilaksanakan hanya jika terjadi
keinginan untuk merubah UUD atau jika terjadi pelanggaran hukum atau ketidakmampuan Presiden
dan/atau Wakil Presiden menjalankan tugasnya.

3. MPR DAN PERUBAHAN STRUKTUR KETATANEGARAAN

Salah satu perubahan terpenting UUD 1945 adalah perubahan Bab I Tentang Bentuk dan Kedaulatan,
khususnya Pasal 1 Ayat (2). Perubahan Pasal 1 Ayat (2) mengubah susunan kekuasaan negara untuk
melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat . Perubahan tersebut menyebabkan perubahan struktur
lembaga negara dan kewenangan lembaga negara. Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan menyatakan
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.” Ketentuan tersebut berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”.

Perubahan tersebut setidaknya membawa lima konsekuensi dasar. Pertama, penegasan bahwa prinsip
demokrasi yang merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam pelaksanaannya harus mengikuti prinsip
negara hukum yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Kedua, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tidak lagi memegang kekuasaan sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, sehingga
dengan sendirinya tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Ketiga, kedaulatan rakyat
dilaksanakan oleh organ-organ konstitusi sesuai dengan yang ditentukan oleh UUD, sehingga organ-
organ itu tidak dapat lagi dibedakan secara hierarkis (setidaknya dapat dikatakan sederajat), tetapi
dibedakan menurut fungsi dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945. Keempat, terjadi
perubahan wewenang yang dimiliki oleh lembaga negara, khususnya MPR. Kelima, terjadi perubahan
hubungan antara lembaga negara yang lebih mencerminkan prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi.

Sebelum Perubahan UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga
lembaga-lembaga negara lain memperoleh mandat dari MPR. Untuk menjalankan kekuasaan tersebut,
UUD 1945 sebelum perubahan memberikan wewenang kepada MPR untuk menetapkan UUD dan
garis-garis besar dari pada haluan negara (Pasal 3 sebelum Perubahan). Untuk menjalankan
wewenang tersebut produk hukum yang dihasilkan oleh MPR adalah UUD dan Ketetapan MPR.
Lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan mandat untuk

melaksanakan ketetapan MPR dan mempertanggungjawabkan kepada MPR. Adanya perubahan


implementasi prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 mengakibatkan perubahan kedudukan dan
wewenang MPR. Sejak semua Lembaga negara mendapatkan kekuasaan dari UUD 1945, maka MPR

7
Ibid.
8
Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 Perubahan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden

7
tidak lagi memiliki wewenang membentuk Ketetapan MPR. MPR lebih berfungsi sebagai Lembaga
konstituante (berwenang mengubah dan menetapkan UUD) dan berfungsi “semacam” joint session
dari dua lembaga parlemen, yaitu DPR dan DPD.

Oleh karena itu Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 berubah menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Tap MPR yang dapat masih berlaku
belum diatur dalam UU, meliputi:

1. Tap MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;

2. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih

dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme.

3. Tap Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan.

5. Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan

Nasional.

6. Tap MPR Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

7. Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

8. Tap MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

9. Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

10.Tap MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan


Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

11.Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Saat ini telah terdapat beberapa Undang-Undang yang mengatur substansi Tap di atas sehingga
berdasarkan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 Tap terkait sudah tidak berlaku, walaupun dalam
UU itu tidak mecabut Tap MPR terkait. Misalnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, substansinya telah diatur dalam UU
Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. 9

A. KEDUDUKAN KETETAPAN MPR SEBELUM UU NOMOR 12 TAHUN 2011

Sebelum UU Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam Pasal 7

9
saoki Oktava, M. “Eksistensi Ketetapan Mpr/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (the
Existence of Mpr/S Provision in Hierarchy of Laws and Regulations in Indonesia).” Jurnal IUS 5, no. 1 (2017): 120–142 .

8
ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di
mana di dalamnya tidak termasuk Ketetapan MPR. Selanjutnya, ketentuan Pasal I Aturan Tambahan
UUD 1945 menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan
terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum lahirnya Tap MPR
Nomor I/MPR/2003.

Dengan demikian, walaupun di dalam jenis dan hierarki tidak lagi menyebutkan Ketetapan MPR
sebagai jenis peraturan perundang-undangan, namun Ketetapan MPR masih tetap sah berlaku sebagai
produk hukum nasional. Dasar hukumnya adalah ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Perubahan
UUD 1945 memang tidak lagi memberikan wewenang kepada MPR untuk membentuk produk hukum
ketetapan MPR, namun sama sekali tidak menyatakan bahwa Ketetapan MPR yang sudah ada tidak
lagi memiliki kekuatan hukum. Selain justifikasi normatif itu, keberlakuan suatu produk hukum yang
tidak lagi dapat dibentuk juga ada dalam praktik, misalnya produk hukum Ordonansi yang dibentuk
pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan produk hukum Penetapan Presiden dan Undang-Undang
Darurat yang banyak dibentuk pada masa Orde Lama. Semua ketentuan itu masih berlaku dan
memperoleh legitimasi terutama dari ketentuan peralihan di dalam UUD. 10

B. KETETAPAN MPR DALAM UU NOMOR 12 TAHUN 2011 DAN PERMASALAHANNYA

UU Nomor 12 Tahun 2011 dibentuk menggantikan UU Nomor 10 Tahun 2004. Salah satu perubahan
substansi adalah Penambahan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan
dan hierarkinya diletakkan di atas UU di bawah UUD 1945. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf B UU
Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003.

Telah diuraikan bahwa walaupun di dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 Ketetapan MPR tidak masuk
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, namun tetap memiliki kekuatan hukum
mengikat berdasarkan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang diakui berdasarkan Aturan Peralihan dan
Aturan Tambahan UUD 1945. Oleh karena itu, masuknya Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya merupakan penegasan
semata. Tidak ada konsekuensi hukum yang lebih kuat lagi. Sebaliknya, masuknya Ketetapan MPR
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan justru melahirkan persoalan hukum baru,
yaitu pertentangan antara Ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat
(1) UU Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa
beberapa Ketetapan MPR masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU. Di sisi lain, Pasal 7
ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan Ketetapan MPR di atas UU yang dari sisi hirarki
hukum mengandung konsekuensi bahwa produk hukum UU tidak boleh bertentangan dengan
Ketetapan MPR, konsekuensinya produk hukum UU tidak dapat menyatakan ketentuan yang lebih
tinggi tidak berlaku. Ketentuan ini tentu bertentangan dengan Pasal 4 Tap MPR

Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat ketetapan MPR yang akan menjadi tidak
berlaku jika sudah diatur dalam UU. Namun jika menggunakan logika UU Nomor 12 Tahun 2011
yang menempatkan Ketetapan MPR di atas UU, maka yang harus digunakan adalah ketentuan Pasal 4
Tap MPR Nomor I/MPR/2003 di mana substansinya justru menegaskan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun
2011 itu sendiri.Pertentangan ini juga membawa konsekuensi kepada persoalan kemungkinan
10
Arliman, Laurensius. “Kedudukan Ketetapan Mpr Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Lex
Jurnalica (Journal of Law) 13, no. 3 (2016): 158–170.

9
pengujian Ketetapan MPR. Masuknya Ketetapan MPR sebagai jenis produk hukum di bawah UUD
1945 menimbulkan pertanyaan bagaimana jika terdapat ketentuan dalam Ketetapan MPR yang dinilai
bertentangan dengan UUD 1945, padahal MPR sudah tidak lagi memiliki wewenang untuk
membentuk Tap MPR yang mencabut atau mengubahnya. MK tentu diragukan kewenangannya untuk
menguji Ketetapan MPR karena Ketetapan MPR bukan Undang-Undang dan kedudukannya berada di
atas UU. Pertanyaan ini sesungguhnya juga muncul pada saat Ketetapan MPR tidak masuk dalam
hierarki peraturan perundang-undangan. Namun pertanyaan itu dapat dijawab dengan merujuk kepada
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. MK memiliki wewenang menguji Tap MPR, khusus untuk
Ketetapan MPR yang disebut di dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, karena ketentuan pasal
itu telah menyamakan kedudukan Ketetapan MPR terkait dengan UU. Sedangkan terhadap Ketetapan
MPR yang ditentukan dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, MK tidak memiliki wewenang
menguji karena ketentuan Pasal 2 itu sendiri tidak memungkinkan adanya perubahan atau pencabutan
dengan UU. Ketetapan-ketetapan MPR dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 dapat
diposisikan sebagai bagian dari konstitusi secara luas. 11

C. HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN

1. Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Presiden

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara terkait dengan presiden sebagai organ
tinggi penyelenggara negara. Hal ini tercermin dari fungsi dan wewenang MPR dalam hubungannya
dengan Presiden yaitu pengangkatan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3(2)), pengangkatan
Wakil Presiden sebagai Wakil Presiden. . jika Presiden meninggal dunia atau tidak dapat menjalankan
tugasnya selama masa jabatannya. Demikian pula, Presiden memiliki hubungan dengan MPR,
yaitu,Presiden dapat menjalankan tugasnya sebagai Presiden hanya jika diangkat oleh MPR,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat 2:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Jadi hubungan itu
saling menguntungkan. 12

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

MPR dan DPR menjalin hubungan yang erat. Anggota MPR menurut susunannya adalah Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 2 Ayat 1). Artinya anggota DPR adalah
anggota MPR, itu artinya anggota DPR merangkap anggota MPR. MPR menggunakan DPR sebagai
instrumen untuk melaksanakan kontrol politik dan strategi majelis, dalam hal ini DPR menggunakan
kekuasaan dan haknya: hak Angket,hak interpelasi, hak anggaran, hak pengambilan keputusan MPR
dengan memperhatikan pendapat DPR. Melalui kekuasaan perwakilan rakyat, Melalui wewenang
DPR, MPR mengemudikan pembuat undang undang serta wewenang DPR, MPR juga dapat menilai
wewenang-wewenang lainnya.13

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

MPR dan DPD mempunyai hubungan yang erat dilihat dari keanggotaanya, anggota DPD juga
anggota MPR. Dengan demikian anggota Perwakilan Daerah juga merupakan bagian dari anggota
MPR. Melalui wewenang DPD, MPR dapat mengemudikan pembuatan undang undang yang
berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pemekaran daerah, pegolahan sumber

11
Ibid.
12
Yusmianti,Nusantara:Jurnal ilmu pengetahuan Sosial,Vol 7 No 1 Tahun 2020,hal 9
13
Ibid,hal.9

10
daya alam, perimbangan keuangan pusat dan daerah agar tidak menyimpang dengan Undang-Undang
Dasar.

D. FUNGSI & PERAN

1. Fungsi dan Peran MPR dalam Konstitusi

Sejak berdirinya negara Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga
tertinggi negara telah berperan penting dalam memimpin bangsa dan menentukan arah pembangunan
Indonesia. MPR sendiri tercantum dalam konstitusi Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara yang
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada artikel ini,
akan dibahas mengenai peran dan fungsi MPR dalam konstitusi Indonesia. 14

MPR memiliki fungsi dan peran dalam konstitusi Indonesia yang sangat penting, antara lain:

a. Pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan baru

MPR memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang dan peraturan perundang-undangan


baru untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Proses pembentukan
undang-undang dan peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan melalui tahapan yang telah
ditentukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Adapun perundangan undangan itu sendiri merupakan terjemahan dari Gesetzgebungwissenschaft,


yakni sebenarnya suatu cabang ilmu baru, yang mula - mula berkembang di Eropa Barat, teruma di
negara - negara pecahan atau pengaruh jerman. Tokoh - tokoh utama yang mencantumkan bidang
ilmu ini, yakni Peter Noll (1973), Jurgen Rodig (1979), dan Werner Maihofer (1981). Selanjutnya
bagi Indonesia sendiri, baik dalam naskah peraturan perundangan - undangan maupun dalam berbagai
buku Hukum Tata Negara di Indonesia dikenal berbagai istilah yaitu perundang - undangan, peraturan
perundangan, dan peraturan Negara.

b. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

MPR juga memiliki kewenangan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Proses pemilihan
dilaksanakan setiap lima tahun sekali atau jika terjadi kekosongan di jabatan Presiden dan Wakil
Presiden.

c. Pemberian Amandemen Konstitusi

MPR juga diberikan kewenangan untuk memberikan amandemen pada konstitusi jika diperlukan.
Amandemen pada konstitusi biasanya dilakukan jika terdapat perubahan dalam masyarakat atau
perubahan kondisi politik yang membutuhkan perubahan dalam sistem pemerintahan negara. 15

E. KESIMPULAN

Perubahan terpenting dalam UUD 1945 adalah perubahan pada Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan,
khususnya Pasal 1 Ayat (2). Pasal 1 Ayat (2) sebelumnya menyatakan bahwa kedaulatan sepenuhnya
di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR. Namun, setelah perubahan, kedaulatan rakyat dijalankan
menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan ini memiliki lima konsekuensi dasar.

Pertama, prinsip demokrasi harus mengikuti prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi.
14
Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia : Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.
15
Asshiddiqie, Jimly, (2004) Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII PRESS,
Yogyakarta.

11
Kedua, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak lagi memegang kekuasaan sebagai
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Ketiga, organ-organ konstitusi tidak lagi dibedakan secara hierarkis tetapi dibedakan menurut fungsi
dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945.

Keempat, terjadi perubahan wewenang yang dimiliki oleh lembaga negara, khususnya MPR.

Kelima, terjadi perubahan hubungan antara lembaga negara yang lebih mencerminkan prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi.

Sebelum perubahan, MPR memiliki wewenang untuk menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan
negara, dan lembaga negara lain memperoleh mandat dari MPR. Namun, setelah perubahan, MPR
berfungsi sebagai lembaga konstituante dan memiliki wewenang untuk mengubah dan menetapkan
UUD. MPR juga berfungsi sebagai joint session dari DPR dan DPD. Seiring dengan perubahan
implementasi prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, terjadi perubahan kedudukan dan
wewenang MPR. Oleh karena itu, Pasal 3 UUD 1945 berubah menjadi "MPR berwenang mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar."

MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat telah berakhir, dan hal ini telah dialihkan kepada rakyat.
MPR tidak lagi terlalu dominan dan menjadi alat legitimasi rezim, seperti pada masa Orde Baru.
Ruang politik transisi membutuhkan kemampuan MPR untuk menafsirkan dinamika pelaksanaan
tugas dan wewenangnya sebagai sebuah lembaga negara. Meskipun masih mengikuti sistem
kepemimpinan tetapnya, seperti model tricameral(praktik memiliki tiga kamar legislatif atau
parlementer), MPR telah bertransformasi menjadi forum sidang bersama antara anggota DPR dan
anggota DPD untuk membahas agenda negara tertentu. Konsep mewakili kehendak rakyat pertama
kali dinyatakan oleh Bung Karno dan Muhammad Yamin, sedangkan Soepomo menggunakan istilah
"Dewan Dewan" untuk menyatakan ide kemerdekaan Indonesia berdasarkan prinsip musyawarah.
Ide-ide ini telah mempengaruhi perkembangan MPR di Indonesia.

F.REFERENSI
id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_Indonesia,di akses 08 April

Jurnal pembaharuan hukum,volume III no.2,Mei-Agustus 2016

Anang priyanto,Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam struktru Ketatanegaraan Indonesia,hal 3

Juniarto (1990), Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Rineka Cipta, Jakarta. hal.46

Media Indonesia,15 Juli 2003

Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 Perubahan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden

saoki Oktava, M. “Eksistensi Ketetapan Mpr/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (the Existence
of Mpr/S Provision in Hierarchy of Laws and Regulations in Indonesia).” Jurnal IUS 5, no. 1 (2017): 120–142 .

Arliman, Laurensius. “Kedudukan Ketetapan Mpr Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Lex
Jurnalica (Journal of Law) 13, no. 3 (2016): 158–170.

12
Yusmianti,Nusantara:Jurnal ilmu pengetahuan Sosial,Vol 7 No 1 Tahun 2020,hal 9

Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia : Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Asshiddiqie, Jimly, (2004) Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII PRESS,
Yogyakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai