Anda di halaman 1dari 3

1. 1.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum


amandemen, sistem parlemen di Indonesia adalah satu kamar (monocameral), meski
terdapat dua badan perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam sistem parlemen ini kekuasaan legislasi diletakkan kepada
DPR bersama-sama Presiden. Seiring dengan perkembangan sistem ketatanegaraan
Indonesia, berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sistem satu kamar tersebut berubah menjadi sistem parlemen dua kamar
(bicameral), yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Hal ini berarti bahwa kekuasaan legislasi berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amandemen UUD 1945 merupakan upaya
penyempurnaan aturan dasar guna lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945,
Perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR sesuai kewenangannya yang diatur dalam pasal 3
dan pasal 37 UUD 1945. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa MPR punya wewenang
dalam mengubah dan menetapkan UUD.
Untuk mengubah UUD, sekurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR harus hadir.
Keputusan diambil dengan pesetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota
yang tidak hadir. UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh, serta Penjelasan.
Sebelum amandemen, batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat
dari 16 pasal berayat tunggal, sementara 49 ayat lainnya berasal dari 21 pasal yang berisi 2
ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan. UUD 1945 pada
periode pertama mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember
1949. UUD 1945 dalam kurun 1945-1950 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Maklumat Presiden Nomor X pada 16 Oktober 1945 memutuskan, kekuasaan legislatif
diserahkan pada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) karena MPR dan DPR saat itu
belum terbentuk. Pada 14 November 1945, dibentuk Kabinet Semi Presidensial atau Semi
Parlementer yang pertama. Peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem
pemerintahan Indonesia terhadap UUD 1945.
2. Kedudukan dan fungsi DPD, memberikan perubahan terhadap sistem perwakilan dalam
ketatanegaraan Indonesia yang sebelumnya tidak menampakkan bentuk perwakilan yang
sebenarnya. Dengan kehadiran DPD tersebut, dalam sistem perwakilan Indonesia, DPR
didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi
dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan
lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD
merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah. Unsur anggota DPR didasarkan
atas prosedur perwakilan politik (political representation), sedangkan anggota DPD yang
merupakan cerminan dari prinsip regional representation dari tiap-tiap daerah provinsi.
Dalam pandangan MPR, pengaturan keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia menurut UUD 1945, antara lain dimaksudkan untuk:
1. Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam
perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah
3. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi
dan seimbang.

2. 1. Terdapat beberapa perubahan setelah amandemen Undang-UndangDasar Republik


Indonesia 1945 salah satunya yaitu terjadinya pergeseran terhadap kekuasaanPresiden
dalam membentuk Undang-Undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5, yangberubah
menjadi Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang dan DewanPerwakilan
Rakyat (DPR) memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-Undangsebagaimana hal
tersebut tercantum dalam Pasal 20.
Dimana adanya pergeseran kewenangan dalam membentuk Undang-Undang yang
sebelumnya ditangan Presiden kini dialihkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
dikarenakan hal tersebut bertujuan sebagai langkah konstitusional untuk meletakkan secara
tepat fungsi-fungsi lembaga negara yang sesuai dengan tugasnya masing-masing, yang mana
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk Undang-Undang dan Presiden sebagai
lembaga pelaksanaUndang-Undang.
2. Berdasarkan analisis saya, maka atas perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan
yang berlaku. Dimana hubungan antara presiden dan parlemen pasca amandemen Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam keputusan hukum, hubungan kekuasaan
antara lembaga eksekutif dan legislatif biasa disebut dengan hubungan kewibawaan yang
formal antara pemerintah dan parlemen sebagaimana seperti hubungan antara Presiden
dan DPR.
Dan apabila dilihat dari aspek pertimbangan kekuasaan mengenai hubugan Presiden dengan
DPR, hubungan Presiden dengan Mahkamah Agung tercantum dalam perubahan Pasal 13
dan 14 Undang-Undang Dasar 1945, yang mana hal tersebut terhadap Pasal-Pasal ini dapat
dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama dipandang sebagai
hak prerogratif. Dengan berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang 1945
yang telah diubah,sepertinya hubungan Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
maka dapat dikatakan bahwa ada beberapa kekuasan Presiden yang bergeser menjadi milik
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menjalankan kekuasan pemerintahan. Akan tetapi
hal tersebut tidak berarti bahwa Presiden menjadi tidak kuat dihapadan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Peran DewanPerwakilan Rakyat setelah amandemen pun hanya bersifat
pertimbangan dan tidak berpengaruh terhadap kekuasaan Presiden

3. 1. Berdasarkan Pernyataan 1 Kehakiman memiliki Prinsip atau teori Kebebasan Hakim dalam
Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi (Principles of Fredomof Justice in Decidene The
Case as a Constitutional Mandate) dimana Prinsip kebebasan hakim merupakan bagian dari
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, sebagaimana yang
dikehendaki Pasal 24 UUD 1945. Prinsip kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya
sebagai hakim, maka dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas
kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun,
tetapi leluasa untuk berbuat apa pun. Prinsip kebebasan hakim merupakan suatu
kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu
putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Para hakim Indonesia memahami dan
mengimplementasikan makna kebebasan hakim sebagai suatu kebebasan yang
bertangungjawab, kebebasan dalam koridor ketertiban peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman sesuai hukum acara
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa dipengaruhi oleh pemerintah,
kepentingan, kelompok penekan, media cetak, media elektronik, dan individu yang
berpengaruh.
2. Berdasarkan Pernyataan 1 Kehakiman memiliki kekuasaan Yudikatif, Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menjalankan sistem peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. Kekuasaan
Yudikatif erat hubungannya dengan kedua kekuasaan lainnya (Legislatif dan eksekutif) serta
erat hubungannya dengan hak dan kewajiban individu. Kekuasaan yudikatif adalah
kekuasaan yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang melalui wakilnya yang duduk dalam lembaga Mahkamah Agung
(MA). Lembaga ini berperan sebagai alat pengendali sosial, yang pelaksanaannya dilakukan
terhadap lembaga kekuasaan eksekutif.
3. Independensi hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dan merupakan
instrumentarium hukum bagi hakim dalam melaksanakan fungsinya mengadili dan memutus
suatu perkara yang dihadapkan kepadanya agar terbebas dari segala interfensi dan atau
pengaruh dari lingkungan kekuasaan lainnya baik itu dari lingkungan organ kekuasaan
eksekutif maupun dari lingkungan organ kekuasaan legislatif.
kemerdekaan kekuasaan kehakiman (selanjutnya disebut dengan istilah independensi),
sudah sejak lama dipandang perlu dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak
memperoleh perhatian yang cukup berarti dalam praktiknya. Namun demikian,
independensi kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian penuh
dan menjadi bahan kajian. Independensi Hakim telah menjadi perdebatan panjang dalam
sejarah ketatanegaraan semenjak lahirnya ide atau gagasan bernegara hukum. Pro kontra
tentang perlunya kebebasan diberikan kepada Hakim lahir dari kalangan pragmatisme
berhadapan dengan aliran progresif. Independensi hakim sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman menjamin bahwa Negara bagi independensi Hakim dalam melaksanakan fungsi
kekuasaan kehakiman melalui peradilan-peradilan negara untuk mengadili dan memutus
perkara demi hukum dan keadilan, secara normatif (yuridis-formal) telah diberikan dalam
Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Juga Pasal 1 Butir 1 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Landasan teoritis bagi Hakim dalam melaksanakan fungsi
kekuasaan kehakiman secara independen melalui peradilan-peradilan negara, mendapatkan
justifikasi dan validitasnya dengan teori pemisahan kekuasaan Trias Politica dari
Montesquieu dan Immanuel Kant.

Anda mungkin juga menyukai