Anda di halaman 1dari 8

Kul – VI PerUU.

LEMBAGA-LEMBAGA DAN PERUNDANG-UNDANGAN


(SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945)

A. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia


(Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Perubahan)
Menurut UUD 1945, Indonesia ialah suatu negara yang berdasarkan atas
hukum (Recthsstaat) dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak
menyimpang dari negara berdasarkan atas hukum pada umumnya (genus begrip),
namun disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan menggunakan ukuran
pandangan hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UUD 1945 dirumuskan bahwa pokok-pokok
sistem pemerintahan negara Indonesia, adalah:
1. Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan tak terbatas).
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR (Die gezamte Staatgewalt
liegt allein bei der Majelis).
Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama MPR, sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des
Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan UUD dan menetapkan GBHN. Majelis
juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil
Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi,
sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis
besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis
bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari
Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak
berada di samping “neben” akan tetapi berada di bawah “untergeordnet”
kepada Majelis.
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah
Majelis
Di bawah MPR, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang
tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung
jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility
upon the President).
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR

1
Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk UU
(Gesetzgebung) dan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-
sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada
Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan.
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada DPR
Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-
menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukannya tidak
tergantung dari pada Dewan, akan tetapi tergantung daripada Presiden. Menteri
adalah pembantu Presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan
“diktator”, artinya kekuasaannya tidak tak terbatas.
Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden,
dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan
negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat
diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan
jawab kepada Presiden.
Dapat diambil kesimpulan bahwa di Negara Republik Indonesia Presiden
adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam arti eksekutif dan di samping itu
juga pemegang kekuasaan membentuk UU (dalam arti kekuasaan legislatif)
dengan persetujuan DPR.
Dengan perkataan lain Presiden sebelum Perubahan UUD 1945 adalah
pemegang kekuasaan “eksekutif” dan juga pemegang kekuasaan “legislatif”
dengan persetujuan DPR. Dengan adanya 2 (dua) kekuasaan yang dipegang oleh
sebuah organ negara, UUD 1945 jelas tidak menganut ajaran Trias Politica dari
Mostesquieu yang mengatakan bahwa di dalam suatu negara terdapat tiga
kekuasaan yang terpisah satu sama lainnya.
Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748) membagi
kekuasaan dalam negara ke dalam:
1. Kekuasaan legislatif;
2. Kekuasaan eksekutif;
3. Kekuasaan yudikatif.
ad. 1. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang yang berlaku
dalam suatu negara.

2
ad. 2. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang atau
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang
yang berlaku dalam suatu negara.
ad. 3. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan peradilan dimana kekuasaan ini
menjaga agar undang-undang, peraturan-peraturan atau ketentuan-
ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan jalan
menjatuhkan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-
undang.
Menurut ajaran Trias Politica, kekuasaan negara itu harus dipisah-pisahkan
dan masing-masing dilakukan oleh organ tersendiri. Pemisahan kekuasaan itu
bersifat kedap, dalam arti bahwa kekuasaan-kekuasaan itu bukan hanya dibeda-
bedakan dan dipisah-pisahkan satu sama lain, tetapi harus pula diserahkan dan
dilakukan oleh organ-organ negara yang terpisah. Adanya pemisahan kekuasaan
tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar supaya kekuasaan negara itu tidak
berada pada satu tangan/organ saja, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
penyalahgunaan oleh organ tersebut. Montesquieu menghendaki hal tersebut oleh
karena ia memandang bahwa fungsi dan organ itu adalah sama/identik, sehingga
pengertian dan penyebutan sesuatu fungsi adalah juga merupakan pengertian/
penyebutan dari organ yang bersangkutan.
Walaupun ajaran Trias Politica tersebut sangat dirasakan pengaruhnya
sampai sekarang, tetapi di dalam praktik kehidupan kenegaraan ternyata ajaran itu
tidak dapat diterapkan secara mutlak, oleh karena ternyata di dalam praktik
pengertian fungsi kekuasaan negara dan organ negara perlu ada pembedaan.
Selain itu, di dalam kenyataannya satu organ negara itu mungkin dapat melakukan
lebih dari satu fungsi kekuasaan negara, misalnya organ eksekutif dapat saja
memegang kekuasaan legislatif.
Dalam kehidupan kenegaraan yang berlaku dan sesuai ketentuan-ketentuan
dalam UUD 1945, Indonesia jelas tidak menganut ajaran Trias Politica dengan
adanya pemisahan kekuasaan (separation of powers atau scheiding van machten).
Berdaasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 dan Penjelasannya,
pemegang ketiga kekuasaan negara di Indonesia dilakukan oleh:
1. Kekuasaan eksekutif, dipegang oleh Presiden;
2. Kekuasaan legislatif, dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR;
3. Kekuasaan yudikatif, dipegang oleh MA dan badan-badan peradilan lainya.
Dengan adanya kekuasaan eksekutif di tangan Presiden sekaligus kekuasaan
legislatif (dengan persetujuan DPR), serta kekuasaan yudikatif di tangan MA dan
badan-badan peradilan lainnya, sebenarnya Indonesia menganut sistem

3
pembagian kekuasaan (distribution of powers) dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Negara Republik Indonesia.

B. Presiden Penyelenggara Tertinggi Pemerintahan Negara


Di dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum Perubahan) dirumuskan
sebagai berikut:
“Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
Dengan mengambil rumusan dari Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat
disimpulkan bahwa Presiden adalah Kepala Pemerintahan di Negara Republik
Indonesia.
Menurut Jellinek pemerintahan mengandung 2 (dua) arti, yaitu arti formal
dan arti material. Pemerintahan dalam arti formal mengandung kekuasaan
mengatur (Verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus (Entscheidungsgewalt),
sedangkan pemerintahan dalam arti material berisi dua unsur memerintah dan
unsur melaksanakan (das Element der Regierung und das der Vollziehung).
Dari ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 dapat ditarik kesimpulan bahwa
kekuasaan pemerintahan itu mengandung juga kekuasaan pengaturan dalam arti
membentuk peraturan. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari van Wijk dan W.
Konijnenbelt yang menyatakan bahwa pelaksanaan (uitvoering) dapat berarti
pengeluaran penetapan-penetapan atau berupa perbuatan-perbuatan nyata lainnya
ataupun berupa pengeluaran peraturan-peraturan lebih lanjut ( gedelegeerde
wetgeving).
Apabila dilihat pada teori van Vollenhoven, pengertian pemerintahan
(regering) bisa berarti sebagai lembaga (overheid) dapat pula berarti sebagai suatu
fungsi (functie). Pemerintahan dalam arti luas terdiri atas 4 (empat) fungsi, yaitu:
1. Ketataprajaan (bestuur);
2. Pengaturan (regeling);
3. Keamanan/kepolisian (politie); dan
4. Peradilan (rechtspraak).
Dimana fungsi yang terakhir ini kemudian dipisahkan karena adanya wawasan
negara berdasar hukum (Rechtsstaat).
Pemerintah dalam arti lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan
sesuai dengan UUD 1945 adalah Presiden. Pengertian ini diperjelas oleh A.
Hamid S. Attamimi dengan penjelasan, sebagai berikut:
“Di bawah UUD 1945, yang dimaksud dengan Pemerintah (regering)
ialah organ yang dipimpin oleh Presiden RI sebagai penyelenggaranya
yang tertinggi, dengan bagian-bagiannya terdiri dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II”.

4
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan lebih lanjut, “Presiden RI
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
“Dengan demikian sesuai UUD 1945 Presiden RI selain memegang
kekuasan pemerintahan, ia juga penyelenggara tertinggi Pemerintah
Negara. Dengan demikian, seluruh tugas dan fungsi staatsregering dari
Negara Republik Indonesia berada di tangan Presiden, dan Presiden
jugalah Penyelenggara Tertinggi organ staatsregering tersebut”.

Dengan demikian jelaslah bahwa Presiden RI adalah Penyelenggara


Tertinggi Pemerintah Negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi
pemerintahan dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan/
kepolisian, dan pengaturan. Negara RI tidak menganut ajaran Trias Politica
karena fungsi-fungsi di Negara RI dilaksanakan oleh organ-organ negara yang
mempunyai sifat dan juga fungsi yang berbeda dengan ajaran Trias Politica
tersebut.

C. Presiden Penyelenggara Pemerintahan dan Perundang-undangan


Berpegang pada pendapat Jellinek yang menyatakan bahwa pemerintahan
dalam arti formil mengandung kekuasaan mengatur (Verordnungsgewalt) dan
kekuasaan memutus (Entscheidungsgewalt), sedangkan dalam arti material
mengandung unsur memerintah dan melaksanakan (das Element der Regierung
und das der Vollziehung), juga teori Vollenhoven yang menyatakan bahwa
pemerintahan dalam arti luas itu termasuk ketataprajaan, keamanan/kepolisian,
dan pengaturan (karena fungsi peradilan dipisahkan), maka Presiden RI yang
dinyatakan memegang kekuasaan pemerintahan mempunyai arti bahwa, Presiden
itu bertugas menyelenggarakan pemerintahan termasuk juga pengaturan. Sebagai
penyenggara pemerintahan, Presiden dapat membentuk peraturan perundang-
undangan yang diperlukan, oleh karena Presiden juga merupakan pemegang
kekuasaan pengaturan di negara Republik Indonesia.
Fungsi pengaturan ini terlihat dalam pembentukan UU dengan persetujuan
DPR, sesuai Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945, pembentukan Peraturan Pemerintah
(PP) berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945, pembentukan PERPU berdasarkan
Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang merupakan peraturan perundang-undangan
yang disebut secara langsung oleh UUD 1945, dan pembentukan Keputusan
Presiden yang merupakan peraturan perundang-undangan yang berasal dari
ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945.

5
D. Presiden Pemegang Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Dengan
Persetujuan DPR
Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum Perubahan) dirumuskan
sebagai berikut:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan
DPR”.
Sedangkan dalam Penjelasan mengenai Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945,
menyatakan:
“Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan DPR
menjalankan legislative power dalam negara”.
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa, sesuai dengan Kamus Bahasa
Indonesia perkataan “bersama-sama” dalam bahasa Indonesia berarti
berbarengan dengan atau serentak, sehingga dengan demikian berarti bahwa
Presiden dalam menjalankan legislative power yakni dalam hal pembentukan UU,
Presidenlah yang melaksanakan kekuasaan pembentukannya, sedangkan DPR
melaksanakan (pemberian) persetujuannya dengan berbarengan, serentak,
bersama-sama. Dengan demikian menjadi jelas kewenangan pembentukan UU
tetap pada Presiden, dan kewenangan pemberian persetujuan tetap pada DPR.
Agar UU itu dapat terbentuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan bersama-
sama, berbarengan, serentak.

E. DPR Memberi Persetujuan Setiap Rancangan UU


Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasannya dikatakan: “…
dengan persetujuan DPR”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “persetujuan” diartikan dengan
“pernyataan setuju”, sedangkan kata “setuju” berarti “sepakat”, selain itu kata
“menyetujui” juga berarti “membenarkan” atau “mengiyakan”.
Kalimat “… dengan persetujuan DPR”, dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD
1945 tersebut, apabila dihubungkan dengan Penjelasan dari Pasal 20 Ayat (1)
UUD 1945, yang menyebutkan “Dewan ini harus memberi persetujuan
kepada tiap-tiap RUU dari pemerintah”, tidak berarti bahwa DPR harus selalu
setuju terhadap semua RUU dari Pemerintah. Kalimat-kalimat tersebut dalam hal
ini harus diartikan bahwa setiap RUU dari Pemerintah itu tidak boleh
dikesampingkan, tetapi DPR haruslah memberikan suatu “consent” atau suatu
“kesepakatan” dalam arti menolak atau menerima RUU tersebut. Dengan
demikian perkataan dengan persetujuan DPR itu seharusnya diartikan dengan
kesepakatan DPR atau dengan persesuaian DPR.

6
F. Hakikat UU Menurut Rousseau (Kebenaran Mutlak)
Menurut Rousseau, tokoh yang mengetengahkan Teori Kedaulatan
Rakyat mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum
dan menjamin kebebasan dari para warganegaranya, dalam pengertian bahwa
kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Dalam hal ini, pembentukan
UU adalah menjadi hak rakyat sendiri untuk membentuknya, sehingga UU itu
merupakan penjelmaan dari kemauan atau kehendak rakyat.
Di Negara Republik Indonesia, kemauan rakyat (kedaulatan) itu diserahkan
oleh rakyat kepada lembaga tertinggi yaitu MPR. MPR ini kemudian
menyerahkan pelaksanaan dari kedaulatan itu kepada Presiden sebagai
mandatarisnya. Presiden sebagai mandataris MPR ini kemudian melaksanakan
kedaulatan tersebut dengan membentuk peraturan perundang-undangan, yang
salah satunya membentuk UU dengan persetujuan DPR.

G. Cita Negara dan Sistem Pemerintahan Negara RI


Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum,
dengan rumusan rechtsstaat sesuai dengan UUD 1945, dan rumusan ini dilandasi
oleh suatu Cita Negara Integralistik.
Faham Cita Negara Integralistik ini di Indonesia diperkenalkan oleh
Soepomo, pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan pembentukan Negara
Republik Indonesia. Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengatakan:
“Jikalau kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan
yang hendak kita pakai untuk negara Indonesia, maka dasar sistem
pemerintahan itu tergantung pada Staatsidee, kepada “begrip”, “staat”
(negara) yang hendak kita pakai untuk pembangunan negara
Indonesia”.

Pendapat Soepomo mengenai Cita Negara Integralistik ini disetujui oleh


Rapat Besar BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945. Cita Negara Indonesia yang oleh
Soepomo diberi nama Cita “Negara Kesatuan” itu kemudian dituangkan dalam
pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945.
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa sebaiknya untuk selanjutnya
tidak lagi digunakan istilah “Cita Negara Integralistik” atau “Cita Negara
Totaliter” yang untuk beberapa orang dapat mengandung salah paham,
melainkan “cita negara kekeluargaan” atau “cita negara kesatuan”, oleh
karena Soepomo sendiri mempersamakan arti istilah-istilah tersebut dan
menggunakan secara bergantian.

7
H. Lembaga-lembaga Negara Lainnya
Menurut Prayudi Admosudirdjo, kekuasaan negara atau dengan istilah
susunan penguasa negara adalah sebagai berikut:
1. Penguasa konstitutif = MPR;
2. Penguasa legilatif = Presiden + DPR;
3. Penguasa eksekutif = Pemerintah = Presiden (dengan dibantu oleh pejabat-
pejabat pemerintah);
4. Penguasa administratif = Administrator Negara = Presiden (dengan mengepalai
Administrasi Negara);
5. Penguasa militer = Presiden, dengan membawahi Angkatan Perang;
6. Penguasa yudikatif = MA, dengan membawahi aparatur peradilan (Korsa
Hakim);
7. Penguasa inspektif = BPK.
Bahwa sesuai dengan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia
seperti yang tertulis dalam Penjelasan UUD 1945, maka lembaga-lembaga negara
dalam perundang-undangan adalah Presiden dengan persetujuan DPR, dalam arti
Presiden sebagai pembentuk UU, sedangkan DPR berfungsi memberikan
persetujuan bagi setiap RUU yang diajukan oleh Pemerintah (Presiden). Selain
itu, tunduknya setiap warga negara terhadap suatu UU dilandasi suatu
pemahaman bahwa UU itu merupakan hasil dari lembaga legislatif (Presiden)
dengan persetujuan wakil-wakil rakyat.

Anda mungkin juga menyukai