1
Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk UU
(Gesetzgebung) dan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-
sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada
Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan.
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada DPR
Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-
menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukannya tidak
tergantung dari pada Dewan, akan tetapi tergantung daripada Presiden. Menteri
adalah pembantu Presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan
“diktator”, artinya kekuasaannya tidak tak terbatas.
Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden,
dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan
negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat
diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan
jawab kepada Presiden.
Dapat diambil kesimpulan bahwa di Negara Republik Indonesia Presiden
adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam arti eksekutif dan di samping itu
juga pemegang kekuasaan membentuk UU (dalam arti kekuasaan legislatif)
dengan persetujuan DPR.
Dengan perkataan lain Presiden sebelum Perubahan UUD 1945 adalah
pemegang kekuasaan “eksekutif” dan juga pemegang kekuasaan “legislatif”
dengan persetujuan DPR. Dengan adanya 2 (dua) kekuasaan yang dipegang oleh
sebuah organ negara, UUD 1945 jelas tidak menganut ajaran Trias Politica dari
Mostesquieu yang mengatakan bahwa di dalam suatu negara terdapat tiga
kekuasaan yang terpisah satu sama lainnya.
Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748) membagi
kekuasaan dalam negara ke dalam:
1. Kekuasaan legislatif;
2. Kekuasaan eksekutif;
3. Kekuasaan yudikatif.
ad. 1. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang yang berlaku
dalam suatu negara.
2
ad. 2. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang atau
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang
yang berlaku dalam suatu negara.
ad. 3. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan peradilan dimana kekuasaan ini
menjaga agar undang-undang, peraturan-peraturan atau ketentuan-
ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan jalan
menjatuhkan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-
undang.
Menurut ajaran Trias Politica, kekuasaan negara itu harus dipisah-pisahkan
dan masing-masing dilakukan oleh organ tersendiri. Pemisahan kekuasaan itu
bersifat kedap, dalam arti bahwa kekuasaan-kekuasaan itu bukan hanya dibeda-
bedakan dan dipisah-pisahkan satu sama lain, tetapi harus pula diserahkan dan
dilakukan oleh organ-organ negara yang terpisah. Adanya pemisahan kekuasaan
tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar supaya kekuasaan negara itu tidak
berada pada satu tangan/organ saja, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
penyalahgunaan oleh organ tersebut. Montesquieu menghendaki hal tersebut oleh
karena ia memandang bahwa fungsi dan organ itu adalah sama/identik, sehingga
pengertian dan penyebutan sesuatu fungsi adalah juga merupakan pengertian/
penyebutan dari organ yang bersangkutan.
Walaupun ajaran Trias Politica tersebut sangat dirasakan pengaruhnya
sampai sekarang, tetapi di dalam praktik kehidupan kenegaraan ternyata ajaran itu
tidak dapat diterapkan secara mutlak, oleh karena ternyata di dalam praktik
pengertian fungsi kekuasaan negara dan organ negara perlu ada pembedaan.
Selain itu, di dalam kenyataannya satu organ negara itu mungkin dapat melakukan
lebih dari satu fungsi kekuasaan negara, misalnya organ eksekutif dapat saja
memegang kekuasaan legislatif.
Dalam kehidupan kenegaraan yang berlaku dan sesuai ketentuan-ketentuan
dalam UUD 1945, Indonesia jelas tidak menganut ajaran Trias Politica dengan
adanya pemisahan kekuasaan (separation of powers atau scheiding van machten).
Berdaasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 dan Penjelasannya,
pemegang ketiga kekuasaan negara di Indonesia dilakukan oleh:
1. Kekuasaan eksekutif, dipegang oleh Presiden;
2. Kekuasaan legislatif, dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR;
3. Kekuasaan yudikatif, dipegang oleh MA dan badan-badan peradilan lainya.
Dengan adanya kekuasaan eksekutif di tangan Presiden sekaligus kekuasaan
legislatif (dengan persetujuan DPR), serta kekuasaan yudikatif di tangan MA dan
badan-badan peradilan lainnya, sebenarnya Indonesia menganut sistem
3
pembagian kekuasaan (distribution of powers) dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
4
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan lebih lanjut, “Presiden RI
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
“Dengan demikian sesuai UUD 1945 Presiden RI selain memegang
kekuasan pemerintahan, ia juga penyelenggara tertinggi Pemerintah
Negara. Dengan demikian, seluruh tugas dan fungsi staatsregering dari
Negara Republik Indonesia berada di tangan Presiden, dan Presiden
jugalah Penyelenggara Tertinggi organ staatsregering tersebut”.
5
D. Presiden Pemegang Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Dengan
Persetujuan DPR
Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum Perubahan) dirumuskan
sebagai berikut:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan
DPR”.
Sedangkan dalam Penjelasan mengenai Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945,
menyatakan:
“Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan DPR
menjalankan legislative power dalam negara”.
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa, sesuai dengan Kamus Bahasa
Indonesia perkataan “bersama-sama” dalam bahasa Indonesia berarti
berbarengan dengan atau serentak, sehingga dengan demikian berarti bahwa
Presiden dalam menjalankan legislative power yakni dalam hal pembentukan UU,
Presidenlah yang melaksanakan kekuasaan pembentukannya, sedangkan DPR
melaksanakan (pemberian) persetujuannya dengan berbarengan, serentak,
bersama-sama. Dengan demikian menjadi jelas kewenangan pembentukan UU
tetap pada Presiden, dan kewenangan pemberian persetujuan tetap pada DPR.
Agar UU itu dapat terbentuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan bersama-
sama, berbarengan, serentak.
6
F. Hakikat UU Menurut Rousseau (Kebenaran Mutlak)
Menurut Rousseau, tokoh yang mengetengahkan Teori Kedaulatan
Rakyat mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum
dan menjamin kebebasan dari para warganegaranya, dalam pengertian bahwa
kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Dalam hal ini, pembentukan
UU adalah menjadi hak rakyat sendiri untuk membentuknya, sehingga UU itu
merupakan penjelmaan dari kemauan atau kehendak rakyat.
Di Negara Republik Indonesia, kemauan rakyat (kedaulatan) itu diserahkan
oleh rakyat kepada lembaga tertinggi yaitu MPR. MPR ini kemudian
menyerahkan pelaksanaan dari kedaulatan itu kepada Presiden sebagai
mandatarisnya. Presiden sebagai mandataris MPR ini kemudian melaksanakan
kedaulatan tersebut dengan membentuk peraturan perundang-undangan, yang
salah satunya membentuk UU dengan persetujuan DPR.
7
H. Lembaga-lembaga Negara Lainnya
Menurut Prayudi Admosudirdjo, kekuasaan negara atau dengan istilah
susunan penguasa negara adalah sebagai berikut:
1. Penguasa konstitutif = MPR;
2. Penguasa legilatif = Presiden + DPR;
3. Penguasa eksekutif = Pemerintah = Presiden (dengan dibantu oleh pejabat-
pejabat pemerintah);
4. Penguasa administratif = Administrator Negara = Presiden (dengan mengepalai
Administrasi Negara);
5. Penguasa militer = Presiden, dengan membawahi Angkatan Perang;
6. Penguasa yudikatif = MA, dengan membawahi aparatur peradilan (Korsa
Hakim);
7. Penguasa inspektif = BPK.
Bahwa sesuai dengan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia
seperti yang tertulis dalam Penjelasan UUD 1945, maka lembaga-lembaga negara
dalam perundang-undangan adalah Presiden dengan persetujuan DPR, dalam arti
Presiden sebagai pembentuk UU, sedangkan DPR berfungsi memberikan
persetujuan bagi setiap RUU yang diajukan oleh Pemerintah (Presiden). Selain
itu, tunduknya setiap warga negara terhadap suatu UU dilandasi suatu
pemahaman bahwa UU itu merupakan hasil dari lembaga legislatif (Presiden)
dengan persetujuan wakil-wakil rakyat.