Anda di halaman 1dari 87

HUKUM TATA NEGARA (STRUKTUR PEMERINTAHAN INDONESIA)

Ajeng Kusumaningtyas Pradani Saputri1 , Enggita Dwi Anggraini2 ,


Iis Rahmawati3 , Dhimas Achmad Massaid4 , Fikri Maulana5

1
Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: 05020222035@student.uinsby.ac.id
2
Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: 05020222112@student.uinsby.ac.id
3
Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: 05020222116@student.uinsby.ac.id
4
Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: 05020222109@student.uinsby.ac.id
5
Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Email: 05020222115@student.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Suatu negara dapat dikatakan berjalan dengan baik, apabila di suatu negara tersebut
terdapat suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah, yang mana didalamnya terdapat suatu
pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat, serta diberikan kekuasaan yang sah untuk
mengatur para rakatnya. Kekuasaan yang sah, artinya bahwa pemerintah yang berdaulat,
adalah merupakan representasi dari seluruh rakyat dan menjalankan kekuasaan atas kehendak
rakyat. Kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah,
mewakili, mengurus, dan lain sebagainya) sesuatu. Dalam hal ini pemerintah menjalankan
kekuasaan atas kehendak rakyat, artinya bahwa berdasarkan konsensus yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah disepakati
bahwa rakyat memberikan wewenang

Pada saat menjalankan roda pemerintahan, pemerintah memerlukan suatu “Sistem


Pemerintahan”. Sistem pemerintahan merupakan gabunngan dari 2 (dua) istilah yaitu
“Sistem” dan “Pemerintahan”. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian
yang mempunyai hubungan fungsionil baik antara bagian-bagian maupun hubungan terhadap
keseluruhan, sehingga hubungan itu menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yang
akibatnya juka salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhannya itu. Sementara itu pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang
dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara
sendiri; jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja,
melainkan juga meliputi tugas-tugas lain termasuk legislatif dan yudikatif. Ketika membahas
mengenai sistem pemerintahan maka akan erat kaitannya dengan pembagian kekuasaan serta
hubungan antara lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam
rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat yaitu mencapai cita-cita nasional yang tertuang
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea IV
yaitu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pembahasan

1. LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN


A. Struktur Lembaga Negara Sebelum Amandemen

Pada saat sebelum amandemen, lembaga tertinggi negara adalah MPR seperti yang
tersebut dalam UUD NRI 1945 pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyarawatan Rakyat. Adapun
lembaga tinggi negara pada saat itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden,
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Mahkamah
Agung.1 Berikut bagan lembaga negara sebelum amandemen UUD NRI 1945:
Keterangan:
1
Rahmat Robuwan, “Redistribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Lembaga Negara Di Indonesia” XII,
no. 1 (2018): 2061.
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang diberi kekuasaan tak terbatas
(super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia”. Dengan kata lain
MPR merupakan penjelmaan pendapat dari seluruh warga Indonesia.Susunan
keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan
yang diangkat termasuk didalamnya TNI/Polri.
Tugas MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi adalah :
a) Menetapkan UUD
b) Menetapkan GBHN
c) Mengangkat presiden dan wakil presiden.
Sedangkan kewenangan MPR adalah :
a) Membuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain,
termasuk penetapan GBHN
b) Meminta pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan GBHN dan
menilai pertanggungjawabannya
c) Mencabut kekuasaan dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya
apabila presiden sungguh-sungguh melanggar GBHN dan/UUD
d) Mengubah UUD

Pada masa Orda Lama, MPR ini telah dijadikan sebagai alat politik oleh
Presiden untuk memperkokoh ideologi Manipol Usdek dan menyatakan Presiden
Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. DPR dipreteli dari berbagai kewenangan
yang dimilki antara lain dari hak mengajukan usul angket dan usul mosi.
Accountability boleh dikatakan tidak dilaksanakan, Akan tetapi pada ahir perjalanan
kekuasaan Presiden Soekarno harus memberikan pertanggugjawaban kepada MPR.
Hal inilah yang menyebabkan berakhirnya Jabatan Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Kekuasaan yang besar dari MPR dalam praktik ketatanegaraan, tidak jarang
diselewengkan atau dipergunakan sebagai alat politik untuk memperbesar kekuasaan
Presiden yang meskipun jelas-jelas bertentanagan dengan UUD 1945, seperti
pemberian kekuasaan tidak terbatas kepada Presiden selaku mandataris MPR dalam
rangka menyuseskan dan pengamanan pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila ( Tap. MPR No.V/MPR/1998 ). Selain itu MPR yang memilih Presiden
secara berturut-turut semapai 7 kali dan MPR pula yang meminta Presiden untuk
undur dari jabatannya sebagai akhir perjalanan rezim Orde Baru. Lembaga negara
yang paling mungkin menandingi kekuasaan MPR adalah Presiden yaitu dengan
memanfaatkan kekuatan fraksi partai politik yang paling dominan menduduki kursi
MPR. Pada masa rezim kekuasaan Orde Baru jumlah anggota MPR yang diangkat
jauh lebih besar dari jumlah hasil pemilihan umum, sehingga dengan demikian akan
sangat mudah untuk mengarahkan mereka untuk meraih apa yang diinginkan oleh
Presiden melalui anggota MPR yang diangkat dan sekaligus sebagai balas jasa kepada
Presiden.

2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Kewenangan DPR diatur dalam Pasal 19 UUD Tahun 1945. DPR merupakan
lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara memegang
kekuasaan legislatif. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu
yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Oleh karena itu Presiden tidak dapat
membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang
berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota
disebut DPRD kabupaten/kota. Beberapa Kewenangan DPR yaitu:
a) Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
b) Memberikan persetujuan atas PERPU.
c) Memberikan persetujuan atas Anggaran.
d) Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban presiden.

3) Presiden
Kewenangan Presiden diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 UUD Tahun 1945.
Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif. Maksudnya,
presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Presiden
mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala
negara. Sebelum adanya amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden diangkat
dan diberhentikan oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Karakteristrik
kekuasaan presiden memiliki kewenangan yang besar yaitu:
a) Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, karena
berperan ganda sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
b) Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of
power and responsiblity upon the president). Presiden Soekarno pernah
mengangkat seluruh anggota MPR tanpa melaui proses Pemilihan Umum.
Sementara Presiden Soeharto pernah merekayasa undang-undang susunan dan
kedudukan MPR, sehingga MPR tidak berdaya dalam mengawasi Presiden.
c) Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang
kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative
power).
d) Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar, terutama dalam
menetapkan kebijakan yang menguntungkan dan memperkuat posisi Presiden.
e) Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai
presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.2

4) Mahkamah Agung (MA)


Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-undang pokok kekuasaan
kehakiman yakni UU No. 14 Tahun 1970, sebagai bentuk pendelegasian pasal 24
UUD 1945. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di negara Indonesia dan
yang memegang kekuasaan kehakiman. Lembaga MA sesuai dengan prinsip
“independent of judiciary” bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau
dipegaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, guna menegakkan hukum dan
keadilan. Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya
bebas dan merdeka. Hal ini disebabkan karena adanya pemisahan pengaturan teknis
yudisial dan urusan organisasi, administrasi dan finasial para hakim. Kewenangan
yudisial ada pada MA, sedangkan pengaturan organisasi, adminstrasi dan financial ada
pada departemen terkait. MA membawahi badan-badan peradilan antara lain: peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara (PTUN).

2
H. ISMAIL MZ, “Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara Dan Sistim Penyelenggaraan Kekuasaan Negara
Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen,” Ganec
Swara 13, no. 2 (2019): 263, https://doi.org/10.35327/gara.v13i2.90.
5) Dewan Pertimbangan Agung ((DPA)
Kewenangan DPA diatur dalam Pasal 16 UUD Tahun 1945. DPA merupakan dewan
yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang ditetapkan, dengan tugas dan fungsi
memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden dan berhak memberikan usul
kepada pemerintah (sering dikenal dengan Dewan Pertimbangan Agung Presiden).
Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan yang diberikan oleh
DPA.Kedudukan Presiden dan DPA sejajar. Karena pertimbangan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas, maka dalam perubahan pertama UUD 1945.

6) BPK
Kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23 Ayat (5) UUD Tahun 1945. BPK merupakan
badan yang bertugas untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara, di
mana hasil pemeriksaan tersebut kemudian diberitahukan kepada DPR.

B. Struktur Lembaga Negara Sebelum Amandemen

Susunan lembaga negara sebelum diamandemen, diatur bahwa Undang-Undang Dasar


merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan
sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of
power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu
Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK. Perlu dijelaskan pula bahwa susunan
ketatanegaraan dalam kelembagaan negara juga mengalami perubahan, dengan
pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga negara yang dihapus maupun lahir
baru, yaitu sebagai badan legislatif terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, badan
eksekutif Presiden dan Wakil Presiden, sedang badan yudikatif terdiri atas kekuasaan
kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga baru, Mahkamah Agung
(MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga lembaga baru. Lembaga negara lama yang
dihapus adalah dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan
tetap ada hanya diatur tersendiri diluar kesemuanya/ dan sejajar.3 Perubahan
(amandemen) UUD NRI 1945 di antaranya mencakup;
1. Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas
prinsip due process of law.
2. Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti
hakim.
3. Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances)
yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh undang-undang berdasarkan fungsi
masing masing.
4. Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD NRI 1945.
5. Menata kembali lembaga lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa
lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara
berdasarkan hukum.
6. Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga
negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

Tugas lembaga tinggi negara sesudah amandemen UUD NRI 1945 dapat dirumuskan
pada penjelasan di bawah ini: 4
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebagai kelembagaan negara, . MPR RI tidak lagi diberikan sebutan sebagai
lembaga tertinggi negara dan hanya sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar
kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD,
MA, MK, BPK. Yang mempunyai fungsi legeslasi. Pasca amandemen MPR tidak
lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat dan tidak lagi berkedudukan
sebagai Lembaga Tertinggi Negara dengan kekuasaan yang sangat besar, termasuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden.

3
Robuwan, “Redistribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Lembaga Negara Di Indonesia,” 2064.
4
Puji Wahyumi, “Struktur Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945 (Sebelum Dan Sesudah
Amandemen),” Jurnal Polimes 1, no. 2 (2015): 44.
Dalam pasal 1 ayat (2) yang telah mengalami perubahan perihal kedaulatan
disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang undang dasar sehingga tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi
pelaku/pelaksana kedaulatan rakyat. Juga susunan MPR RI telah berubah
keanggotaannya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan DPD, yang kesemuannya
direkrut melalui pemilu. Pasca perubahan UUD 1945, kewenangan MPR ada lima,
yaitu :
a) Mengubah dan menetapkan UUD
b) Melantik presiden dan/wakil presiden
c) Memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD
d) Memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya
e) Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan capres dan cawapresnya meraih suara terbanyak pertama dan
kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya.

Bentuk pengaturan lebih lanjut tentang MPR sebagaimana diamanatkan oleh UUD
adalah ditetapkannya UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
dan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang
kemudian diubah dengan UU No. 17 Tahun 2009 tentang Penetapan Pemerintah
pengganti UU No. 1 tahun 2009 tentang perubahan Pemilu anggota DPR, DPD dan
DPR menjadi Undang- Undang.

2) Presiden
Setelah amandemen UUD 1945 Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pasangan calon Presiden dan Wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol
peserta pemilu. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan
bertanggung jawab langsung kepada Rakyat Indonesia. Konsekuensinya karena
pasangan Presiden dan Wapres dipilih oleh rakyat, mereka mempunyai legitimasi
yang sangat kuat. Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali dalam masa
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatannya. Berdasarkan Pasal 4
UUD 1945, Presiden Indonesia memegang kekuasaan eksekutif dalam Negara
Indonesia. Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD yang belum diamandemen, Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Dari
rumusan pasal tersebut, jelas bahwa presiden bersama DPR menjalankan
kekuasaan legislatif. Dalam perubahan pertama UUD, MPR telah mengubah Pasal
5 ayat (1) menjadi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
DPR”. Perubahan ini dimaksudkan untuk mengubah kedudukan dan peranan DPR
sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Perubahan ini tidak menyebabkan DPR lebih kuat dari presiden karena kedua
lembaga tersebut berada dalam kedudukan yang setara.

Dalam keadaan yang genting dan memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang tanpa persetujuan DPR. Perpu dikeluarkan
supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah. Namun demikian,
pemerintah tidak bisa lepas begitu saja dari pengawasan DPR, karenanya Perpu
harus disahkan oleh DPR agar menjadi UU, apabila DPR tidak memberikan
persetujua maka Perpu harus dicabut oleh presiden (Pasal 22 Ayat (3)).

3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


DPR adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan lembaga perwakilan rakyat. Kewenangan DPR diatur dalam Pasal 19
sampai Pasal 22 UUD Tahun 1945. Melalui amandemen, kekuasaan DPR
diperkuat dan dikukuhkan keberadaannya terutama diberikannya kekuasaan
membentuk UU yang merupakan karakteristik sebuah lembaga legislatif. Hal ini
membalik rumusan sebelum perubahan yang menempatan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan membentuk UU. Dalam pengaturan ini memperkuat
kedudukan DPR terutama ketika berhubungan dengan Presiden. Berdasarkan
perubahan pertama ini telah terjadi pengurangan kekuasaan presiden dan
penambahan kekuasaan DPR. Penambahan kekuasaan tersebut meliputi :
a) Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari DPR dalam mengangkat dan
menerima Duta, serta dalam pemberian amnesti dan abolisi
b) Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR dalam mengangkat kepala
kepolisian negara, Panglima TNI dan Gubernur Bank Indonesia
c) DPR memilih anggota dan calon pimpinan lembaga tinggi negara yang akan
diangkat oleh presiden.

4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)


DPD adalah Lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan RI sebagai langkah
akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat
nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat
sebagai anggota MPR. Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan
Negara Republik Indonesia. DPD dipilih secara langsung oleh masyarakat di
daerah melalui pemilu. Dengan adanya DPD dalam sistem perwakilan Indonesia,
DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan
berdasarkan aspirasi dan faham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat,
sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keberagaman aspirasi
dari daerah. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam satu tahun. Keberadaan DPD
dalam struktur ketatanegaraan indonesia dimaksudkan untuk :
a) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
b) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi kepentingan daerah-daerah
dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan kepentingan negara dan
daerah
c) Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara
serasi dan seimbang

Menurut Pasal 22 D UUD 1945, DPD memiliki tugas dan wewenang:5


a) Dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan Otonomi Daerah,
hubungan pusat dan daerah, penggabungan, pembentukan dan pemekaran
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan
juga perimbangan keuangan pusat dengan daerah.
b) Memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama
c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hal-hal di atas serta
menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.

5
MZ, “Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara Dan Sistim Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Republik
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen,” 265.
5) Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan lembaga peradilan tertinggi hal ini mengandung arti
bahwa putusan yang yang diberikan di tingkat akhir oleh badan peradilan lain,
dapat dimintakan kasasi ke MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1),
wewenang MA adalah :
a) Mengadili pada tingkat kasasi
b) Menguji peraturan perundang undangn di bawah undang undang terhadap
undang undang
c) Wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang

Pengusulan calon hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) dengan
persetujuan DPR. Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada rakyat melalui
DPR untuk menentukan siapa saja yang paling tepat menjadi hakim agung sesuai
denga aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh jaminan kepastian
hukum dan keadilan. MA adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Di bawah MA terdapat badan-badan peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 6

6) Mahkamah Konstitusi
Kelahiran lembaga Mahkamah Konstitusi di Indnesia, merupakan sesuatu yang
baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi akan bertugas
sebagai Penjaga Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang mempunyai peran penting dalam upaya menegakkan
kostitusi dan prinsip negara hukum sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangannya
yang ditetapkan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam fungsinya untuk
menjaga konstitusi dilengkapi dengan 9 orang hakim, yang diajukan oleh 3
lembaga negara yaitu Presiden 3 orang, Mahkamah Agung 3 orang dan DPR 3
orang calon hakim agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24 UUD Tahun
1945. MK adalah sebuah makamah yang mempunyai kewenangan menguji UU

6
Robuwan, “Redistribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Lembaga Negara Di Indonesia,” 2067.
terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau
wakil presiden menurut UUD

7) Komisi Yudisial
KY adalah lembaga yang bersifat mandiri dan berfungsi mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. dan melakukan pengawasan moralitas dan kode etik
para Hakim. Komisi Yudisial dapat mewujudkan terciptanya lembaga peraadilan
yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat mewujudkan penegakan hukum
dan tercapainya keadilan yang diputuskan oleh hakim yang terjaga kehormatan dan
keluhuran martabat serta perilakunya.Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh
presiden dengan persetujuan DPR. Kewenangan KY diatur dalam Pasal 24B UUD
Tahun 1945

8) BPK
Badan Pemeriksa Keuangan diatur dalam Bab tersendiri dalam UUD 1945 pasca
amandemen, hal ini dimakdukan agar BPK yang bebas dan mandiri dalam
melakukan pemeriksaan pengeluaran dan tanggung jawab keuangan negara dapat
dilakukan secara optimal. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas pertanggunjawaban keuangan negara. Terkait
dengan pemeriksaan keuangan negara, ditegaskan BPK juga berwenang memeriksa
APBD meskipun daerah itu sudah otonomi. Untuk memperkuat lembaga BPK
maka disetiap Provinsi ada Perwakilan BPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal
23 C ayat ( 1 ) UUD 1945 pasca amandeemen. Anggota BPK dipilih oleh DPR
dengan memperhatikan pertimbangan DPD, dan diresmikan oleh Presiden. BPK
berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan
daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan
ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Berkedudukan di ibukota negara dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi. Mengintegrasi peran BPKP sebagai
instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK. 7

1.A LEMBAGA LEGISLATIF


Badan legislatif adalah badan yang lembaga yang legislate (membuat undang
undang). Anggota lembaga ini dianggap mewakili rakyat, sehingga badan ini sering
dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dianggap
merumuskan keinginan rakyat atau gagasan umum dengan cara menentukan
kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang
dibuatnya pun mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan
bahwa ia adalah badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan
umum.8
Lembaga legislatif merupakan institusi kunci (key institutions) dalam
perkembangan politik negara-negara modern. Perkembangan lembaga-lembaga
negara, lembaga legislatif merupakan cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan
kedaulatan rakyat.. Dalam negara-negara modern (modern states), interaksi mendasar
antar lembaga negara termasuk fungsi legislasi diatur oleh konstitusi. Pola pengaturan
fungsi legislasi ditentukan oleh pola hubungan antara eksekutif dan legislatif dan
hubungan itu sangat ditentukan oleh corak sistem pemerintahan. Sebagai sebuah
negara modern, Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah menganut dua
model sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem
presidensial.9
Sistem Pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu struktur yang terdiri dari
fungsi fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerja
sama dan mempengaruhi satu sama lain. Secara demikian sistem pemerintahan adalah
cara kerja lembaga-lembaga negara satu sama lainnya. Menurut Jimly Asshidiqie,
sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu sistem hubungan antara lembaga lembaga
negara. Sedangkan menurut Sri Soemantri sistem Pemerintahan adalah hubungan
antara lembaga legislatif dan eksekutif. Ismail Suny mempunyai pendapat bahwa
sistem pemerintahan adalah suatu sistem tertentu yang menjelaskan bagaimana

7
MZ, “Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara Dan Sistim Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Republik
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen,” 266.
8
Bambang Cipto, 1995, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Idustrial, PT Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 1-2.
9
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm1.
hubungan antara alat-alat perlengkapan negara yang tertinggi di suatu negara.
Berkaitan dengan sistem pemerintahan, pada umumnya dibedakan kedalam dua sistem
utama, yaitu sistem presidensiil dan parlementer, diluar kedua sistem tersebut
merupakan sistem campuran atau kuasa parlemnter atau kuasa presidensiil, ada juga
menyebut sistem referendum.
Indonesia merupakan negara dengan sistem pemerintahan Presidensial, Sistem
pemerintahan presidensiil itu mempunyai ciri-ciri yang khas sebagaimana dianut di
Amerika Serikat. Pertama, sistem itu didasarkan atas asas pemisahan kekuasaan.
Kedua, tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Presiden sebagai pemimpin
eksekutif dengan anggota anggotanya. Anggota-anggota yang bernama menteri itu
sepenuhnya bertanggung jawab kepada Presiden. Ketiga, Presiden tidak dapat
membubarkan DPR dan keempat, Presiden itu dipilih oleh Dewan Pemilih. Jadi ini
sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana berlaku di Amerika Serikat lalu
bagaimana dengan sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia. Sedangkan yang
dimaksud dengan sistem pemerintahan parlementer didasarkan atas asas defusion of
powers. Jadi presidensiil separation of powers, parlementer defusion of powers. Pada
sistem parlementer, baik pemerintah maupun parlemen itu dapat saling membubarkan.
Pemerintah dapat dibubarkan oleh parlemen apabila tidak mendapat dukungan
mayoritas dari anggota parlemen, parlemen pun dapat dibubarkan oleh pemerintah
melalui kepala negara apabila dianggap tidak mencerminkan lagi aspirasi rakyatnya.
Dan yang keempat, sistem parlementer kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri,
sebagai kepala eksekutif yang ditetapkan oleh kepala negara, apakah itu Presiden, atau
dengan sebutan seperti raja. Sistem parlementer menjadi bagian dari sistem
pemerintahan yang digunakan oleh Indonesia sejak tahun 1949-1959 dengan
konstitusi berbeda, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan UUD 1950. Dari rangkaian
perjalanan sistem pemerintahan Indonesia, kalau dikatakan sistem pemerintahan
presidensiil, Indonesia tidak menganut asas pemisahan kekuasaan. Begitupun, kalau
dikatakan sistem parlementer, tidak terdapat mekanisme pembagian kekuasaan yang
jelas, bahkan cenderung mengadopsi kedua sistem . Sistem pembagian kekuasaan
yang dianut itu tidak terpisah antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara
lainnya.10

10
Ahmad Yani. “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktek Kostitusi Undang-undang
Dasar 1945”. Jurnal Legislasi Indonesia, Edisi No. 2 Vol. 1, Universitas Padjajaran, 2018, hlm 60.
Sekalipun pernah menggunakan sistem pemerintahan yang berbeda, kekuasaan
pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) berada dalam pola yang hampir sama,
yaitu dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan DPR. Misalnya, Pasal 5 Ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “ presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR” dan penjelasannya yang menyatakan, “
Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan „legislative
power‟ dalam negara.11

 Fungsi Lembaga Legislatif


CF. Strong memandang bahwa, “lembaga legislatif merupakan kekuasaan
pemerintahan yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut
memerlukan kekuatan Undang-Undang (statutory force)”.12 Pandangan CF.Strong
kemudian dipertegas oleh Hans Kelsen, bahwa “fungsi legsilatif dipahami bukan
sebagai pembentukan dari semua norma umum, malainkan hanya
pembentukan norma umum yang dilakukan oleh organ khusus, yang disebut
sebagai lembaga legislatif”.13 Pasca reformasi peran dan fungsi DPR RI
dikembalikan ke koridornya sebagai lembaga legislatif yang menjalankan fungsi
legislasi (membuat Undang-undang), selain juga menjalankan fungsi budgeting
(anggaran) bersama-sama dengan presiden,serta fungsi pengawasan atas
pelaksanaan UU dan anggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
dilakukan oleh eksekutif. Fungsi-fungsi tersebut juga melekat kepada lembaga
legislatif daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik di Provinsi
dan Kabupaten/Kota.Lembaga perwakilan sebagai salah satu unsur yang
terpenting dalam penyelenggaraan negara/pemerintahan secara umum juga
diperlukan pengawasan terhadap semua kegiatan dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Hal ini dimaksudkan agar segala yang dilakukan benar-benar
merupakan apa yang menjadi amanah rakyat. Paul Christopher Manuel dan Anne
Maria Camissa menjelaskan tentang definisi lembaga perwakilan rakyat
(representative assembly) sebagai berikut:14

11
Saldi Isra Op. Cit, hlm 3.
12
C.F Strong, Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative Study of Their History
and Existing Form, Sidwick &Jackson Ltd, London, 1975, hlm.8
13
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hlm.256
14
Fatmawati, 2014.Hukum Tata Negara, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan,hlm.7 -12
“It is primarily charged with a law-making function, which we
maydefine as the process of preparing, debating, passing, and implementing
legislation. Its members consider and debate bills,which are proposals for
legislative action. The discussion among legislators among bills are decided
including during legislative debate, which takes place on the floor of the
legislation. It is known bythe a host of different destinations, including Congress in
the United States, the Parliament in the Great Britain, the Knesset ini Israel, the Diet
in Japan, the Dail in Ireland, the Vouli in Greece, the National Assembly in Portugal,
and soon.”
Dijelaskan oleh Paul Christoper Manuel dan Anne Maria Camissa,
bahwa fungsi utama dari sebuah lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi
membuat undang-undang (UU). Dalam menjalankan fungsi legislasi tersebut,
anggota lembaga perwakilan rakyat melakukan serangkaian kegiatan hingga
undang-undang tersebut disahkan. Adapun fungsi lembaga perwakilan adalah
sebagai berikut :
1) Fungsi Pengaturan (Legislasi);
Fungsi utama dalam lembaga perwakilan ini ialah fungsi pengaturan atau
legislasi. Lembaga perwakilan ini sering pula disebut sebagai kekuasaan
legislatif. Kekuasaan legislatif itu ialah cabang kekuasaan yang pertama-tama
mencerminkan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, kewenangan untuk
menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif.
Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui
parlement, yaitu (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan
warga negara; (ii) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga
negara; (iii) dan pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh
penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat
dilakukan atas persetujuan dari warga negara itu sendiri, yaitu melalui perantaraan
wakil-wakil merekadi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.15
2) Fungsi Pengawasan (Control);
Kekuasaan di tangan pemerintahan dapat terjerumus kedalam
kecenderungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang dan

15
Jimly Asshidiqie,2010.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Press, Jakarta, hlm.299
timbulah kekuasaan yang sewenang-wenang (abuse of power). Oleh karena itu,
peranan lembaga perwakilan diberi salah satu fungsinya yakni fungsi pengawasan
yang menjadi kewajiban bagi lembaga perwakilan agar jalannya roda
pemerintahan tetap pada porosnya dan mengutamakan kesejahteraan rakyat
tanpa melanggar ranah hukum di dalamnya. Lembaga perwakilan rakyat
diberikan kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal, yaitu : (i) kontrol
atas pemerintahan (control ofexecutive); (ii) kontrol atas pengeluaran (control of
expenditure); (iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation).16
3) Fungsi Perwakilan (Representasi);
Fungsi pokok dari lembaga perwakilan sesungguhnya ialah fungsi
perwakilan itu sendiri. Bagaimana mungkin suatu lembaga yang dikatakan sebagai
representasi dari rakyat akan tetapi tidak memiliki fungsi perwakilan di
dalamnya. Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal adanya
tiga sistem perwakilan dipraktikkan di berbagai negara demokrasi. Ketiga
fungsi itu antara lain: a. Sistem perwakilan politik (political representation);b.
Sistem perwakilan teritorial (teritorialatau regional representation); c. Sistem
perwakilan fungsional (functional representation).17
4) Fungsi Deliberatif dan Resolusi Konflik;
Dalam menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, maupun perwakilan,
di dalam parlemen atau lembaga legislatif selalu terjadiperdebat an antar
anggota yang mewakili kelompok dan kepentingan yang masing-masing
memiliki pertimbangan-berbeda-beda dalam memahami dan menyikapi suatu
permasalahan. Adapun fungsi deliberatif dan resolusi konflik dalam lembaga
konflik perwakilan yaitu :
a. Perdebatan publik dalam rangka rule and policy making.
b. Perdebatan dalam rangka menjalankan pengawasan.
c. Menyalurkan aspirasi dan kepentingan yang beraneka ragam.
d. Memberikan solusi saluran damai terhadap konflik sosial.18

Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut menuntut para wakil rakyat


yang duduk dalam lembaga perwalilan/legislatif harus benar-benar diisi oleh

16
Ibid., hlm. 302
17
Ibid., hlm. 305
18
Jimly Asshidiqie,2010.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Press, Jakarta, hlm.308
orang-orang yang memahami fungsi-fungsi tersebut, sehingga rekrutmen
melalui partai politik harus sedemikian rupa ketat.Paling tidak ketika masih
menjadi anggota partai politik di dalam partai politik telah menjadi agenda yang
diprioritaskan melalui pendidikan politik dan penguatan kader-kadernya,
dilakukan pembekalan secara terus menerus tentang bagaimana fungsi-fungsi
lembaga perwakilan itu harus ditegakan. Tidak terkecuali bagi mereka yang
akan maju menjadi calon anggota lembaga perwakilan yang melalui jalur
perseorangan, harus pula menggali wawasan terkait fungsi-fungsi lembaga
perwakilan/legislatif.

 Lembaga Legislatif di Indonesia


Ada 3 lembaga legislatif,diantaranya adalah DPR,DPD dan MPR
1. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Secara konstitusional fungsi DPR dituangkan dalam UUD 1945 amandemen
kedua Pasal 20A ayat (1) yang isinya adalah Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Disisi lain dalam
menjalankan fungsinya DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak
menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat serta hak imunitas.
Sedangkan fungsi DPRD terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tanhun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, selanjutnya diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, baik DPRD Provinsi, Kabupaten
dan Kota mempunyai fungsi a. pembentukan peraturan daerah
provinsi,kabupaten, dan kota; b. Anggaran, dan c. Pengawasan. Ketiga
fungsi tersebut dalam kerangka representasi rakyat di daerah masing-masing
provinsi, kabupaten dan kota, dengan menjaring aspirasi masyarakat.
Selanjutnya di Indonesia ketentuan lebih lanjut tentang lembaga
perwakilan yang di dalamnya adalah lembaga legislatif diatur dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Np 17 Tahun 2014 yang
kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 17 Tahun 2014;, atau yang lebih
dikenal dengan UU MD3.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terjadi perubahan yang
cukup fundamental dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kewenangan
DPR sebagai Badan Legislatif adalah:
1) Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Undang-undangDasar 1945 Pasal 20 ayat
(1) menyebut bahwa, kekuasaan untuk membentuk UU ada di Dewan
Perwakilan Rakyat. Kemudian di Pasal 20 ayat (2) disebutkan bahwa
setiap rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Untuk proses pembentukan Undang-
Undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 16 sampai 23, Pasal
43 sampai 51 dan Pasal 65 sampai 74. Berdasar ketentuan tersebut
proses pembentukan sebuah undang-undang harus diikuti.
2) Membahas dan memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah
penganti undang-undang.
3) Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja Negara.
4) Menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD.

Berikut wewenang DPR sebelum dan sesudah amandemen uud 1945:


A. Kewenangan DPR sebelum Amandemen UUD 1945
Untuk melihat kewenangan apa saja yang dimiliki oleh lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum amandemen, maka terlebih dahulu
dikemukakan mengenai DPR yangtermuat dalam UUD 1945 tersebut.
Mengenai DPR dalam UUD 1945 diterapkan pada pasal-pasal berikut:
Pasal 19
1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetatur dengan undang-undang.
2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikit sekali dalam setahun.
Pasal 20
1) Tiap-tiap undang-undang menyetujui persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
2)Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Orang maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
sidang DewanPerwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 21
1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan piala-
undang-undang.
2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
tidak disetujuioleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi
dalam perkaraperkaraDewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 22
1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalampersidangan nyang berikut.
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
Pasal 23
1) Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan setiap tahun dengan undang-
undang.Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui kesepakatan yang
diusulkanpemerintah, maka pemerintah mengelola anggaran tahun lalu.
2) Semua pajak untukkeperluan negara berdasarkan undang-undang.
3) Macam dan harga matauang yang ditetapkan dengan undang-undang.
4) Hal keuangan negara selanjutnya diaturdengan undang undang.
5) Untuk menilai tanggung jawab keuangan tentang negara yang diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan
undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.

B. Kewenangan DPR sesudah amandemen 1945 terjadi perubahan peraturan


DPR dalam UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 19
1) Anggota Dewan Perwakilan Rakya t dipilih melalui pemilihan umum.
2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetatur dengan undang-undang.
3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Pasal 20
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membuat undang-undang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presidenuntuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan ituundang-undang itu tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan RakyatRakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang itu menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan
Pasal 20 A
1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan.
2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal
lain undang-undang dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angketdan hak menyatakan pendapat.
3) Selain hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal lain undang-undang dasar ini,
setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan,menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diaturdalam undang-undang.
Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan hakrancangan undang-
undang.
Pasal 22
1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang .
2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan nyang berikut.
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
Pasal 22 A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang-undang.

Pasal 22 B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syaratnya dan tata caranya diaturdalam undang-undang.
Pasal 23
1) Anggaran Pendapatan dan Belanja sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2) Rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
diajukan olehPresiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidakmenyetujui rencana anggaran
pendapat dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah
mengatur anggaran pendapatan dan belanja negara tahunyang lalu.
4) Hal keuangan negara selanjutnya diaturdengan undang-undang.
5) Untuk menilai tanggung jawab keuangan tentang negara yang diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan
undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Selanjutnya Marsono menguraikan, bahwa perubahan
terhadap pengaturan DPR padaUUD 1945 terjadi yakni :19
a. Perubahan pertama terhadap pasal 21 UUD1945 tentang pengajuan
rancangan undang-undang.

19
Syahminul Siregar,SH,MH, (Staf Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Pembangunan Panca
BudiMedan).DewanPerwakilan Rakyat(Dpr)MenurutUUD1945(Perubahan).JurnalIlmiahAbdiIlmu.Vol.5 No.1
Juni 2012
b. Perubahan kedua terhadap pasal 22 A dan pasal 22 B UUD 1945
merupakan pasal tambahan yaitu mengatur tentang tata cara pembentukan
undang-undang dan pemberhentian anggota DPR dari jabatannya.
c. Perubahan ketiga terhadap pasal 23 UUD 1945 yaitu mengatur tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus mendapat persetujuan
DPR (2002 :38-45).
Mempertegas fungsi DPR sebagaima na diatur pada pasal 20 ayat UUD 1945
sebagaipasal tambahan yaitu, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan.20

Fungsi dan Tugas DPR


1) Bersama-sama pemerintah menetapkan undang-undang (Pasal 5 ayat 1,
Pasal 20 ayat1 UUD 1945).
2) Melalui undang-undang menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (Pasal23 ayat 1).
3) Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pernyataan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11).

Sedangkan fungsi DPR adalah pengawasan atas dukungan


pemerintahan negara, sesuai dengan pasal 11, pasal 20 dan pasal 23 UUD
1945. Dalam menjalankan kedudukan danfungsi DPRdemikian, Subandi
AlMarsudi mengemukakan, dalam kedudukan demikianTAP MPR-RI No.
III/MPR/1978 menegaskan kewajiban DPR untuk senantiasa mengawasi
tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan haluan negara, apabila
DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan
negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan
Presiden. Apabila dalam waktu 3 bulan Presiden tidakmemperhatikan
memorandum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan nota kedua. Apabila
dalam waktu satu bulan memorandum kedua tersebut tidak diindahkan
Presiden,maka DPR dapat meminta Majelis mengadakan sidang istimewa
untuk meminta pertanggungja waban Presiden (2001 :134-135).

20
Adika Akbarrudin.Pelaksanaan Fungsi Le gislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Am andemen UUD 1945.Jilid 8.
Nomor 1. Januari 2013
1. Fungsi dan tugas DPR dalam bidang legislasi meliputi :
a. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20
ayat 1 UUD 1945) hanya persetujuan dari DPR (sebagaimana
sebelum perubahan).DPR bersama pemerintah membahas rancangan
undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama(Pasal 20 ayat 2
UUD 1945).
b. Persetujuan terhadap peraturan pemerintah (Pasal 22 ayat 2 UUD
1945).
2. Fungsi dan tugas DPR dalam bidang anggaran, yaitu pembahasan bersama
dengan Presiden dan memperhatikan pertimbangan DPR untuk
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 23 ayat 2
UUD 1945).
3. Fungsi dan tugas DPR dalam bidang pengawasan, meliputi :
a. Pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara, berdasarkan
hasil pemeriksaanBadan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23 ayat 5dan
pasal 23 EUUD 1945).
b. Memberikan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukanpelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan / atauWakil Presiden, termasuk untuk
mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (Pasal 7 Bayat 2 dan ayat
3 UUD 1945).

Hak DPR
Berdasarkan pasal 20 A ayat 2 UUD 1945, Hak DPR meliputi :
a. Hak Interpelasi
Hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai
kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Hak Angket dan
Hak DPR menjelaskan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Hak Menyatakan Pendapat.
hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
 Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau di dunia internasional
 Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket
 Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sedangkan Hak Anggota DPR sebagaimana diatur dalam pasal 20 A ayat 3


UUD 1945 meliputi :
a. Hak Mengajukan Pertanyaan
Hak untuk mengajukan pertanyaan secara lisan atau tertulis kepada
pemerintah sesuai dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
b. Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat serta
Hak untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa, kepada
pemerintah atau kepada DPR sehingga ada jaminan kemandirian sesuai
hati nurani serta kredibilitas.
c. Hak Imunitas.
Hak untuk tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan
maupun tertulis jika berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas
DPR.

2. DPD (Dewan Perwakilan Daerah)


Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan daerah yang
berkedudukan sebagai lembaga negara yang mana lahir dari badan legislatif atau
legislature (membuat undang-undang).21 Nama lain yang sering di pakai ialah
Assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk membicarakan
masalahmasalah publik). Nama lain lagi adalah parliament, suatu istilah yang
menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain

21
Eni Suharti, MD3 (UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 133
mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan
dinamakan people‟s reprensentative body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan
tetapi apa pun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini
merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat, yang berdaulat ini
mempunyai suatu “kehendak” (yang oleh Rousseau disebut volonte generale atau
general will). Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara
autentik dari general will itu. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang
bersifat kebijakan maupun undang-undang, mengikat seluruh masyarakat. Oleh
karena itu, Dewan perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan
perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebelum
tahun 2004, Dewan perwakilan Daerah (DPD) masih bernama utusan daerah.22
Menurut Entol Zaenal Muttaqien, didalam buku pokok-pokok hukum
ketatanegaraan. Dewan Perwakilan Daerah adalah Lembaga 1 Eni Suharti, MD3
(UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD, negara baru sebagai langkah
akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat
nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat
sebagai anggota MPR, keberadaannya dimaksudkan utuk memperkuat kesatuan
Negara Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah
melalui pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain
yang berkait dengan kepentingan daerah. Sedangkan menurut Ni‟matul Huda
didalam buku hukum tata negara Indonesia.23
Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan dearah yang
berkedudukan sebagai lembaga negara dan mempunyai fungsi:
a. Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang
berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
b. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Berdasarkan peryataan diatas, bahwasanya sesuai dengan ketentuan pasal 22D


UUD 1945 perubahan, Dewan Perwakilan Daerah dapat:

22
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 315
23
Kaka Alvian Nasution, Buku Lengkap Lembaga-Lembaga Negara (Jogjakarta: Saufa, 2014), h. 107
a. Mengajukan rancangan undang-undang ke Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkaitan dengan otonomi daerah.
b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah,
c. Melakukan pengawasan atas pelaksanan undang-undang tertentu.

Berdasarkan peryataan diatas bahwasanya Dewan Perwakilan Daerah yaitu


merupakan suatu bagian yang baru diadakan setelah UUD 1945 mengalami
perubahan. Selama ini yang berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum
amandemen adalah utusan daerah dan utusan golongan yang tidak dipilih secara
langsung oleh rakyat sebagai wakil/utusan daerah. Hal ini tidak sesuai dengan
hakikat Negara demokrasi dan tidak mencerminkan representasi masyarakat
daerah, oleh karena itu, kedua hal tersebut tidak lagi terdapat di dalam bagian
ketatanegaraan setelah UUD 1945 diubah menjadi Dewan Perwakilan Daerah.24

Tugas Dewan Perwakilan Daerah


Tugas Dewan Perwakilan Daerah, Pasal 22D UUD 1945 menetapkan:
a. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.25
b. DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, Pengolaan sumber daya alam dan ssumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah serta DPD dapat memberikan pertimbangan
kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.

24
Entol Zaenal Muttaqin, Pokok-pokok Hukum ketatanegaraan, (Serang: Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, 2014), h. 107
25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2015),
h. 139.
c. DPD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang
mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat, dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan ssumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada
DPR sebagai pertimbangan untuk ditindak lanjuti.26

Di dalam undang-undang RI no. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,


DPRD di pasal 249 tentang Wewenang dan Tugas
1. DPD mempunyai wewenang dan tugas:
a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pemebntukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan
pusat dan daerah kepada DPR.
b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan
undangundang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan
dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
e. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengolaan sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
f. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak,
pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditidaklanjuti.

26
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia h. 140.
g. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan APBN.
h. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK.
i. Menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
2. Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah,
DPRD, dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya.27
3. Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Sesuai dengan konstitusi, format
representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi, pertimbangan, dan
pengawasan. Untuk itu, Mengenai fungsi Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Daerah dibentuk sebagai lembaga Negara, tetapi dengan fungsi
yang hampir tidak berarti. Dengan perubahan secara addendum maka UUD
1945 yang asli tetap menjadi landasan utama sehingga
perubahanperubahannya dilakukan melalui penyisiran atas setiap pasal yang
manakala ada pasal yang harus diubah atau diganti maka perubahannya
dijadikan lampiran atas UUD yang asli. Dengan cara yang demikian, ketika
mengamandemen pasal tentang MPR, ditetapkanlah bahwa MPR hanya terdiri
dari anggota DPR dan anggota DPD yang seolah-olah menampung gagasan
bikameral (padahal MPR tidak diberi fungsi legislasi), tetapi ketika
mengamandemen pasal-pasal tentang DPR dikuatkanlah fungsi DPR sebagai
lembaga negara yang memegang kekuasaan membentuk UU tanpa bersama
DPD. Itulah sebabnya DPD kemudian hanya menjadi perlengkap peyerta di
antara lembaga Negaralembaga Negara yang ada.

3. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)

27
Eni Suharti, MD3 (UU RI No. Tahun 2014)hlm.136
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat MPR adalah
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.28 Sebelum perubahan UUD 1945,
MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan lembaga
tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.29 Hal
tersebut termaktub pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
”Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Setelah perubahan konstitusi, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi:
”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Setelah amandemen UUD 1945, kedaulatan dipegang langsung oleh
rakyat dan dilaksanakan sesuai konstitusi. Konstruksi kedaulatan rakyat semacam
ini, menyebabkan MPR bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi, tetapi
menjadi lembaga negara yang setara sebagaimana lembaga negara lain pada
umumnya.30
Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan
dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut negara Indonesia karena
pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh lembaga
negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga yang
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).31 Rumusan baru itu justru
merupakan penjabaran langsung paham kedaulatan rakyat yang secara tegas
dinyatakan pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, alinea IV.Sebelum
Perubahan UUD 1945, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa,
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerahdaerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.

28
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya
disebut Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014 tentang MD3).
29
Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2018, hlm. 215.
30
Prayudi, MPR, Transisi Kedaultan Rakyat dan Dampak Politiknya, Politica, Vol.3, No.1, Mei 2012, hlm. 21.
31
Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, cet ke-17, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2018, hlm. 65.
Setelah perubahan UUD 1945 pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa,
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Menurut Samusi terdapat 10 pilar demokrasi konstitusional Indonesia yang
dikenal dengan The ten Pilars of Indonesian Constitutional Democracy, antara
lain:32
1. Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Demokrasi berdasarkan hak asasi manusia;
3. Demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat;
4. Demokrasi berdasarkan kecerdasan rakyat;
5. Demokrasi berdasarkan pemisahan kekuaaan negara;
6. Demokrasi berdasarkan Otonomi Daerah;
7. Demokrasi berdasarkan Supremasi Hukum (Rule of Law);
8. Demokrasi berdasarkan peradilan yang bebas;
9. Demokrasi berdasarkan kesejahteraan rakyat;
10. Demokrasi berdasarkan keadilan sosial.

Dengan cermin demokrasi yang diberikan oleh Samusi ini maka dapat
disimpulkan bahwa dengan adanya konsep demokrasi memberikan kebebasan
seluas-luasnya bagi rakyat untuk ikut dan menjadi bagian dalam pemerintahan
suatu negara.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai MPR,
bahwa MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga negara.33 Istilah organ negara atau lembaga negara dapat
dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau
yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Non-pemerintahan yang dalam bahasa
Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental
Organization (NGO‟s). Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif,
eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.34

32
Hassan Suryono (et.al.), Pendidikan Kewarganegraan di Perguruan Tinggi, Surakarta: UNS Press, 2007,hlm 89
33
Pasal 3 Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014 tentang MD3.
34
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen, Jakarta: Sinar
Grafika,2010, hlm. 27.
Penguatan Tugas dan Wewenang MPR RI
Sebelum perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang MPR berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 37, dan
Penjelasan UUD 1945 ialah:
1. Menetapkan UUD NRI tahun 1945 dan garis-garis besar dari pada
haluan negara, serta mengubah UUD NRI Tahun 1945;
2. Menetapkan garis-garis besar haluan negara;
3. Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
4. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga
negara yang lain, termasuk penetapan garis-garis besar haluan negara;
5. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-
putusan Majelis;
6. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan
Wakil Presiden;
7. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden mengenai pelaksanaan
garis-garis besar haluan negara dan menilai pertanggungjawaban
tersebut;
8. Mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar UUD dan/atau
garis-garis besar haluan negara;
9. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis;
10. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh Anggota;
11. Mengambil dan/atau memberi keputusan terhadap Anggota yang
melanggar sumpah/janji Anggota.35

Setelah perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang MPR berdasarkan


ketentuan Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3); Pasal 7B ayat (6); Pasal 8; dan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945, serta
Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ialah sebagai berikut:

35
Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 215-216
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden;
3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
4. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dalam masa jabatannya;
5. Memilih dan melantik Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil residen selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
6. Memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya dari dua paket calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam
waktu tiga puluh hari;
7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik;
8. Memilih dan menetapkan Pimpinan Majelis; dan
9. Membentuk alat kelengkapan Majelis.36

Berdasarkan uraian tersebut apabila disimpulkan terkait tugas dan


wewenang MPR, maka sebelum amandemen terdapat 3 pokok tugas dan
wewenang MPR yakni:
1. Menetapkan/mengubah UUD (Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945);
2. Menetapkan dari pada garis-garis besar haluan negara (Pasal 3 UUD
1945); dan
3. Memilih presiden dan wakil presiden (Pasal 6 UUD 1945).

Sedangkan pasca amandemen UUD 1945 terdapat 5 pokok tugas dan


wewenang MPR yakni:

36
Ibid., hlm. 217-218
1. Mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 dan Pasal 37 UUD NRI Tahun
1945);
2. Melantik presiden dan wakil presiden (Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945);
3. Memberhentikan presiden dan wakil presiden (Pasal 3 UUD NRI Tahun
1945);
4. Memilih wakil presiden (Pasal 8 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945); dan
5. Memilih presiden dan wakil presiden (Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa setelah amandemen UUD 1945 77


MPR telah banyak kehilangan tugas fungsi dan wewenangnya secara kualitas
dibandingkan sebelum perubahan UUD 1945. Salah satu tugas dan wewenang
fundamental daripada MPR sebelum perubahan UUD 1945 adalah membentuk
GBHN sebagai pola perencanaan pembangunan bangsa. Tugas dan wewenang
tersebut pada dasarnya yang mengakibatkan MPR sebagai lembaga yang
supreme karena Presiden menjadi mandataris MPR. Reformasi menginginkan
adanya penguatan sistem presidensil dimana semua lembaga sejajar, sehingga
kewenangan MPR untuk membentuk GBHN ini dihilangkan. Padahal GBHN
sendiri merupakan pola pembangunan nasional yang diperlukan oleh
Indonesia.

1.B LEMBAGA YUDIKATIF

Lembaga yudikatif adalah suatu badan negara yang memiliki sifat teknis-
yuridis yang bertugas menyelidiki kasus-kasus penyalahgunaan kostitusi dan
pelaksanaan peraturan perundang- undangan oleh institusi pemerintahan secara luas
serta bersifat independent (bebas dari intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya.37

Badan Yudikatif biasanya identik dengan kehakiman dimana badan ini


bertugas mengadili dan memutuskan pelanggaran undang-undang. Kekuasaan
Yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan yang berkewajiban
mempertahankan undang-undang dan berhak untuk memberikan peradilan kepada
rakyat. Badan Yudikatif lah yang berkuasa untuk memutuskan perkara, menjatuhi

37
A. Rahman H. I, Sistem Politik Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007, hlm. 215
hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan
dijalankan. Walaupun para hakim biasanya diangkat oleh kepala negara (Eksekutif)
tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri,
karena ia tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya, bahkan ia adalah
badan yang berhak menghukum kepala negara, jika melanggar hukum. Diberbagai
negara badan yudikatif memiliki berbagai persamaa. Di Indonesia badan yudikatif
terdiri atas Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial.
1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang menjalankan kekuasaan
kehakiman tertinggi di Indonesia. Dibandingkan dengan lembaga peradilan yang
ada di Indonesia Mahkamah Agung merdpakan lembaga yang paling tinggi. Seperti
yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang lahir guna
menindaklanjuti ketentuan pasal 24 Undang-Undang Dasar NRI 1945, dikatakan
bahwa pasal 10 menyebutkan Mahkamah Agung ialah Pengadilan Tinggi Negara,
yang berwenang mengadili pada tingkat terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan
peradilan.38
Menurut organisasinya, Mahkamah Agung di sini sebagai peradilan Negara
Tertinggi di lingkungan kekuasaan kehakiman, dan badan-badan kehakiman yang
dibagi menjadi dua yaitu, Peradilan Umum meliputi pengadilan negeri tingkat I,
sebagai tingkat banding dan pengadilan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, dan
peradilan yang bersifat khusus diantaranya peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara.39
Mahkamah Agung ialah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua, yang mana
ketua ini dipilih dari dan oleh hakim agung kemudian diangkat oleh Presiden.
Sedangkan hakim agung dipilih dari hakim karier, profesional, dan akademisi.40
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung adalah
merdeka, artinya ialah Mahkamah Agung mempunyai kebebasan dari keberpihakan

38
Ichsan Anwary, Lembaga Negara dan Penyelesaian Sengketa: Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara,Genta Publishing, Yogyakarta,2018, h. 61.

39
Kevin Angkouw, “Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim dalam Proses
Peradilan”,Lex Administratum, Vol.II No.2, 2014,h.135.
40
Ibid,. h. 132.
atau ikut campurnya lembaga tinggi negara yang lainnya. Meskipun dikatakan
tidak ada campur tangan dari pihak lainnya Mahkamah Agung dalam menjalankan
kekuasaannya juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang
masih relevan atau bergerak dalam bidang garap yang sama. Sebagai pelaksana
dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dirumuskan tugas pokok, fungsi dan
wewenang Mahkamah Agung adalah :41
1) Fungsi Peradilan
Mahkamah Agung adalah lembaga negara tertinggi, yang membawahi
pengadilan ditingkat kasasi,mengkoordinasikan keseragaman dalam penerapan
hukum berdasarkan hasil dari putusan kasasi dan peninjauan kembali. Serta
menjamin supaya produk hukum beserta undang-undang mampu diterapkan
secara adil dan tepat sasaran. Mahkamah Agung memiliki wewenang mengadili
ditingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung berwenang menguji atau
menilai secara materil peraturan perundang-undangan yang secara hirarki
berada di bawah Undang-Undang tentang suatu peraturan ditinjau dari isinya
apakah bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi.
2) Fungsi Pengawasan
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan yaitu mengawasi tahapan atau
proses peradilan disemua tingkatan peradilan yang bertujuan agar peradilan
yang dijalankan mampu diselenggarakan dengan baik dan wajar serta sesuai
dengan pedoman yaitu asas peradilan yang cepat, sederhana, dan ringan
biayanya. Supervision is an act of goverment responsibility in the limitation and
control.42 Adapun Mahkamah Agung ikut serta mengawasi jalannya tata kelola
pengadilan dan tindak tanduk serta perilaku seorang hakim. Perbuatan pejabat
pengadilan turut serta menjadi pengawasan baik itu tugas pokok kekuasaan
kehakiman ataupun penasihat hukum.
3) Fungsi Mengatur
Fungsi ini dimiliki mahakamh Agung guna terselenggaranya suatu peradilan
adan apabila ada hal-hal lain atau kejadian yang memang belum pernah

41
Mahkamah Agung RI, Tugas Pokok dan Fungsi. https://mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi
diakses pada 7 April 2020, pukul 02.10 WIB
42
Herini Siti Aisyah et al., “Legal Protection of Citizens: The Alcoholic Beverages in Licensing, Taxation,
and Supervision in Indonesia,” Journal of Drug and Alcohol Research 9 (2020),
https://doi.org/10.4303/jdar/236087. h. 3.
diketahui dan dalam undang-undang tidak diatur secara jelas maka Mahkamah
agung bisa mengaturnya. Jika dianggap mendesak dan perlu, Mahkamah Agung
bisa membuat suatu peraturan acara sendiri.
4) Fungsi Nasihat
Undang-Undang No.14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, pasal 37
menyebutkan, dalam bidang hukum, Mahkamah Agung dapat memberikan
pertimbangan dan nasihat kepada lembaga tinggi negara lainnya sesuai dengan
tugas, pokok, dan fungsinya. Adapun Pasal 35 UU yang sama, Mahkamah
Agung juga memberi pertimbangan kepada presiden tentang grasi, Mahkamah
agung juga memberi pertimbangan rehabilitasi. Selanjutnya guna mewujudkan
Pasal 25 UU No 14 Tahun 1970, Mahakamah Agung mempunyai ewenangan
meminta petunjuk sekaligus keterangan terhadap peradilan disemua lingkungan
peradilan di Indonesia.
5) Fungsi Administratif
Meski menurut pasal 11 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1999 menyatakan bahwa
secara administratif semua lingkungan peradilan sudah dialihkan dibawah
kekuasaan mahkamah agung, namun nyatanya semua peradilan baik perdilan
umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan pradilan militer yang
ketentuannya sesuai dengan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dikatakan
secara administratif, organisasi, dan finansial sehingga sekarang masih berada
dibawah naungan departemen yang bersangkutan. Secara administratif
dikatakan dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14
Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah
Agung secara tegas dan bertanggungjawab berwenang untuk mengatur susunan
keorganisasian dan tata kelola serta kinerja kepanitiaan pengadilan.
6) Fungsi Lain-Lain
Mahkamah Agung berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 dapat
menerima, memeriksa, serta mengadili dan menyelesaikan segala bentuk
perkara atau gugatan yang diajukan pemohon kepadanya. Selain itu dikatakan
pasal 38 UU NO. 14 tahun 1985, Mahkamah Agung juga dapat diberikan
kewenangan dan tugas lain sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan kehakiman


hanya dipegang oleh Mahkamah Agung. Lembaga mahkamah Agung ini bersifat
individu atau bekerja sendiri dan tidak boleh terpengaruh oleh cabang kekuasaan
lainnya. Wewenang sebelum amandemen, yaitu :
1. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi.
2. Menguji peraturan perundang-undangan.
3. Mengajukan tiga hakim konstitusi.
4. Memberikan pertimbangan kepada presiden untuk memberikan grasi dan
rehabilitasi.

UUD 1945 setelah amandemen juga mengatur fungsi dan kewenangan


masing-masing lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi. Adapun beberapa ketentuan yang memuat fungsi dan
kewenangan Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman
di dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah:
Pasal 24 A ayat (1) yang isinya: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Ketentuan tersebut di atas mengandung beberapa kewenangan yang
dimiliki oleh Mahkamah Agung, yaitu kewenangan untuk pengujian produk
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Kewenangan yang lain yang terdapat dalam ketentuan tersebut di atas adalah
mengadili pada tingkat kasasi.

Namun tidak hanya dua kewenangan tersebut yang dimiliki oleh


Mahkamah Agung, melainkan masih ada kewenangan lain yang diakui oleh
konstitusi dan diatur atau diberikan oleh undang-undang. Ketentuan yang terdapat
dalam UUD 1945 yang tersebut di atas dipertegas dengan beberapa Undang-
Undang Organik, baik UU tentang Kekuasaan Kehakiman taupun UU tentang
Mahkamah Agung juga mengatur kewenangan dari Mahkamah Agung yang
merupakan turunan dari ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 24 A ayat (1) tersebut.
Beberapa kewenangan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan
mengadili, dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.43
2) Memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau
tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.44
3) Penguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.45
4) Menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.46
5) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.47
6) Mahkamah agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas
administrasi dan keuangan.48
7) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada
di bawahnya.49
8) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya.
9) Memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
kewenangan mengadili:
a. Antara pengadilan lingkungan peradilan yang satu pengadilan di
lingkungan peradilan yang lain.
b. Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat
banding yang berkaitan dari lingkungan peradilan yang sama.
c. Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama
atau antara lingkungan peradilan yang berlainan.50

43
Lihat Pasal 28 ayat (1) UU No. 14Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
44
Lihat Pasal 29 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
45
Lihat Pasal 31 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
46
Lihat Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
47
Lihat Pasal 32 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
48
Lihat Pasal 32 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
49
Lihat Pasai 32 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
10) Memeriksa dan memutus permohonan kasasi pada tingkat pertama dan terakhir
atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.51
11) Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi
dan rehabilitasi.52
12) Melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan notaris bersama-sama
Presiden.53
13) Memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta
maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.54

2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang terbentuk
setelah dilakukannya amandemen UUD 1945. Lembaga ini termasuk ke dalam salah
satu lembaga pada badan Kekuasaan Kehakiman selain Mahkamah agung dan nadan
peradilan lain dibawahnya. Hal tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945, yang isinya:
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku Kekuasaan
kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Mahkamah konstitusi sebagai salah satu pelaku Kekuasaan
Kehakiman juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pada Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2. Selain itu juga ditegaskan pula dengan Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 1 angka (3)
pada Pasal 18.
Sehingga menjadi dasar hukum yang jelas bahwasannya Mahkamah Konstitus
merupakan salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman selain Mahkamah Agung dar
peradilan di bawahnya. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskar

50
Lihat Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
51
Lihat Pasal 34 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
52
Lihat Pasal 35 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
53
Lihat Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
54
Lihat Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, merupakan salah
satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraans Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lembaga lain dalam menegakkan hukum dan keadilan Mahkamah
Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat
ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu. Mahkamah Konstitusi basa juga
disebut dengan sebutan the guardian of the constitution seperti sebutan yang biasa
dinisbatkan kepada Mahkamah Aging Amerika Serikat. Tetapi, di Ameriaka Serikat
justru Mahkamah Agung yang disebut sebagai the guardian of the constitution, karena
di Amerika Serikat tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Fungsi Mahkamah
Konstitusi dalam arti yang lazim dikenal dalam sistem Eropa Kontinental yang
menganut tradisi civil law seperti Austria Jerman dan Italia terintegrasikan ke dalam
kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat, sehingga Mahkamah Agung yang
disebut sebagai the guardian of the constitution.55
Pada hakekatnya, ada fungsi utama yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
selain yang disebutkan di atas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution), fungsi utama yang lain adalah sebagai penafsir tertinggi konstitusi (the
sole interpreter of constitution). Bahkan dapat juga dikatakan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga pengawal proses demokratisasi dan sebagai lembaga pelindung hak
Asasi Manusia (the protector of human right).56 Dengan fungsi dan kewenangan yang
dimiliki tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan peranan
stategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau
kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional
atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks ketatanegaraan, menurut Jimly, seperti dikutip Titik Triwulan


Tutik, adanya Mahkamah Konstitusi di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat
dikonstruksikan sebagai:57

55
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidosi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm.131.
56
lbid. hlm.131-132.
57
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:
Kencana. 2010). hlm. 221.
a. Sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional
di tengah kehidupan masyarakat.
b. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi
dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggung jawab.
c. Di tengah kelemahan sistem konstitusional yang ada, Mahkamah Konstitusi
berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah


mempunyai kewenangan vang terdapat dalam ketentuan Pasal 24 C ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945, berisi:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus
pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Selain terdapat pada ketentuan UUD 1945 di atas, ditegaskan pula pada
Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu pada
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). Ditegaskan pula dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan pasal-pasal tersebut di atas merupakan tugas dan kewenangan yang


dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia, Kewenangan yang terdapat dalam
ketentuan tersebut bisa dikatakan terdapat lima kewenangan, atau sering juga disebut
memiliki empat kewenangan dan ditambah satu kewajiban. Apabila diuraikan akan
terlihat tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
konstitusi sebelum amandemen belum mempunyai wewenang karena pada waktu itu
hanya Mahkamah agung yang mengatur lembaga Yudikatif. Baru, setelah amandemen
Mahkamah Konstitusi berperan dalam lembaga tersebut. Sebagaimana wewenang
setelah amandemen, yaitu :
1. Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar 1945.
3. Memutus pembubaran Partai Politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Mengadili Presiden dan atau Wakil Presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka setiap putusan yang dikeluarkan


Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pemberian keputusan terhadap empat
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, putusan tersebut bersifat final.
Hal tersebut memiliki makna bahwa dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada
mekanisme banding atau kasasi terhadap putusan yang dibuat oleh Mahkamah
Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan kewenangan tersebut.58

3. Komisi Yudisial
Latar belakanag pembentukan Komisi Yudisial merupakan bangian penting
dari komitmen bangsa untuk dilakukannya reformasi multi dimensional dalam
kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum, serta, keprihatinan yang
mendalam atas praktik peradilan yang tidak mencerminkan moralitas keadilan.
Agenda besar reformasi yang bergulir di tahun 1999, bertujuan untuk membangun
Indonesia yang lebih kuat,adil, dan sejahtera.
Tugas dan wewenang Komisi Yudisial di beberapa Negara pada intinya yaitu
mengusulkan atau merekomendasikan calon hakim agung dan melakukan pengawasan
terhadap para hakim. Tujuan utama dibentuknya Komisi Yudisial yaitu :
1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring uang intensif
terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam
spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal.
2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan
pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang
tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari
pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.

58
lbid. hlm. 224.
3) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efesiensi dan efektivitas kekuasaan
kehakiman akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut
rekrutmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan
kekuasaan kehakiman.
4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus,
yaitu Komisi Yudisial.
5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial
power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung
dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudiasial yang bukan merupakan
lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan publik.59

Komisi Yudisial diberikan kewenangan oleh UUD 1945 dalam Pasal 24B ayat
(1), terkait dengan status Komisi Yudisial sebagai lembaga negara. Jimly mengatakan
bahwa fungsi Komisi Yudisial menjadi sistem pendukung, artinya ungsi Komisi
Yudisial dibatasi oleh kewenangan yang tertera dalam UU, tetapi tidak tertera dalam
UUD 1945.

Jimly mengatakan bahwa kalimat “mengusulkan pengangkatan hakim agung”


dapat dimaknai sebagai kegiatan mengusulkan kepada presiden untuk menerbitkan
Keputusan Presian (Keppress) sebagai tindakan administratif berupa penetapan
Keppress yang bersifat beschiking belaka. Tegasnya, kata pengangkatan oleh Komisi
Yudisial diatur dalam pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2004, pengusulan bakal calon
hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR. Diakui pula oleh Jimly,
bahwa ada pendapat yang melihat Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2004 bertentangan
dengan ketentuan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, pembatasan kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana


diargumentasikan Jimly juga tidak lepas keberadaan Komisi Yudisial sebagai
lembaga negara yang bukan lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law).
Lembaga negara yang mempunyai fungsi dan menjalankan fungsi peradilan tertinggi
oleh Mahkamah agung dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial hanya merupakan

59
Vol. 6, No. 2. Hlm 99-110
lembaga penunjang (supporting system) terhadap dan dalam cabang kekuasaan
kehakiman.60

Pandangan senada juga dikemukakan oleh Susi Dwi Harijanti, aspek kedua
yang bisa berkonstribusi signifikan atas melemahnya fungsi Komisi Yudisial adalah
terkait dengan dua hal. Di satu pihak, kehadihan KY dimaksudkan untuk
meningkatkan independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman dalam sistem
yang baru. Konsep KY yang saat itu sedang dirumuskan secara ideal diveto oleh MPR
dalam sidang tahunan MPR 2001.61 Faktor dominan KY menjadi lemah karena
ditempatkan secara kurang tepat dalam stuktur ketatanegaraan Indonesia, khususnya
dalam konteks hubungan antara MA dan KY. Situasi inilah yang mengundang
gagasan Komisi Yudisial selayaknya digolongkan pada komisi negara.

Wewenang komisi yudisial sebelum amandemen belum ada Sama seperti


halnya dengan Mahkamah Konstitusi karena pada saat itu yang berperan hanya
Mahkamah Agung. Tetapi, setelah amandemen barulah Mahkamah Kontitusi dan
Komisi Yudisial ikut berperan aktif membantu Mahkamah Agung dalam masa
tugasnya. Wewenang Komisi Yudisial setelah amandemen adalah sebagai berikut:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
3. Menetapkan kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama dengan
Mahkamah Agung
4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaa Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(KEPPH).

Komisi Yudisial sebagai Auxiliary Organ di Indonesia


Walaupun secara konstitusional komisi Yudisial Yudisial diatur dalam Bab
kekuasaan kehakiman, pada dasarnya Komisi Yudisial tidak menjalankan kekuasaan
kehakiman. Auxiliary organ juga disebut dengan Auxiliary State’s institutions, atau
Auxiliary State’s Organ apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti

60
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
61
Susi Dwi Harijanti, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka : Tinjauan Teori dan Praktik di Indonesia dalam Gagasan
Amandemen UUD 1945, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 43.
institusi negara penunjang atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara
Indonesia belum memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini ada
yang menyebut lembaga negara, pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga
negara menyalani, lembaga negara independen dan lembaga negara mandiri.
Pembentukan lembaga tersebut dikarenakan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam
suatu negara dinilai tidak dapat dicapai hanya dengan lembaga utama saja (Main
State’s Organ). Maka, dibentuklah lembaga-lembaga pembantu (Auxiliary State’s
Organ), yang mempunyai fungsi melayani (Ahmad Basarah,2014). Pada dasarnya,
Komisi Yudisial berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang bersifat
penunjang (auxiliary organ) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, diharapkan
bahwa infrastuktur sistem etika perilaku disemua sektor dan lapisan suprastruktur dan
infrastruktur bernegara Indonesia dapat ditumbuh-kembangkan sebagaimana mestinya
dalam rangka mewujudkan gagasan negara hukum dan prinsip good governance
disemua bidang (Suparto,2019). Kedudukan Komisi Yudisial sebagai auxiliary organ
ditegaskan di dalam Pasal 24B UUD 1945, adapun Komisi Yudisial sebagai auxiliary
organ terhadap Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan
bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

1.C LEMBAGA EKSEKUTIF


Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
yang dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu tidak dapat dengan
sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan dari
kepala Negara dilimpahkan (didelegasikan) kepada pejabat-pejabat pemerintah atau
negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang (Badan
Eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan Eksekutif.62
Kekuasaan eksekutif di Indonesia dipegang oleh Presiden, Wakil Presiden dan dibantu
menteri-menteri atau biasa disebut dengan istilah kabinet. Dalam Undang-Undang

62
Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani, “Penerapan Konsep Trias Politica Dalam Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang–Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan
Sesudah Amandemen,” Jurnal Dinamika Sosial Budaya 18, no. 2 (2017): 334,
https://doi.org/10.26623/jdsb.v18i2.580.
Dasar 1945, kedudukan Presiden mencakup sebagai kepala negara sekaligus menjadi
kepala pemerintahan. 63

Saat ini Indonesia masih menganut sistem presidensial, yang berarti kekuasaan
eksekutif terletak pada seorang presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana
kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar
pengawasan langsung badan legislatif.64 Presiden yang menjalankan kekuasaan
eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang
menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat
menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama
Presiden dan DPR menyusun undang undang. Pada sistem presidensial, presiden
memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan. Namun masih ada
mekanisme untuk mengontrol presiden, yaitu jika presiden melakukan pelanggaran
konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi
presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran
tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya (pasal 8 ayat
1). Rumusan pasal ini menyatakan bahwa jika Presiden tidak bisa melaksanakan
kewajibannya dalam masa jabatannya yaitu dalam masa lima tahun maka ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya, kemudian dipilih lagi
melalui pemilihan umum.65

Sistem pemerintahan presidensial memisahkan kekuasaan antara lembaga


Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, sehingga antara yang satu dengan yang lain
seharusnya tidak dapat saling mempengaruhi. Menteri-menteri tidak bertanggung
jawab kepada Legislatif, tetapi bertanggung jawab kepada Presiden yang memilih dan
mengangkatnya, sehingga menteri-menteri tersebut dapat diberhentikan oleh presiden
tanpa persetujuan badan legislatif. Pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif,
63
Christiani Junita Umboh, “PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN REPUBLIK
INDONESIA,” Lex Administratum 8, no. 75 (2020): 147–54,
https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.smr.2020.02.002%0Ahttp://www.ncb
i.nlm.nih.gov/pubmed/810049%0Ahttp://doi.wiley.com/10.1002/anie.197505391%0Ahttp://www.sciencedire
ct.com/science/article/pii/B9780857090409500205%0Ahttp:
64
NISFU SYA’BAN, “Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amadendemen Undang-Undang
Dasar (Uud) 1945,” 2020, 14.
65
Yusmiati, “Hubungan Antar Lembaga Negara Menurut Undang Undang Dasar 1945,” Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial 7, no. 1 (2020): 5, http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index.
yudikatif biasa kita sebut sebagai trias politica.66 Lembaga eksekutif terdiri atas
presiden, wakil presiden, dan menteri:
1. Presiden
Presiden merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan
dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, saat ini kewenangan
Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan
pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai
ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan dengan bidang
legislatif maupun bidang yudikatif.67
Presiden adalah Kepala Negara dan kepala pemerintahan yang dipilih
langsung oleh rakyat melalui Pemilihan umum, dan dilantik oleh MPR. Menurut
pasal 4 ayat (1) ; Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar. Rumusan pasal ini tidak mengalami perubahan
sebelum dan sesudah UUD 1945 diamandemen. Pasal ini menjadi rujukan paling
kuat sekaligus bukti bahwa konstitusi kita menganut sistem Presidensial dalam
sistem pemerintahan dengan menempatkan Presiden sebagai pejabat yang
memegang dan menjalankan roda pemerintahan. Dalam menjalankan
kewajibannya presiden dibantu oleh seorang wakil presiden, tercantum pada pasal
4 ayat (2). Rumusan ini juga tidak mengalami perubahan sebelum dan sesudah
UUD 1945 diamandemen. Tugas seorang wakil Presiden tidak dirumuskan secara
spesifik dalam UUD 1945. Konstitusi kita hanya menyebutkan bahwa tugas Wakil
Presiden adalah membantu Presiden. Rumusan pasal ini dibuat fleksibel agar
Presiden dapat leluasa mengambil kebijakan dan keputusan mengenai bentuk
tugas-tugas Wakil Presiden sesuai kebutuhan dan tantangan serta program kerja.68
Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden juga
memiliki hak istimewa atau hak ekslusif yang melekat padanya atau yang biasa
disebut hak prerogratif dibidang yudisial seperti pemberian GAAR. Hak prerogatif
presiden masih termuat dalam UUD 1945 setelah amandemen. Hak prerogatif
Presiden tersebut terdapat dalam Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 yang memuat
ketentuan tentang peraturan presiden pengganti UU yang merupakan wewenang

66
Baharuddin Thahir, “Pemerintah Dan Pemerintahan Indonesia (Sebuah Bunga Rampai),” Institut
Pemerintahan Dalam Negeri, 2019, http://eprints.ipdn.ac.id/5979/1/Buku Pemerintah dan Pemerintahan
Indonesia sebuah Bunga Rampai.pdf.
67
Muarifal Zamir Abdi, “Lembaga-Lembaga Negara,” Fire Risk Management, no. September (2014).
68
Yusmiati, “Hubungan Antar Lembaga Negara Menurut Undang Undang Dasar 1945,” 4–5.
Presiden untuk mengeluarkannya. Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 ini merupakan satu-
satunya pasal dalam UUD 1945 setelah amandemen yang masih dapat
diidentifikasikan sebagai hak prerogatif Presiden.
Dalam prakteknya kekuasaan Presiden Republik Indonesia sering
disebut dengan istilah "hak prerogatif Presiden" dan diartikan sebagai kekuasaan
mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain. Secara teoritis,
hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-
lembaga tertentu (Presiden) yang bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat
digugat oleh lembaga negara yang lain.69
a. Grasi
Menurut Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Jika dilihat
dari persfektif hukum pidana, kewenangan Presiden berkaitan dengan Pasal 14
UUD 1945 tentang Grasi dan UU No. 22 Tahun 2002 sebagaimana dirubah
dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi sesungguhnya berkaitan erat
dengan dua hal penting dalam hukum pidana, yakni perihal hapusnya kewajiban
menjalankan pidana dan tujuan pemidanaan. Dari persfektif ini dapat
disimpulkan bahwa berkaitan dengan grasi maka sesunggunya Presiden
menyerap sebagian kecil kewenangan hakim dalam menetapkan jenis pidana
yang dijatuhkan dan lamanya seseorang menjalani pemidanaan.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010 diatur bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Kata “dapat” dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk
menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan
grasi sesuai dengan UU No. 5 Tahun 2010. Hak mengajukan grasi diberitahukan
kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara
pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana
tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari

69
Sujatmiko Sujatmiko and Willy Wibowo, “Urgensi Pembentukan Regulasi Grasi, Amnesti, Abolisi Dan
Rehabilitasi,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (2021): 95,
https://doi.org/10.30641/dejure.2021.v21.91-108.
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, banding atau kasasi.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun. Perlu di ingat
bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 kali, agar memberikan
kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan
menghindari pengaturan diskriminatif.
Pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi secara tertulis adalah:
a) Terpidana atau kuasa hukumnya;
b) Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, keluarga yang dimaksud
adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara
sekandung terpidana;
c) Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, apabila terpidana dijatuhi
pidana mati.
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan
terpidana setelah mendapat pertimbangan dari MA. Pemberian grasi oleh
Presiden dapat berupa:
a) Peringanan atau perubahan jenis pidana;
b) Pengurangan jumlah pidana; atau
c) Penghapusan pelaksanaan pidana.70

b. Rehabilitasi
Dalam penjelasan umum KUHAP menyatakan bahwa rehabilitasi atau ganti
kerugian diberikan kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian dan rehabilitasi diberikan
sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja
atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut,
dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
Presiden memberikan rehabilitasi kepada seseorang dengan memperhatikan
pertimbangan MA. Yang dapat diajukan permohonan rehabilitasi kepada Presiden
adalah hanya terhadap seorang yang telah mendapat keputusan grasi atau abolisi.
Rehabilitasi hanya diberikan kepada seseorang yang sudah mendapatkan

70
Sujatmiko and Wibowo, 95–96.
keputusan penghapusan proses hukum (abolisi). Pemberian GAAR harus
diberikan secara sangat selektif karena akan berdampak kepada kewibawaan
negara dan kewibawaan hukum. Seseorang memiliki hak untuk mendapatkan
rehabilitasi pada saat:
a) Mengajukan rehabilitasi melalui praperadilan, akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan
yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan;
b) Apabila diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, rehabilitasi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Agar
pengaturan rehabilitasi untuk mengembalikan kedudukan atau jabatan yang
sempat hilang lebih efektif maka harus diadakan perubahan terhadap
peraturan yang menjadi dasar pelaksanaannya khususnya Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tentang
pelaksanaan KUHAP yang sudah diubah dua kali, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah 92 Tahun 2015. Perubahan tersebut dimaksudkan agar peraturan
tersebut lebih mudah diimplementasikan.

c. Amnesti
Merujuk pada kamus hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, amnesti
adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan UU tentang
pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau
satu kelompok perbuatan pidana. Dalam kaitannya dengan hukum pidana,
dimiliki tentang kewenangan memberikan amnesti yang Presiden ini
sesungguhnya berbicara hapusnya kewajiban seseorang menjalani pidana,
khususnya berkaitan dengan alasan pemaaf dalam hukum pidana.

Dengan pemberian amnesti sesungguhnya. Presiden menyatakan bahwa sifat


melawan hukum dari perbuatan seseorang ditiadakan karena Presiden
mempergunakan hak nya memaafkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh seseorang dan sekelompok orang. Berbeda dengan amnesti, berkaitan
dengan hak abolisi, jika dipotret dari teori hukum pidana maka hak ini
mempunyai kesamaan ide dengan hapusnya hak menuntut yang dikenal di dalam
KUHP.
Berkaitan dengan hapusnya hak menuntut di dalam KUHP, secara umum
penuntutan dihentikan atau dicabut apabila:
1. Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechter lijkgeweijsde)
mengenai tindakan yang sama (Pasal 76)
2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77).
3. Perkara telah kadaluarsa (Pasal 78).
4. Terjadi penyelesaian di luar pengadilan (Pasal 82). Pasal 4 UU 11 Tahun
1954 menyatakan bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat hukum
pidana terhadap orang-orang dihapuskan. diberikan amnesti

Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang


yang diberikan abolisi ditiadakan. Amnesti dan abolisi pernah dilaksanakan
sebagaimana dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1954 sehubungan pada saat itu
terjadinya sengketa politik antara Indonesia (Yogyakarta) dengan Kerajaan
Belanda (pasal 2). UU ini merupakan pelaksanaan dari UUD Sementara Tahun
1950. Menurut ketentuan pasal 1, Presiden memberikan amnesti atau abolisi
dengan pertimbangan dari MA berdasarkan permintaan dari Menteri Kehakiman.
Dalam hal aturan pelaksana dari ketentuan ini perlu diteliti lebih lanjut.
Dengan adanya Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur lembaga yang
memberikan pertimbangan kepada Presiden berbeda, maka ketentuan pasal 1 UU
Darurat 1954 tidak berlaku lagi, namun demikian belum diatur bagaimana proses
pelaksanaan amesti dan abolisi sebagai implementasi dari ketentuan pasal 14 ayat
(2) UUD 1945 tersebut. "Kepentingan Negara" yang tercantum dalam UUD 1945
dalam pemberian amnesti diterjemahkan dalam konteks politik. UU amnesti dan
abolisi sendiri tidak menjelaskan kriteria apa yang dimaksud dengan kepentingan
negara. kedua aturan yang ada terkait pemberian amnesti dari Presiden,
memberikan petunjuk yang berbeda terkait mekanisme yang harus dijalani.
UU amnesti dan abolisi mengatakan presiden dapat memberikan amnesti
setelah mendapat nasihat tertulis dan MA yang diminta terlebih dulu oleh
kementerian terkait (dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia).
Menurut UUD 1945 pasal 14 ayat 2. pemberian amnesti Presiden harus dengan
pertimbangan DPR. mekanisme yang jelas terkait pemberian amnesti dari
Presiden. Selain itu, aturan hukum yang baru juga harus memperjelas definisi dan
indikator kepentingan negara dengan jelas. Hal ini akan memudahkan Presiden
dalam menggunakan hak prerogratifnya. Selain itu, DPR serta masyarakat juga
bisa mengawasi jalannya pemberian amnesti oleh Presiden karena batasan-
batasannya sudah jelas. Belum menemukan peraturan perundang- undangan
tentang prosedur baku yang mengatur mengenai tata cara pemberian Amnesti.
a) Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
mekanisme pemberian amnesti, dan kami memberi masukan sebagai berikut:
b) Berdasarkan telaahan/ kajian dari Menteri yang membidangi Politik, Hukum
dan HAM, usul amnesti disampaikan kepada Presiden.
c) Presiden meminta pertimbangan kepada DPR dan selanjutnya membuat
keputusan.

d. Abolisi
Merujuk pada kamus hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, abolisi
adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan
pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta
melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Merupakan hak
prerogatif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat MA.
Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada
orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi
amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari MA yang
menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri
Hukum dan HAM). Apabila merujuk ada Pasal 2, amnesti dan abolisi diberikan
kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan
sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara
Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda. Apabila memahami
substansi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa amnesti dan abolisi berlaku
sebelum 27 Desember 1949.
Pada saat penelitian belum menemukan peraturan perundang-undangan
tentang prosedur baku yang mengatur mengenai tata cara pemberian abolisi Perlu
adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang mekanisme
pemberian abolisi yang dapat diajukan permohonan abolisi adalah hanya terhadap
seluruh proses pemeriksaan yang sedang berjalan sebelum pengadilan
menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Alasan abolisi harus
berdasarkan pada pertimbangan bahwa dengan melakukan proses hukum kepada
tersangka atau terdakwa akan merugikan kepentingan kepentingan Negara.

Selain memiliki hak prerogatif, Presiden juga memiliki kekuasaan sebagai


kepala pemerintahan dalam berbagai bidang, antara lain:71
1) Kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif
Secara normatif, kekuasaan lembaga kepresidenan yang dipimpin oleh
Presiden dalam bidang eksekutif tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
dan pasal 5 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi :
a) Pasal 4 ayat 1 “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
b) Pasal 5 ayat 2 “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
Kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden dalam konsep trias
politika disebut dengan kekuasaan lembaga eksekutif dalam arti kekuasaan
untuk menjalankan undang-undang.

2) Kekuasaan presiden dalam bidang legislatif


Kekuasaan presiden di bidang legislatif meliputi :
a) Pasal 5 ayat 1 “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR”.
b) Pasal 21 ayat 2 “Jika usul rancangan undang-undang (oleh anggota DPR),
meskipun disetujui DPR, tidak disahkan oleh presiden, maka rancangan
tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
c) Pasal 22 ayat 1 “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undangundang”.
d) Pasal 23 ayat 1 “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersamasama DPR
dengan memperhatikan pertimbangan DPD”.

71
Elva Imeldatur Rohmah, “Perbandingan Sistem Pemerintahan,” Jurnal Ummul Qura XIII, no. 1 (2019): 123–
24.
e) Pasal 23 ayat 2 “Apabila DPR tidak menyetujui rancangan undangundang
anggaran pendapatan dan belanja negara diusulkan oleh presiden,
pemerintah menjalankan APBN tahun lalu”.

3) Kekuasaan presiden dalam bidang yudikatif


a) Pasal 14 ayat 1 “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”
b) Pasal 14 ayat 2 “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”

4) Kekuasaan presiden sebagai kepala negara


Sebagai kepala negara presiden mempunyai tugas-tugas pokok yang diatur
dalam undang-undang dasar 1945, yakni pasal 10 sampai 16 UUD 1945.

5) Kekuasaan presiden dalam bidang militer72


a) Pasal 10 “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat,
laut dan udara.”
b) Pasal 11 ayat 1 “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain.”
c) Pasal 12 “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat syarat dan
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan oleh undang-undang.”
6) Kekuasaan presiden dalam bidang diplomatik
a) Pasal 11 ayat 1 selain menyatakan perang, presiden memiliki wewenang
untuk melakukan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dan pada
Pasal 11 ayat 2 disebutkan presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
b) Pasal 13 ayat 1, presiden mengangkat duta dan konsul. Pada ayat 2
dinyatakan bahwa dalam mengangkat duta, presiden memperhatikan

72
Christiani Junita Umboh, “PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN REPUBLIK
INDONESIA,” 137.
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya, pada ayat 3
disebutkan bahwa presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden
memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dalam penerimaan duta besar negara lain sehingga Dewan
Perwakilan Rakyat dapat memberikan pertimbangan.

2. Wakil Presiden
Sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia berdasar UUD 1945
mengatur tentang kedudukan dan tugas Presiden dan wakil Presiden berturut-turut di
dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UUD
1945. Dari 12 Pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang berkenaan dengan Presiden
sebagai pemerintah negara hampir separuhnya (lima pasal) berkenaan dan dikaitkan
dengan keberadaan Wakil Presiden, yaitu sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) “Dalam
melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. UUD
1945 tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kata
“dibantu”. Menurut Wiryono Prodjodikoro perkataan dibantu itu menandakan bahwa
presiden tetap merupakan the first man dan wakil presiden merupakan the second
man.
Kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat dipisahkan dengan
presiden sebagai satu kesatuan pasangan jabatan yang dipilih secara langsung melalui
pemilihan umum. Karena itu kedudukan wakil presiden jauh lebih tinggi dan lebih
penting dari jabatan menteri. Tugas wakil presiden yaitu mendampingi sang presiden
jika presiden menjalankan tugas-tugas kenegaraan di negara lain atau jika presiden
menyerahkan jabatan kepresidenan baik pengunduran diri atau halangan dalam
menjalankan tugas seperti misalnya mengalami kematian saat menjabat presiden.
Tugas wapres, membantu presiden menjalankan tugas sehari-hari, menjalankan tugas
presiden kalau presiden berhalangan, dan menggantikan presiden kalau jabatan
presiden lowong. Hal hal yang berkenaan dengan kekuasaan tertinggi untuk
memerintah angkatan darat, laut dan udara, menyatakan perang, negara dalam
keadaan bahaya serta membuat perjanjian dengan negara lain, mengangkat dan
memberhentikan duta atau konsul ataupun menerima duta/konsul negara lain,
memberi grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi, gelar, tanda jasa, dll, tidak dibicarakan
dalam proporsi wakil presiden, kecuali bila wakil presiden memang sedang
memperoleh hak-nya. Pengertian dari kalimat tersebut bahwa, presiden meninggal,
sakit keras, atau presiden memang mendelegasikan kewenangan- kewenangan
tersebut di atas sepanjang tidak melanggar peraturan perundang undangan yang
berlaku. Misalnya membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR, menetapkan
peraturan pemerintah (seperti maklumat eks wakil presiden RI, membuat perjanjian
dengan negara lain, penguasaan terhadap angkatan perang (laut, darat dan udara).
Dari uraian tersebut Undang-undang Dasar 1945 memang memberikan
kewenangan kepada Wakil Presiden yang relatif kecil atau dapat dikatakan dalam
porsi yang kecil dibandingkan dengan kewenangan yang diberikan kepada Presiden.
Secara Global tugas dan wewenang wakil Presiden adalah :
a) Membantu Presiden dalam melakukan kewajibannya.
b) Menggantikan Presiden sampai habis waktunya jika Presiden meninggal dunia,
berhenti atau idak dapat melakukan kewajibannyadalam masa jabatan yang telah
ditentukan;
c) Memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah yang perlu
penanganan menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat;
d) Melakukan pengawasan operasional pembangunan, dengan bantuan departemen-
departemen, lembaga lembaga non departemen , dalam hal ini inspektur jenderal
dari departemen yang bersangkutan atau depti pengawasan dari lembaga non
departemen yang bersangkutan.73

3. Menteri
Menteri memiliki kedudukan sebagai pejabat administrasi negara yang bergerak
dibidangnya masing-masing, selain itu Menteri juga memiliki kedudukan sebagai
pemimpin tertinggi yang mengepalai suatu kementerian. Keberadaan jabatan-jabatan
Menteri dalam lingkup eksekutif merupakan selaku pelaksana teknis pemerintahan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, jabatan Menteri merupakan jabatan yang bersifat politis.

73
Oleh Dhanang and Alim Maksum, “TUGAS DAN FUNGSI WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA,” Lex Crimen IV, no.
1 (2015): 125–26.
Dengan kata lain, Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan
kebijakan politik Presiden. 74
Fungsi Menteri
Menurut pasal 8 undang-undang republik Indonesia Nomor 39 tahun 2008
mengenai kementerian negara, fungsi-fungsi dari kementerian negara Indonesia,
mencakup:75
1. Dalam melakukan tugasnya, Kementerian mempunyai tanggung jawab
terhadap urusan tersebut sebagaimana tertuang pada pasal 5 ayat 1
menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan jalannya kebijakan terhadap bidangnya.
b. Melaksanakan pengelolaan barang milik atau kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya
c. Melaksanakan pengawasan pada jalannya tugas di bidangnya.
d. Melakukan aktivitas teknis dari pusat sampai daerah.
2. Dalam melakukan tugasnya, Kementerian yang menjalankan urusan
sebagaimana yang tertuang pada Undang-undang pasal 5 ayat 2
menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya;
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya;
d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian di daerah; dan
e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya;
b. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya; dan
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.
74
Sigit Egi Dwitama, “KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS MENTERI DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN DAN
TINDAKAN YANG BERSIFAT STRATEGIS BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN,” no. 1 (2016): 178–79.
75
Republik Indonesia, “Presiden Republik Indonesia,” 2008.
Tugas Menteri
1. Mengikuti dan melakukan koordinasi pelakanaan kebijaksanaan dan program
yang telah ditetakan di bidang tertentu yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Menampung dan mengusahakan penyelesaian masalah-masalah yang timbul
serta mengikuti perkembangan keadaan dalam bidang yang dikoordinasinya
sehari-hari.
3. Melaksanakan koordinasi seerat-eratnya antara berbagai Direkur Jenderal dan
pimpinan lembaga lainnya dalam penanganan masalah yang memiliki sangkut
paut dengan bidang koordinasi Menteri Negara yang bersangkutan.
4. Membina dan melakukan koordinasi dengan atau antar departemen dan
instansi lainnya baik dalam rangka pengumpulan bahan, pembahasan masalah
yang diperlukan bagi perumusan kebijaksanaan dan program yang
menyangkut bidang yang menjadi tanggungjawabnya, ataupun dalam
menampung dan memecahkan masalah yang timbul dalam pelaksanaan
kebijaksanaan dan program tertentu.
5. Menyampaikan laporan dan bahan keterangan serta saran dan pertimbangan di
bidang tanggungjawabnya Kepada Menteri Pimpinan Departemen, Menteri
Koordinator yang dibantunya, dan Kepada Presiden.

Wewenang Menteri
1. Mengkoordinasi pemberian pelayanan kerumahtanggaan dan keprotokolan
kepada Presiden dan Wakil Presiden.
2. Pelaksanaan tugas tertentu yang diberikan oleh Presiden;
3. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
4. Menjalankan urusan dalam kekuasaannya dengan wewenang eksekutif yang
ada.
5. Memiliki wewenang atau kekuasaan dalam bentuk kekuasaan eksekutif, yakni
kekuasaan sebagai pelaksana hukum. Sebab, yang ada memiliki kewenangan
berupa menjalankan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan
ditentukan oleh lembaga yang memegang kekuasaan legislatif, melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan bersama Presiden dan Wakil Presiden, dan
melakukan tata tertib negara baik di dalam maupun luar negeri.
Hak dan Kewajiban Menteri
Hak Kementerian negara adalah hak untuk mengatur rakyat. Sementara itu
kewajiban Kementerian negara yaitu untuk penyelenggaraan negara bersama-sama
dengan Presiden dan wakil Presiden. Sebab, masuk dalam lembaga eksekutif, maka
kementerian negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban kementerian negara
wajib memahami apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang supaya tidak
melenceng dalam menjalankan kewajibannya.

1.D KEKUASAAN PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA (EKSAMINATIF)


Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan
tujuan negara. Untuk mewujudkan tujuan itu, pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan
profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Para perumus UUD 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab pemerintahan tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang
berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan pemerintah.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


BPK adalah sebuah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Peran dan tugas pokoknya bisa
diuraikan dalam dua hal. Pertama, BPK adalah pemeriksa semua asal-usul dan
besarnya penerimaan negara, dari manapun sumbernya. Kedua, BPK harus
mengetahui tempat uang negara itu disimpan dan untuk apa uang negara itu
digunakan.
Kekuasaan eksaminatif menurut UUD 1945, dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Badan ini diatur dalam Pasal 23E, 23F, dan 23G UUD 1945 pasca-
amendemen. Pasal 23E UUD 1945 pasca-amendemen menyatakan:76

76
Sebelum amendemen Badan ini diatur dalam Pasal 23 Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan: "Untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan perwakilan
rakyat."
Ayat (1): "Untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri"
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang."
Ayat (2): "Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai
kewenangannya."
Ayat (3): "Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan undang- undang."
Sejak 2003 setidaknya ada empat UU yang dapat dijadikan landasan hukum
dan landasan operasional BPK: UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1
/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; serta terakhir UU No. 15 tahun
2006 tentang BPK. UU No. 15 tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK yang dianggap sudah tidak sesuai
dengan perkembangan system.
Kehadiran pasal tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, para pendiri
Republik Indonesia sudah menyadari bahwa dalam rangka menegakkan pemerintahan
yang bertanggungjawab, diperlukan sebuah Badan Pemeriksa Keuangan. Karena itu di
dalam UUD tersebut tercantum ketetapan yang mewajibkan pembentukan BPK
sebagai lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah
mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun
2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di
bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002
yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai
satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu
lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.77

1. Sejarah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


Secara historis, sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945
hingga 10 Desember 1945 BPK belum terbentuk, karena situasi politik yang

77
Rahimullah, Hukum Tata Negara “Hubungan Antar Lembaga Negara”. (Jakarta: Gramedia, 2007), h.52
belum mengizinkan untuk memikirkan masalah badan itu. Baru pada tanggal 10
Desember 1945 Menteri Keuangan memberikan dictum bahwa BPK akan
dibentuk pemerintah pada tang- gal 1 Januari 1946 sebagai keharusan dalam
Undang-Undang Dasar, sehingga mulai dipersiapkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pembentukan BPK. Dan baru pada tanggal 1 Januari 1947
berdasar- kan Penetapan Pemerintah 1946 No. 11/OEM yang dikeluarkan pada
tanggal 28 Desember 1946, Presiden RI menetapkan berdirinya BPK yang
berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa
Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya,
Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tang. gal 12 April 1947 No. 94-1
telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia
mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang
Keuangan negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-
undangan yang dahulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer
(Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.

Dalam Penetapan Pemerintah No. 6/1948 tanggal 6 November 1948 tempat


kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke
Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibu kotanya di Yogyakarta tetap
mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai Pasal 23 Ayat (3) UUD Tahun
1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK
Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No. 13JA11950 terhitung mulai 1 Agustus
1949.
Dengan dibentuknya negara. Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS)
berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk
Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu
alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal
31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor
me. nempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah
Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak
tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor
Dewan Pengawas Keuangan RIS. Per sonalia Dewan Pengawas Keuangan RIS
diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene
Rekenkamer di Bogor.
Secara substansi keberadaan Badan Pengawas Keuangan berdasarkan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan Undang- Undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS) berbeda dengan Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibra- him, setidaknya ada dua perbedaan mendasar
antara konsep Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD 1945 dan Dewan
Pengawas Keuangan berdasarkan KRIS dan UUDS: Pertama, dari sudut istilah.
Memeriksa adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengetahui yang telah
dilakukan orang lain, sedangkan mengawas adalah suatu perbuatan yang berupa
mengamati sesuatu agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua, dari
sudut pelaksanaan tugas. Apabila kedua istilah dikaitkan dengan pelaksanaan
tugas, maka BPK adalah suatu badan yang menitikberatkan kepada tindakan yang
bersifat represif, sedangkan Dewan Pengawas Keuangan lebih banyak ditekan-
kan kepada tindakan pencegahan (preventif).78 Walaupun dalam ke- nyataan
menurut Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, tidak terdapat perbedaan fungsi
antara Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Pengawas Keuangan. Perbedaan
hanyalah terletak pada cara pertanggungjawaban.79
Pertanggung jawaban tersebut penting karena akan menjadi bahan bagi DPR,
DPD, dan DPRD untuk menilai kebijakan pemerintah yang menurut Wirjono
Prodjodikoro80 meliputi dua aspek: Pertama, rechmatigheid yaitu mengenai
kewajiban pemerintah untuk tidak menyimpang dari pasal-pasal APBN; Kedua,
doelmatigheid yaitu mengenai kewajiban pemerintah untuk menggunakan uang
negara dalam nai rangka begrooting secara sebaik-baiknya yang betul-betul
bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Wolhoff, menyebut aspek rechmatigheid tersebut sebagai pertangungjawaban
yang bersifat yuridis mengenai baik tindakan-tindakannya yang melanggar

78
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. cit., him. 242-243.
79
Berdasarkan UUD 1945 menyebutkan, "Hasil pemriksaan diberitahukan ke- pada DPR, sedangkan KRIS dan
UUDS dengan tegas menyebutkan: "Pengeluaran dan penerimaan... ditanggungjawabkan kepada DPR....
Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 121.
80
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 117.
Hukum Pidana maupun Hukum Perdata ataupun Hukum Administrasi. Adapun
aspek doelmatigheid adalah pertanggungjawaban yang bersifat politik.81
Pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan
berlakunya kembali UUD tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas
Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi De- wan
Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan
RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan WD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih
tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama
Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS
No. 11/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk
menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat
kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu, maka pada tanggal 12 Oktober
1963, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965
yang antara lain menetapkan bahwa presiden, sebagai pemimpin besar revolusi
pemegang kekuasaan pemeriksaan dan pe nelitian tertinggi atas penyusunan dan
pengurusan keuangan negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan
masing-masing sebagai menteri koordinator dan menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No. X/MPRS/1966 Kedudukan BPK
RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai lembaga tinggi negara.
Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru
direalisasikan pada tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan,
Dalam era reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah
mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan

81
Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, Op. cit., hlm. 124.
Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa
eksternal di bidang keuangan negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR
No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal
keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang
independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI
dalam UUD Tahun 1945 telah diamendemen. Sebelum amendemen BPK RI
hanya diatur dalam satu ayat (Pasal 23 Ayat 5) kemudian dalam Perubahan
Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A)
dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat undang-
undang di bidang keuangan negara, yaitu; (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara; (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (3)
UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara; (3) PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah dan untuk lebih memberikan ruang kepada BPK
sebagai lembaga yang memiliki fungsi strategis dalam pengelolaan dan
pemeriksaan keuangan negara, maka pada tanggal 30 Oktober 2006 diundangkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan
(LN 2006 No. 85, TLN Tahun. 2006 No. 4654).

2. Susunan Keanggotaan BPK


Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bebas dan
mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara82
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah,
akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Dengan kata lain bahwa eksistensi
BPK bukan bersifat formalitas semata, tetapi merupakan lembaga yang
diharapkan ber- fungsi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.
Badan Pemeriksa Keuangan berbentuk dewan yang terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan lima orang
anggota. Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.

82
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh DPR dengan
mempertimbangkan DPD dan diresmikan oleh presiden untuk masa jabatan 5
tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan.
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPK, calon harus mempu- nyai
persyaratan: (1) Warga Negara Indonesia; (2) bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (3) berusia sekurang-kurangnya 35 tahun; (4) sehat jasmani dan
rohani; dan (5) mempunyai kecakapan dan peng. alaman dalam bidang keuangan
dan administrasi negara.
Agar anggota BPK menjalankan fungsinya secara jujur dan baik, maka
perundang-undangan menentukan:
a) Anggota BPK tidak boleh, langsung maupun tidak langsung men jadi pemilik
seluruh atau sebagian ataupun menjadi penjamin badan usaha yang
berdasarkan perjanjian dengan tujuan untuk mendapat laba atau keuntungan
dari negara;
b) Anggota BPK tidak boleh merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga
negara yang lain, jabatan dalam lingkungan pemerintahan negara, ataupun
dalam lingkungan lembaga negara;
c) Anggota BPK tidak boleh berniaga dan/atau mempunyai kepentingan dalam
usaha perniagaan pihak-pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung;
d) Anggota BPK tidak boleh memiliki piutang atas beban keuangan negara,
terkecuali surat-surat obligasi umum.

3. Tugas dan Wewenang


Tugas dan wewenang memiliki posisi strategis karena menyangkut semua aspek
yang berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran dan keuangan negara,
yaitu:
a) Memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD;
b) Memeriksa semua pelaksanaan APBN; dan
c) Memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara.83

83
Pasal 23E UUD 1945 pasca-amendemen.
Sehubungan dengan penunaian tugasnya BPK berwenang meminta keterangan
yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan
swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,84 menyimpulkan tugas pokok


BPK menjadi 3 macam fungsi, yaitu:
a) Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan dan penelitian
atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara:
b) Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan
ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendaharawan
yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya,
menimbulkan kerugian besar bagi negara;
c) Fungsi rekomendatif, yaitu memberi pertimbangan kepada pemerintah
tentang pengurusan keuangan negara.

Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, maka BPK berwenang antara lain:
a) Meminta, memeriksa, meneliti pertanggung jawaban atas penguasaan dan
pengurusan keuangan negara serta mengusahakan keseragaman baik dalam
tata cara pemeriksaan dan pengawasan maupun dalam penatausahaan
keuangan negara.
b) Mengadakan dan menetapkan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi; dan
c) Melakukan penelitian penganalisisan terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan.

Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum,


dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem
pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh lembaga negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang dimaksud mempunyai tugas dan
kewenangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Di jelaskan dalam UU RI
No.15 Tahun 2006 tentang BPK bahwa pada Bab III pasal 6 ayat (1) Badan

84
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang
Dasar 1945, Jakarta: Gramedia, hlm. 88.
Pemeriksa Keuangan bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang dilakukan oleh:
(i) Pemerintah Pusat;
(ii) Pemerintah Daerah;
(iii) Lembaga Negara;
(iv) Bank Indonesia (BI);
(v) Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
(vi) Badan Layanan Umum;
(vii) Badan Usaha Milik Negara;
(viii) Lembaga atau badan lain yang mengeola keuangan negara.
Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan
atas laporan keuangan. Kemudian yang dimaksud dengan pemeriksaan kinerja
adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas
pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas.
Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk memberikan
simpulan atas suatu hal yang diperiksa.85
Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh akuntan publik, berdasarkan ketentuan
undang-undang laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada
BPK dan dipublikasikan. Kemudian dalam melaksanakan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK melakukan pembahasan
atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar
pemeriksaan keuangan negara. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan
yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa.86
Selanjutnya, BPK bertugas menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai
dengan kewenanganya. Kemudian DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil
pemeriksaan sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga
perwakilan. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung

85
Peraturan BPK RI No.1 Tahun 2007, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, (Jakarta: Pustaka Pergaulan,
2007), hlm.20
86
Ibid, 57
jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD
dinyatakan terbuka untuk umum.
Dijelaskan pula bahwa untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan, BPK
menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Tindak lanjut dari hasil
pemeriksaan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota kepada BPK. Namun, apabila dalam pemeriksaan ditemukan
unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu)
bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Selanjutnya laporan BPK
sebagaimana dimaksud dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan BPK memantau
pelaksanaan tindak pemeriksaan tersebut yang hasilnya kemudian diberitahukan
secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.87
Seperti yang telah dikemukakan diatas, dalam melaksanakan tugasnya, BPK
juga mempunyai wewenang. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa BPK
berwenang:88
a. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun
dan menyajikan laporan pemeriksaan.
b. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, BUMN, BUMD, dan lembaga lain atau badan lain yang
mengelola keuangan negara.
c. Melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik
negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan
negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan surat-surat,
bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
d. Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK.
87
UU BPK, Pasal 8
88
UU RI No.15 tahun 2006 Tentang BPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Kewenangan dimaksud merupakan
perwujudan lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan keuangan
negara
e. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan
Pemerintah Pusat/Pemeritah Daerah yang wajib digunakan dalam
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
f. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
g. Menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa diluar BPK yang
bekerja untuk dan atas nama BPK.
h. Membina jabatan fungsional pemeriksa.
i. Memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan, dan
j. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah.

BPK menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan
oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD,89 dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Penilaian kerugian keuangan
negara dan /atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian
ditetapkan dengan keputusan BPK. Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran
ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
a. Penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
b. Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
c. Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.

Kemudian dijelaskan pula bahwa, BPK dapat memberikan: 1). Pendapat


kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara Lain, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, Yayasan,

89
Ibid, Yang dimaksud “pengelola” termasuk pegawai perusahaan negara/daerah dan lembaga atau badan
lain. Yang dimaksud dengan BUMN/BUMD adalah perusahaan negara/daerah yang sebagian besar atau
seluruh modalnya dimiliki oleh negara/daerah.
dan Lembaga atau Badan Lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. 2).
pertimbangan atas penyelesaian kerugian/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah, dan 3). keterangan ahli dalam proses peradilan
mengenai kerugian negara/daerah.

Terkait dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),


mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) di Mahkamah
Konstitusi (MK). Penjelasan pengujian UU tersebut menyatakan pasal 34 ayat
(2a) huruf b dan penjelasan pasal tersebut telah mengurangi hak konstitusional
BPK sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.90

Ketentuan UU Perpajakan itu menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli


pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang berhak
memeriksa keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 23E ayat (1)
tentang kewenangan BPK, yang menegaskan BPK didirikan sebagai suatu
lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk satu tujuan saja. “Tujuan
tunggal pendirian BPK itu adalah untuk memeriksa setiap sen uang yang
dipungut oleh negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk
apa pun dipergunakan”. Dan jika hal itu bertentangan maka dapat diartikan bahwa
sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri BPK belum dapat menjalankan
tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya.

Lebih lanjut, prosedur izin dari Menteri Keuangan dalam hal pemeriksaan
pajak itu juga tidak lazim. Hal itu disebabkan BPK adalah lembaga tinggi negara
yang kedudukannya lebih tinggi dari Departemen Keuangan. Kedudukan Ketua
BPK sebagai lembaga negara adalah lebih tinggi daripada Menteri Keuangan.

Untuk memahami tentang wewenang Badan Pemeriksa Keuangan yaitu kita


harus mengerti, apa yang dimaksud dengan pemeriksaan. Pemeriksaan adalah
terjemahan dari auditing. Pada saat ini, tidak ada pengelolaan keuangan yang
dapat dibebaskan dari keharusan auditing sebagai jaminan bahwa pengelolaan
keuangan itu memang sesuai dengan norma-norma aturan yang berlaku (rule of

90
http://www.setneg.go.id/index/php diakses tanggal 26 Maret 2023
the games). Oleh sebab itu, setiap pengelolaan keuangan harus dilakukan sesuai
aturan yang benar sehingga diperlukan mekanisme pemeriksaan yang disebut
financial audit.91

Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum.
Kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintahan haruslah dilakukan
secara simultan dan menyeluruh sejak dari tahap perencanaan sampai ke tahap
evaluasi dan penilaian, mulai dari tahap rule making sampai ke tahap rule
enforcing. Auditing atau pemeriksaan tidak selalu bertujuan mencari kesalahan,
melainkan juga untuk meluruskan yang bengkok dan memberikan arah dan
bimbingan agar pelaksanaan tugas-tugas dan fungsi lembaga ini dapat tetap
berada di dalam koridor aturan yang berlaku. Artinya, pemeriksaan dapat
berfungsi preventif dan dapat pula berfungsi korektif dan kuratif.92

Selama ini, pemeriksaan pajak hanya menggunakan mekanisme pemeriksaan


dan perhitungan pajak dilakukan secara internal (self assessment) oleh
kelengkapan Departemen Keuangan. Pemeriksaan tertutup itu, bisa memunculkan
berbagai upaya penggelapan pajak. Oleh karena itu, jika tidak ada pemeriksaan
eksternal oleh BPK, sistem `self assessment` itu hanya merupakan lisensi untuk
melakukan kejahatan penggelapan pajak.

Pembatasan wewenang BPK dalam UU Perpajakan itu juga bertentangan


dengan beberapa ketentuan lain, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.

4. Lembaga BPK Pasca Amandemen UUD 1945


BPK memeriksa seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara
baik berupa pajak dan non pajak, seluruh aset dan utang-piutang negara,
penempatan kekayaan negara serta penggunaan pengeluaran negara. Dengan
demikian, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

91
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006) Cet.II, h.162
92
Ibid, hlm.164
negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang Sekarang,
UU mengatakan bahwa temuan tersebut harus ditindaklanjuti oleh pejabat negara
dan pelaksanaannya dipantau dan dilaporkan kepada BPK. Lebih dari itu, mereka
yang tidak melaksanakan tindak lanjut diancam dengan sanksi pidana maksimum
1,5 tahun penjara dan atau denda Rp. 500 juta.
Sejumlah hal yang menunjukkan bahwa dibandingkan di masa lalu, BPK saat
ini memiliki kewenangan lebih luas: Di masa Orde Baru, BPK tidak memeriksa
penerimaan Negara. Sekarang, BPK juga melakukan pemeriksaan penerimaan
negara seperti melakukan pemeriksaan kontrak pertambangan, termasuk migas
dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).93
Di masa Orde Baru, BI, cakupan pemeriksaan BPK atas Pertamina dan
sebagian BUMN lainya sangat dibatasi. Sekarang, BPK dapat memeriksa seluruh
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan BI, Pertamina dan BUMN lainnya.
Yang dimaksud dengan ”lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan
negara” antara lain: badan hukum milik negara, LPS, yayasan yang mendapat
fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang (seperti
KPK, KPU, KPI, dan sebagainya), serta badan swasta yang menerima dan/atau
mengelola uang negara. Namun demikian, sampai saat ini masih ada lembaga
pemerintahan yang tidak sepenuhnya bisa diperiksa oleh BPK, yaitu penerimaan
pajak yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak. Ini terjadi karena UU Perpajakan
memang menutup akses BPK pada pemeriksaan penerimaan pajak.
Di masa Orde Baru, BPK tidak memeriksa penyimpanan uang Negara.
Sekarang, BPK melakukan pemeriksaan penyimpanan uang Negara. Salah satu
hasil yang mengemuka adalah sejak 2005 BPK menemukan ribuan rekening
pribadi pejabat Negara yang menyimpan uang Negara.
Di masa Orde Baru, karena pembatasan anggaran, pengeluaran Negara yang
diperiksa BPK hanyalah terbatas pada pemerintah pusat saja dan dari APBN serta
beberapa pemerintah daerah yang dapat dijangkau kantor perwakilan BPK
Daerah. Sekarang, cakupan pengeluaran Negara yang diperiksa BPK menjadi
lebih luas dan menjangkau seluruh tingkat pemerintahan Pusat, Provinsi.

93
https://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_1386161576.pdf diakses pada tanggal 26
Maret 2023
2. HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Sebelum Amandemen
1. Hubungan Antara MPR dan Presiden
Sebelum amandemen UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945
merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR diberi kekuasaan tak terbatas (Super Power),
karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan
MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang
menetapkan UUD, GBHN, memilih, dan mengangkat Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Sehingga hubungan antara MPR dan Presiden tampak dalam hal
pemilihan dan pengangkatan Presiden dan/atau Wakil Presiden
2. Hubungan antara Presiden dan DPR
Hubungan antara Presiden dan DPR tampak dalam kaitannya dengan fungsi
Presiden dalam ranah legislatif, presiden membentuk Undang-Undang dengan
persetujuan DPR. Selain itu, dalam hal menyatakan perang , membuat perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain, harus juga dengan persetujuan DPR
3. Hubungan DPA dengan Presiden
Hubungan antara DPA dengan Presiden tampak ketika DPA berdasarkan
kewenangan yang diperoleh dari Undang-Undang yang telah ditetapkan, memiliki
berkewajiban memberikan pertimbangan atas pertanyaan Presiden dan berhak
memajukan usul kepada pemerintah.
4. Hubungan Antara BPK dan DPR
Hubungan antara BPK dan DPR tampak sehubungan dengan penindak-lanjutan
dari hasil pemeriksaan BPK. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang
bebas dan mandiri. Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk
memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara seperti halnya APBN, Pajak,
macam dan harga mata uang yang ditetapkan UU diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan UU. Hasil pemeriksaan itu
disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.

B. Sesudah Amandemen
1. Hubungan Antara MPR, Presiden, DPR dan MK
Hubungan antara MPR, Presiden, DPR dan MK dapat terlihat dalam proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. MPR hasil amandemen UUD
1945 bertugas melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dan/atau Wakil
Presiden, dapat diberhentikan MPR dalam masa jabatannya menurut UUD atas
usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul DPR setelah diajukan ke MPR, maka
kemudian MPR meminta kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut telah terbukti
adanya. Setelah itu hasilnya dibawa ke rapat paripurna DPR untuk segera
meneruskan usul pemberhentian ke MPR, dan atas usul dari hasil sidang paripurna
DPR, maka MPR segera menyelenggarakan sidang untuk mengambil keputusan
pemberhentian yang sekurang-kurangnya dihadiri ¾ jumlah anggota dan disetujui
2/3 anggota.
2. Hubungan Antara DPR dan Presiden
a. Hubungan antara DPR dan Presiden adalah DPR dapat mengajukan usulan
Rancangan Undang – Undang dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kemudian hubungannya dengan Presidean adalah Presiden yang mengesahkan
atau menyetujui Rancangan Undang – Undang tersebut.
b. Dalam hal membahas Rancang Undang – Undang, DPR dan Presiden adalah mitra
yang sejajar karena kedua – duanya bersama – sama membahas RUU tersebut
yang kemudian untuk mendapatkan persetujuan bersama.
c. Dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
Peraturan Pemerintah sebagai penggnti Undang – Undang. Sedangkan Peraturan
Pemerintah itu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
d. Presiden meresmikan anggota BPK yang telah dipilih dan ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah.
e. DPR memberikan persetujuan kepada Presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan anggota Komisi Yudisial.
f. DPR memberikan persetujuan kepada Presiden dalam menetapkan Hakim Agung
dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
g. Presiden secara bersama dengan DPR dan M K mengajukan calon.
h. Hakim Konstitusi masing masing 3 orang serta menetapkan hakim konstitusi dari
calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung tersebut.
i. DPR menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD.
j. DPR memberikan pertimbang an kepada Presiden untuk mengangkat duta,
menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam
pemberian amnesti dan abolisi.
k. DPR memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
l. Presiden membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR.
3. Hubungan Antara DPR dan DPD
Hubungan Antara DPR dan DPD tertera dalam UUD NRI 1945 pasal 22D ayat 1
yaitu:
a. Dalam rangka otonomi daerah antara pemerintah pusat dan daerah itu
digabungkan untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
Yang kesemuanya itu untuk perkembangan daerah.
b. Setelah DPD mengajukan RUU ke DPR kemudian DPD dapat ikut membahas
RUU yang berkaitan yang berkaitan dengan otonomi daerah.
c. Sesuai dengan kewenangannya DPD menyampaikan hasil pengawasan
pelaksanaan undang-undang tertentu kepada DPR.
d. DPD memberikan pertimbangan terhadap pemilihan anggota BPK yang dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
e. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
f. DPD dapat mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan dan memberikan
pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.
g. DPR menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan
dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
4. Hubungan DPD dengan Presiden
Hubungan antara lembaga Negara DPD dan Presiden yaitu DPD melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang oleh Presiden dalam hal ini pemerintah
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
5. Hubungan DPD dengan MA
Hubungan antara lembaga negara DPD dan MA yaitu MA memberikan pendapat
hukum atas permintaan DPD mengenai suatu masalah yang dihadapi.
6. Hubungan DPD dengan BPK
Hubungan antar lembaga negara DPD dan BPK yaitu :
a. DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan
bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan
APBN.
b. BPK menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan
DPRD (sesuai dengan kewenangannya) (Pasal 23E 2).
c. Dalam hal pemilihan anggota BPK, DPD memberikan pertimbangannya kepada
DPR.
7. Hubungan Antara BPK Dengan DPR
Hubungan Antara BPK dan DPR tampak ketika BPK bertugas memeriksa tentang
keuangan negara dan hasil perneriksaannya itu diberitahukan kepada DPR. Dewan
Perwakilan Daerah daerah DPRD (Pasal 23-E ayat (2)) untuk mengikuti dan menilai
kebijakan ekonomis financial pemerintah yang dijalankan oleh aparatur administrasi
negara yang dipimpin oleh pemerintah. BPK bertugas untuk memeriksa tanggung
jawab pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sehubungan dengan penuaian tugasnya
BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang,
badan/instansi Pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang. Barang siapa sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan
keterangan yang diminta BPK dengan jalan menolak atau menghindarkan diri untuk
memberikan keterangan, dapat dikenakan hukuman penjara selama-lamanya satu
tahun enam bulan. DPR memiliki kewenangan yang diantaranya menyangkut BPK
yaitu dalam pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota maupun pimpinan
BPK merupakan atas kewenagan DPR. Oleh karena itu pencalonan anggota BPK
haruslah datang dari DPR yang kemudian ditetapkan oleh Presiden.
8. Hubungan Antara MA, DPR dan Presiden
Hubungan antara MA, DPR dan Presiden dapat dilihat dalam hal pengangkatan calon
hakim agung MA. Calon hakim agung MA diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada
DPR, yang kemudian dilanjutkan untuk ditetapkan oleh Presiden.
9. Hubungan Antara MK, MA dan DPR
Hubungan antara MK dan DPR dapat dilihat dalam hal pemberian putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Anggota MK berjumlah 9 yang di tetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3 orang oleh DPR dan 3 orang oleh
Presiden.
10. Hubungan Presiden dengan MA
Hubungan antara lembaga negara MA dan Presiden yaitu;
a. Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah agung memberi grasi dan
rehabilitasi.
b. Presiden bersama dengan bersama dengan M A dan DPR mengajukan calon
Hakim Konstitusi masing masing 3 orang dan menetapkannya.
c. MA memberikan pendapat hukum atas permintaan Presiden mengenai suatu
masalah yang dihadapi.
11. Hubungan Presiden dengan BPK
Hubungan antara lembaga negara Presiden dan BPK antar lain :
a. Presiden meresmikan anggota BPK.
b. BPK memeriksa penggunaan Anggaran Pengeluaran Belanja Negara yang
berkaitan dengan keuangan negara dan kekayaan negara.
12. Hubungan Presiden dengan MK
Hubungan antar Lembaga Negara MK dan Presiden yaitu :
a. MK menjaga pelaksanaan UUD oleh Presiden dalam hal ini pemerintah.
b. Presiden menetapkan Hakim Konstitusi yang dimiliki oleh MK.
13. Hubungan M A dengan BPK
Hubungan antara lembaga negara MA dam BPK yaitu MA memberikan pendapat
hukum atas permintaan BPK mengenai suatu masalah yang dihadapi.
14. Hubungan MA dengan MK
Hubungan antara lembaga negara MA dan MK yaitu :
a. Mahkamah Agung bersama dengan Mahkamah Konstitusi melaksanakan
kekuasaan kehakiman di Indonesia.
b. Mahkamah Agung mengadili suatu perkara pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-
undang dasar.
c. MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
15. Hubungan BPK dengan MK
Hubungan antara lembaga negara BPK dan MK, yaitu MK memutus sengketa
kewenangan BPK yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. 94

Kesimpulan

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, MPR pernah melakukan empat kali perubahan.
Perubahan pertama dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan kedua tanggal 18
Agustus 2000, Perubahan ketiga tanggal 10 Oktober 2001, dan perubahan keempat tanggal 10
Agustus 2002. Perubahan yang dilakukan oleh MPR pada dasarnya bertujuan untuk
melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan
negara baik yang terjadi pada masa Orde lama (Soekarno) maupun pada masa Orde Baru
(Soeharto). Dari Empat kali Perubahan yang dilakukan oleh MPR, MPR sepakat hanya akan
merubah Pasal-Pasal UUD 1945 dan tidak akan melakukan perubahan terhadap Pembukaan
UUD 1945.

Perubahan UUD 1945, membawa dampak pada perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia
dimana terjadi perubahan pada kedudukan, tugas dan wewenang MPR, DPR, Presiden, dan
DPA di bubarkan diganti dewan Pertimbangan Presiden. Selain itu kekuasaan kehakiman
yang dulu hanya dipegang oleh MA sekarang ada ditangan MA, MK dan KY.

94
Tri Mulyani, “KAJIAN NORMATIF MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945: SEBELUM
DAN SESUDAH AMANDEMEN,” Humani 6 (2016): 88–94,
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media.neliti.com/media/pu
blications/9138-ID-perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-
ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id.
Daftar Pustaka

Bambang Cipto, 1995, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Idustrial,
PT Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1-2.
Abdi, Muarifal Zamir. “Lembaga-Lembaga Negara.” Fire Risk Management, no. September
(2014).
Christiani Junita Umboh. “PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA.” Lex Administratum 8, no. 75 (2020):
147–54.
https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.smr.2020.02.002
%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/810049%0Ahttp://doi.wiley.com/10.1002/an
ie.197505391%0Ahttp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978085709040950
0205%0Ahttp:
Dhanang, Oleh, and Alim Maksum. “TUGAS DAN FUNGSI WAKIL PRESIDEN DI
INDONESIA.” Lex Crimen IV, no. 1 (2015): 123–33.
Dwitama, Sigit Egi. “KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS MENTERI DALAM
MENGAMBIL KEPUTUSAN DAN TINDAKAN YANG BERSIFAT STRATEGIS
BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN,” no. 1 (2016): 1–23.
Indonesia, Republik. “Presiden Republik Indonesia,” 2008.
MZ, H. ISMAIL. “Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara Dan Sistim
Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Ganec Swara 13, no. 2 (2019): 258.
https://doi.org/10.35327/gara.v13i2.90.
Robuwan, Rahmat. “Redistribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Lembaga Negara
Di Indonesia” XII, no. 1 (2018).
Rohmah, Elva Imeldatur. “Perbandingan Sistem Pemerintahan.” Jurnal Ummul Qura XIII,
no. 1 (2019): 117–34.
Sujatmiko, Sujatmiko, and Willy Wibowo. “Urgensi Pembentukan Regulasi Grasi, Amnesti,
Abolisi Dan Rehabilitasi.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (2021): 91.
https://doi.org/10.30641/dejure.2021.v21.91-108.
SYA‟BAN, NISFU. “Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amadendemen
Undang-Undang Dasar (Uud) 1945,” 2020, 54.
Thahir, Baharuddin. “Pemerintah Dan Pemerintahan Indonesia (Sebuah Bunga Rampai).”
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 2019. http://eprints.ipdn.ac.id/5979/1/Buku
Pemerintah dan Pemerintahan Indonesia sebuah Bunga Rampai.pdf.
Tri Mulyani. “KAJIAN NORMATIF MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA
NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945: SEBELUM DAN
SESUDAH AMANDEMEN.” Humani 6 (2016).
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media
.neliti.com/media/publications/9138-ID-perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-
konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id.
Wahyumi, Puji. “Struktur Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945
(Sebelum Dan Sesudah Amandemen).” Jurnal Polimes 1, no. 2 (2015).
Yulistyowati, Efi, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani. “Penerapan Konsep Trias Politica
Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang–
Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Jurnal Dinamika
Sosial Budaya 18, no. 2 (2017): 328. https://doi.org/10.26623/jdsb.v18i2.580.
Yusmiati. “Hubungan Antar Lembaga Negara Menurut Undang Undang Dasar 1945.” Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial 7, no. 1 (2020): 1–13. http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index.

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm1.

Ahmad Yani. “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktek Kostitusi
Undang-undang Dasar 1945”. Jurnal Legislasi Indonesia, Edisi No. 2 Vol. 1, Universitas
Padjajaran, 2018, hlm 60.

Saldi Isra Op. Cit, hlm 3.

C.F Strong, Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative Study of


Their History and Existing Form, Sidwick &Jackson Ltd, London, 1975, hlm.8

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hlm.256

Fatmawati, 2014.Hukum Tata Negara, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan,hlm.7 -12

Jimly Asshidiqie,2010.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Press, Jakarta, hlm.299

Jimly Asshidiqie,2010.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Press, Jakarta, hlm.308

Syahminul Siregar,SH,MH, (Staf Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Pembangunan


Panca BudiMedan).DewanPerwakilan
Rakyat(Dpr)MenurutUUD1945(Perubahan).JurnalIlmiahAbdiIlmu.Vol.5 No.1 Juni 2012

Adika Akbarrudin.Pelaksanaan Fungsi Le gislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Am andemen


UUD 1945.Jilid 8. Nomor 1. Januari 2013

Eni Suharti, MD3 (UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), hal. 133

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h.
315

Kaka Alvian Nasution, Buku Lengkap Lembaga-Lembaga Negara (Jogjakarta: Saufa, 2014),
h. 107

Entol Zaenal Muttaqin, Pokok-pokok Hukum ketatanegaraan, (Serang: Lembaga Penelitian


dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2014), h. 107

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral
MPR RI, 2015), h. 139.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia h. 140.

Eni Suharti, MD3 (UU RI No. Tahun 2014)hlm.136

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan


Rakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014
tentang MD3).

Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2018, hlm. 215

Prayudi, MPR, Transisi Kedaultan Rakyat dan Dampak Politiknya, Politica, Vol.3, No.1, Mei
2012, hlm. 21.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, cet ke-17, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2018, hlm. 65.

Hassan Suryono (et.al.), Pendidikan Kewarganegraan di Perguruan Tinggi, Surakarta: UNS


Press, 2007,hlm 89

Pasal 3 Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,


Jakarta: Sinar Grafika,2010, hlm. 27.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Op.cit., hlm. 215-216

A. Rahman H. I, 2007, Sistem Politik Indonesia, ( Yogyakarta: Graha Ilmu)

Abdullah, Mahkamah Agung dalam Dinamika Perubahan Artikel, Humas, Jakarta, 2017

Kevin, Angkouw, “Fungsi Mahkamah Agung sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim dalam
Proses Perdailan”, Lex Administratum, Vol.II No. 2, 2014.

Mahkamah Agung RI, Tugas Pokok dan Fungsi. http://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-


pokok-dan fungsi

Asshidiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,


Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, jakarta: Kencana,2010.

Komisi Yudisial
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi,
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

Harijanti, Susi Dwi, Kekuasaan kehakiman yang Merdeka : Tinjauan Teori dan Praktik di
Indonesia dalam Gagasan Amandemen UUD 1945, Komisi Hukum Nasional, 2008.

Jurnal Pendidikan dan Konseling

Abdi, Muarifal Zamir. “Lembaga-Lembaga Negara.” Fire Risk Management, no. September
(2014).
Christiani Junita Umboh. “PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA.” Lex Administratum 8, no. 75 (2020):
147–54.
https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.smr.2020.02.002
%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/810049%0Ahttp://doi.wiley.com/10.1002/an
ie.197505391%0Ahttp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978085709040950
0205%0Ahttp:
Dhanang, Oleh, and Alim Maksum. “TUGAS DAN FUNGSI WAKIL PRESIDEN DI
INDONESIA.” Lex Crimen IV, no. 1 (2015): 123–33.
Dwitama, Sigit Egi. “KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS MENTERI DALAM
MENGAMBIL KEPUTUSAN DAN TINDAKAN YANG BERSIFAT STRATEGIS
BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN,” no. 1 (2016): 1–23.
Indonesia, Republik. “Presiden Republik Indonesia,” 2008.
MZ, H. ISMAIL. “Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara Dan Sistim
Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Ganec Swara 13, no. 2 (2019): 258.
https://doi.org/10.35327/gara.v13i2.90.
Robuwan, Rahmat. “Redistribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Lembaga Negara
Di Indonesia” XII, no. 1 (2018).
Rohmah, Elva Imeldatur. “Perbandingan Sistem Pemerintahan.” Jurnal Ummul Qura XIII,
no. 1 (2019): 117–34.
Sujatmiko, Sujatmiko, and Willy Wibowo. “Urgensi Pembentukan Regulasi Grasi, Amnesti,
Abolisi Dan Rehabilitasi.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (2021): 91.
https://doi.org/10.30641/dejure.2021.v21.91-108.
SYA‟BAN, NISFU. “Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amadendemen
Undang-Undang Dasar (Uud) 1945,” 2020, 54.
Thahir, Baharuddin. “Pemerintah Dan Pemerintahan Indonesia (Sebuah Bunga Rampai).”
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 2019. http://eprints.ipdn.ac.id/5979/1/Buku
Pemerintah dan Pemerintahan Indonesia sebuah Bunga Rampai.pdf.
Tri Mulyani. “KAJIAN NORMATIF MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA
NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945: SEBELUM DAN
SESUDAH AMANDEMEN.” Humani 6 (2016).
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media
.neliti.com/media/publications/9138-ID-perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-
konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id.
Wahyumi, Puji. “Struktur Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945
(Sebelum Dan Sesudah Amandemen).” Jurnal Polimes 1, no. 2 (2015).
Yulistyowati, Efi, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani. “Penerapan Konsep Trias Politica
Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang–
Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Jurnal Dinamika
Sosial Budaya 18, no. 2 (2017): 328. https://doi.org/10.26623/jdsb.v18i2.580.
Yusmiati. “Hubungan Antar Lembaga Negara Menurut Undang Undang Dasar 1945.” Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial 7, no. 1 (2020): 1–13. http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index.

Abdi, Muarifal Zamir. “Lembaga-Lembaga Negara.” Fire Risk Management, no. September
(2014).
Christiani Junita Umboh. “PENERAPAN KONSEP TRIAS POLITICA DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA.” Lex Administratum 8, no. 75 (2020):
147–54.
https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.smr.2020.02.002
%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/810049%0Ahttp://doi.wiley.com/10.1002/an
ie.197505391%0Ahttp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978085709040950
0205%0Ahttp:
Dhanang, Oleh, and Alim Maksum. “TUGAS DAN FUNGSI WAKIL PRESIDEN DI
INDONESIA.” Lex Crimen IV, no. 1 (2015): 123–33.
Dwitama, Sigit Egi. “KEWENANGAN PELAKSANA TUGAS MENTERI DALAM
MENGAMBIL KEPUTUSAN DAN TINDAKAN YANG BERSIFAT STRATEGIS
BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN,” no. 1 (2016): 1–23.
Indonesia, Republik. “Presiden Republik Indonesia,” 2008.
MZ, H. ISMAIL. “Analisis Perubahan Struktur Lembaga Negara Dan Sistim
Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Ganec Swara 13, no. 2 (2019): 258.
https://doi.org/10.35327/gara.v13i2.90.
Robuwan, Rahmat. “Redistribusi Kekuasaan Negara Dan Hubungan Antar Lembaga Negara
Di Indonesia” XII, no. 1 (2018).
Rohmah, Elva Imeldatur. “Perbandingan Sistem Pemerintahan.” Jurnal Ummul Qura XIII,
no. 1 (2019): 117–34.
Sujatmiko, Sujatmiko, and Willy Wibowo. “Urgensi Pembentukan Regulasi Grasi, Amnesti,
Abolisi Dan Rehabilitasi.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (2021): 91.
https://doi.org/10.30641/dejure.2021.v21.91-108.
SYA‟BAN, NISFU. “Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amadendemen
Undang-Undang Dasar (Uud) 1945,” 2020, 54.
Thahir, Baharuddin. “Pemerintah Dan Pemerintahan Indonesia (Sebuah Bunga Rampai).”
Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 2019. http://eprints.ipdn.ac.id/5979/1/Buku
Pemerintah dan Pemerintahan Indonesia sebuah Bunga Rampai.pdf.
Tri Mulyani. “KAJIAN NORMATIF MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA
NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945: SEBELUM DAN
SESUDAH AMANDEMEN.” Humani 6 (2016).
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media
.neliti.com/media/publications/9138-ID-perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-
konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id.
Wahyumi, Puji. “Struktur Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945
(Sebelum Dan Sesudah Amandemen).” Jurnal Polimes 1, no. 2 (2015).
Yulistyowati, Efi, Endah Pujiastuti, and Tri Mulyani. “Penerapan Konsep Trias Politica
Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang–
Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.” Jurnal Dinamika
Sosial Budaya 18, no. 2 (2017): 328. https://doi.org/10.26623/jdsb.v18i2.580.
Yusmiati. “Hubungan Antar Lembaga Negara Menurut Undang Undang Dasar 1945.” Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial 7, no. 1 (2020): 1–13. http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index.

Anda mungkin juga menyukai