oposisi [1] dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin
merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian
dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah
rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau
pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.[2]
Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara
universal[3]. Ciri demokrasi Pancasila[3]:
Daftar isi
1 Prinsip Demokrasi Pancasila
2 Tujuh Sendi Pokok
3 Fungsi Demokrasi Pancasila
4 Demokrasi Deliberatif
5 Demokrasi Pancasila dalam Beberapa Bidang
6 Referensi
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (machtstaat) b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan tidak terbatas) c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat.
Seluruh tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Persamaan kedudukan dalam hukum
bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan
konstitusi.
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa
(kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas
pokok, yaitu[5]:
Menetapkan UUD;
Menetapkan GBHN; dan
Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain,
seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden
Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN
Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden
Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila
presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
Mengubah undang-undang.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat
(kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama
dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang,
presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislatif ialah hak
inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan
pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya
berada di bawah koordinasi presiden.
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya
kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR
merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden[5].
Contohnya:
Contohnya:
Demokrasi Deliberatif[sunting]
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan”[7]. Dengan demikian berarti demokrasi Pancasila merupakan demokrasi
deliberatif[7].
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan berbagai kepentingan yang timbul
dalam masyarakat Indonesia yang heterogen[7]. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir
dari musyawarah bukan dipaksakan[7]. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas
terjadinya konflik kepentingan[7]. Maka diperlukan suatu proses yang fair demi memperoleh
dukungan mayoritas atas sebuah kebijakan publik demi suatu ketertiban sosial dan stabilitas
nasional[7].
Demokrasi Pancasila menjamin adanya fasilitasi dari pihak pemerintah agar keunikan dan
kemajemukan budaya Indonesia dapat tetap dipertahankan dan ditumbuhkembangkan
sehingga kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat terpelihara dengan baik.[7]
Terdapat penolakan terhadap uniformitas budaya dan pemerintah menciptakan peluang bagi
berkembangnya budaya lokal sehingga identitas suatu komunitas mendapat pengakuan dan
penghargaan.[7]
Referensi[sunting]
1. ^ Indrayana, Denny (2007). "Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoliter Baru".
Amandemen UUD 1945: antara mitos dan pembongkaran. Mizan Pustaka. hlm. 141.
ISBN 9794334421.
2. ^ Abdulkarim A. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XII SMA. Cet.1.
Bandung: Grafindo Media Pratama.Hlm25-27.
3. ^ a b c d Meyer T. 2002. Cara Mudah Memahami DemokrasiDiakses pada 14 Apr 2010.
4. ^ a b FPDI. 1998. Tap MPR RIDiakses pada 15 Apr 2010.
5. ^ a b c d e Sharma, P. 2004. Sistem Demokrasi Yang Hakiki. Jakarta : Yayasan Menara
Ilmu.Hlm 4-5.
6. ^ Israil, Idris. 2005. Pendidikan Pembelajaran dan Penyebaran Kewarganegaraan.
Malang : Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.Hlm 27.
7. ^ a b c d e f g h i j k l m n Ujan AA,et.al. 2008. Pancasila Sebagai Etika Sosial Politik
Bangsa Indonesia. Jakarta: MPK Universitas Atma Jaya Jakarta.Hlm 4-7.
Demokrasi liberal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi
secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.[1] Dalam demokrasi
liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan
pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-
pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu
seperti tercantum dalam konstitusi.[2]
Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori
kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa
Perang Dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik
Rakyat. Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan
dengan demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.
Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika
Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika
Serikat, India, Perancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi
liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem
parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau
sistem semipresidensial (Perancis).
== Referensi ==
Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan
oleh beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme – utamanya
Lenin – yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin
mengolok demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise),
dimana instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik
terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada
kesejahteraan proletar, model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa
mengambang serta lahirnya oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan
menjawab tuntutan serta penderitaan rakyat. Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik
terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula
dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas
sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada
dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan Schumpeter, juga menyanyikan nada
yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang
kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita
mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya,
demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya
ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik
tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM
dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran
tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan
mati. Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan
jitu. Ada tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung
melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili
dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang
keuntungan finansial? Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan
kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti
keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk
berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar
bebas yang penuh tipu daya. Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian
media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung
menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya
‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat. Tidak hanya itu, sesat pikir kaum
demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta tentang negara dan kekuasaan.
Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum
berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi.
Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan
kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu
negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model
ekonomi kapitalisme yang tersedia – yang bertumpu pada kekuatan modal besar -, maka
demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu
mulai tercipta. Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan
dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia
mulai menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru:
neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik
“silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih
sebuah penjajahan yang terselubung.
Demokrasi terpimpin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola[1], adalah istilah untuk sebuah
pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Pemerintahan negara dilegitimasi oleh
pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk
melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama [2]. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah
belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan semua
hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik. Walaupun mengikuti prinsip-
prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam
demokrasi terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap
kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang
berkelanjutan. [3]
Istilah ini digunakan sebagai referensi untuk periode politik tertentu di Indonesia. Akhir-akhir
ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di mana ia diperkenalkan ke dalam praktek
umum oleh pemikir dari anggota Kremlin, khususnya Gleb Pavlovsky. [4]
Demokrasi terpimpin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola[1], adalah istilah untuk sebuah
pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Pemerintahan negara dilegitimasi oleh
pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk
melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama [2]. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah
belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan semua
hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik. Walaupun mengikuti prinsip-
prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam
demokrasi terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap
kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang
berkelanjutan. [3]
Istilah ini digunakan sebagai referensi untuk periode politik tertentu di Indonesia. Akhir-akhir
ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di mana ia diperkenalkan ke dalam praktek
umum oleh pemikir dari anggota Kremlin, khususnya Gleb Pavlovsky. [4]