Anda di halaman 1dari 16

Kul – V PerUU.

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG –UNDANGAN


NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A. Hierarki Peraturan Perundang-undangan


Undang–Undang Dasar 1945 pada periode pertama berlaku (antara bulan
Agustus 1945 sampai dengan 1949), kemudian pada periode kedua berlaku (5 Juli
1959 sampai dengan 19 Oktober 1999), dan periode ketiga berlaku, yaitu sejak
Perubahan Pertama UUD 1945 pada 19 Oktober 1999 sampai saat ini hanya
menetapkan 3 (tiga) jenis peraturan, yang disebut:
1. Undang-Undang (UU);
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU); dan
3. Peraturan Pemerintah (PP), yang masing-masing dirumuskan dalam pasal-
pasal, sebagai berikut:

ad. 1. Pasal 5 Ayat (1) – Sebelum Perubahan UUD 1945


“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujua Dewan Perwakilan Rakyat”, dan kemudian diubah menjadi:
Pasal 20 – Sesudah Perubahan UUD 1945:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU;
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
(3) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu;
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi UU;
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30
(tiga puluh) hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

ad. 2. Pasal 22 Ayat (1) – Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945
“Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-
undang”; dan
ad. 3. Pasal 5 Ayat (2) – Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945
“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya”.

1
B. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
(Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950)
Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya
UU No. 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari
1950.
Dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat, ialah:
1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Menteri.

Pasal 2
“Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah
menurut urutannya pada Pasal 1”.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-
undangan, yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah. Kedudukan Peraturan
Menteri yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah (dan bukan di bawah
Keputusan Presiden) secara hierarkis dapat dimengerti, oleh karena UUDS 1950
menganut sistem parlementer, sehingga Presiden hanya bertindak sebagai Kepala
Negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk keputusan yang
bersifat mengatur.

C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan


(Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966)
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, tidak disinggung hal-hal mengenai garis-garis
besar tentang kebijakan Hukum Nasional, tetapi Ketetapan MPR ini menentukan
antara lain mengenai Sumber Tertib Hukum RI, yaitu Pancasila yang dirumuskan
sebagai Sumber dari segala sumber hukum, dan mengenai Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI.
Dalam Ketetapan MPR tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Lampiran I
bahwa perwujudan sumber dari segala sumber hukum RI, adalah:
1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
2. Dekrit 5 Juli 1959;

2
3. Undang-Undang Dasar Proklamasi;
4. Surat Perintah 11 Maret 1966.
Selain itu dalam Lampiran II tentang “Tata Urutan Peraturan Perundangan
RI menurut UUD 1945” dirumuskan sebagai berikut:
Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan
1. Bentuk-bentuk peraturan perundangan RI menurut UUD 1945,
ialah:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. UU/PERPU;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Keputusan Presiden.
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti:
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. Dan lain-lainnya.
2. Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam
Penjelasan autentik UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan
perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi
semua peraturan-peraturan bawahan dalam negara.
3. Sesuai pula dengan negara hukum, maka setiap peraturan
perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada
peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.

Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketetapan MPRS No.


XX/MPRS/1966 juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-
lapis dan berjenjang-jenjang, di mana suatu norma itu berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui pula adanya norma tertinggi
yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma di bawahnya seperti
Grundnorm dalam teorinya Hans Kelsen dan Staatsfundamentalnorm dalam
teorinya Hans Nawiasky.
Norma-norma hukum yang termasuk dalam sistem norma menurut
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut UUD 1945,
Ketetapan MPR, UU/PERPU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti: Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri dan lain-lainnya.

D. Tanggapan Terhadap Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966


Kehadiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI, merupakan suatu usaha dari MPRS sebagai lembaga tertinggi
negara dalam menangani masalah tertib hukum di negara RI, yang secara tidak
langsung mengatur pula mengenai tata susunan norma hukum, dan sekaligus

3
menjadikannya sebagai dasar dalam kebijakan pengembangan perundang-
undangan di negara RI selanjutnya.
Menurut kajian perundang-undangan, hal-hal yang perlu disempurnakan
dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut antara lain Lampiran IIA
tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan. Berdasarkan kajian perundang-
undangan dapat diajukan tanggapan, sebagai berikut:
1. UUD 1945
UUD 1945 tidak tepat kalau dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan, oleh karena UUD 1945 itu dapat terdiri atas 2 (dua) kelompok
norma hukum, yaitu:
a. Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Staatsfundamentalnorm atau
Norma Fundamental Negara. Norma Fundamental Negara ini merupakan
norma hukum tertinggi yang bersifat ”pre-supposed” dan merupakan
landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi
pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis
besar dan masih bersifat umum, serta merupakan norma hukum tunggal,
dalam arti tidak didekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.
b. Batang tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-
pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk
Peraturan Perundang-undangan yang mengikat umum. Norma hukum dalam
Batang Tubuh UUD 1945 masih bersifat garis besar dan merupakan norma
hukum tunggal, jadi belum dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.
2. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara. Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD 1945,
maka Ketetapan MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok
kebijakan negara, sifat norma hukumnya masih secara garis besar, dan
merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh norma hukum yang
berisi sanksi.
3. Keputusan Presiden
Di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini ditentukan bahwa
Keputusan Presiden yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan
adalah yang bersifat “einmahlig”. Penyebutan Keputusan Presiden yang
“einmahlig” ini sebenarnya tidak tepat, oleh karena suatu Keputusan Presiden
itu dapat juga “dauerhaftig”. Suatu Keputusan Presiden yang bersifat
“einmahlig” adalah yang bersifat “penetapan” (beschikking), di mana sifat

4
normanya individual, konkret dan sekali-selesai (einmahlig), sedangkan norma
dari suatu peraturan perundang-undangan selalu bersifat umum, abtrak dan
berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Dengan demikian sebenarnya yang
termasuk peraturan perundang-undangan adalah Keputusan Presiden yang
bersifat dauerhaftig (berlaku terus-menerus).
4. Peraturan Menteri
Istilah Peraturan Menteri adalah tidak tepat, dan sebaiknya diganti
menjadi Keputusan Menteri oleh karena dengan penyebutan Keputusan
Menteri di sini dapat berarti secara luas yaitu baik yang berarti peraturan
(regeling) dan juga yang berarti penetapan (beschikking). Selain itu penyebutan
Keputusan Menteri ini dirasakan lebih konsisten dengan Keputusan Presiden.
5. Instruksi Menteri
Penyebutan Instruksi Menteri sebagai peraturan perundang-undangan
adalah tidak tepat, oleh karena suatu Instruksi itu bersifat individual dan
konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris,
sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus.
Menurut Ruiter, sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung
unsur-unsur:
a. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren), disebut operator norma;
b. Seorang atau sekelompok orang adresat (normadressaat) disebut subyek
norma;
c. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag), disebut obyek norma; dan
d. Syarat-syaratnya (normcondities) disebut kondisi norma.
Dalam suatu instrusi, adresat atau subyek norma ialah orang atau orang-
orang tertentu, dan perilaku yang dirumuskan atau obyek norma bersifat sekali
atau beberapa kali namun tertentu bilangnya. Oleh karena itu dalam suatu
instruksi addressat yang terkandung di dalamnya bersifat konkret. Selain itu,
dalam sautu instruksi terdapat hubungan organisasi antara yang
memberikan/mengeluarkan instruksi dan yang menerima instruksi, yaitu
hubungan atasan bawahan. Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan
adresat atau subyek norma bersifat abstrak. Dengan kata lain, dalam peraturan
adresat atau subyek norma tidak tertentu dan perilaku yang diatur dirumuskan
atau obyek norma dapat berulang-ulang/tidak tertentu bilangnya. Berdasarkan
pertimbangan di atas maka suatu instruksi (baik Instruksi Presiden atau
Instruski Menteri) tidak dapat digolongkan ke dalam peraturan perundangan-
undangan.

5
6. Peraturan Daerah
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini tidak dimasukkan
Peraturan Daerah sebagai Peraturan Perundang-undangan, padahal Peraturan
Daerah adalah juga termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan dan
tidak selalu merupakan peraturan pelaksanaan saja.
Setelah selama 34 (tiga puluh empat) tahun Tata Susunan Peraturan
Perundang-undangan RI yang merupakan Lampiran IIA dari Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 berlaku, maka pada Sidang MPR tahun 2000
ditetapkanlah Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menggantikan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966.

E. Hierarki Peraturan Perundang-undangan


(Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000)
Berdasarkan Putusan Rapat Paripurna ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang
Tahunan MPR RI, telah ditetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai
pengganti Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR
mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI.
Masalah hierarki peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan.
(2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis.
(3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan batang tubuh
UUD 1945.

Pasal 2
Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman
dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia, adalah:
1. UUD 1945.
2. Ketetapan MPR RI.
3. Undang-Undang (UU).
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
5. Peraturan Pemerintah (PP).
6. Keputusan Presiden (KEPPRES).

6
7. Peraturan Daerah (PERDA).

F. Tanggapan Terhadap Ketetapan MPR No. III/MPR/2000


Walaupun kehadiran Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sangat diharapkan
sebagai pengganti Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI, namun dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai
permasalahan. Dalam uraian berikut Maria Farida Indrati mencoba mengajukan
beberapa tanggapan, khususnya tentang hal-hal yang menyangkut hierarki
peraturan perundang-undangan.
1. Masalah sumber hukum dan tata susunan peraturan perundang-
undangan
Dari rumusan Ketetapan MPR tersebut terlihat adanya ketidakserasian
antara Pasal 1 dan Pasal 2. Dalam Pasal 1 Ayat (1) dinyatakan bahwa sumber
hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan
perundang-undangan, dan menurut Ayat (3) sumber hukum tersebut adalah
Pancasila (Pembukaan UUD 1945), dan Batang Tubuh UUD; sedangkan dalam
Pasal 2 dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan dimulai
dari (termasuk) UUD 1945. Selain itu, dalam Pasal 3 Ayat (1) dirumuskan
bahwa UU 1945 merupakan hukum dasar tertulis.
Apabila Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945 tersebut sebagai sumber
dari peraturan perundang-undangan, dan merupakan hukum dasar tertulis,
berarti keduanya tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan.
Selain hal itu, dari segi jenis dan karakteristika suatu norma, maka UUD 1945
terdiri atas Pembukaan UUD 1945 (Pancasila), yang merupakan Norma Dasar
Negara atau Norma Fundamental Negara, atau disebut sebagai Grundnorm
menurut Hans Kelsen, dan sebagai Staatsfundamentalnorm menurut Hans
Nawiasky, selanjutnya Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang disebut juga Staatsgrundgesetz. Pembukaan
UUD 1945 adalah sumber dan dasar bagi pembentukan Batang Tubuh UUD
1945, serta masih merupakan suatu norma yang mengatur secara garis besar
segala sesuatu tentang kehidupan kenegaraan pada umumnya, dan merupakan
sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan atau sering
disebut dengan Gesetzgebung, Wetgeving, atau Legislation.
2. Ketetapan MPR

7
Apabila melihat dari sifat dan karakteristika suatu norma hukum,
Ketetapan MPR juga tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan, oleh karena Ketetapan MPR masih merupakan suatu Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz).
Suatu Ketetapan MPR seharusnya adalah suatu keputusan yang hanya
mengikat/ditujukan kepada Presiden, oleh karena Ketetapan MPR merupakan
suatu amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka
menjalankan pemerintahannya, dan tidak mengatur umum. Sebagai suatu
Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara, maka Ketetapan MPR juga
merupakan sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)
Dengan Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 bahwa PERPU adalah suatu
peraturan yang mempunyai kedudukan setingkat dengan UU, tetapi dibentuk
oleh Presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal ihwal
kegentingan yang memaksa”.
Permasalahan tentang PERPU di bawah UU adalah sebagai berikut:
a. PERPU di bawah UU adalah tidak tepat, bahkan tidak sesuai dengan Pasal 5
Ayat (2) UUD 1945, serta Pasal 3 Ayat (5) Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tersebut. Apabila dilihat dari tata susunan (hierarki) peraturan
perundang-undangan, hal ini akan mempunyai suatu konsekuensi, karena
peraturan yang berada di bawah harus bersumber dan berdasar pada
peraturan yang lebih tinggi, atau dengan kata lain, peraturan yang lebih
rendah merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi.
b. Apabila kita membaca dalam Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945, maka dirumuskan
bahwa Presiden membentuk PP untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya, dengan demikian pula ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (5) Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 dirumuskan bahwa PP dibuat oleh Pemerintah
untuk melaksanakan perintah UU. Berdasarkan kedua rumusan pasal
tersebut, maka secara hierarkhis letak PP seharusnya di bawah UU dan tidak
di bawah PERPU, walaupun pada kenyataannya PP dapat juga mengatur
lebih lebih lanjut PERPU.
c. Selain itu, bukankah suatu PERPU mempunyai kedudukan yang setingkat
dengan UU walaupun peraturan tersebut tidak mendapatkan persetujuan
DPR. Di dalam kenyataan pada dasarnya, suatu PERPU dapat berisi
ketentuan-ketentuan yang menunda, mengubah, bahkan mengesampingkan
suatu UU. Kita dapat mengingat adanya PERPU No. 1 Tahun 1992 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penempatan PERPU di bawah UU

8
mempunyai akibat yang sangat besar, oleh karena dengan demikian
pembentukan PERPU harus sesuai dengan UU, suatu PERPU harus
bersumber pada UU, atau dengan perkataan lain PERPU merupakan suatu
peraturan pelaksanaan bagi UU.
d. Oleh karena pada saat ditetapkannya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
(bahkan sampai Perubahan Keempat UUD 1945) ketentuan dalam Pasal 22
UUD 1945 tersebut tidak pernah diubah, maka menetapkan hierarki PERPU
di bawah UU adalah bertentang dengan UUD 1945.
4. Permasalahn yang berhubungan dengan Peraturan dan Keputusan
lainnya
a. Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung
Penyebutan Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung dalam Pasal
4 Ayat (2) juga menimbulkan suatu permasalahan, oleh karena Mahkamah
Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, yang menyelenggarakan
fungsi peradilan hanya membentuk keputusan yang bersifat individual,
konkret, dan final. Mahkamah Agung tidak membentuk suatu keputusan
yang bersifat umum, abstrak, dan terus menerus.
b. Peraturan atau Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan
Kewenangan BPK adalah memeriksa keuangan negara, sehingga ia tidak
dapat membentuk suatu peraturan yang bersifat umum, abstrak dan terus-
menerus seperti layaknya suatu peraturan perundang-undangan.

G. Hierarki Peraturan Perundang-undangan


(Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004)
Setelah melalui proses pembahasan, rancangan undang-undang, kemudian
disahkan dan diundangkan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dinyatakan mulai berlaku
pada tanggal 1 November 2004.
Dalam UU tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
a. UUD Negara RI Tahun 1945.
b. UU/PERPU.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
meliputi:
a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama
Gubernur.

9
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau
nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam Penjelasan Pasal 7 dinyatakan bahwa ayat (1), ayat (2) huruf b dan
huruf c, serta ayat (3) adalah “Cukup Jelas”, sedangkan ayat-ayat yang lainnya
diberi penjelasan, sebagai berikut:
Ayat (2) Huruf a : Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah
Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di
Provinsi Papua.
Ayat (4) : Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan
ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.
Ayat (5) : Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.

H. Tanggapan Terhadap UU Nomor 10 Tahun 2004


Berdasarkan rumusan Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, maka Maria
Farida Indrati mengajukan beberapa hal yang perlu diluruskan dan
dipermasalahkan untuk mendapatkan suatu pemahaman dan penjernihan terhadap
masalah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar
UUD 1945 tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-
undangan oleh karena alasan, sebagai berikut:
a. UUD 1945 itu terdiri atas 2 (dua) kelompok norma hukum, yaitu:

10
Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundamentalnorm atau Norma
Fundamental Negara. Norma Fundamental Negara ini merupakan norma
hukum tertinggi yang bersifat “pre-supposed” dan merupakan landasan
dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan
negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan
merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma
hukum yang berisi sanksi.
b. Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-
pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk
peraturan perundang-undangan yang mengikat. Sifat dari norma hukumnya
masih bersifat garis besar dan pokok dan merupakan norma hukum tunggal,
jadi belum dilekati oleh norma sanksi, oleh karena itu menempatkan Batang
Tubuh 1945 ke dalam jenis peraturan perundang-undangan adalah tidak
tepat, oleh karena menempatkannya terlalu rendah.
c. Dalam UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 2 ditetapkan bahwa Pancasila
merupakan sumber hukum negara, dan dalam Pasal 3 ditetapkan bahwa
UUD 1945 merupakan Hukum Dasar dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga tidak benar apabila UUD 1945 dimasukkan dalam jenis peraturan
perundang-undangan.
2. Ketetapan MPR
a. Ketetapan MPR merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara
(Staatsgrundgesetz). Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD 1945, maka
Ketetapan MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan
negara, sifat norma hukumnya masih secara garis besar, dan merupakan
norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh norma sanksi. Dengan
demikian, Ketetapan MPR tidak termasuk dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi termasuk dalam Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara (Staatsgrundgesetz).
b. Ketetapan MPR pada hakikatnya tidak dapat digolongkan ke dalam
peraturan perundang-undangan karena mengandung jenis norma yang lebih
tinggi dan berbeda daripada norma yang terdapat dalam UU. Sifat norma
hukum dalam Ketetapan MPR adalah setingkat lebih rendah daripada
norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945.
c. Apabila UUD 1945 dimasukkan dalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan, mengapa Ketetapan MPR tidak juga dimasukkan di
dalamnya, oleh karena berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 Pasal

11
2 dan Pasal 4, saat ini masih terdapat 14 (empat belas) Ketetapan MPR yang
dinyatakan masih berlaku.
3. Peraturan Presiden
Istilah PERPRES sebagai penganti istilah Keputusan Presiden adalah
tidak tepat, dan saat ini telah menimbulkan berbagai permasalahan. Istilah
“keputusan” dalam arti luas biasanya dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan keputusan yang bersifat
menetapkan (beschikking). Istilah “keputusan” merupakan pernyataan
kehendak yang bersifat netral, yang secara kajian di bidang perundang-
undangan dapat dibedakan sebagai keputusan yang merupakan peraturan
perundang-undangan (wetgeving), keputusan yang merupakan peraturan
perundang-undangan semu (beleidsregel, pseudo-wetgeving), keputusan tata
usaha negara (beschikking), maupun keputusan yang berentang umum lainnya
(besluiten van algemene strekking).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, seringkali dibentuk suatu
keputusan yang hanya bersifat mengatur sehingga dapat disebut peraturan, atau
suatu keputusan yang hanya bersifat menetapkan, yang dapat disebut
penetapan; namun demikian seringkali pula terdapat suatu keputusan yang di
dalamnya terdiri atas ketentuan yang mengatur dan sekaligus ketentuan yang
bersifat menetapkan.
4. Peraturan Desa
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama kepala desa, ke dalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan.
Menurut Maria Farida Indrati, bahwa Peraturan Desa sebagai peraturan
perundang-undangan adalah tidak tepat, dan tidak sesuai dengan ketentuan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan pendapat tersebut bukan berarti bahwa badan perwakilan desa
atau nama lainnya bersama kepala desa atai nama lainnya, badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama kepala desa tetap dapat membentuk suatu
Peraturan Desa, yang bersifat mengatur (dan mengikat umum), dalam arti
peraturan di bidang penyelenggaraan pemerintahan saja, tetapi tidak sebagai
peraturan perundang-undangan.
5. Peraturan-peraturan lainnya
Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (4) dirumuskan berbagai jenis peraturan
yang dianggap sebagai peraturan perundang-undangan dari berbagai lembaga

12
negara dan pejabat yang berwenang. Jika rumusan tersebut dikaji berdasarkan
fungsi dan kewenangannya dari lembaga negara atau pejabat yang dirumuskan
di dalamnya, Maria Farida Indrati, berpendapat bahwa tidak semua lembaga
negara dan pejabat tersebut mempunyai kewenangan untuk membentuk
peraturan yang bersifat umum, dan berlaku ke luar sebagai peraturan
perundang-undangan. Dari berbagai lembaga negara atau pejabat yang
berwenang tersebut dapat diajukan sebagai berikut:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR
MPR tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan, oleh karena MPR tidak mempunyai tugas
untuk mengatur rakyat.
b. Dewan Perwakilan Rakyat/DPR
Bahwa DPR tidak mempunyai kewenangan dalam bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan. DPR hanya dapat membentuk
UU dengan persetujuan Presiden, yang merupakan peraturan perundang-
undangnan yang tertinggi.
c. Dewan Pertimbangan Daerah/DPD
Bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan dalam bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
d. Mahkamah Agung/MA
Keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung adalah keputusan di
bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang
individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Dengan demikian Mahkamah
Agung tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian
Mahkamah Agung tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke
dalam (interne regeling).
e. Mahkamah Konstitusi/MK
Keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi adalah keputusan di
bidang peradilan, sehingga keputusan tersebut bersifat suatu penetapan yang
individual, konkret, dan sekali-selesai (final). Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi juga tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum;
namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk
peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).
f. Badan Pemeriksa Keuangan/BPK

13
BPK tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan atau peraturan yang mengikat umum, namun
demikian BPK tetap berwenang membentuk peraturan yang mengatur ke
dalam (interne regeling).
g. Bank Indonesia/BI
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 8, dapat disimpulkan bahwa Bank
Indonesia mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan berdasarkan wewenang atribusi.

h. Menteri
Tidak semua Menteri mempunyai kewenangan dalam bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan, oleh karena Menteri
Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan lembaga-lembaga
pemerintah dalam perundang-undangan. Menteri yang dapat membentuk
peraturan yang mengikat umum adalah Menteri Departemen, sedangkan
Menteri Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat membuat peraturan
yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenangan
membentuk peraturan yang mengikat umum.
i. Kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU
atau pemerintah atas perintah UU
Pada dasarnya tidak semua badan, lembaga, atau komisi tersebut
mempunyai kewenangan membentuk peraturan yang mengikat umum.
Badan, lembaga, atau komisi yang dapat membentuk peraturan yang
mengikat umum hanyalah yang merupakan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, misalnya Badan Pusat Statistik, Lembaga Administrasi Negara.
j. DPRD Propinsi
Dalam Pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 dirumuskan bahwa salah satu
tugas dan wewenang DPRD Propinsi adalah membentuk peraturan daerah
yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama,
dan selain itu tidak ada wewenang lain dalam fungsi pengaturan yang
mengikat umum. Sebagai wakil yang dipilih oleh rakyat, DPRD Propinsi
tidak mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan
yang mengatur rakyat.
k. Gubernur
Sesuai dengan ketentuan Pasal 146 UU No. 32 Tahun 2004 maka
Gubernur sebagai kepala daerah propinsi dapat menetapkan peraturan daerah

14
atau keputusan kepala daerah, untuk melaksanakan Peraturan Daerah
Propinsi, atau atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
l. DPRD Kabupaten/Kota
Seperti tanggapan dalam huruf j di atas, DPRD Kabupaten/Kota juga
tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan.
m.Bupati/Walikota
Seperti tanggapan pada huruf k di atas, maka sesuai dengan ketentuan
Pasal 146 UU No. 32 Tahun 2004, Bupati/Walikota Sebagai Kepala Daerah
Kabupaten/Kota dapat menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan
kepala daerah, untuk melaksanakan peraturan daerah kabupaten/kota, atau
atas peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Bupati/Walikota
dapat membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan delegasi dari
peraturan daerah kabupaten/kota atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
n. Kepala Desa atau yang setingkat
Sesuai dengan tanggapan dalam No. 4 tentang Peraturan Desa, Maria
Farida Indrati berpendapat bahwa Kepala Desa tidak mempunyai
kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan,
tetapi sebatas peraturan yang bersifat administratif.

I. Hierarki Peraturan Perundang-undangan


(Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011)
Pada 12 Agustus 2011, Pemerintah telah mengundangkan UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menggantikan
UU Nomor 10 Tahun 2004 yang dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Undan-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan
dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
1. Materi dari UU Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan
atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum.
2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten.
3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau
kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan
sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap UU sebelumnya, terdapat materi muatan
baru yang ditambahkan dalam UU ini, yaitu antara lain:

15
1. Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu
jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD
1945.
2. Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak
hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
3. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentan
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan
RUU atau Rancangan Perda Provinsi dan Rancangan Perda Kabupaten/ Kota.
5. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan,
peneliti dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
6. Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-
Undang ini.

Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. Undang-Undang/ PERPU;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

16

Anda mungkin juga menyukai