BAB I BAGIAN B
lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga
masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Non Pemerintah yang dalam
bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental Organizations
(NGO’s). lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita
sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif,
eksekutif, yudikatif ataupun bersifat campuran.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. hal
itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau dalam Kamus Hukum Fockema
Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, kata orgaan juga negara, organ
negara, badan negara, dan alat perlengkapan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak
konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan memang benar
bahwa istilah-istilah organ, lembaga,badan, dan alat perlengkapan itu seringkali dianggap
identik sama lain sebenarnya dapat dan memang perlu dibedakan, sehingga tidak
membingungkan. Badan Kehormatan, tetapi di dalam Mahkamah Agung dan lebih sempit
dari istilah-istilah dewan, badan, dan lembaga, sangat tergantung konteks pengertian yang
dimaksud. Yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga
yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai
lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. itu dapat berada dalam ranah
legislatif, eksekutif, yudikatif. Karena itu, doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan
tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus
tercermin di dalam tiga jenis organ negara, sering terlihat tidak relevan lembaga negara itu
selalu terkait dengan tiga cabang alat-alat perlengkapan negara, yaitu legislatif, eksekutif,
dan yudikatif terkait dengan pengertian ketiga cabang kekuasaan itu.
Kelsen juga menyatakan parlemen menetapkan uu, warga memilih perwakilan melalui
pemilu dan pejabat hakim yang mengadili merupakan organ negara luas. Pendek kata pejabat
yang menjalankan kegiatan kenegaraan termasuk organ negara.
Selain pengertian luas, hans kelsen juga menyatakan arti sempit yaitu individu sebagai organ
negara apabila memiliki kedudukan hukum tertentu misal hakim. Dengan demikian dalam
arti sempit tiap individu yang memegang jabatan hukum tertentu merupakan organ negara
dalam arti sempit.
Tidak semua orang yang menjalankan fungsi organ negara memiliki jabatan.Misalnya orang
yang memilih perwakilan melalui pemilu. Berdasarkan pengertian di atas suatu negara hanya
dapat menjalankan tindakan melalui organ negara. Organ negara ini juga mencakup individu-
individu yang ditentukan oleh hukum.
Misal NKRI dapat menjalankan tindakan melalui presiden yang merupakan individu. Dengan
kata lain pengertian organ dan lembaga negara sangat luas dan tidak hanya bisa mencakup
pada eksekutif, legislatif dan yudikatif saja.
Pertama dalam arti luas organ negara mencakup setiap individu yang membuat dan
menjalankan norma. Kedua, lebih sempit lagi yaitu individu yang membuat dan menjalankan
norma serta memiliki jabatan kenegaraan atau pemerintahan. Ketiga, yaitu badan atau
lembaga yang membuat atau menjalankan norma dalam struktur ketatanegaraan. Keempat,
organ atau lembaga negara yang ditentukan UUD, UU, peraturan presiden dan keputusan-
keputusan yang lebih rendah di tingkat pusat maupun daerah.
Lembaga Negara disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-
departemen, atau lembaga negara saja. Perlu diingat bahwa lembaga negara ada yang
dibentuk atau diberi kekuasaan berdasarkan UUD, UU, dan bahkan Keputusan Presiden.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD disebut organ konstitusi, sedangkan
lembaga negara berdasarkan UU disebut organ UU dan organ yang dibentuk keputusan
presiden lebih rendah tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat didalamnya.
Karena adanya pemahaman lama, masyarakat Indonesia masih berkembang pemahaman yang
luas bahwa lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Artinya lembaga negara berdasarkan sistem lama terdapat lembaga
legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga pengadilan. Oleh karena itu, sebelum perubahan
UUD 1945, dikenal adanya istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga non
departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Dalam
hukum tata negara, pengertian lebih terbatas yaitu alat perlengkapan negara berkaitan dengan
trias politica.
Namun setelah perubahan pertama UUD NRI Tahun 1945 mulai bergeser pada kekuasaan
legislatif dengan memberikan banyak peranan dalam membentuk undang-undang. Dahulu
kewenangan pembentuk undang-undang dipegang presiden setelah perubahan dipegang
Dewan Perwakilan Rakyat dengan dasar hukum Pasal 5 Ayat 1. Bab III UUD 1945 berubah
substansinya dan kekuasaan membentuk undang-undang diatur dalam BAB VII Tentang
DPR.
Pergeseran tersebut juga berkaitan dengan doktrin trias politica versus pemisahan kekuasaan.
Sebelum perubahan MPR merubakan lembaga tertinggi karena penjelmaan seluruh rakyat.
Kemudian diadakan pemisahan kekuasaan dari seluruh rakyat itu dibagi-bagikan kepada
lembaga tinggi negara lain secara distributif. Karena itu, paham yang dianut bukan pemisahan
kekuasaan horizontal melainkan vertikal. Setelah amandemen, konstitusi kita meninggalkan
pembagian kekusasaan melainkan menggunakan pemisahan kekuasaan dengan menerapkan
sistem “check and balances.” MPR menjadi lembaga tinggi saja dan menjadi lembaga
parlemen tiga kamar dengan DPR dan DPD. MPR dengan DPR dan DPD tetap mempunyai
kewenangan sendiri sehhingga itu membentuk susunan parlemen Indonesia yang berpilar tiga
atau trikameral. Dengan demikian sistem ketatanegaraan Indonesia tidak lagi mengenal MPR
sebagai lembaga tertinggi dan DPR menjadi lembaga pembuat UU sehingga DPR lebih
penting karena tugas rutin dan terus-menerus.
Hal ini mirip dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dimana MK mengawal
UUD sementara MA mengawal UU. Hal ini seolah-olah MK dianggap lembaga lebih tinggi,
padahal menurut prinsip pemisahan kekuasaan horizontal, maka tidak ada yang tinggi dan
rendah. Jika dikaitkan dengan hirarkinya maka lembaga negara terdiri dari tertinggi lembaga
berdasarkan UUD, kemudian UU, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden serta
Peraturan Menteri. Sementara hierarki lembaga daerah pertama dibentuk (UUD, UU, PP,
Perpres serta Permen), dan lainnya yaitu berdasarkan peraturan daerah provinsi, kemudian
peraturan gubernur, dan peraturan daerah tingkat kota/kabupaten.
Dari berbagai bentuk dan tingkatan lembaga negara dan daerah, terdapat lembaga yang tidak
disebut secara tegas namanya namun kewenangannya ditentukan meskipun tidak rinci,
misalnya komisi pemilihan umum. Kewenangannya diatur dalam Pasal 22 E Ayat (5) UUD
1945. Pertahanan dan Keamanan negara dibagi tugas TNI dan Kepolisian Republik Indonesia
dalam Pasal 30 Ayat 3 dan ayat 4.
Jika suatu lembaga negara disebut oleh UUD NRI 1945 terdapat 34 lembaga negara. Dari ke-
34 terdapat 6 lembaga negara yang tidak disebutkan nama dan kewenangannya yaitu bank
sentral, duta, konsul, Angkatan darat, Angkatan laut, Angkatan udara.
BAB II
A. Presiden
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD NRI 1945 “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.”
Artinya, pasal ini merujuk pada sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial
tidak mengadakan pembedaan antara presiden selaku kepala negara dan kepala
pemerintahan. Dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara eksplisit presiden selaku
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun dalam penjelasan UUD 1945
dituliskan secara eksplisit perbedaan tersebut. Dalam penjelasan tersebut, istilah
kepala negara dan kepala pemerintahan dibedakan satu sama lain dan disebutkan
dengan jelas. Kedua istilah ini untuk memperjelas kedudukan Presiden RI menurut
UUD 1945.
Akibat dari adanya kedua istilah yaitu timbul kebutuhan juridis untuk membedakan
keduanya dalam pengaturan. Karena dalam praktek adanya kedua istilah ini
menimbulkan permasalahan.
B. Wakil Presiden
Pasal 4 ayat (2) menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh
satu orang Wakil Presiden.” Dalam Pasal 6A ayat (1) ditentukan bahwa “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Ketentuan
mengenai satu pasangan ini menunjukkan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
itu adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden. Akan tetapi, meskipun
satu kesatuan institusi kepresidenan, keduanya adalah dua jabatan konstitusional
yang terpisah. Karena itu, meskipun di satu segi keduanya merupakan satu kesatuan,
tetapi di segi yang lain, keduanya merupakan dua organ negara yang berbeda satu
sama lain, dan tak terpisahkan.
Dalam rangka fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945. Bahkan dalam Pasal
13 dan Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal lain
yang bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat. Pasal 13 Ayat 2 dan 3
serta Pasal 14 Ayat 2 membutuhkan pertimbangan DPR. mengenai kewenangan DPR
itu, dapat dikutipkan di sini ketentuan UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 20A. Pasal 22B
diatur pula bahwa “Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.”
Menurut ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yaitu
1. DPD dapat mengajukan RUU ke DPR
2. DPD ikut membahas dan memberikan pertimbangan pada DPR mengenai RUU
yang berkaitan daerah.
3. DPD dapat mengawasi yang berkaitan daerah dan menyampaikan hasil pengawasan
pada DPR.
Anggota DPR menurut ketentuan Pasal 22D ayat (4), “Anggota DPD dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.”
MPR mempunyai kedudukan yang sederajat Akan tetapi, sidang gabungan itu
bukanlah lembaga yang berbeda, yaitu “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota
DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dikatakan terdiri atas DPR
dan DPD, melainkan terdiri atas itu merupakan lembaga yang tidak terpisah dari
institusi dan (3), MPR mempunyai kewenangan untuk (1) meng ubah kan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam ma sa jabatan- dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi
ke ko songan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-
undang dasar; dan (4) mengadakan si dang MPR untuk dan/atau Wakil Presiden.
dan/atau Wakil Presiden. dan/atau Wakil Presiden. kup dan terkait dengan
kewenangan DPR ataupun DPD, se- antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR
sebagai lem- Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga MPR itu
merupa kan institusi ketiga Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang
mener- Namun demikian, meskipun MPR itu adalah kamar ketiga, sifat pekerjaan
MPR itu sendiri tidaklah bersifat lembaga MPR itu baru dapat dikatakan ada, apabila
berfungsi.
Karena itu, satu-satunya kewenangan MPR yang 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sidang
MPR itu sendiri ber sifat wakil presiden dapat dilakukan di hadapan atau di dalam
sidang MPR atau sidang DPR. Jika MPR tidak dapat bersi- dang, pengucapan
sumpah/janji itu dapat dilakukan dalam sumpah/janji jabatan presiden dan/atau wakil
presiden itu kewenangan MPR itu yang bersifat tetap, sehingga MPR itu baru ada jika
fungsinya memang sedang rapat atau memberhentikan presiden. Oleh karena itu,
tidak ada keharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan saja pembentuk undang-
undang dalam hal ini DPR dengan persetujuan presiden dapat saja mengadakan
pimpinan MPR yang bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur agar
pimpinan MPR itu dirangkap saja secara ex officio oleh pimpinan DPR dan pimpinan
DPD.
Jabatan kepemimpinan MPR yang terpisah dari kepemimpinan DPR dan DPD serta
adanya sekretariat jenderal MPR RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat
jenderal DPR dan sekretariat jenderal DPD seperti dewasa Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. bahwa pimpinan MPR RI itu dirangkap secara ex officio Lagi pula
keberadaan MPR yang tersendiri sebagai lembaga ketiga di samping DPR dan DPD
an MPR yang tersendiri belum dapat dikatakan didasarkan pimpinan MPR yang
tersendiri dan juga kesekretariatan jenderal yang juga tersendiri dapat dikatakan
sebagai pem- Ketika RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, pimpinan MPR
dan kesekretariatan jenderal yang berdiri tersisa mengenai hasil Perubahan Ketiga dan
Keempat UUD sya waratan Rakyat sebagai lembaga yang sebelumnya DPR dan DPD,
berarti menghilangkan keberadaan MPR oleh kekhawatiran bahwa lembaga MPR
akan dihapuskan Karena itu, sebagai kompromi atas perdebatan ini, rumusan Pasal 2
ayat (1) UUD 1945 yang disepakati dalam dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih nya dirangkap– institusi MPR itu sama sekali berbeda dan terpisah dari
institusi DPR dan institusi DPD. pun mempunyai fungsi, tugas, dan kewenangan yang
juga tidak dapat dihindarkan untuk menyatakan bahwa MPR itu adalah lembaga atau
kamar ketiga dari struktur parlemen keberadaan pimpinan dan kesekretariatjenderalan
yang antar partai-partai politik itu sendiri baik yang ada di dalam MPR dan DPR
maupun di luar parlemen menjelang pemili- Megawati untuk meniadakan jabatan
pimpinan dan kesekretariatjenderalan MPR yang tersendiri itu berhimpit dengan
adanya jabatan pimpinan MPR dan kesekretariatjenderalan MPR yang terpisah dan
tersendiri itu, dengan mudah MPR yang tersendiri ini cukuplah selama periode
undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
sehingga hal ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
F. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Karena itu, Mahkamah Konstitusi
yang melakukan penafsiran terhadap UUD, dan sebagai satu-satu nya pengawal
UUD, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi ini diatur dalam Pasal 24C yang
terdiri atas 6 ayat, yang didahului oleh pengaturan mengenai Komisi Yudisial
Mahkamah Agung saja, tidak dengan Mahkamah Konstitusi. Undang tentang Komisi
Yudisial, Mahkamah Konstitusi juga Dijadikannya hakim konstitusi sebagai pihak
yang diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial ditentukan oleh Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial, bukan oleh Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Hakim konstitusi sangat berbeda dari hakim biasa. Karena itu, etika profesi yang
harus ditegakkan oleh Komisi Yudisial memang hanya terkait dengan Mahkamah
terjadi antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Bagaimana Mahkamah
Konstitusi dapat bertindak sebagai hakim yang adil dan imparsial, jika Mahkamah
Konstitusi sendiri dijadikan salah satu pihak yang diawasi oleh Komisi Mahkamah
Konstitusi dalam Undang-Undang. Konstitusi sedang dibahas oleh DPR dan
pemerintah, hakim konstitusi juga ditentukan sebagai hakim yang diawasi oleh
Komisi Yudisial dengan menafsirkan kata “hakim.” MPR yang terlibat dalam
perumusan ketentuan Pasal 24A, mengatakan bahwa UU tentang Mahkamah
Konstitusi sama sekali mencantumkan ketentuan bahwa hakim konstitusi dapat
diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi bekerja efektif
selama satu tahun dan dan karena itu, dinyatakan tidak mengikat untuk umum. Untuk
membatasi kekuasaan menurut Pasal 24 A mengatakan bahwa hakim konstitusi
diawasi komisi yudisial Mahkamah Konstitusi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi
dipilih dari dan oleh hakim yang menguasai konstitusi dan ketata negaraan, serta
“Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi.”
G. Mahkamah Agung
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung, Mahka mah Konstitusi, dan Komisi
Yudisial diatur dalam Bab IX UUD Mahkamah Agung dalam Pasal 24A yang terdiri
atas lima Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan Menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945,
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di ter, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Dalam
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, ditentukan dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.” Dengan perkataan lain, oleh UUD 1945, Mahkamah
Agung secara tegas hanya diamanati dengan dua kasasi, dan (ii) menguji peraturan
perundang-undangan di stitusional yang diberikan oleh UUD, melainkan diadakan
Selanjutnya, dalam Pasal 24A ayat (2), (3), (4), dan ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden; (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih da ri dan oleh
hakim agung; Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawah- Mengenai upaya
pengujian peraturan perundang- Pengujian yang dilakukan oleh Mah kamah Agung
ini jelas berbeda dari pengujian konstitusional (constitutional review) 21 yang
dilakukan oleh Mah kamah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
konstitutionalitas undang-undang (judicial review of law) dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Kedua, yang dijadikan batu penguji oleh Mahkamah Agung adalah
undang-undang, bukan UUD. itu, dapat dikatakan bahwa pengujian norma hukum
yang di lakukan oleh Mahkamah Agung adalah pengujian legali tas peraturan (judicial
review on the legality of regulation), sedangkan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi
merupakan pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial atas undang-undang
(constitutional review of law).
Uang adalah alat tukar yang bernilai ekonomi dan Uang dapat menjadi sumber
kekuatan. Karena itu, jika tidak diimbangi oleh keyakinan akan nilai. Karena uang
dapat menyebab kan orang tunduk dan oleh sebab itu, setiap pengelolaan keuangan
harus lah dilakukan sesuai aturan yang benar, dan untuk menjamin negara,
pemeriksaan semacam itu memerlukan lembaga Pemeriksaan keuangan itu sendiri
sebenarnya merupakan bagian yang juga tidak terpisahkan dari fungsi penga-
Auditing atau pemeriksaan itu sendiri. Mengenai apa yang dimaksud dengan
keuangan negara, dapat ditegaskan bahwa dalam konsepsi asli UUD negara dan
keuangan daerah. Artinya, uang negara itu bukanlah lawan kata dari pengertiannya,
uang negara itu juga dapat diperlawankan pengertian asli UUD 1945 adalah “uang
milik negara yang bukan milik pribadi siapa-siapa yang terkait dengan angga- ran
pendapatan dan belanja negara sebagaimana ditentukan Sebaliknya, yang dimaksud
dengan uang daerah ada yang terkait dengan anggaran pendapatan dan belanja kan,
“Untuk memeriksa tanggungjawab tentang ke uangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR.”
Dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945 dan belanja negara
adalah ukuran bagi sifat pe merintahan Dalam negara yang berdasarkan fascisme,
anggaran negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan pendapatan dan
belanja itu ditetap kan dengan undang- rakyat sebagai bangsa dapat hidup dan dari
mana didapatnya belanja buat hidup, haruslah ditetapkan oleh rakyat itu harus
menentukan sendiri nasib nya. Dalam Penjelasan itu juga ditegaskan bahwa “Pasal 23
itu menyatakan bahwa dalam hal menetapkan uang belanja yang sudah disetujui oleh
DPR harus tanggungjawab pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah
bukanlah badan yang berdiri di atas pemerintah. Badan Pemeriksa Keuangan itu
mempunyai kedudukan dan persetujuan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
diberikan oleh DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat pemeriksaan keuangan
tersebut harus diberitahukan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana
mestinya dalam (i) Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan pendapatan dan
belanja negara yang telah disetujui (ii) Pengertian anggaran pendapatan dan belanja
yang dimak sud dalam UUD 1945 hanya anggaran pen da pat an dan belanja negara
(APBN) di tingkat pusat, sehingga (APBD) yang sama sekali tidak berkaitan dengan
tugas dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan; pemeriksaan keuangan oleh BPK
harus diberitahukan atau (iv) Dalam rangka pengelolaan APBN, DPR menetapkan
pengawasan keuangan dalam konteks pengelolaan yang dilakukan oleh DPR, yai tu
dalam hal penentuan anggaran itu dipakai; dan (v) Karena itu pula, organisasi Badan
Pemeriksa kalau berhubung anggaran pendapatan dan belanja negara.
Dalam UUD 1945, dan juga dalam praktek selama ini, belum diatur mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan keuangan itu. pengertian bahwa apabila dari
hasil pemeriksaan itu, tersampaikan kepada DPR dan informasi-informasi mengenai
hal undang-undang dasar mengenai (i) keuangan negara dan pengelolaan keuangan
negara, serta (ii) struktur organisasi dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan
berubah secara sangat mendasar. dan pengelolaan keuangan negara dewasa ini
berubah secara Jika sebelumnya, uang negara itu terbatas kepada pengertian uang
negara dalam konteks Anggaran Pendapa- tan dan Belanja Negara (APBN), maka se
karang keuangan negara itu meluas pengertiannya se hingga mencakup uang milik
negara yang terdapat dalam atau dikuasai oleh subyek merupakan uang atau aset yang
merupakan milik negara, tetap termasuk dalam penger tian uang negara. yang jelas
membedakan antara pengertian uang publik Misalnya uang milik negara yang yang
dalam hal ini misalnya diwakili oleh menteri negara BUMN sebagai wakil negara
pemilik saham dalam perusa- haan adalah sama saja dengan pemilik saham lain nya
yang status kekayaan negara dalam bentuk saham itu tetap dilihat dalam perusahaan
tersebut harus diperlaku kan sebagai uang perdata milik negara sebagai salah satu
pemegang saham. Dalam perusahaan, yang menentukan bukanlah apa kah pemilik
saham itu negara atau bukan, melainkan berapa dalam perusahaan itu. Karena itu,
kekayaan milik negara yang merupakan uang publik dalam bentuk saham dalam Di
satu segi, statusnya sebagai kekayaan milik negara, uang perusahaan yang terikat oleh
hukum perusahaan, uang atau kekayaan negara itu juga berstatus sebagai kekayaan
keuangan atau financial audit terhadap kekayaan negara yang terdapat dalam
perusahaan-perusahaan atau memeriksa keuangan negara yang terdapat di dalam UU
tentang Keuangan Negara yang perlu dipecahkan secara tepat cara memahami
pengertian uang negara dan uang perdata dalam konteks kekayaan negara.
Di samping itu, pengertian uang dan keuangan negara itu menurut Pasal 23 UUD
1945 yang baru juga tidak hanya terbatas kepada pengertian anggaran pendapatan dan
be- lanja negara (APBN), tetapi juga dalam konteks anggaran pemeriksaan keuangan
negara oleh BPK menurut Pasal 23E Bahkan ditegaskan pula dalam Pasal 23E ayat
(3), “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau
badan kan hasil pemeriksaan ke uangan negara itu kepada lembaga yang oleh Pasal
23E ayat (3) disebut sebagai badan sesuai pe meriksaan BPK itu adalah DPR sebagai
lembaga pengawas dan meneruskan hasil pemeriksaan BPK itu kepada Kepolisian
oleh BPK itu disampaikan kepada DPR. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
tanggungjawab tentang keuangan negara, diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan
yang bebas dan mandiri. Karena terkait dengan tugas dalam kedudukannya yang
semakin kuat dan pelaksanaan ketiga fungsi itu adalah (i) fungsi operatif berupa
pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas hal yang menimbulkan kerugian
keuangan dan pengeloaan keuangan negara.
Bab III
Lembaga Konstitusional Lainnya