Anda di halaman 1dari 21

Hubungan Antar Lembaga-lembaga Negara di Indonesia Sejak awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia telah beberapa kali

memiliki Undang-Undang Dasar, namun yang paling lama diberlakukan adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan UUD 1945 itu, kekuasaan tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun kekuasaan Presiden juga sangat besar serta memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal penting dengan perundangan. Sementara itu rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi. Disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang terlalu luwes sehingga dapat menimbulkan multitafsir, dan hubungan antara lembaga negara dalam prakteknya tidak ada keseimbangan. Reformasi yang diawali tahun 1998 telah menghasilkan antara lain amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menyempurnakan peraturan-peraturan dasar tentang tatanan negara, pembagian kekuasaan, penambahan lembaga negara yang diharapkan dapat mewujudkan prinsip checks and balances antara lembaga-lembaga negara dengan mekanisme hubungan yang serasi dan harmonis. Terlepas dari masih adanya kelemahan untuk mencapai keharmonisan hubungan antar lembaga negara, upaya pengaturan yang dirumuskan di dalam UUD NRI 1945 setelah diamandemen harus diakui sebagai kemajuan. Dalam kaitan hubungan antar lembaga negara itu, akan ditinjau perkembangan lembaga negara setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan melihat prinsip kekuasaan penyelenggaraan negara, pembagian kekuasaan negara, tugas dan fungsi MPR RI, dan hubungan antar lembaga negara. Pemahaman akan masalah itu penting bagi semua penyelenggara negara agar dapat dicapai Visi Indonesia 2020 dan Visi Indonesia Masa Depan, yaitu cita-cita luhur bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan mengenal enam lembaga tertinggi dan tinggi negara, yaitu: MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah amandemen, UUD NRI tahun 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
1

UUD NRI tahun 1945 mengejawantahkan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD NRI tahun 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara, karena di dalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antara Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional. Di samping mengatur mengenai proses pembagian kekuasaan, UUD NRI tahun 1945 juga mengatur mengenai hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem pemikiran kenegaraan Indonesia. Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujud dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam strukutur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembagalembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Sebelum ada perubahan UUD 1945 Indonesia menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan]. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 itu tidak dikenal pemisahan yang tegas. Tetapi berdasarkan pada hasil perubahan UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)]. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Penegasan prinsip tersebut

sekaligus menunjukkan ciri konstitusionalisme yang berlaku yang berarti sangat penting agar tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan. Pembagian Kekuasaan Negara Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun Indonesia merdeka mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik yang selama ini telah tiga kali hidup dalam konstitusi dan sistem politik yang berbeda. Perkembangan sistem politik di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959), walaupun pada tahun 1945-1949 menganut UUD 1945 dengan prinsip Pemerintahan Presidensial, Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru], dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde Reformasi]. Pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat [2]). Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. UUD 1945 mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; dan di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara. Perubahan kedudukan MPR berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Saat ini, lembaga negara yang memegang fungsi
3

kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah Presiden, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR, dan yang memegang Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Adanya perubahan terhadap fungsi dan kedudukan lembaga membawa implikasi pada hubungan tata kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas. Banyak dari sebagaian warga negara Indonesia masih belum paham betapa pentingnya kedudukan, fungsi dan hubungan antar lembaga negara di Indonesia. Padahal, tidak sedikit lembaga baik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang memiliki fungsi yang perlu diketahui oleh warga negara pada umumnya. Tetapi tidak kalah pentingnya hubungan antara lembagalembaga tersebut, bagaimana hubungan antara Presiden dengan DPR, MPR dengan Presiden dsb. Banyak diantara orang awam jika ditanya Menurut anda bagaimana anda hubungan Presiden dengan DPR saat ini? terkadang ada orang yang menjawab baik-baik saja tetapi tidak sedikit pula yang menjawab bermasalah atau tidak harmonis. Apakah jawaban tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan? Dari penjelasan berikut mungkin akan menjawab sebagian pertanyaan tersebut. Hubungan Presiden dengan MK Hubungan Presiden dengan MK di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

UUD 1945 pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

UU no 48 tahun 2009 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

UU no 48 tahun 2009 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi, Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan. Yakni, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment). Dari lima kewenangan MK itu, hampir semuanya berpotensi bersinggungan dengan Presiden. Pertama, pengujian UU terhadap UUD. Lembaga negara yang mempunyai kewenangan membuat UU adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga produk Presiden bersama dengan DPR- lah yang diuji ke MK. Kedua, sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN). Sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, Presiden berpeluang menjadi subjek perkara SKLN di MK. Ketiga, memutus pembubaran partai politik. Pasal 68 UU No.23/2004 tentang MK disebutkan bahwa pemohon pembubaran partai politik adalah pemerintah. Jadi, hanya pemerintah (Presiden) yang berhak memohon agar MK membubarkan sebuah partai politik yang dianggap berbahaya. Sedangkan, kewenangan dalam memutus sengketa hasil pemilu atau pemilukada tidak terlalu berhubungan dengan presiden. Pasalnya, pemilu atau pemilukada diselenggarakan oleh lembaga yang independen Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota- dari presiden. Terakhir, kewenangan memutus perkara impeachment atau pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah kewenangan khusus yang diberikan UUD. Bila DPR menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berupa pengkhinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
5

perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka perkara itu akan dibawa ke MK. Setelah MK memutus, maka akan diserahkan lagi ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melakukan eksekusi. MPR dimungkinkan untuk melakukan eksekusi yang berbeda dengan putusan MK. Hubungan Presiden dengan MA Hubungan antar Presiden dengan MA di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 24A ayat 3 yang berbunyi, Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.

Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilanpengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undangundang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970) termasuk Presiden.

Hubungan DPR dengan Presiden Hubungan antar DPR dan Presiden di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 5 ayat 1 yang berbunyi, Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

UUD 1945 pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

UUD 1945 pasal 7B tentang tata cara pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden oleh DPR UUD 1945 pasal 7C yang berbunyi, Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD 1945 pasal 11 ayat 1 yang berbunyi, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

UUD 1945 pasal 13 ayat 2 yang berbunyi, Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD 1945 pasal 13 ayat 3 yang berbunyi, Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. UUD 1945 pasal 14 ayat 2 yang berbunyi, Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat. UUD 1945 pasal 20 ayat 2 yang berbunyi, Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

UUD 1945 pasal 20A mengenai hak-hak DPR UUD 1945 pasal 22 mengenai tata cara pembentukan Undang-Undang UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajuka oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

UUD 1945 pasal 24A ayat 3 yang berbunyi, Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

UUD 1945 pasal 24B ayat 3 yang berbunyi, Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
7

UUD 1945 pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

UUD 1945 pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

UU no 27 tahun 2009 pasal 74 ayat 2 yang berbunyi, Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden.

Hubungan antara DPR dam Presiden terletak pada hubungan kerja. Hubungan kerja tersebut antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara presiden dan DPR yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5. Yaitu setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2). Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila presiden dalam waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5). Untuk terbentuknya undangundang, maka harus disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR setuju tapi presiden tidak, atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diundangkan.

Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaiyu mengawasi presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Dan DPR dapat mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut pengawasan (pasal 7A). Dalam bidang keuangan, RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu(pasal 23 ayat 3).

Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: melantik presiden dan atau wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang itu (pasal 9), memberikan pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13), memberikan pertimbangan kepada presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat 2), memberikan persetujuan atas pernyataan
8

perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (pasal 11), memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat 3). Hubungan BPK dengan DPR Hubungan antar DPR dan BPK di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.

UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.

UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 4 yang berbunyi, Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.

UU no 15 tahun 2006 pasal 11 mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi, Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 3 yang berbunyi, Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat. UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 4 yang berbunyi, DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama.

UU no 15 tahun 2006 pasal 21 ayat 2 yang berbunyi, Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diresmikan dengan Keputusan Presiden atas usul BPK atau DPR.

UU no 15 tahun 2006 pasal 35 ayat 2 yang berbunyi, Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Seperti yang telah kita ketahui bersama, konstitusi negara kita, Undang-Undang Dasar

1945, membentuk BPK hanya untuk melaksanakan satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu lembaga perwakilan rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK melaksanakan tugas itu melalui pemeriksaan atau audit pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berbeda dengan di banyak negara lain, UndangUndang Dasar 1945 menempatkan BPK sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita. Di berbagai negara yang lain lembaga auditor ekstemal seperti BPK ditempatkan langsung di bawah lembaga legislatif sebagai pemegang hak bujet. Lembaga legislatif itulah yang menugaskan auditor eksternal untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Selain tetap mempertahankan pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat posisinya dengan memberikan kedudukan yang bebas dan mandiri kepada BPK. Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. ltulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK dapat memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di DPR serta DPRD sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan
10

DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1). Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN. Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi terhadap temuannya. Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan kami sendiri. Atas penugasan dari DPR, kini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas penggunaan dana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tentang subsidi BBM. Melalui pemulihan kewenangan serta kebebasan maupun kemandiriannya BPK diharapkan akan dapat menegakkan transparansi fiskal. Pada gilirannya ini akan memulihkan kembali penggunaan hak bujet milik rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR dan DPRD yang telah mengalami erosi dalam era otoriter Orde Baru. Pemulihan hak bujet rakyat itu diharapkan akan dapat memperbaiki pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan negara yang selama ini morat-marit sehingga kita dilanda oleh krisis perekonomian sejak tujuh tahun terakhir. Transparansi fiskal sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak maupun kepercayaan mereka memegang Surat Utang Negara (SUN). Transparansi fiskal tersebut juga menambah kepercayaan kreditur internasional dalam memberikan hibah maupun pinjaman kepada Pemerintah Indonesia. Hubungan antara MPR dengan DPR
11

Hubungan antar MPR dan DPR di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.

UUD 1945 pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

UUD 1945 pasal 7B ayat 1 yang berbunyi, Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

UUD 1945 pasal 7B ayat 6 yang berbunyi, Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

Hubungan antara MPR dengan Presiden Hubungan antar MPR dan Presiden di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 3 ayat 2 yang berbunyi, Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden UUD 1945 pasal 3 ayat 3 yang berbunyi, Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
12

UUD 1945 pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

UUD 1945 pasal 7B ayat 1 yang berbunyi, Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

UUD 1945 pasal 7B ayat 7 yang berbunyi, Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

UUD 1945 pasal 8 ayat 2 yang berbunyi, Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis

Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.

UUD 1945 pasal 8 ayat 3 yang berbunyi, Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih
13

suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi berakhir masa jabatannya.

UUD 1945 pasal 9 ayat 1 yang berbunyi, Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat.

UU no 27 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi, Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.

Hubungan MPR dengan DPD Hubungan antara MPR dan DPD dia atur didalam UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Hubungan DPR dengan DPD Hubungan antar DPR dan DPD di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 22D ayat 1 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

UUD 1945 pasal 22D ayat 2 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

14

UUD 1945 pasal 22D ayat 3 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

UUD 1945 pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.

UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

Hubungan DPR dengan MA Hubungan antar DPR dan MA di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 24A tentang Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung. UU no 27 tahun 2009 pasal 83 ayat 5 yang berbunyi, Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.

Hubungan DPD dengan Presiden Hubungan antar DPR dan MA di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

15

UUD 1945 pasal 23 ayat 3 yang berbunyi, Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

UU no 27 tahun 2009 pasal 227 ayat 3 yang berbunyi, Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden. UU no 27 tahun 2009 pasal 240 ayat 2 yang berbunyi, Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.

Hubungan DPD dengan BPK Hubungan antar DPD dan BPK di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.

UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 3 yang berbunyi, Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk. UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 4 yang berbunyi, Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.

UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi, Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Hubungan antar BPK dan MA di atur di dalam :

16

UU no 15 tahun 2006 pasal 16 ayat 1 yang berbunyi, Anggota BPK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.

UU no 15 tahun 2006 pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, Ketua dan Wakil Ketua BPK terpilih wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.

UU no 15 tahun 2006 pasal 16 ayat 3 yang berbunyi, Apabila Ketua Mahkamah Agung berhalangan, sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipandu oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung.

Hubungan DPD dengan BPK Hubungan antar DPD dan BPK di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.

UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 3 yang berbunyi, Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk. UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 4 yang berbunyi, Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.

UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi, Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Hubungan DPD dengan Presiden di atur di dalam :

UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

17

UUD 1945 pasal 23 ayat 3 yang berbunyi, Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

UU no 27 tahun 2009 pasal 227 ayat 3 yang berbunyi, Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden. UU no 27 tahun 2009 pasal 240 ayat 2 yang berbunyi, Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.

. MPR dengan DPR, DPD Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR merupakan representasi rakyat melalui partai politik, sedangkan unsur anggota DPD merupakan representasi rakyat dari daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR. DPR dengan Presiden, DPD, dan MK. Berdasarkan UUD NRI tahun 1945, kini MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, anggota DPR untuk mewakili rakyat sedangkan anggota DPD untuk mewakili daerah.

18

Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undangundang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, secara otomatis sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Dalam hubungan DPR dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu. DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Lihat Pasal 22 D). Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Di samping itu terdapat hubungan tata kerja lain, misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, dan proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK. DPD dengan BPK Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945, DPD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan untuk pemilihan anggota BPK. Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Di samping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN. MA dengan lembaga negara lainnya Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.

19

Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara, maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang samasama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI tahun 1945 adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK. BPK dengan DPR dan DPD BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga meliputi pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD. Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK. Komisi Yudisial dengan MA
20

Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini menjelaskan bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.

21

Anda mungkin juga menyukai