Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menggunakan sistem


pembagian kekuasaan. Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam
mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam
beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan.Hal ini
membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi
atau kerjasama.Mekanisme pembagian ini banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di
dunia, termasuk Indonesia.Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia
jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan
sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat..

Pembagian kekuasaan menjadikan adanya legislatif,eksekutif,dan yudikatif. DPR


sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat
Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan
Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda
pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut
untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian
Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.

Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan,


begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan
wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan
partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi
secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga
pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan
eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan eksekutif dan legislatif ?


2. Bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Badan Legislatif

2.1.1 Pengertian Legislatif

Badan legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang.


Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat,maka dari itu badan ini sering
dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat,nama lain yang sering dipakai ialah Parlemen.
Badan legislatif(DPR) dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini
dengan jalan menetukan kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh masyarakat.
Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat
dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut
kepentingan umum.

2.1.2 Fungsi Legislatif

a. Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-


undang.
b. Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
c. Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan
terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang

2.1.3 Hak Legislatif

a. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah
mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
bagi kehidupan masyarakat.

b. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu
kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap
kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam
negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota
DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai
mitra kerja.

2.2 Eksekutif

Eksekutif adalah salah satu cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dan


bertanggungjawab untuk menerapkan hukum.Contoh paling umum dalam sebuah cabang
eksekutif disebut ketua pemerintahan. Eksekutif dapat merujuk kepada administrasi,
dalam sistem presiden, atau sebagai pemerintah, dalam sistem parlementer

Kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan menyelenggarakan pemerintah


negara. Kekuasaan ini dipegang oleh presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945.

Lembaga Eksekutif di Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta


menteri-menteri yang membantunya. Presiden adalah lembaga negara yang memegang
kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di
Indonesia, Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus
sebagai kepala negara. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan
wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan
dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR.Setelah dilantik, presiden dan wakil presiden
menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan sendiri.Dalam
menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945
2.2.1 Wewenang Eksekutif

a. Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan


menyelenggarakan administrasi Negara
b. Membuat rancangan undang-undang dan anggaran 
c. Keamanan, yakni kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata,
menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri
d. Memberi grasi, amnesti, dan sebagainya
e. Diplomatik, yakni kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik
dengan negara lain.

2.3 Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif

Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat
dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui
sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya
mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan
kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat
UUD. Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara
menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan
kelembagaannya.

Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan


rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari
MPR inilah, kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara
dibawahnya. Prinsip yang dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of
power).

Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan


dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (Separation of Power) menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and
balances(saling imbang dan saling awas).
Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden)
dalam konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-
amandemen, legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada
kenyataannya eksekutiflah yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif.
Posisi yang sejajar dalam konstitusi pasca-amandemen juga menimbulkan hubungan baru
antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-
keduanya dalam konstitusi pra-amandemen.

Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD 1945), ditemukan beberapa bentuk
hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam
bidang, pertama, kekuasaan legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5
ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.”

Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden.


Presiden dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk
undang-undang dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang. Posisi DPR sebagai
pembuat undang-undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5):
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.” Pada bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of
Power) dalam konstitusi pasca-amandemen (UUD 1945) telah diakomodir.

Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A


“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Dan
Pasal 7C “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat.”
Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme
pemakzulan (impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena
Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini,
kekuasaan DPR lebih besar dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat
mekanisme pemakzulan. Prinsip saling awas (checks) bersifat searah dan
cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk kontrol Presiden terhadap DPR?
sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi pasca-amandemen (UUD
1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR. Pasal pemakzulan menurut
hipotesa penulis dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang memberikan kewenangan
sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut “pasal egois”.

Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1)


“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Ayat (2) “Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.” Dan Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ayat (3) Presiden menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.”

Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta


besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini
berarti bukan sebuah keharusan. Kata “memperhatikan” adalah sebuah bentuk saling
imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).

Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden


memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.” Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR
dengan Presiden.
2.4 Masalah Disharmoni Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif

Peluang munculnya hubungan yang tidak harmonis antara badan legislatif dan
eksekutif dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia sangat besar, yang dalam hal
ini adalah munculnya sekat yang tidak terjembatani antar dua lembaga itu. Kondisi ini
hadir utamanya disebabkan adanya kecenderungan “separation of power” yang
memungkinkan minimnya aktivitas konsultasi diantara kedua lembaga tersebut dalam
menyusun cetak biru dan garis besar kebijakan yang nantinya akan disepakati bersama

Dengan adanya fenomena dual legitimacy,masing-masing lembaga merasa


sebagai pilihan rakyat,baik legislatif maupu eksekutif sama-sama merasa berhak untuk
menentukan arah kebijakan nasional. Ancaman disintegratif akan semakin kuat manakala
badan legislatif berbeda prientasinya dengan eksekutif .

Dampak dari adanya persoalan disharmoni hubungan legislatif dan eksekutif yang
terutama adalah munculnya sebuah pola hubungan yang terlalu politis dalam lingkup
pemerintahan yang substansif dapat mengganggu proses pembuatan kebijakan yang
sehat. Dalam konteks latin,hal ini telah menyebabkan terjadinya pembusukan politik,yang
pada akhirnya presiden kerap tergoda untuk benar-benar meninggalkan legislatif. Lebih
dari itu ,komitmen konsultatif tampak masih menguasai aura pola hubungan eksekutif
dan legislatif saat ini yang tercermin dari perangkat aturan main pemerintahan yang legal
maupun pola hubungan lobi informal. Namun dengan kemauan berkompromi dan
melakukan akomodasi politik masalah yang ada diantara hubungan eksekutif dan
legislatif dapat ditangani.

2.5 Studi Kasus

Contoh nyata yang dapat diketahui dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif
terdapat pada kasus hubungan yang sempat berlangsung kurang baik antara Gubernur
Jawa Tengah(Eksekutif) dan DPRD Jawa Tengah(legislatif) diantaranya adalah :

2.5.1 Kasus Penyelewengan Dana Bansos

Dalam kasus ini terjadi perseteruan antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo dengan Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi. Hal ini terkait adanya
indikasi penyelewengan dana bansos yang dilakukan oleh badan legislatif. Konflik
muncul karena adanya pernyataan Ganjar yang terkesan menyudutkan DPRD Jawa
Tengah. Ketegangan hubungan antara Ganjar Pranowo dengan Ketua sementara DPRD
Jateng Rukma Setyabudi yang menolak menandatangani pakta integritas KPK dinilai
oleh beberapa kalangan akibat tarik ulur persoalan politik anggaran APBD Pemprov
Jateng. Terutama dalam penetapan anggaran dana Bantuan Sosial(Bansos) dan hibah
proposal dalam bentuk dana bantuan Sarana dan Prasarana(Sarpras) Pemprov Jateng ke-
35 kabupaten/kota di Jateng dan dana aspirasi yang kuasa penuh penggunaaan
anggaranya dipegang oleh anggota Badan Anggaran dan jajaran pimpinan DPRD
Jateng. Meruncingnya seteru bau kentut dana bansos kemudian berlanjut menjadi
pembahasan dalam forum resmi eksekutif-legislatif,seperti rapat paripurna ,konsultasi
dan siding komisi.

2.5.2 Masalah Tentang Hak Penganggaran

Disini sekali lagi terjadi hubungan yang kurang baik antara DPRD Jateng dan
Gubernur Jateng. Kali ini dalam hal penganggaran,masalah yang muncul disini adalah
Penganggaran yang dirasa Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tidak merata pada setiap
daerah di Jawa Tengah dalam hal Bankeu. Dan pada akhirnya Ganjar pun merubah
anggaran Bankeu untuk masing-masing daerah tetapi DPRD Jateng merasa fungsi
budgeting DPRD Jateng sudah dikebiri dan tidak difungsikan sama sekali karena besran
masing-masing alokasi bantuan keuangan untuk kabupaten/kota pada APBD 2015 sudah
disahkan.

2.5.3 Makna Dari Studi Kasus

Dalam studi kasus yang telah disebutkan diatas dapat diketahui bahwa hubungan
eksekutif dan legislatif terdapat dalam beberapa hal diantaranya adalah dalam hal proses
penentuan anggaran dan fungsi yang saling mengawasi untuk bekerjasama dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Akan tetapi dalam hubunganya tersebut juga
sering terjadi gesekan atau konflik terkait tentang fungsi dan hak yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga itu baik eksekutif maupun legislatif. Jika terdapat konflik antara
eksekutif dan legislatif berarti hal tersebut menunjukkan belum ada pola hubungan yang
baik antara kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga semestinya membentuk tim yang
dapat membangun dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar lebih
harmonis. Jika terjadi hubungan yang baik antara eksekutif dan legislatif maka kedua
lembaga tersebut dapat bekerja sama dengan baik dan dapat mensejahterakan masyarakat
luas.

2.6 Pembahasan Teoritis

Dalam mengkaji makalah ini tidak lepas dengan berbagai macam teori tentang
kekuasaan yang bermula dari teori Trias Politica. Teori Pembagian
Kekuasaan Menurut Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak
dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan
harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3
lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.

Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan


jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh
satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi,
saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak
selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh


ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang
penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Akan tetapi terdapat perbedaan dengan
teori trias politica yang mengajarkan teori tentang pemisahan kekuasaan, di Indonesia
menerapkan teori pembagian kekuasaan yang maksudnya lembaga-lembaga negara
merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian
dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga
Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu
menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan, dengan
perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada
jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan
diantara badan-badan kenegaraan yang ada. Hal tersebutlah yang menciptakan adanya
hubungan diantara lembaga Negara salah satunya adalah hubungan antara eksekutif dan
legislatif baik hubungan yang bersifat buruk maupun yang bersifat baik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Eksekutif dan legislatif adalah salah satu dari lembaga Negara yang sangat
penting peranya dalam mencapai cita-cita dan tujuan suatu Negara Indonesia. Sesuai
dengan teori pembagian kekuasaan yang digunakan di Indonesia maka mau tidak mau
setiap lembaga Negara akan saling berhubungan walaupun setiap lembaga Negara itu
berdiri sendiri dan mempunyai kekuasaan sendiri. Begitu juga dengan eksekutif dan
legislatif yang mempunyai hubungan dalam menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah
terkait dengan penentuan anggaran yang terkadang memunculkan hubungan yang tidak
baik antara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi tidak selamanya hubungan antara
eksekutif dan legislatif berjalan tidak baik. Pasti ada saatnya kedua lembaga ini
bekerjasama dan menemukan titik sepakat dalam penentuan keputusan. Dan yang
terpenting diantara hubungan eksekutif dan legislatif adalah adanya fungsi chek and
balance yang artinya saling mengawasi dan menyeimbangkan untuk bekerjasama dalam
mewujudkan kesejahteraan dan tujuan dari Negara Indonesia. Jika hubungan anatara
eksekutif dan legislatif baik, harmonis,professional,serta akuntabel dalam menjalankan
masing-masing fungsinya maka niscaya roda pemerintahan akan dapat berjalan dengan
baik.

3.2 Saran

Menurud studi yang telah kami dalami,kelompok kami merekomendasikan agar


eksekutif dan legislatif untuk mampu bekerjasama secara sinergis di dalam menjalankan
peran dan fungsinya masing-masing agar tercipta hubungan yang harmonis demi
tercapainya tujuan Negara Indonesia. Dan jika terjadi konflik karena adanya salah
pengertian kami menyarankan agar semestinya kedua lembaga tersebut membentuk tim
yang dapat membangun dan mendorong komunikasi antara eksekutif dan legislatif agar
lebih harmonis dan dengan mengintensifkan hubungan yang informal diantara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo,Miriam. 2005 . Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Isdiyanto,dkk . 2016. Kontroversi Ganjar . Jakarta : Kompas

Rauf ,Maswadi ,dkk. 2009 .Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar

http://www.ayobelajar.web.id/tema/1307/

https://hifdzil.wordpress.com/2008/09/08/studi-hubungan-legislatif-dengan-eksekutif/

Anda mungkin juga menyukai