Anda di halaman 1dari 22

Nama : Munira Rizky

NIM : 11201120000060

Kelas : Ilmu Politik/5C

Mata Kuliah : Institusi Politik

UAS

1. MPR merupakan salah satu lembaga negara utama dalam sistem ketatanegaran Indonesia yang
diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945 disamping lembaga-lembaga negara lain. Sebelum UUD
1945 diamandemen, MPR berkedudukan sebagai Lembaga tertinggi negara, sebagai pelaku
sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan kekuasaannya tidak terbatas.

Perubahan UUD 1945 telah menyebabkan terjadinya pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia,
salah satunya terjadi pergeseran paradigma kelembagaan negara. Menurut UUD NRI Tahun 1945,
semua lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 kedudukannya sejajar.
Perubahan kedudukan lembaga-lembaga negara mempunyai konsekuensi pula pada tugas dan
wewenang serta cara pengisian keanggotaan masing-masing lembaga negara.

Tuntutan reformasi pada tahun yang 1998, antara lain, reformasi konstitusi bertujuan untuk
menyempurnakan sistem ketatanegaraan, termasuk didalamnya menata ulang kedudukan, tugas
dan wewenang serta susunan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Amendemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR berakibat tereduksinya kewenangan
MPR secara signifikan tidak berwenang lagi mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah diserahkan secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Hilangnya kewenangan MPR untuk mengangkat dan memberhentikan presiden
dan wakil presiden inilah yang menyebabkan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara lagi,
melainkan berkedudukan sebagai Lembaga negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga
negara lain dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia agar memiliki fungsi saling
mengimbangi dan saling mengontrol (check and balances).

UUD 1945 setelah amandemen tidak menempatkan MPR sebagai lembaga negara tertinggi, tetapi
sejajar atau sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. MPR juga bukan lagi sebagai
pelaku penuh kedaulatan rakyat, dan kewenangannya sangat terbatas. Perubahan lembaga MPR
terjadi pula pada keanggotaannya. Sebelum UUD 1945 diamandemen, anggota MPR terdiri dari
anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan. Komposisi MPR yang demikian itu
menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945 dimaksudkan supaya seluruh rakyat,
seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam majelis, sehingga Majelis itu
dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat.

UUD 1945 setelah amandemen mengubah keanggotaan MPR. Berdasarkan UUD NRI Tahun
1945, anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Tidak ada lagi anggota MPR
yang berasal dari utusan golongan. Keanggotaan MPR saat sekarang ini belum mewakili seluruh
elemen masyarakat, karena meskipun anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD,
dalam kenyataannya mereka yang mewakili daerah dengan menjadi anggota DPD sebagian dari
mereka sebelumnya aktif di partai politik dan pernah menjadi anggota DPR yang diusung oleh
partai politik tertentu. Masih terdapat golongan masyarakat yang belum terwakili dalam
keanggotaan MPR. Golongan tersebut, misalnya golongan masyarakat dari unsur keagamaan,
kesatuan masyarakat hukum adat, dan masyarakat yang mempunyai aspirasi tertentu.
Selain keanggotaannya yang berubah, cara MPR dalam mengambil keputusan juga berubah. MPR
sebagai lembaga permusyawaratan, seharusnya melakukan musyawarah dalam setiap
pengambilan keputusannya. Pengambilan keputusan dengan cara musyawarah saat sekarang ini
sudah tidak terlihat lagi pada lembaga MPR. Setiap keputusan selalu dilakulan dengan cara voting
atau pemungutan suara. Hal ini juga tidak sesuai dengan semangat sila ke empat Pancasila yaitu
permusyawaratan/perwakilan.

Kewenangan MPR
Negara Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945
diamandemen, kedaulatan rakyat tercermin dalam lembaga MPR. Akan tetapi, setelah Undang-
Undang Dasar 1945 diamandemen, kedaulatan rakyat tercermin pada fungsi masing-masing
lembaga negara. Perubahan pelaksana kedaulatan tersebut menyebabkan berubahnya kewenangan
MPR sebelum dan sesudah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen.

Kewenangan MPR Sebelum Amandemen UUD 1945


Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, MPR merupakan Lembaga negara tertinggi
dan sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR berfungsi sebagai supreme body yang
memiliki kekuasaan tertinggi tanpa ada kontrol dari lembaga negara lain. Ketentuan Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut MPR
bukan sebagai pemegang kedaulatan, tetapi sebagai pelaku. Kedaulatan tetap berada di tangan
rakyat, hanya pelaksanaannya diserahkan kepada lembaga negara yang dipandang sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia,karena keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR
ditambah dengan utusan darah dan utusan golongan betul-betul dapat dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat.

Kewenangan yang diberikan kepada MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat
berdasarkan Pasal 3, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 adalah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan undang-undang dasar dan Garis-garis besar dari
pada haluan negara. (Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945).
2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
terbanyak. (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945).
3. Untuk mengubah undang-undang dasar, sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 daripada jumlah yang hadir. (Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945).

Kewenangan MPR Setelah Amandemen UUD 1945


Perubahan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (2) telah mengubah kedudukan MPR menjadi
lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain. Perubahan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) berimplikasi pada pengurangan kewenangan yang dimiliki oleh MPR.
Kewenangan MPR yang berkurang adalah MPR tidak lagi berwenang memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, dan mengeluarkan
Ketetapan MPR yang bersifat mengatur. Dengan ketentuan tersebut, secara teoretis berarti terjadi
perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari sistem yang vertikal
hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horisontal-fungsional dengan
prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara. Dengan perubahan ini,
maka MPR tidak lagi menetapkan Garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN
maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, kewenangan MPR adalah:
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-
Undang Dasar.

Kedudukan Lembaga Legislatif Pra Amandemen UUD 1945


Dalam sistem perwakilan rakyat menurut Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen
dikenaldua jenis badan perwakilan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan
perwakilan rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan permusyawaratan
rakyat untuk tingkat nasional dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk tingkat lokal.
Lembaga legislatif di Indonesia yang merupakan bagian yang integral dari struktur politik di
Indonesia ini berdasarkan ideologi negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, dipegang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan Presiden. Dewan Perwakilan
Rakyat (Parlemen) sebagai hakikat dan eksistensi dari lembaga legislatif Indonesia, merupakan
pencerminan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, sehingga dapat menjamin kesinambungan
dan kestabilan politik negara.

Dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 pra amandemen Dewan Perwakilan Rakyat
adalahsalah satu lembaga tinggi negara. Pengaturannya terdapat dalam Bab VII Pasal 19 sampai
dengan Pasal 22. Pada dasarnya DPR mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi
anggaran (Pasal 23 UUD 1945), dan fungsi pengawasan. Namun demikian, fungsi legislasi dalam
sistem UUD 1945 dijalankan oleh Presiden, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 : Presiden memegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh karena itu, lembaga yang berwenang membentuk undang-undang menurut Undang-Undang
Dasar 1945 adalah Presiden, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat hanya memberikan
persetujuan, maka kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sangat lemah, dalam arti bahwa dalam
banyak hal Dewan Perwakilan Rakyat hanya berfungsi sebagai "stempel" pemerintah. Hampir
semua rancangan undang-undang yang menjadi undang-undang berasal dari usul inisiatif
Presiden, dan sangat sedikit rancangan undang-undang yang berasal dari usul inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat.

Lembaga Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945


Amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945 khususnya yang menyangkut kewenangan
untuk membentuk undang-undang telah merubah kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat secara signifikan. Kalau dalam UUD 1945 pra amandemen,: kekuasaan membentuk
undang-undang ada di tangan Presiden, dan DPR hanya memberikan persetujuannya, maka
setelah arnandemen. UUD 1945, kekuasaan membentuk undang-undang diberikan kepada DPR.

Dengan adanya amandemen terhadap kewenangan menetapkan undang-undang ini kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, maka terdapat konsekuensi baik politik maupun yuridis mengenai struktur
ketatanegaraan Indonesia. Dari aspek politik, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi
semakin menguat karena kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (dalam
arti formal) telah "diambil" dari tangan Presiden dan diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan demikian telah terjadi pemisahan kekuasaan antara Presiden dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan menciptakan sistem check and balances. Presiden tidak lagi dengan seenaknya
mengajukan rancangan undang-undang untuk dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
seperti pada masa-masa Orde Baru dimana semua rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena mayoritas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat adalah berasal dari partai pemerintah (Golkar). Dengan diberikannya
kekuasaan membentuk undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, maka kedudukan
Dewan Perwakilan Rakyat, baik, dari aspek politik maupun yuridis menjadi semakin kuat untuk
menjaga sistem check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2. Indonesia telah menetapkan sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan yang dianutnya.
Sistem presidensial di Indonesia ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”. Selain hal tersebut, kekuasaan pemerintahan negara oleh
presiden juga diatur dalam Bab III UUD 1945 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III
UUD 1945 berisi 17 pasal yang mengatur berbagai aspek mengenai presiden dan lembaga
kepresidenan, maupun kewenangan yang dimilikinya dalam memegang kekuasaan pemerintah.
Gagasan untuk menegaskan sistem presidensial dalam UUD 1945 dapat dilacak sejak perumusan
amandemen ke-dua UUD 1945. Selain desakan untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945 dan
mempertahankan bentuk Negara kesatuan, penguatan system pemerintahan presidensial menjadi
salah satu isu penting pada saat pembahasana amandemen ke-dua UUD 1945. Meskipun sempat
terjadi perbedaan pendapat khususnya mengenai isu bentuk Negara kesatuan dan system
pemerintahan presidensial, para perumus amandemen UUD 1945 saat itu akhirnya menyepakati
dipertahankannya bentuk Negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial.
Setelah amandemen UUD 1945, Indonesia dinyatakan menganut sistem presidensial yang bersifat
konvensional. Sistem presidensial dikatan sebagai sistem konvensional. System presidensial
memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: (i) terdiri dari seorang pimpinan eksekutif tunggal; (ii)
pimpinan eksekutif tersebut dipilih langsung oleh rakyat; dan (iii) masa tugasnya dibatasi dan
tidak dapat diberhentikan melalui pemungutan suara oleh lembaga legislatif.

Sartori mengemukakan bahwa suatu negara dinyatakan menganut sistem presidensial apabila
presidennya (i) dipilih langsung melalui popular election, (ii) tidak dapat diberhentikan oleh
lembaga legislatif pada kurun waktu masa tugasnya, dan (iii) memimpin pemerintahan oleh
orang-orang yang dia tunjuk.

Meskipun presiden Indonesia telah dipilih langsung oleh rakyat, namun tidak serta-merta
membuat kekuasaannya menjadi tidak tak terbatas. Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 secara
tegas maupun eksplisit membatas kekuasaan pemerintahan Presiden. Misalnya, adanya ketentuan
mengenai pemberhentian Presiden yang menyatakan bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Sedangkan, dalam hubungannya dengan lembaga
negara lain, diatur juga secara tegas bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Hal lain yang dapat dijadikan contoh terkait dengan batasan kekuasaan Presiden adalah peran
serta Presiden dalam pembentukan undang-undang. Meskipun kekuasaan pembentukan undang-
undang merupakan wilayah lembaga legislatif/DPR, namun Presiden tetap mendapatkan peran
yang sangat penting karena UUD 1945 mengaturbahwa setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Selanjutnya
Presiden akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang. Namun demikian, dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui Bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.
Batasan kekuasaan eksekutif presiden selanjutnya adalah Presiden berhak mengangkat duta dan
konsul. Namun, kewenangan tersebut tidaklah mutlak karena dalam mengangkat duta dan konsul
presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Presiden memiliki hak untuk memberi grasi
dan rehabilitasi namun dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden juga
berhak memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan perimbangan DPR.

Sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia idelanya memberikan kekuasaan yang luas bagi
presiden untuk melaksakan tugas-tugas eksekutifnya. Kekuasaan tersebut tidak dapat dibatasi atau
dikurangi tanpa alasan yang bersifat konstitusional. Namun demikian, kekuasaan yang besar
tersebut juga tidak dapat digunakan secara semena-mena untuk kepentingan pribadinya. Dua
batasan konstitusional yang dapat dijadikan landasan yang dapat dijadikan alasan untuk
membatasi kekuasaan eksekutif presiden, antara lain adalah batasan hak prerogatif dan prinsip
separation of powers.

Hak prerogatif merupakan hak yang dimiliki presiden yang tidak harus tertulis dalam konstitusi
dan berfungsi untuk mengisi ruang yang belum diatur dalam konstitusi. Secara teori, hak ini
hanya dapat digunakan dalam keadaan yang bersifat luar biasa dan penggunaanya dapat dibatasi
dengan kekuasaan perundang-undangan (statutory authority). Penggunaan hak ini tidak dapat
digunakan secara terus menerus dan untuk kepentingan pribadi presiden karena pada dasarnya
kewenangan yang bersifat diskresi ini bertentangan dengan prinsip kepastian dalam negara
hukum.

Sedangkan untuk aspek separation of powers secara garis besar terdapat dua pendapat, yaitu yang
bersifat fungsionalis dan formalis. Formalis memandang harus ada pembagian secara tegas fungsi
eksekutif, legislatif dan yudikatif dan tidak memungkinkan adanya saling mempengaruhi antar
cabang kekuasaan pemerintahan.
Sedangkan, fungsionalis beranggapan bahwa setiap cabang kekuasaan memiliki fungsi-fungsi
pokok (core functions), dan dimungkinkan saling mempengaruhi dari cabang kekuasaan lain.
Kedua pandangan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sistem pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 menempatkan kedudukan Presiden
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, yang berarti pula Presiden berkedudukan
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (single executive). Dilihat dari sudut
pandang dianutnya single executive, sistem pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945
telah sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial, namun memiliki kelemahan karena
menganut presidential threshold dalam pengisian jabatan Presiden. Selain itu sistem
pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 juga menganut pemberian mandat langsung
oleh rakyat melalui pemilihan langsung, sehingga akan melahirkan konsep separation of power,
checks and balances, fix term, dan impeachment.

Keempat konsep tersebut merupakan karakteristik sistem pemerintahan presidensial. Dari sudut
pandang pemberian mandat langsung, sistem pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945
telah sesuai dengan system pemerintahan presidensial. Sedangkan dari sudut pandang adanya
kewenangan legislative Presiden belum sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial.
Sementara dilihat dari sudut pandang hubungan Presiden dengan lembaga negara lainnya,
pertama, hubungan DPR dan Presiden dalam fungsi legislasi, dan fungsi anggaran, kurang sesuai
dengan sistem pemerintahan presidensial; Kedua, hubungan MPR dan Presiden kurang adanya
hubungan saling mengimbangi dan mengawasi, sehingga kurang sesuai dengan sistem
pemerintahan presidensial; ketiga, hubungan DPD dan Presiden terdapat hubungan saling
mengimbangi dan mengawasi, sehingga sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial;
keempat, hubungan Presiden dengan MA telah sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial,
karena memenuhi kriteria checks and balances serta hubungan yang dilakukan tidak keluar dari
kewenangan yang dimilikinya sebagai lembaga yudikatif; kelima, hubungan MK dan Presiden
telah memenuhi kriteria checks and balances karena hubungan yang dilakukan tidak keluar dari
kewenangan yang dimilikinya sebagai lembaga yudikatif, sehingga sesuai dengan system
pemerintahan presidensial.

3. Pengembangan budaya hukum masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum
dalam kerangka supremasi hukum telah mendapat pengakuan dan jaminan dari negara Republik
Indonesia melalui Perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945).

Pasal 1 yang menentukan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang
melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945, Artinya Negara Republik Indonesia
meletakkan hukum pada keudukan yang tertinggi sekaligus sebagai prinsip dasar yang mengatur
penyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan kehakiman tidak mungkin dapat terlepas dari konstitusi yang berlaku di Indonesia,
yaitu UUD 1945. Pada hakekatnya kekuasaan kehakiman hanyalah merupakan suatu sistem yang
lebih luas, yaitu sistem konstitusional yang berlaku di suatu negara, yang menjadi lembaga-
lembaga negara, fungsi, kewenangan serta tanggung jawab masing-masing lembaga tersebut dan
bagaimana hubungan negara dengan warga negara. Dengan melihat besarnya nomor mengenai
bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, maka
dapat disimpulkan bahwa di samping kekuasaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain
yang ditentukan dalam UUD 1945. Dan dapat disimpulkan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada
dalam UUD 1945 tertata dalam suatu tatanan yang sesuai dengan pandangan jiwa yang menguasai
UUD 1945. Dalam konteks ini UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya
dengan susunan ketatanegaraan.

Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara Indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menekkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
demi terselenggarannya negara Repubik Indonesia.

Di akhir tahun 2009, tepatnya tanggal 29 September 2009, DPR RI telah mengesahkan Undang-
Undang di Bidang Kekuasaan Kehakiman. Yaitu Undang-
Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bersamaan dengan itu juga disahkan Undang-Undang No 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang- Undang No. 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dan Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Koesnoe dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD 1945
ini menarik kesimpulan bahwa tatanankekuasaan dalam negara RI adalah sebagai berikut :
1. Kekuasaan Primer yang dinamakan kedaulatan. Jika dilihat dari ilmu hukum positif kedaulatan
itu merupakan sumber dari segala sumber macam hukum hak atau kekuasaan yang ada dalam tata
hukum. Sri Soemantri mengartikan kedaulatan itu sebagai kekuasaan tertinggi. Karena dalam
negara RI, yang berdaulat adalah rakyat, maka kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat (Pasal 1
ayat (2) UUD 1945).
2. Kekuasaan Subsidair. Yaitu Kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan
yang lahir dari kedaulatan tersebut. Kekuasaan Subsidair ini adalah kekuasaan yang integral
artinya ia meliputi semua jenis kekuasaan yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum
dasar yang termuat dalam cita hukum (Rechtsidee) dan cita hukum itu tercantum dalam bagian
pembukaan UUD 1945. Dalam praktek kehidupan bangsa dan negara, kekuasaan subsidair ini
merupakan kekuasaan yang diserahkan atau dilimpahkan oleh kedaulatan rakyat kepada suatu
badan yang
disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
3. Kekuasaan melakukan kedaulatan itu oleh Hukum Dasar atau UUD 1945 dirinci lagi ke dalam
cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan
cata-cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan secara nyata ketentuan Hukum Dasar sebagai
isi atau kandungan dalam Rechtsidee negara Republik Indonesia.

Susunan kekuasaan negara setelah perubahan UUD 1945 menampilkan perubahan yang sangat
fundamental. MPR berubah kedudukannya dari Lembaga tertinggi negara menjadi lembaga forum
antara DPR dan DPD, DPA di hapus karena di lihat fungsinya tidak lagi strategis. DPR dipertegas
kewenanganya baik dalam fungsi legislasi maupun fungsi pengawasan. Aturan tentang BPK di
tambah. Selain itu UUD 1945 setelah perubahan menampakkan lembaga-lembaga baru terdiri dari
komisi Pemilihan Umum,Bank Indonesia di tambah juga Lembaga Kekuasaan yaitu : Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi yudisial.

Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 di ubah, tetap menjadi Kekuasaan yang sangat
fundamental dan sebagai dari proses kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan.
Kekuasaan Kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan
tetap ditempatkan sebagai kekuasaan yang mandiri, bebas dari campur tangan kekuasaan lain.

Dalam susunan kekuasaan negara RI yang baru, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain di bawah MA (Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi ( Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 ). Untuk menjaring hakim-hakim Agung yang profesional dan mempunyai
integruitas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga yang
khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung, yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B
UUD 1945).
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan,
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan
bahwa :
1. Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah dan Badan Peradilan yang berada
di bawahnyaa dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan
Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
2. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang;
3. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutuskan sengketa kewenagan lembaga
negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang 1945;
4. Komisi yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta
perilaku hakim.

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaaf). Negara yang berdasar atas hukum berarti hukum
ditempatkan sebagai panglima atau dengan kata lain pengakuan dan aplikasi supremasi hukum
atau rule of law. Implementasi "rule of law" adalah aturan-aturan yang menitikberatkan pada
pembatasan-pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi absolutisme yang mengarah kepada
"onrechmatige daad” bahkan dapat menjadi tindakan "ongrondwettin” (bertentangan dengan
undang-undang dasar). Indonesia sebagai negara yang mengakul supremasi hukum membawa
konsekuensi bahwa sistem pemerintahannya harus; (1) Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segenap warganegara memiliki persamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerlntahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu.; (2) Memegang teguh
asas legalitas,dalam semua aspek kehidupan kenegaraan yang meliputi aspek politik, sosial-
budaya, ekonomi, dan pertahanan-keamanan.

Apabila dicermati, kondisi penegakan hukum dalam negara hukum Indonesia yang secara
konsepsional menjunjung tinggi supremasi hukum, dapat dikatakan bahwa masih jauh dari
kenyataan. Merebaknya penyimpangan terhadap hukum dalam berbagai bentuk korupsi, kulusi,
nepotisme, kekerasan, kerusuhan yang didalamnya diikuti dengan penganiayaan, pembunuhan,
pencurian, pemerkosaan pada semua tingkat atau level masyarakat adalah suatu bukti buruknya
tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pemerintah dan penegak hukum.

Memperhatikan perjalanan sejarah kenegaraan Republik Indonesia, perkembangan pemikiran dan


praktik mengenai prinsip-prinsip negara hukum diakui mengandung kelemahan, yakni hukum
menjadi alat bagi kepentingan penguasa. Hal ini terbukti dalam praktik ketatanegaraan penguasa
menggunakan wacana negara hukum dengan melepaskan hakikat atau makna yang termuat dalam
konsepsi negara hukum itu sendiri. Kelemahan tersebut menurut Abdul Hakim G. Nusantara di
karenakan pranata-pranta hukum itu banyak di bangun untuk melegitimasi kekuasaan
pemerintahan, memfasilitasi proses rekayasa sosial, dan untuk memfasilitasi pertumbuhan
ekonomi secara sepihak sehingga hukum belum berfungsi sepenuhnya sebagai sarana dalam
mengangkat harkat serta martabat rakyat.

Salah satu agenda penting yang perlu di hadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia,
dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut perlu dikaji dan dipahami secara kritis oleh
masyarakat terkait dengan bagaimana masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka pada
tahun 2010 ini, dan di masa depan. Hal ini karena, masyarakat mendambakan agar pelaku
kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen sehingga keadilan dan kebenaran bisa
ditegakkan dengan konsisten.

Sejak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat
dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu
mendesak sebab perubahan masyarakat yang sedemikian cepat, demikian pula perubahan yang
terjadi dalam supra struktur Politik perlu di respon dengan perubahan Konstitusi. Konstitusi
sebagai hukum dasar negara yang akan menjadi pijakan utama dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara.

4. Oligarki adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh sedikit orang, tetapi memiliki pengaruh
dominan dalam pemerintahan. Oligarki merupakan tipe klasik suatu bentuk kekuasaan. Kata
oligarki berasal dari bahasa Yunani, yaitu oligoi berarti “beberapa” atau “segelintir” dan arche
berarti “memerintah”. Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang,
namun untuk kepentingan beberapa orang tersebut (bentuk negatif). Hampir senada dengan itu,
menurut Aristoteles, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok
cendekiawan demi kepentingan kelompoknya.

Sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur Demokrasi, dan ini
menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis. Elit predatorial (elit pemangsa rakyat)
lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan
reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel,yaitu Politik kartel digambarkan sebagai
situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan
programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan
pemerintahan baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi
pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan
berwatak oligarkis.

“Demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis.”Inilah


sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan–sekaligus merebut kekuasaan–melalui
kompetisi electoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga, bukan politik demokrasi
yang berlangsung di Indonesia, tetapi politik oligarki. Metode otoritarian Orde Baru membuat
oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat
para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Sehingga Winters ingin
menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.

Dari oligarki melahirkan transaksi, transaksi melahirkan oligarki, Politik oligarki merupakan
sistem politik yang membuat pengambilan keputusan-keputusan penting dikuasai oleh
sekelompok elit penguasa partai politik, karena jabatan pimpinan partai politik menjadi rebutan
banyak pihak. Banyak orang berebut untuk bisa menduduki jabatan pimpinan partai politik dan
tidak sedikit yang menggunakan uang untuk meraihnya. ada beberapa negara yang menganut
sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki,
termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai politik.

Partai politik merupakan institusi yang memiliki kuasa untuk menyiapkan para pejabat politik
negara. Sehingga kesehatan dalam tubuh institusi politik tersebut menjadi sangat fundamental,
karena kebijakan-kebijakan yang diambil secara langsung maupun tidak sangat berkaitan dengan
berlangsungnya hidup hajat orang banyak. Namun pada kenyataanya, kesehatan dalam tubuh
partai politik di Indonesia khususnya era reformasi dapat dibilang sangat mengkhawatirkan. Dari
sekian banyak persoalan yang terdapat dalam partai politik Indonesia, Oligarki menjadi ujung
pangkalnya.

Oligarki dalam tubuh partai politik di Indonesia nyata terjadi, bahkan dapat dikatakan sudah
menjadi penyakit akut. Kenapa demikian, karena praktek oligarki yang terjadi di tubuh partai
sudah menjadi rahasia umum. Bahkan seolah-olah praktek tersebut menjadi sesuatu yang biasa-
biasa saja, hal ini akibat dari pikiran pragmatis para elite politik. Padahal persoalan tersebut
memberikan dampak tidak sehat, baik dalam berjalanya partai politik maupun masyarakat secara
umum.

Secara nyata dapat dilihat bahwa mayoritas partai politik di Indonesia memiliki para penguasa yang
permanen atau dapat disebut sebagai ketua umum abadi. Eksesif kuatnya ketua umum tersebut
sampai tidak bisa di goyahkan sejak lama. Partai politik di Indonesia seakan-akan hanya dikuasai
oleh kelompok tertentu. Hal tersebut yang menimbulkan ketidaksehatan dalam proses demokrasi
didalamnya.

Kekuasaan dalam partai politik hanya berputar dari figur pendiri partai, keluarga pendiri partai
ataupun figur yang memiliki kekuatan ekonomi. Partai politik menjadi tidak demokratis.
Kekuasaan hanya bertumpu pada satu tokoh atau kelompok tertentu untuk mengendalikannya.
Bahkan, secara miris dapat ditelaah lebih jauh bahwa mayoritas partai politik tersebut merupakan
partai besar yang memiliki pengaruh dalam berjalanya pemerintahan Indonesia hari ini. Sehingga
kekhawatiran ini wajar dimunculkan ke publik, karena dinamisasi pemerintahan yang berkuasa
sekarang akan sangat dipengaruhi oleh partai-partai tersebut.

Lebih daripada itu, dampak praktek oligarki sangat negatif bagi internal partai, banyak kader-kader
potensial yang keluar dari partai politik tersebut karena merasa dirinya tidak dapat berkembang dan
tidak diberi kesempatan yang sama.

Bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki? Di
Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, Pertama, Ketua Umum
sebagai figure utama atau elite partai yang menjadi penentu, "Orang-orang kuat" ini muncul
sebagai reprensentasi ideologis atau historis. Di Indonesia saat ini, pada umumnya partai tidak
bersifat ideologis, maka figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor sejarah
terbentuknya partai. Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh
penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami
oligarkis. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi
lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik.

Kedua, aspek historis ataupun ideologis, kehadiran para figur penentu


yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-
sumber keuangan dimiliki figur. Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat
ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat
besar. Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau
ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking), konstelasi, ataupun kontestasi
internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial.

Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya
adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta
dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai. Namun, yang
terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan
kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya.
Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap
diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal
bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan pemeriksaan. Turunan dari
lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati. Pada akhirnya memungkinkan "figur-
figur asing" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan
cenderung mengokohkan oligarki.

Keempat, AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Kandidasi partai,
menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figur pimpinan partai menjadi demikian
berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi
celah untuk itu.

Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang
secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya.
Setidaknya hingga kini, keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu
menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang
batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk
saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi
pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite. Selain itu, turut
memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society
pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu
memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan
berperilaku demokratis.

Sistem kekuasaan oligarki partai politik tampil melalui kecenderungan sentralisasi kekuasaan,
dominasi elit partai, pragmatism berlebihan (opportunistic) dan kepemimpinan pengurus, yang
secara keseluruhan dibungkus dengan pemandulan pelembagaan (institusionalisasi) partai. Dalam
hal ini, gejala aristokratisasi partai terlihat dari penguasa partai yang mulai tergeser oleh nepotisme
dan dinasti. Sejalan dengan pergeseran sistem kekuasaan itu, maka kebebasan rakyat yang terfokus
kepada mobilisasi, sementara mereka dieksploitasi oleh pemimpin partai yang berkuasa
secaraoligarki, mulai terancam kehilangan kebebasan dan kemungkinan dieksploitasi secara
intensif oleh pengurus partai yang menghidupkan sistem kekuasaan aristokrat. Sementara sistem
aristocrat bangkit dalam partai, tetapi kontroversi sengitnya dengan sistem kekuasaan demokratik,
memberi keleluasaan kepada pendukung kekuasaan oligarki untuk terus berkiprah.

Persoalan oligarki yang terjadi dalam tubuh partai politik telah menggerogoti kesehatan institusinya
sendiri. Pertama, gagalnya kaderisasi dan terhambatnya regenerasi partai politik. Kedua tidak
mencerminkan pendidikan politik baik bagi masyarakat.

Pertama, fenomena oligarki partai politik menyebabkan kegagalan kaderisasi dan terhambatnya


regenerasi dalam tubuh partai politik. Kader yang memang memiliki kemampuan dan sudah cukup
lama berproses di partai, akan sulit mendapatkan panggung yang lebih besar. Sebab dirinya tidak
memiliki darah dari figur pendiri partai politik atau juga tidak memiliki kekuatan ekonomi.

Hal ini mencederai proses demokrasi, padahal banyak politisi menyuarakan tentang demokrasi.
Namun ternyata prakteknya tidak terjadi bahkan dalam lingkup partai politiknya sendiri.

Fenomena ini membuat kader yang memiliki kemampuan akan tergusur dengan orang yang
memiliki ikatan klan atau lain sebagainya. Oligarki ini akan menimbulkan kekecewaan dari kader
yang memang memiliki kemampuan dan sudah lama berproses. Karena secara esensial, tidak
diberikan kesempatan dan panggung yang layak untuk ikut berkompetisi.
Kedua, tidak mencerminkan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Salah satu fungsi dari
partai politik adalah memberikan sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Namun apabila dalam
internal partai menunjukan oligarki, maka masyarakat akan memandang bahwa partai politik tidak
mempresentasikan proses demokrasi yang baik. Karena secara nyata partai politik hanya di kuasai
oleh orang dan kelompok tertentu.

Padahal pendidikan politik menjadi salah satu fungsi yang sangat penting bagi partai politik. Sebab,
hal tersebut merupakan salah satu tanggungjawabnya dalam lingkup menjalankan tugas dan fungsi.
Partai politik jangan hanya pada saat pemilihan umum saja baru mendekati masyarakat sebagai
pemilih, namun seharusnya juga tidak adanya pemilihan umum pun fungsi nya tersebut harus selalu
di praktekan.

Kuatnya pengaruh politik oligarki di Indonesia mungkin merupakan konsekuensi dari terjadinya
politik yang berbiaya tinggi, di mana para politisi yang ingin berlaga di Pemilu membutuhkan
sokongan dana besar dari para oligark. Kemudian, kemampuan para oligark yang dapat
mempengaruhi jalannya sistem politik ini berakar dari kapabilitas uang yang dapat menjadi alat
tukar nilai-nilai personal.

5. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian
keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu
konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan
pemerintahaan dalam suatu negara.

Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik
dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi
baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah
menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan, Baik
kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional, bahkan internasional.
Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebutselalu terjadi benturan. Begitu juga dalam
merealisasikan apa yang namanya
“good governance,” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan
sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.

Konsep good governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua pihak, yaitu pemerintah,
swasta, dan masyarakat. Namun demikian, masih banyak yang rancu memahami konsep
governance. Secara sederhana, governance sebagai tata pemerintahan. Tata pemerintahan di sini
bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen Lembaga yang disebut eksekutif, karena
pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang
disebut governance. Dua aktor lain adalah private sector (sektor swasta) dan civil society
(masyarakat madani). Karenanya, memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi
peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang
disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik,
sosial, budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam
menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan pekerjaan dan
meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan
berbagai macam aktivitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol
terhadap jalannya aktivitas-aktivitas tersebut.

Ada tiga pilar utama yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good
governance, yakni: Negara/pemerintah (the state), masyarakat adab, masyarakat madani,
masyarakat sipil (civil society), dan pasar atau dunia usaha (private sector). Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik,
ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan
sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada
kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good
governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan
memiliki visi yang jelas.

Berdasarkan pemahaman atas pengertian governance tersebut, maka penambahan kata sifat good
dalam governance bisa diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik atau positif. Letak sifat baik
atau positif itu adalah manakala ada pengerahan sumber daya secara maksimal dari potensi yang
dimiliki masing-masing aktor tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi
yang ingin dicapai. Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila memiliki ciri-ciri
atau indikator-indikator tertentu.

6. Berbeda dengan sistem perwakilan satu kamar (unicameral system). Parlemen dalam sistem
perwakilan dua kamar (bicameral system) terdiri dari dua badan perwakilan yang terpisah antara
satu sama lain, yakni perwakilan seluruh rakyat yang juga disebut dengan perwakilan politik dan
perwakilan negara bagian atau propinsi atau golongan tertentu yang dikenal dengan istilah House
of Representatives dan Senat di Amerika Serikat, DPR dan Senat RIS di Indonesia. Masing-masing
kamar Parlemen tersebut terpisah satu sama lain, akan tetapi keduanya mempunyai kedudukan
sederajat dan fungsi yang sama (seimbang), baik di bidang legislasi, anggaran maupun di bidang
pengawasan yang dijalankan secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Di samping itu juga
mempunyai anggota yang berbeda. Jika ditinjau dari proses pembentukan, sistem perwakilan dua
kamar (bicameral system) pada setiap negara demokrasi berbeda antara satu sama lain. Ada yang
melalui proses pemilihan umum (pemilu), penunjukan langsung oleh Kepala Negara dan ada pula
melalui proses pemilihan oleh organ pemerintah yang lebih rendah (daerah).

Sistem perwakilan dua kamar (bicameral system) ini bukan hanya dianut oleh negara-negara
monarki dan republic yang berbentuk federasi, namun juga dianut oleh negara monarki dan
republik yang berbentuk kesatauan (unitary state). Inggris, Belanda dan Jepang sebagai negara
monarki yang berbentuk kesatuan (unitary) mengadopsi sistem perwakilan dua kamar (bicameral
system) yang terdiri dari majelis tinggi (Upper House) dan majelis rendah (Lower House)
sebagaimana disebutkan di atas. Sedangkan negara republic yang berbentuk federasi mempunyai
sistem perwakilan dua kamar (bicameral system) misalnya adalah Amerika Serikat, Jerman, India
dan Indonesia ketika berlakunya Konstitusi RIS 1949.

Sistem perwakilan dua kamar (bicameral sytem) ini diklasifikasi oleh Arend Lijphart menjadi tiga
macam yakni; bikameralisme kuat (strong bicameralism), sedang-kuat (medium-strength
bicameralism) dan bikameral lemah (weak bicameralism). Struktur parlemen bicameral dikatakan
strong bicameralism apabila Parlemen tersebut memiliki karakteristik simetris dan incongruence.
Kamar Parlemen bikameral dikatakan simetris dan incongruence apabila kamar pertama dan kamar
kedua memiliki kekuatan konstitusional yang setara atau memiliki perbedaan kekuatan hanya
sedikit dan kamar kedua memiliki legitimasi demokrasi yang kuat karena anggotanya dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilu. Selanjutnya struktur Parlemen bikameral dikatakan medium-
strength bicameralism apabila Parlemen tersebut tidak memiliki salah satu ciri simetris dan
incongruence. Sedangkan struktur Parlemen bicameral dikatakan weak bicameralism apabila
Parlemen tersebut memiliki karakteristik asimetris dan congruence atau dengan kata lain
kewenangan konstitusional kamar kedua dan legitimasi politik yang dimilikinya tidak setara
dengan kewenangan konstitusional dan legitimasi politik yang dimiliki oleh kamar pertama.

Salah satu perubahan yangdilakukan terhadap UUD 1945 ialah dibentuknya badan baru yang
bernama Dewan Perwakilan Daerah. Alasan dari keberadaan DPD, ialah untuk mengakomodasikan
semangat check and balance tidak hanya antara pusat dan daerah, tetapi juga di dalam Parlemen itu
sendiri. Namun, tidak adanya posisi equal, melainkan inequality (ketidaksetaraan) antara hubungan
kejasamanya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta posisi DPD yang timpang atau
subordinated bukan coordinated dengan DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD banyakmereduksi kewenangan ideal yang seharusnya
dimiliki oleh DPD selaku kamar kedua dalam sebuah sistem bikameral.

Berkaitan dengan RUU, memang pada dasarnya DPD memiliki kewenangan untuk mengajukan
RUU dan juga ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta oerimbangan keuangan pusat dan daerah, seta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD juga memberikan
pertimbangan kepada DPR attas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Akan
tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah imbas atau kekuatan dari kewenangan tersebut.Memang
dalam bunyi UUD 1945 DPD memiliki kewenangan yang memiliki kaitan dengan aspek legislasi
yang tercantum dalam Pasal 22D, namun kewenangan tersebut memiliki power yang sangatlah
lemah. DPD hanya bergantung pada kekuatan legislasi DPR, dengan kata lain DPD seolah hanya
sebagai aksesoris demokrasi dan mekanisme check and balance dalam kamar lembaga legislative
Indonesia.
Dari segi pengawasan, memang sebagai lembaga legislatif fungsi pengawasan adalah suatu
keharusan yang dimiliki dan DPD memilikinya. Namun pengawasan itu sendiri bagiakan serigala
tanpa taring dan dampak/impactnya sekali lagi ada di tangan DPR.

Yang menarik berkaitan dengan keanggotaan kedua kamar ini ialah sama-sama memiliki legitimasi
yang kuat dari rakyat dengan orientasi yang berbeda dalam perwakilannya. Dan bahkan dengan
menutup sistem kepartaian dalam pemilihan anggota DPD, justru membuat keanggotaan DPD
memiliki legitimasi yang cenderung lebih kuat dari pada DPR. Akan tetapi, hal ini berbanding
terbalik jika dikaitkan dengan kewenangan yang sangat terbatas yang dimiliki oleh DPD.
Menyinggung daripada perbedaan keanggotaan kedua kamar tersebut, kontruksi bentuk kamarnya
lebih akan menembus kecenderungan pada bentuk bikameral yang unsurnya relatif atau agak
berbeda (likely bicameralism). Pandangan ini tidak lepas bahwa keduanya merupakan unsur yang
dipilih melalui pemilihan umum namun ada perbedaan
representasi saja, tetapi koordinat keduanya memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.
Secara rasional dengan adanya pandangan yang inequal antara DPR sebagai kamar pertama dan
DPD selaku kamar kedua dalam Legislatif Indonesia, jelas bahwa bentuk bikameral Indonesia
adalah weak bicameralism bahkan mengarah kepada very weak becameralism. Pandangan ini tidak
lepas dari kedudukan DPD dalam struktur dan fungsi legislasi dalam UUD 1945 yang sangat
membatasi kewenangan DPD. DPD hanya berwenang mengusulkan dan membahas RUU tanpa
memiliki voting right (hak menolak) dan juga tidak memiliki approval autority (kewenangan
menyetejui). Sedangkan, mengenai unsurnya, bentuk kamar dengan kehadiran DPD ini ialah
dengan unsur yang relatif atau agak berbeda (likely bicameralism).

Negara yang menganut sistem bikameral terdapat dua badan yang bertemu dalam parlemennya,
yang terdiri dari majelis tinggi dan majelis rendah. Kriteria yang biasa digunakan untuk
menentukan keanggotaan majelis tinggi adalah perwakilan atas kewilayahan atau teritorial, kelas
atau kelompok sosial, kelompok fungsional, entitas etnis, dan lain-lain sebagaimana dikehendaki
oleh rakyat yang dituangkan dalam konstitusi. Sedangkan anggota majelis rendah dipilih dan/atau
mewakili rakyat berdasarkan jumlah atau proporsi politik penduduk.

Di dalam keanggotaan MPR terlihat bahwa DPR mempunyai kewenangan yang lebih luas
dibandingkan dengan kewenangan DPD. Sebagai wakil daerah, DPD tidak mempunyai
kewenangan yang cukup signifikan. DPD tidak lebih hanya sebagai pelengkap dan formalitas saja.
Untuk mensejajarkan DPR dan DPD dalam MPR maka perlu membangun sistem bikameral yang
efektif, artinya terjadi check and balancesantara DPR dan DPD dalam melaksanakan tugas dan
wewenang masing-masing. Dalam sistem parlemen bikameral, kata kuncinya adalah saling kontrol
diantara majelis tinggi dan majelis rendah untuk menimbulkan keseimbangan politik di dalam
parlemen itu sendiri.

Karena check and balances itu tidak hanya terjadi antara legislatif dan eksekutif, tetapi di dalam
tubuh legislatif itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan penguatan peran dan fungsi DPD, agar
tercipta sistem check and balances dalam kamar di MPR.

Karena itu, kelembagaan DPD ini harus diperkuat kedudukan dan fungsinya. Hal ini tidak lepas
dari bentuk kamar di Indonesia yang sangat timpang antara DPR dan DPD. Dengan kata lain jika
konsisten dengan mengalamatkan DPD sebagai lembaga legislatif, maka amandemen ke 5 UUD
1945 bukan hanya wacana saja, namun jika memang akan seperti ini, DPR akan condong kepada
lembaga yang terlalu kuat, dan lembaga yang kuat cenderung korup sebagai mana pandangan Lord
Action “power tend to corrupt.”

Anda mungkin juga menyukai