Anda di halaman 1dari 9

Nama : Munira Rizky

NIM : 11201120000060
Kelas : Ilmu Politik/6B

Peran China dalam Rekonsiliasi Saudi-Iran


Pendahuluan
A. Latar Belakang
Konflik di Timur Tengah dalam beberapa dasawarsa terakhir hampir selalu diwarnai oleh
kontestasi kekuatan antara Arab Saudi dan Iran yang tak kunjung usai hingga kini. Sejak Revolusi
Islam 1979, keduanya kerap saling berhadapan secara politik dan menggaungkan narasi yang
berlawanan. Pada konflik Timur Tengah kontemporer—meletus pasca-Musim Semi Arab sejak 2011
—perang proksi antara keduanya terkulminasi dalam sejumlah
perang dan kontak senjata. Tak sampai di situ, perang proksi ini mengakibatkan Timur
Tengah terbelah menjadi dua, di mana negara-negara Teluk mendukung Arab Saudi
pimpinan Mohammed bin Salman, sementara Iran di bawah Hassan Rouhani dan Ayatollah Ali
Khamenei menggalang dukungan dengan usaha yang lebih samar—melibatkan diri
dalam politik domestik beberapa negara, menjadikannya sebagai sekutu, dan mendukung sebagian
kekuatan politik domestik di negara tersebut.

Perang proksi kontemporer Arab Saudi-Iran tentu membuat kondisi geopolitik Timur Tengah
menjadi runyam dan semakin menuju ketidakpastian. Seiring dengan terlibatnya dua negara tersebut
dalam konflik regional dalam dua dasawarsa terakhir, harapan terwujudnya perdamaian dan keamanan
regional di Timur Tengah semakin didambakan banyak pihak, termasuk China.

China mendukung segala upaya untuk mengurangi ketegangan yang terjalin antara dua
negara pengekspor minyak tersebut. China berinisiatif menjadi penengah untuk rekonsiliasi Saudi dan
Iran, dengan alasan utamanya, selain posisi Tiongkok yang paling netral di tengah kawasan, adalah
karena negara Tirai Bambu ini juga mempunyai tujuan ekonomi ke depannya bagi kedua negara ini. 

Tiongkok selama ini telah berusaha lebih aktif lagi dalam peran resolusi konflik bagi
beberapa negara di dunia. Sebelum ini, negeri Tirai Bambu tersebut sempat mencoba menjadi
penengah dalam konflik Rusia-Ukraina, meski akhirnya harus gagal karena persepsi kedekatannya
dengan Rusia.
Saudi dan Iran pada tanggal 10 Maret 2023 kemarin melakukan rekonsiliasi untuk
perbaikan hubungan bilateral yang terjalin, setelah tujuh tahun secara formal memutuskan hubungan
diplomatik mereka.

Pembahasan

A. Penyebab Konflik Saudi-Iran

Dalam menjelaskan mengenai penyebab dari persaingan kedua negara ini yang berlangsung
dalam bentuk perang proksi. Terdapat beberapa keadaan yang mendorong meletusnya konflik dari
kedua kubu yang erat dari pengaruh sekretarian, mengingat kondisi turbulensi kontemporer di Timur
Tengah yang kental dengan pertentangan antaretnis. Apalagi, berbagai rivalitas antarnegara di kawasan
ini yang tak pernah lepas dari isu sektarian.

Pandangan pertama, sebagaimana dirangkum oleh Meir Litvak dalam Iran and
Saudi Arabia: Religious and Strategic Rivalry (2017); merujuk pada faktor politik
sektarian. Baik Iran dan Arab Saudi memiliki keinginan untuk menjadi negara pemimpin regional.
Sejak Revolusi Islam Meletus pada 1979, Iran di bawah Ayatollah Ruhollah Khomeini menyerukan
penduduk negara-negara Timur Tengah untuk melakukan reformasi. atau bahkan revolusi terhadap
pemerintahan monarki atau republik sekuler dan menggantinya dengan pemerintahan berasas religius.

Tindakan ini lantas dipandang Arab Saudi, salah satu negara kiblat umat muslim dunia, sebagai
provokasi guna menyebarluaskan pengaruh Revolusi Islam. Aliran Sunni-Wahabi yang begitu dominan
di Arab Saudi tak rela apabila Iran yang telah menjadi negara teokrasi Syiah menjadi negara pemimpin
umat muslim, baik di Timur Tengah maupun di dunia. Apalagi, Wahabi turut berperan penting dalam
mempertahankan Kerajaan Arab Saudi di bawah dinasti Al-Saud yang berdiri sejak 1932.

Problematika etnis yang mengakar sejak berabad-abad lamanya juga menjadi elemen konflik
sektarian antara kedua negara. Hubungan Bangsa Arab dan Persia
mengalami fluktuasi dan diwarnai dengan penaklukkan. Meskipun kerap diwarnai
penaklukkan dan sikap sentimental antara kedua bangsa, namun hubungan keduanya tak selalu panas.
Justru, faktor agama-lah yang menjadi elemen terpenting bagi kelangsungan hubungan buruk kedua
negara.

Hal ini dibuktikan dengan hubungan kedua negara yang cukup hangat pada masa
pemerintahan Kekaisaran Iran modern (1925-1979), seolah melupakan pertentangan etnis Arab dan
Persia. Keduanya menjalin hubungan diplomatik, termasuk bersama-sama menjadi pendiri Organisasi
Negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC) pada 1961.

Penyebab kedua,berfokus pada elemen-elemen strategis dan geopolitik, dipandang banyak ahli
sebagai penyebab yang lebih ‘kontemporer’. Berbeda dengan penyebab sektarian, faktor strategis dalam
memicu konflik kedua negara lebih dinamis dan melibatkan banyak aktor dan bersifat strategis.

Setidaknya terdapat tiga isu penting yang melandasi rivalitas Arab Saudi dan Iran dalam
mendominasi Timur Tengah secara geopolitik; pertama, adalah pandangan superioritas regional dari
masing-masing negara. Iran menganggap dirinya sebagai hegemon alamiah di Timur Tengah, dilandasi
oleh populasi yang besar, terbesar di Timur Tengah, wilayah yang luas, serta kemampuan untuk
memproyeksikan kekuatan militer.

Di samping itu, Iran amat membenci kedekatan hubungan Arab Saudi dengan Barat,di mana
hubungan ini dipandang sebagai pendisrupsi Iran dalam menjadi hegemon di Timur Tengah. Tindakan
Arab Saudi yang mengizinkan AS mendirikan pangkalan-pangkalan militernya pasca-Perang Teluk
(1991) dan Invasi ke Irak (2003) menjadi ancaman strategis bagi Iran. Kondisi ini lantas menjadikan
Negeri Para Mullah menyatakan Arab Saudi sebagai salah satu negara pengancam Saudi, pada 2010;
padahal lima tahun sebelumnya, dikabarkan Iran dan kedua negara di atas menyepakati nota
kesepahaman untuk pengelolaan sumber daya migas bersama. terbesar bagi eksistensi negara tersebut.

Isu berikutnya, adalah rivalitas sebagai negara penghasil minyak dan gas di Timur Tengah. Baik
Arab Saudi maupun Iran bergantung pada minyak dan gas sebagai
tulang punggung perekonomian. Rivalitas ini lantas bermuara pada usaha disrupsi harga minyak dalam
OPEC hingga sengketa sumber-sumber minyak di kawasan Teluk Persia. Iran dikabarkan mengklaim
keberadaan sumber minyak di Kuwait dan
Bahrain, notabene merupakan sekutu Arab Saudi,pada 2010; padahal lima tahun
sebelumnya, dikabarkan Iran dan kedua negara di atas menyepakati nota kesepahaman untuk
pengelolaan sumber daya migas bersama.

Sementara itu, berkaitan dengan isu kedua, problematika Selat Hormuz menjadi isu geopolitik
pelik yang menjadi pemicu rivalitas kontemporer Iran-Arab Saudi. Selat Hormuz merupakan salah satu
elemen geografis penting di Timur Tengah—menjadi jalur strategis distribusi minyak bumi ke seluruh
dunia, di mana 20% distribusi minyak dan gas alam dunia melewati selat ini. Dinamika di selat ini
menjadi fitur penting dalam menyebabkan konflik geopolitik antarnegara Timur Tengah—terjadi sejak
Perang Iran-Irak pada 1980-an, di mana AS menempatkan kapal-kapal perangnya untuk menjaga
kepentingan mereka atas distribusi migas sebagai sumber energi utama kala itu.

Sebagai negara penghasil minyak dan gas, baik Iran dan Arab Saudi tentu saja membutuhkan selat
ini, Apalagi, Iran tengah menghadapi sanksi ekonomi, menyulitkan investasi dari negara lain untuk
masuk ke negeri tersebut; menyebabkan Iran hanya mengandalkan migas sebagai sumber pendapatan
nasional. Akibatnya, sengketawilayah, perang klaim, dan adu provokasi tak terhindarkan,

Ketiga isu geopolitik di kawasan ini saling berkaitan dalam memantik perang
proksi di antara Iran dan Arab Saudi. Kondisi ini lantas menjadi pangkal kesimpulan bahwa isu
geopolitik di Timur Tengah tak dapat dipandang sebelah mata. Aspek-aspek geopolitik tetap akan
menjadi elemen penting dalam analisis isu-isu di Timur Tengah. Apalagi, Timur Tengah kerap
dipandang sebagai ‘kawasan perebutan kepentingan’ bagi banyak aktor di dunia, termasuk dari dalam
kawasan itu sendiri.

B. Peran China dalam Rekonsiliasi Saudi-Iran

China berada di balik rekonsiliasi Iran-Arab Saudi, dua negara yang dikenal sebagai musuh
bebuyutan di Timur Tengah. Inilah kejutan terbesar perkembangan diplomasi di Timur Tengah saat ini
yang ternyata dibidani China, bukan AS, Eropa, atau Rusia.

Masyarakat internasional dikejutkan dengan kabar dari Beijing pada 10 Maret. lalu bahwa Iran-
Arab Saudi mencapai kesepakatan rekonsiliasi atau normalisasi hubungan. Padahal, sebelum ini tidak
terdengar dan tidak terlihat di permukaan tentang manuver China yang berusaha mendamaikan Iran-
Arab Saudi itu.

Setelah tercapai kesepakatan rekonsiliasi Iran-Arab Saudi itu, China hanya menyampaikan telah
terjadi perundingan intensif dari 6 Maret hingga 10 Maret 2023 antara delegasi Iran dan delegasi Arab
Saudi di Beijing.

Delegasi Arab Saudi dipimpin Menteri Negara dan Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi
Musaed Bin Mohammed Alaiban. Delegasi Iran dipimpin oleh Sekjen Dewan Tinggi Keamanan
Nasional Iran Ali Shamkhani.
Dalam konteks ini, China menganut diplomasi senyap agar misinya mendamaikan Iran-Arab
Saudi tidak kandas di tengah jalan. China sangat sadar, ini misi sangat sulit karena bukan hanya
perbedaan kepentingan Iran dan Arab Saudi yang sangat tajam, melainkan juga banyak kekuatan
regional ataupun internasional yang tidak menginginkan terjadinya rekonsiliasi di antara kedua negara
itu.

Kekuatan regional itu adalah Israel dan kekuatan internasional adalah AS. Jika kekuatan regional
dan internasional mengetahui bahwa ada misi China mendamaikan Iran-Arab Saudi, mereka niscaya
akan berusaha dengan segala cara untuk menggagalkannya.

China dalam peristiwa besar ini sangat cerdik dan amat piawai dalam diplomasi. Setelah terjadi
rekonsiliasi Iran-Arab Saudi dengan mediasi China, sejumlah pengamat mengaitkannya dengan
kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Arab Saudi pada 8-9 Desember 2022.

Hanya dua bulan setelah kunjungan ke Arab Saudi, Xi menggelar lawatan ke Iran pada 17
Februari 2023. Ia bertemu Presiden Iran Ebrahim Raisi. Dilihat dari permukaan, memang agak
kontroversial seorang presiden negara besar sekelas China melakukan kunjungan hanya berselang dua
bulan ke dua negara yang dikenal musuh berbuyutan, yaitu Arab Saudi dan Iran.

Misi yang tersurat dari kunjungan Xi ke Arab Saudi dan Iran itu memang dalam sektor ekonomi
dan perdagangan. Namun, dengan adanya normalisasi Arab Saudi-Iran belakangan, ada dugaan bahwa
misi kunjungan Xi ke Timur Tengah itu tidak saja menyangkut soal kerja sama ekonomi, tetapi juga
misi memediasi normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi.

Jadi, proses mediasi menuju rekonsiliasi Iran-Arab Saudi tidak dimulai ketika delegasi Iran dan
Arab Saudi tiba di Beijing pada 6-10 Maret lalu. Namun, proses itu sudah dimulai saat kunjungan Xi ke
Arab Saudi pada Desember 2022 dan ke Iran pada Februari 2023. Salah satu faktornya adalah bahwa
proses lobi dilakukan di tingkat pimpinan, yakni Presiden Xi, Raja Salman, dan Presiden Ebrahim
Raisi.

China sangat berkepentingan dan akhirnya sukses melakukan mediasi untuk rekonsiliasi Iran -
Arab Saudi, tentu hal yang dilakukannya ini untuk kepentingan ekonomi dan perdagangan China di
Timur Tengah.

China selama ini sudah sangat dikenal memiliki hubungan kerja sama dengan Arab Saudi dan
Iran. China tidak mungkin mencampakkan salah satu dari kedua negara itu. China sama-sama punya
kepentingan besar atas Iran dan Arab Saudi.

Keberhasilan China menjaga hubungan baik dengan Iran dan Arab Saudi menjadi faktor
tambahan di balik sukses China menjalankan misi mediasi menuju rekonsiliasi Iran-Arab Saudi. Faktor
ini yang tidak dimiliki AS dan Eropa. AS dan Eropa memiliki hubungan sangat baik dengan Arab
Saudi, tetapi hubungan mereka dengan Iran buruk.

Rusia sebenarnya juga memiliki hubungan baik dengan Iran dan Arab Saudi. Namun, Rusia kini
terlibat perang dengan Ukraina. Dari aspek hubungan ekonomi, relasi Rusia dengan Iran dan Arab
Saudi tidak sekuat relasi China dengan Iran dan Arab Saudi.

Maka, China memiliki keunggulan dan kelebihan dalam hubungan dengan Iran dan Arab Saudi
yang tidak dimiliki oleh kekuatan internasional mana pun. Dalam konteks hubungan dengan Iran, China
telah menandatangani kesepakatan kemitraan strategis dengan negara itu selama 25 tahun yang diteken
di Teheran pada 27 Maret 2021.

Secara geografis pun. China butuh Iran sebagai bagian dalam jalur proyek Sabuk dan Jalan. Iran
bisa menjadi jalur penghubung antara Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah.

Sementara berkaitan dengan Arab Saudi, China kini menjadi importir minyak terbesar dari negara
itu. China saat ini mengimpor minyak lebih dari tiga juta barrel per hari dari Arab Saudi dan negara
Arab Teluk lain.

Arab Saudi juga melihat impor minyak China dari Arab Saudi terus mengalami kenaikan rata-rata
sekitar 9 persen per tahun. Adapun neraca perdagangan China-Arab Saudi pada 2021 mencapai sekitar
67 miliar dollar AS.
Impor senjata Arab Saudi dari China meningkat 386 persen dalam beberapa tahun terakhir. Oleh
karena itu, hubungan China dengan Iran dan Arab Saudi merupakan hubungan yang saling
membutuhkan satu sama lain.

C. Landasan Konseptual

Teori hegemoni regional digunakan sebagai bahan analisis utama dalam tulisan ini, dengan
asumsi bahwa kedua pihak akan berusaha untuk melakukan maksimalisasi elemen kekuatan, politik,
sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun militer, utuk menjadi hegemoni regional dan
mendominasi wilayah Timur Tengah. Status hegemoni regional juga menjadi basis utama dari
pemenuhan kepentingan kedua negara.

Teori ini berakar dari perspektif realisme struktural dalam Studi Hubungan Internasional,
menyatakan bahwa kondisi struktur internasional yang anarki akan mendorong negara-negara untuk
melakukan maksimalisasi kekuatan demi mencegah adanya negara kompetitor.6 Meskipun begitu,
sebesar apapun akumulasi kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara, negara tersebut hanya mampu
menjadi hegemon di kawasan, dan sangat sulit untuk menjadi hegemon global, di mana aspek
geopolitik, seperti kenampakan alam, berpengaruh signifikan dalam membentuk kegagalan tersebut.
Tak hanya itu, teori hegemoni regional pula menjelaskan bagaimana negara bersikap dalam menghadapi
negara lain.

Dalam konteks ini, kedua negara berusaha untuk membentuk dilema keamanan, meningkatkan
kekuatan relatif masing-masing, sebagai kunci untuk mengancam lawannya dengan segala cara.
Akibatnya, penggunaan efek penggentar (deterrence effect) menjadi tak terhindarkan.

Sejalan dengan asumsi dasar Mearsheimer, Huda Raouf dalam Iranian Quest for Regional
Hegemony (2019) berargumen bahwa proses suatu negara menjadi hegemoni regional berkaitan dengan
beberapa hal; proyeksi kekuatan, kondisi geografis, dan akumulasi sumber daya alam.
Apabila suatu negara berhasil menjadi hegemon regional, negara tersebut memiliki kapabulitas untuk
mempengaruhi preferensi negara lain dalam politik, terutama politik luar negeri negara tersebut demi
kepentingannya. Secara material, negara hegemon regional akan mampu memonopoli sumber daya
alam atau bahkan kekuatan militer yang secara laten turut mempengaruhi negara-negara yang lebih
minor dalam suatu kawasan.

Selain itu, teori stabilitas hegemoni juga memiliki andil dalam menjelaskan rivalitas Arab Saudi
dan Iran di Timur Tengah. Teori ini berkembang pada 1970-an, hasil dari pengembangan studi Charles
P. Kindleberger mengenai instabilitas sistem internasional.8 Menurutnya, untuk mengatasi instabilitas
tersebut, diperlukan satu hegemon yang mampu menciptakan kestabilan. Meskipun begitu, pandangan
ini memiliki kontradiksi dengan asumsi Mearsheimer mengenai kemustahilan negara untuk mencapai
hegemon global.

Kesimpulan

Perang proksi antara Arab Saudi dan Iran telah mewarnai gejolak geopolitik di Timur Tengah
dalam beberapa waktu terakhir. Dengan asumsi bahwa keduanya berkepentingan untuk menjadi
hegemon regional, mereka berusaha menyusun strategi guna mencegah lawan demi memenangi
rivalitas ini.

Keduanya memanfaatkan narasi negara Islam untuk menjadi pemimpin di Timur Tengah, Iran
sebagai negara teokrasi Syiah, sementara Arab Saudi beraliran Sunni. Faktor ini dibuktikan dengan
kekuatan proksi kedua negara yang mempertentangkan kedua aliran Islam tersebut sebagai ‘asas
pergerakannya.’

Kemudian, usaha kedua negara untuk mendominasi sektor energi di Timur Tengah, sengketa di
Selat Hormuz, dan persepsi keduanya mengenai supremasi kekuatan di Timur Tengah, juga menjadi
pendorong meletusnya konflik dari kedua negara ini.

Sejarah rivalitas yang Panjang ini, berakhir pada 10 maret 2023 kemarin setelah dilakukannya
rekonsiliasi untuk perbaikan hubungan bilateral mereka setelah tujuh tahun secara formal memutuskan
hubungan diplomatic yang terjalin.

Aksi besar ini ternyata dipengaruhi oleh peran China sebagai penengah yang dapat merangkul dua negara
besar Timur Tengah yang punya rivalitas tinggi di kawasan tersebut. China berinisiatif menjadi penengah untuk
rekonsiliasi Saudi dan Iran karena, selain posisinya yang paling netral di kawasan tersebut, adalah karena negara
China memiliki tujuan ekonomi ke depannya untuk kedua negara ini.

Dengan ini, China menilai dapat mendapatkan negosiasi terbaik bidang perdagangan, terutama energi, di
kawasan ini. Selain itu, Tiongkok melihat ada peluang besar ketika AS dan Iran masih dalam hubungan
diplomatik yang memanas. 

Anda mungkin juga menyukai