Anda di halaman 1dari 13

International Relations theory and the Middle East

Analysing the IR of the Middle East: five approaches

Timur Tengah merupakan wilayah yang terbentang dari Maroko di  barat, Iran di
timur, dan Turki hingga Yaman di  utara dan selatan. Wilayahnya terbagi menjadi beberapa
negara yaitu Maroko, Tunisia, Aljazair, Libya, Mesir, Arab Saudi, Oman, Qatar, Uni Emirat
Arab (UEA), Kuwait, Suriah, Lebanon, Irak, Iran, Yaman, Bahrain, Palestina dan Turki . .
Kondisi geografis Timur Tengah yang didominasi oleh  gurun pasir yang luas membuat
pertanian tidak mungkin dilakukan. Namun, beberapa wilayah juga  dapat dimanfaatkan
sebagai ladang pertanian, seperti Lembah Nil, Mesopotamia (Efrat dan Tigris), serta wilayah
sepanjang Laut Merah dan Mediterania. Masyarakat yang tinggal di daerah ini sangat
beragam: Arab, Turki, Kurdi, Persia, Berber, dll. Agama yang paling banyak dianut adalah
Islam, dan sebagian kecil lainnya menganut Kristen Koptik, Yudaisme, Asiria, dan Yazidi.
Hal ini  menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan yang heterogen baik dari segi jumlah
penduduk maupun wilayah.

Namun, situasi tersebut justru berdampak negatif terhadap perdamaian di kawasan ini.
Kawasan Timur Tengah seringkali diidentikkan dengan zona konflik yang banyak terjadi
peperangan  seperti Perang Persia-Romawi, Perang Salib, Perang Palestina-Israel, dll. Salah
satu faktor yang melatarbelakangi fenomena tersebut adalah masih kuatnya sikap etnis dan
etnosentrisme  di kalangan masyarakat Timur Tengah sehingga menimbulkan diskriminasi
dan intoleransi terhadap etnis lain. Bahkan, keadaan ini  diperparah dengan permasalahan
fanatisme yang kerap dijadikan landasan logis dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Tak
lupa, kekuasaan diktator yang dijalankan pemerintah seringkali menghambat kemajuan dan
kebebasan berpendapat masyarakat. Inilah sebabnya mengapa upaya perdamaian di kawasan
ini sangat sulit dan memakan waktu.

Meski demikian, bukan berarti perdamaian di Timur Tengah tidak bisa tercapai.
Dibutuhkan upaya bersama untuk mengakomodasi perspektif yang berbeda. Toleransi dicapai
dengan bagian dan lokasi yang wajar. Sikap diskriminatif terhadap kelompok etnis tertentu
harus dihindari. Mengembangkan kasih sayang dan keharmonisan antar kelompok sosial.
Keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang ras, suku, kebangsaan, dan
agama. Oleh karena itu, dengan menerapkan cara-cara tersebut, kita dapat menjamin
keamanan dan perdamaian di Timur Tengah.
Timur Tengah merupakan kawasan yang dibentuk oleh jaringan hubungan yang
kompleks antara negara, aktor non-negara, dan kekuatan internasional. Lanskap geopolitik di
Timur Tengah dicirikan oleh jaringan pengaturan, aliansi, dan konflik yang selalu berubah.
Hubungan antara berbagai negara, organisasi keagamaan, paramiliter dan teroris serta
kekuatan asing dapat membuat pengamat yang berpengalaman sekalipun merasa
kebingungan.

Sejarah wilayah ini pada abad ke-20 sebagian besar ditentukan oleh peristiwa-
peristiwa seperti jatuhnya Kekaisaran Ottoman, intervensi kekuatan kolonial, berdirinya
Negara Israel, dan revolusi Iran pada tahun 1979. Tentu saja, Perang Dingin juga merupakan
peristiwa penting yang mempengaruhi keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. Abad ke-21
telah membawa kita pada terobosan-terobosan lain, seperti Perang Teluk Kedua, yang juga
dikenal sebagai Perang Irak, yang membuat kawasan ini tidak stabil dan menciptakan lahan
subur bagi pembangunan di masa depan yang disebut Negara Islam. protes dan revolusi tahun
2011, yang dikenal sebagai "Musim Semi Arab" atau "Musim Dingin Arab".

Pada penulisan ini penulis menggunakan lima pendekatan dari literatur Halliday
(2005) sebagai alat analisis yang berisi:

1. Historical Analysis
2. The most enduring paradigm : realism, systems, and states
3. How “decisions” are ready made : foreign policy analysis
4. The force of ideas : ideologies, perceptions and norms
5. Historical and International sociology 

Dengan menggunakan lima pendekatan tersebut kami akan memaparkan bagaimana


negara-negara di kawasan Timur Tengah berhubungan satu sama lain.

Historical Analysis
Berbicara tentang Historical Analysis atau Analisis Sejarah, teori tersebut jika dilihat
dalam kacamata Hubungan Internasional merupakan salah satu Teori yang diaplikasikan guna
menganalisis perkembangan dalam ruang lingkup sejarah di suatu Kawasan. Sehingga
bagaimana hal itu dapat mempengaruhi perubahan Kawasan tersebut dalam Hubungan
Internasional. Historical Analysis juga memiliki keuntungan dalam memahami jangka
panjang suatu keputusan hingga tindakan dari suatu Kawasan. Hal ini juga melihat
bagaimana interaksi aktor-aktor dalam hubungan internasional dalam perkembangan global
dari suatu Kawasan, termasuk Timur Tengah.

Historical Analysis di Kawasan Timur Tengah tentu mencakup tentang


perkembangan, kejadian, interaksi dari waktu ke waktu, pemerintahan, hingga ekonomi di
Kawasan tersebut. Dalam hal ini bagaimana Kawasan Timur Tengah yang memiliki letak
geografis yang taktis, dan juga termasuk kedalam salah satu akar peradaban kuno yang
memiliki banyak kejadian penting dalam Sejarah dunia. Salah satu contoh studi kasus yang
diambil dalam pembahasan ini adalah bagaimana Ancaman Perang Dunia Pertama yang
dimulai pada abad ke-20, ketika Kawasan tersebut dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman yang
selanjutnya turut serta kedalam World War I dan tergabung kedalam blok sentral, sehingga
ketika selesainya World War I tersebut wilayah yang dikuasai oleh Ottoman di Timur Tengah
terpecah dan terbagi menjadi berbagai wilayah yang dikuasai oleh kekuatan barat hingga
adanya perjanjian Sykes-Picot. Yang kemudian setelah World War II berakhir, negara-negara
yang berada ditimur Tengah pada akhirnya banyak mendapatkan kemerdekaan. Ditahun
1948, ketika Israel berhasil dalam memerdekakan negaranya, hal tersebut malah kembali
memicu adanya perang antara Arab-Israel dengan negara-negara diperbatasannya yang pada
saat itu menolak eksistensi dari Israel, yang kemudian konflik ini mempengaruhi politik
hingga dinamika regional di Kawasan Timur Tengah dan tentu saja hal ini berlangsung dalam
jangka waktu yang panjang.

Adanya historical yang terjadi dikawasan tersebut, tentu hal ini dikemudian hari juga
akan mempengaruhi perkembangan Kawasan Timur Tengah dalam hubungan atau interaksi
internasionalnya. Dimana konflik ini tentu dilirik oleh negara-negara lain, termasuk
pengajuan dalam penyelesaian konflik tersebut hingga saat ini. Yang dimana Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang memberikan beberapa resolusi atas konflik tersebut yang diperuntukan
dalam mencari penyelesaian secara damai yang nantinya mendapatkan pengakuan dari hak-
hak negara yang mengalami konflik.

Karena telah berakhirnya Perang Dunia, banyak organisasi yang kemudian muncul
dan berkembang pesat hingga era modern, termasuk Timur Tengah yang juga dengan berani
mengusulkan League of Arab State atau Liga Arab. Liga Arab sendiri muncul karena berbagai
sejarah yang telah dilewati, dimana pada saat itu Kerajaan Inggris Raya memiliki pemikiran
bahwa persatuan negara-negara Arab adalah salah satu hal yang penting, sehingga Kerajaan
Inggris tersebut kemudian dengan percaya diri menjamin jalinnya kerjasama antara negara-
negara Arab, yang tentu dengan tujuan utama mereka adalah agar bisa memimpin
pemberontakan dan peperangan yang terjadi pada masa perang dunia pertama. Ketika
peperangan tersebut berhasil dimenangi, negara Arab pada masa Sharif Hussein mengalami
pengkhiantan oleh Kerajaan Inggris yang kemudian membagai wilayah Arab dengan
memberikan kebijakan “Devide and Rule”.

Kemudian ketika perang dunia kedua, Kerajaan inggris lagi-lagi secara tidak tahu
malu memberikan janji kepada Arab untuk membentuk kembali Liga Arab. Namun hal ini
tidak diindahkan oleh kebanyakan intelektual karena mengetahui inisitafi dibalik janji yang
diberikan oleh Kerajaan Inggris hanyalah untuk menggunakan organisasi tersebut untuk
mencegah persatuan di Kawasan Timur Tengah. Hal ini yang kemudian memicu pemerintah
Mesir mengajukan proposal pada tahun untuk melakukan pembentukan sebuah organisasi
yang kemudian perjanjian asli dari Liga Arab ini adalah untuk membentuk suatu organisasi
regional yang terdiri dari negara berdaulat, tujuan adanya organisasi ini juga untuk
memperjuangkan kemerdekaan secara penuh untuk semua negara-negara Arab. Sehingga
kembali kepada Historical Analysis, adanya teori ini tentu memungkinkan untuk mempelajari
dan memperdalam timur Tengah secara lebbih kompleks.

The most enduring paradigm : realism, systems, and states


Realita interaksi negara-negara dalam struktur internasional yang dipandang oleh
perspektif realisme, menunjukan adanya indikasi akan keadaan konfliktual dalam
keberlangsungan interaksi atau hubungan dari negara-negara dunia, termasuk negara-negara
di Timur Tengah. Dalam hal ini, interaksi yang dilakukan oleh negara-negara dipandang
hanya berdasar pada kepentingan dari negara-negara itu sendiri. Oleh karenanya, egoisme
yang dimiliki oleh masing-masing negara dapat menyebabkan munculnya konflik apabila
terdapat perbedaan atau perselisihan kepentingan. Dalam pandangan realisme negara
dianggap sebagai aktor yang rasional dan akan selalu menetapkan keputusan yang dapat
menguntungkan kepentingannya. Sehingga pertentangan yang muncul akibat dari perbedaan
kepentingan menyebabkan keadaan konfliktual dianggap sebagai hal yang normatif dalam
dinamika struktur internasional. Dalam pengkajian yang lebih lanjut, perspektif realisme
menjelaskan bahwa keadaan konfliktual dalam hubungan antar negara, juga didorong dengan
realita keadaan anarki dalam struktur internasional. Karena dalam tatanan internasional yang
bersifat anarki, tidak adanya suatu otoritas kekuatan diatas negara yang dapat mengatur dan
mengontrol keberlangsungan hubungan internasional, sehingga potensi untuk terjadinya
konflik tidak dapat dihindarkan.

Realisme bukanlah konsep baru di Timur Tengah, yang merupakan kawasan yang
sering dilanda dinamika persaingan kekuatan global dan regional. Dimulai dengan
pembubaran Kekaisaran Ottoman dan pembangunan apa yang sekarang disebut “Timur
Tengah,” realisme ditunjukkan oleh berbagai kekuatan Eropa (terutama Inggris dan Perancis)
yang berusaha membentuk wilayah pengaruhnya masing-masing, yang pada akhirnya
menghasilkan dalam penjajahan. Periode kolonialisasi ini membentuk institusi dan struktur
pemerintahan untuk melanjutkan proyeksi kekuatan dan pengaruh Eropa setelah berakhirnya
dominasi formal. Kawasan ini kemudian menyaksikan persaingan kekuatan realis yang sengit
selama Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang diikuti oleh periode
unipolaritas AS, di mana Amerika Serikat berusaha untuk lebih mengubah perimbangan
kekuatan regional demi kepentingannya, khususnya setelah 9/11 dan invasi ke Irak tahun
2003. Oleh karena itu, periode pasca Pemberontakan Arab harus dilihat dalam kontinum
kontekstual realisme yang mencolok.

Dalam hubungan internasional, Teori realisme berfokus pada persaingan kekuasaan


dan anarki sistemik. Di Timur Tengah, negara-negara sering bersaing untuk kepentingan
nasional dan regional. Contohnya, Iran dan Arab Saudi bersaing untuk pengaruh regional,
dengan pertentangan dalam hal agama, kebijakan luar negeri, dan sumber daya energi. Israel
juga memainkan peran penting dalam dinamika Timur Tengah, dengan kebijakan keamanan
yang didasarkan pada realpolitik. Mereka menghadapi ancaman dari negara-negara di
sekitarnya dan mempertahankan posisi militer dan politik yang kuat. Konflik berkelanjutan di
Suriah dan Yaman juga dapat dilihat melalui lensa realisme. Negara-negara besar seperti
Amerika Serikat dan Rusia ikut campur dalam konflik ini, seringkali untuk melindungi
kepentingan mereka sendiri dan mempertahankan pengaruh di wilayah tersebut. Dalam teori
realisme, dominasi kepentingan nasional dan persaingan kekuasaan mendominasi tindakan
negara-negara di Timur Tengah, menjelaskan sebagian besar konflik dan dinamika di
kawasan tersebut.

Peran dan dinamika sistem negara-negara di Timur Tengah dalam konteks teori
hubungan internasional realisme.
1. Persaingan Kekuasaan: Teori realisme menekankan persaingan antara negara-
negara dalam mencari kepentingan nasional dan memperoleh kekuasaan. Di Timur
Tengah, persaingan untuk pengaruh regional terlihat dalam rivalitas antara Iran dan
Arab Saudi. Keduanya bersaing untuk dominasi politik dan agama, dengan
mencoba memperluas pengaruh mereka melalui dukungan terhadap kelompok-
kelompok sekutu di wilayah tersebut.

2. Anarki Sistemik: Realisme mengakui bahwa sistem internasional adalah anarkis,


artinya tidak ada otoritas pusat yang mengatur interaksi antara negara-negara. Di
Timur Tengah, hal ini terlihat dalam ketidakstabilan dan konflik yang
berkelanjutan. Negara-negara mengandalkan kekuatan militer dan aliansi untuk
menjaga keamanan mereka sendiri dalam lingkungan yang penuh dengan ancaman.

3. Konflik dan Keamanan: Konflik yang berlangsung di Timur Tengah, seperti di


Suriah dan Yaman, dapat dianalisis melalui perspektif realisme. Negara-negara
besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan bahkan Turki terlibat dalam dukungan
terhadap pihak-pihak yang mereka anggap mendukung kepentingan nasional
mereka. Mereka mungkin tidak hanya mempertimbangkan situasi di negara
tersebut, tetapi juga bagaimana konflik tersebut dapat mempengaruhi
keseimbangan kekuatan regional.

4. Kebijakan Keamanan Nasional: Negara-negara di Timur Tengah seringkali


mengadopsi kebijakan keamanan yang bersifat realpolitik, yang berarti mereka
membuat keputusan berdasarkan kepentingan nasional dan mengutamakan
kelangsungan hidup mereka di tengah ancaman regional. Contohnya, Israel sering
kali menjalankan kebijakan keamanan yang tegas untuk memastikan keberlanjutan
negara mereka di tengah lingkungan yang penuh tantangan.

Dalam konteks teori realisme, Timur Tengah menjadi contoh nyata dari bagaimana
negara-negara bersaing untuk kepentingan nasional, menggunakan kekuasaan dan diplomasi
untuk mencapai tujuan mereka, dan menjaga keamanan di tengah ketidakpastian anarki
sistem internasional.

How “decisions” are ready made : foreign policy analysis


Fokus dari pendekatan ini adalah menganalisis bagaimana kebijakan luar negeri
tersebut terbentuk, terutama terhadap kesatuan atau otonomi yang kaitannya dengan negara
pembuat kebijakan. Adapun empat komponen kebijakan luar negeri sebagai titik awal analitik
yaitu lingkungan dalam negeri, orientasi kebijakan luar negeri, dan orientasi kebijakan luar
negeri. proses pengambilan keputusan, perilaku kebijakan luar negeri. Pada kawasan Timur
Tengah kebijakan luar negeri sangatlah beragam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor
seperti sejarah, politik internal, kepentingan nasional, hubungan regional, dan dinamika
global. Terdapat beberapa kebijakan luar negeri negara-negara di Timur Tengah yang akan
dianalisis yaitu Arab Saudi, Turki, Iran, dan Mesir.
Pada Arab Saudi kebijakan luar negeri memuat dukungan terhadap pengawasan
stabilitas di wilayah Timur Tengah dengan menjaga hubungan baik dengan negara-negara
tetangga dan menjauhi intervensi dalam urusan domestik negara-negara lain. Arab Saudi juga
turut mempromosikan hubungan baik dengan negara-negara Arab dan Islam demi mencapai
kepentingan bersama. Hal ini dapat dilihat dari hubungan Arab Saudi dengan Indonesia yang
didirikan atas dasar kesamaan agama yaitu agama Islam. Selain itu, Arab Saudi juga
melakukan hubungan dengan negara non-arab dan non-islam yang didasarkan atas
kepentingan ekonomi serta keamanan negara. Selanjutnya, pada Turki salah satu kebijakan
luar negeri yang diambil adalah kebijakan terhadap pengungsi Suriah. Kebijakan ini didasari
oleh konflik Suriah yang terus memanas membuat banyak penduduk mencari perlindungan
ke negara-negara tetangga seperti Turki, dan beberapa negara Eropa. Mengutip data dari
UNHCR, terdapat sekitar 74.502 pengungsi Suriah yang mencari suaka dan perlindungan di
negara-negara terdekat. Dengan banyaknya pengungsi dari Suriah membuat kekhawatiran
bagi negara-negara penerima pengungsi yang semakin banyak. Hal ini kemudian membuat
Uni Eropa dan Turki melakukan kerja sama untuk menangani permasalahan pengungsi
Suriah melalui EU-Turkey Joint Action Plan pada 29 November 2015. Dalam kerja sama ini
Turki akan menerima lebih banyak pengungsi irregular yang berada di perbatasan Eropa
yaitu Yunani dan Italia. Sebagai imbalan dari penerimaan lebih banyak pengungsi Suriah,
Turki mendapatkan bantuan finansial, liberalisasi visa, dan keterbukaan kembali terkait
aksesi Turki untuk menjadi negara anggota Uni Eropa. Kemudian, pada Iran kebijakan luar
negeri negara ini terkait program nuklir banyak mengalami perubahan pada masa
pemerintahan Hassan Rouhani. Pada masa kepemimpinannya ini Iran mulai lebih terbuka
terkait program nuklirnya terhadap dunia internasional. Hal ini dapat terlihat dalam
pertemuan dengan negara anggota P5+1 yaitu China, Jerman, Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, dan Russia. Pertemuan ini dilaksanakan di kala Sidang Umum PBB di New York
yang membahas terkait penanganan persoalan program nuklir Iran. Selain itu, Rouhani
memikul proposal terkait nuklir Iran di pertemuannya pada 15-16 Oktober 2013 di Jenewa.
Perubahan haluan kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh Rouhani ini mempunyai alasan
tersendiri yaitu untuk menekan sanksi dan embargo yang diperoleh oleh Iran dari dunia
internasional. Terakhir, pada Mesir kebijakan luar negeri mengalami perubahan dari yang
awalnya otoritarian menjadi demokratis. Hal ini dikarenakan adanya revolusi yang membuat
lahirnya presiden pertama yang terpilih secara demokratis yaitu Muhammad Mursi. Pada
masa kepemimpinan Mursi ini kebijakan luar negeri mengalami perubahan yang sebelumnya
lebih berfokus terhadap Amerika Serikat menjadi lebih berfokus terhadap isu dan persoalan
yang ada di kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki citra negara
mereka yang sebelumnya di cap pengkhianat oleh negara-negara Arab. Mursi berkunjung ke
berbagai negara-negara Arab sebagai tahap awal Mesir untuk diakui sebagai negara Arab
lagi. Tetapi, adanya campur tangan dari pihak asing yaitu Amerika Serikat terhadap politik
luar negeri dan dalam negeri negara Mesir membuat Musri pada saat itu menandatangani
perjanjian damai dengan Israel walaupun banyak dari warga negara dan elit politik yang
menolak perjanjian tersebut.

The force of ideas : ideologies, perceptions and norms


Pendekatan konstruktivisme dalam menganalisis Hubungan Internasional melibatkan
pemahaman bahwa realitas sosial dan politik dibangun oleh pembentuk kepentingan,
identitas, dan norma-norma yang saling berinteraksi. Pendekatan ini berfokus pada
bagaimana perbedaan-perbedaan dalam kepentingan, pandangan, dan identitas
mempengaruhi hubungan internasional. Konstruktivis mengklaim bahwa faktor-faktor sosial
dan budaya, seperti norma-norma, keyakinan, dan nilai-nilai, dapat mempengaruhi dinamika
politik global. Pendekatan ini menekankan pentingnya interpretasi dan makna dalam
pembentukan kebijakan dan tindakan politik. Konstruktivis berpendapat bahwa aktor-aktor
dalam Hubungan Internasional tidak hanya bertindak berdasarkan kepentingan material
semata, tetapi juga dipengaruhi oleh norma-norma sosial dan budaya yang berbeda.
Konstruktivisme juga menyoroti pentingnya pemahaman tentang identitas dan perubahan
identitas dalam hubungan internasional. Identitas kolektif, seperti negara atau kelompok
etnis, dapat mempengaruhi bagaimana aktor-aktor berinteraksi dan membentuk persepsi
mereka terhadap tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh pihak lain. Dalam pendekatan
konstruktivisme, interaksi antara aktor-aktor internasional dianggap sebagai proses sosial
yang kompleks, yang dipengaruhi oleh norma-norma dan keyakinan yang saling berinteraksi.
Pendekatan ini memberikan ruang bagi analisis dinamika kekuasaan, identitas, dan konflik
dalam dunia internasional.
Dalam analisis Hubungan Internasional, pendekatan konstruktivisme mendorong
pemahaman yang lebih luas tentang faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi
dinamika politik global, yang dapat membantu merumuskan kebijakan dan strategi yang lebih
tepat dalam memecahkan konflik dan mempromosikan kerjasama. Pendekatan
konstruktivisme adalah salah satu pendekatan teoritis dalam studi Hubungan Internasional
yang menekankan pentingnya ide, norma, dan identitas dalam membentuk hubungan antar
negara. Dalam konteks kawasan Timur Tengah yang kompleks dan seringkali penuh dengan
konflik, pendekatan konstruktivisme dapat memberikan wawasan yang berguna dalam
menganalisis dinamika hubungan internasional di kawasan tersebut. Salah satu konsep kunci
dalam pendekatan konstruktivisme adalah “konstruksi sosial”. Menurut pendekatan ini,
realitas politik dan hubungan internasional tidaklah diberikan oleh faktor-faktor objektif
semata, tetapi juga oleh bagaimana aktor-aktor dalam sistem internasional memahami dan
menginterpretasikan dunia di sekitar mereka. Dalam konteks Timur Tengah, konstruksi sosial
dapat melibatkan pembentukan identitas nasional, agama, etnisitas, serta norma dan nilai
yang mengatur interaksi di antara negara-negara di kawasan tersebut.
Dalam menganalisis hubungan internasional di Timur Tengah, pendekatan
konstruktivisme menyuguhkan dua sudut pandang yang penting. Pertama, pendekatan ini
menekankan pentingnya norma dan identitas dalam membentuk kebijakan dan interaksi
negara-negara di kawasan tersebut. Sebagai contoh, identitas agama dalam Islam yang
mendominasi di Timur Tengah dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri dan sikap negara-
negara di kawasan ini terhadap isu-isu seperti konflik Israel-Palestina. Identitas nasional dan
sejarah yang beragam juga membuat terciptanya pemahaman yang berbeda-beda dalam
menginterpretasikan masalah-masalah politik dan keamanan di kawasan ini. Kedua,
pendekatan konstruktivisme juga menekankan pentingnya proses pembentukan kepentingan
dan persepsi kolektif di antara aktor-aktor negara. Dalam hal ini, pendekatan konstruktivisme
menyoroti pentingnya diplomasi, dialog, dan kebudayaan dalam membentuk norma dan
kepentingan yang saling terkait di kawasan Timur Tengah. Misalnya, dialog antar negara-
negara Arab dan Israel, meskipun seringkali penuh dengan konflik, dapat membentuk
persepsi dan kepentingan bersama dalam mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan
tersebut. Pendekatan konstruktivisme juga menyoroti pentingnya perubahan sosial dan
ideologis dalam membentuk hubungan internasional. Sebagai contoh, perubahan sosial yang
terjadi di Timur Tengah, seperti perubahan demografis, perubahan iklim, dan gerakan sosial
politik, dapat mempengaruhi cara negara-negara di kawasan ini berinteraksi dengan satu
sama lain. Perubahan ideologis, seperti kemunculan gerakan Islamis radikal atau gerakan
demokratisasi, juga dapat mempengaruhi tatanan politik dan keamanan di Timur Tengah.
Meskipun pendekatan konstruktivisme memiliki banyak nilai tambah dalam analisis
Hubungan Internasional di Timur Tengah, ada juga keterbatasan yang perlu diperhatikan.
Pendekatan ini cenderung kurang memperhatikan faktor-faktor struktural, seperti distribusi
kekuatan dan interes nasional, yang juga mempengaruhi hubungan internasional di kawasan
ini. Selain itu, kompleksitas politik dan sejarah di Timur Tengah dapat membuat analisis
berbasis konstruktivisme menjadi rumit dan sulit untuk diterapkan. Dalam kesimpulannya,
pendekatan konstruktivisme memberikan pandangan yang berguna dalam menganalisis
hubungan internasional di kawasan Timur Tengah dengan menekankan pentingnya identitas,
norma, dan proses konstruksi sosial dalam membentuk dinamika politik dan keamanan di
kawasan ini. Dalam menganalisis Timur Tengah, konstruktivisme menyoroti pentingnya
norma dan identitas dalam membentuk kebijakan dan interaksi negara-negara, serta
pentingnya diplomasi dan dialog untuk membentuk persepsi dan kepentingan bersama.
Meskipun memiliki keterbatasan, pendekatan, konstruktivisme dapat memberikan
pemahaman yang lebih holistik tentang hubungan internasional di Timur Tengah.

Historical and International sociology


Teori sejarah sosiologi digunakan untuk menanggapi kritik terhadap teori-teori
hubungan internasional yang dibuat sebelum dan sesudah perang dunia. Setiap studi
hubungan internasional berpusat pada teori-teori ini, yang menempatkan sistem pemerintahan
dan negara sebagai fokus utama. Setiap kekuatan sosial selalu memiliki struktur sosialnya
sendiri, yang dibentuk oleh proses sosial dan pembentukan negara. Oleh karena itu, sampai
modernisasi di negara yang bersangkutan tidak dipengaruhi oleh faktor domestik tetapi oleh
faktor internasional melalui hubungannya dengan kekuatan sosial internasional, semua
kekuatan akan bekerja di dalam dan di luar negara tersebut. Seringkali, teori ini melihat
analisis kebijakan internasional guna menurunkan dan mengkualifikasikan peran negara.
Namun, mereka melihat negara sebagai pihak yang mempengaruhi masyarakat dan
menciptakan konteks kebijakan. Oleh karena itu, proyek komparatif semacam itu yang
didasarkan pada teori luas tentang kekuasaan dan transformasi mempunyai nilai jika sosiologi
sejarah dapat membantu memahami Timur Tengah dari perspektif teoritis.
Adapun bahaya generalisasi yang berlebihan atau lebih tepatnya, pertanyaan tentang
sejauh mana kita dapat berbicara tentang berbagai negara dan masyarakat secara keseluruhan
adalah pertanyaan yang mungkin muncul. Meskipun masalah serupa muncul di berbagai
wilayah, fokusnya terletak di Timur Tengah menurut beberapa indeks. Pada tingkat tertentu,
tidak memungkinkan untuk membandingkan Israel dengan Irak, Suriah, atau Iran, atau
dengan negara-negara Arab yang besar dan berpenghasilan rendah seperti Mesir atau Sudan
dalam kalimat yang sama dengan Kuwait atau Qatar, atau dengan membandingkan Turki
dengan Yordania. Namun, penelitian yang lebih mendalam menunjukkan bahwa ada banyak
perbedaan dari sudut pandang sejarah, lokasi, kekayaan alam, dan politik, sebagian besar.
Karena hubungannya dengan negara lain, elemen dalam negeri seperti nasionalisme dan
fundamentalisme agama mungkin lebih berkembang dan berubah karena hubungannya
dengan negara lain. Pandangan yang lebih spesifik tentang sebuah negara dapat membantu
kita memahami pengaruh negara tersebut di seluruh dunia. Selain itu, analisis sejarah telah
menjadi lebih efisien berkat perspektif sejarah yang lebih fleksibel dan spesifik. Penelitian
hubungan internasional sendiri telah banyak dipengaruhi oleh sosiologi sejarah, terutama
dalam hal analisis negara. Dalam hal ini, negara dilihat bukan sebagai entitas kesatuan seperti
yang dianggap oleh para realis HI, sebaliknya itu dilihat sebagai lembaga yang memaksa dan
menguasai pada dua tingkatan: dimensi internal negara-masyarakat dan dimensi eksternal
negara. 
Sulitnya perkembangan bagi negara-negara Timur Tengah untuk memahami
bagaimana pemerintahan modern berfungsi membuat konflik dan penyebab peran ideologi
dan agama, aktor, dan sosiologi sejarah adalah beberapa masalah lain yang menarik perhatian
penelitian di Timur Tengah. dan bagaimana masyarakat dipengaruhi oleh pergeseran di dalam
dan luar negeri. Sosiologi sejarah membahas teori-teori seperti konstruktivisme, analisis
kebijakan luar negeri, dan pendekatan sistemik dengan lebih sistematis. Oleh karena itu,
realisme mengklaim bahwa "sistem" tersebut merupakan hasil dari ekspansi kapitalisme
modern daripada sebuah dunia yang penuh dengan anarki antara negara. Teori ini
menyatakan bahwa proses birokrasi nasional dan pribadi menghasilkan kebijakan
internasional. Tentu saja ada kandidat lain yang dapat menjelaskan kebijakan luar negeri
suatu negara, seperti militer internasional dan sistem ekonomi, bagaimana kekuatan
transnasional, sosial, dan ideologis berfungsi, ekonomi, untuk kepentingan orang lain.
Beberapa orang akan melihat negara dari perspektif agama, geografi, atau faktor jangka
panjang. Di Timur Tengah, seperti di tempat lain (seperti budaya politik Inggris), longue
duree bisa bertahan lama. Terutama, "sejarah" dapat digunakan untuk menjelaskan.
Pendekatan sejarah dalam menganalisis Arab Spring akan menyoroti latar belakang
sejarah dan faktor-faktor historis yang membentuk kondisi sosial dan politik di wilayah
tersebut. Sejarah kolonialisme, penjajahan, dan campur tangan asing memiliki dampak jangka
panjang terhadap perkembangan politik dan sosial di negara-negara Arab. Misalnya, struktur
pemerintahan otoriter yang banyak berakar dari era kolonial dan praktik korupsi yang
mengakar kuat dalam pemerintahan dapat dilihat sebagai faktor-faktor yang memicu
kemarahan massa selama Arab Spring. Faktor historis seperti konflik Israel-Palestina dan
ketidaksetaraan ekonomi juga dapat menjadi pemicu protes di negara-negara dengan sejarah
panjang konflik dan ketidakstabilan.
Norma-norma sosial juga memainkan peran penting dalam menggambarkan respons
internasional terhadap Arab Spring. Pandangan tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan
kemerdekaan politik memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana negara-negara dan
organisasi internasional merespons perubahan politik di Timur Tengah. Identitas kolektif
seperti identitas agama juga memiliki pengaruh terhadap dinamika Arab Spring. Misalnya,
perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam beberapa negara dapat mempengaruhi dukungan
internasional dan konflik di wilayah tersebut.
Kesimpulan
Timur Tengah adalah wilayah yang kompleks dan heterogen, terdiri dari berbagai
negara dengan budaya, agama, dan kepentingan yang berbeda. Kawasan ini seringkali dilanda
konflik dan peperangan seperti akibat dari etnis, agama, dan kepentingan nasional yang
beragam. Beberapa pendekatan teori hubungan internasional digunakan untuk menganalisis
dinamika kawasan ini, termasuk realisme, analisis kebijakan luar negeri, konstruktivisme, dan
sosiologi sejarah.
Secara keseluruhan, Timur Tengah adalah wilayah yang dipenuhi dengan tantangan
kompleks dalam mencapai perdamaian dan stabilitas. Analisis berbagai pendekatan teori
dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dinamika politik, sosial, dan hubungan
internasional di kawasan ini. Upaya untuk mencapai perdamaian memerlukan pengakuan atas
identitas, kepentingan, dan norma yang beragam, serta kerjasama antara negara-negara dan
aktor-aktor internasional.

Anda mungkin juga menyukai