Anda di halaman 1dari 7

PENGARUH KONTRADIKSI IDEOLOGI ARAB SAUDI- IRAN TERHADAP

INSTABILITAS DI TIMUR TENGAH

Siti Aisyah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura
sitiaisyahalghani23@gmail.com

Abstract
The Middle East has often been referred to as Islamic countries since the collapse of the Ottoman
empire in 1918, which made the region consist of hundreds of denominations. There are two major
schools, namely Sunni and Syiah, each of which is held by Saudi Arabia and Iran. Relations
between the two countries have never been stable and seem to ebb and flow since several events
such as in 2011, as a culmination in a rebellion in all corners of the Arabs which caused the politics
of Saudi Arabia and Iran to experience shock. This led Saudi Arabia and Iran to war behind the
scenes in several wars in the Middle East, especially Syria, which has been taking place until now.
This paper aims to explain the influence of Saudi Arabia-Iranian ideological contradictions on
instability in the Middle East. The method used is descriptive qualitative research method, where
the data collected is a study of literature, both from books, journals and valid news.
Key Words: Sunni, Syiah, Proxy War
I. PENDAHULUAN
Arab Saudi dan Iran merupakan dua negara adidaya di Timur Tengah, di mana dua negara
ini memiliki perbedaan ideologi yang sangat kuat yaitu Arab Saudi dengan paham Sunninya dan
Iran dengan paham Syiahnya. Hubungan kedua negara ini tidak pernah stabil dan terkesan pasang
surut semenjak terjadinya beberapa peristiwa seperti pada tahun 2011, sebagai puncaknya terjadi
pemberontakan di seluruh penjuru Arab yang mengakibatkan politik negara Arab Saudi maupun
Iran mengalami goncangan. Lebih tepatnya mengantarkan kedua negara ini terhadap pintu gerbang
perang Suriah yang mengawali kompleksnya kontradiksi di antara Arab Saudi dan Iran. Dimana
saat itu konflik Suriah yang pecah menjadi perang semakin melebarkan jarak antara Arab Saudi
dan Iran karena ada intervensi dari dua negara ini (Sedgwick, 2013:201-202).

Jika ditinjau dari aspek sejarah, kontradiksi yang tercipta di antara Arab Saudi dengan Iran
bermula sejak ditemukannya cadangan minyak masif di masing- masing negara yakni Arab Saudi-
Iran. Adanya fakta yang menunjukkan populasi muslim yang banyak di kedua negara ini
menjadikan Iran maupun Arab Saudi berlomba-lomba untuk memegang kendali Timur Tengah.
Iran dengan populasi muslim yang lebih unggul dengan mayoritas penganut aliran syiah, sedangkan
Arab Saudi merupakan negara yang memiliki dua kota suci bagi seluruh umat muslim di Dunia
yaitu Makkah dan Madinah, dengan populasi muslim penganut aliran sunni (Panaite, 2017:17).
Pada tahun 1980, setelah Revolusi Iran terjadi pemimpin Irak Saddam Hussein menyerang
Iran untuk mencaplok cadangan minyak bumi di Iran, namun terhambat karena di Irak terjadi
perang parit (Hardy, 2005). Ketika Iran menunjukkan kemenangan yang semakin dekat, Arab Saudi
membantu Irak dengan menyediakan persenjataan, uang dan bahan logistik. Atas bantuan Arab
Saudi, Irak bisa memerangi Iran hingga tahun 1988.

Revolusi Iran yang di pimpin oleh Ayatullah Khomeini juga terus memberi pengaruh yang
besar terhadap negara-negara di Timur Tengah, tren yang menggerakkan penduduk di seluruh
penjuru Arab meneriakkan anti monarki dan pro-demokrasi terus menjalar seperti api yang
dipasang di atas tali, peristiwa ini dikenal sebagai Arab Spring. Tragedi Arab Spring membuat
Arab Saudi yang memiliki Status Quo tertinggi merasa terancam, berbeda dengan Iran yang
memiliki ideologi anti Status Quo dalam merubah tatanan regional. Meski demikian Arab saudi
maupun Iran sudah menyadari sejak awal mengenai konsekuensi terjadinya Arab Spring di seluruh
penjuru Timur Tengah, dan menjadikan Arab Spring sebagai salah satu alat untuk menjalankan
proxy war antara Arab Saudi dan Iran (Panaite, 2017:25-30).

Rentetan peristiwa di Timur Tengah berdasarkan kondisi politis dan ideologis Arab Spring
mulai terjadi di negara-negara seperti di Tunisia, Mesir, Bahrain, Libya, Lebanon, Maroko, Yaman
dan Suriah. Negara-negara tersebut mengalami kekacauan karena masyarakat berusaha
melengserkan pemimpin yang di anggap otoriter melalui Arab Spring, yang mana sudah
menggulingkan Rezim Zein El-Abidine Bin Ali di Tunisia, Mu’ammar Al-Qadafi Presiden Libya,
dan Presiden Mesir Hosni Mubarak (Afzal, 2017:1-10).

Semenjak perselisihan yang terjadi antara Arab Saudi dan Iran dan intervensi yang kedua
negara ini lakukan terhadap konflik di beberapa negara Timur Tengah hingga Suriah yang
berlangsung sampai saat ini, setiap fenomena yang muncul silih berganti pasca Arab Spring selalu
membawa nama keagamaan di dalamnya. Pasalnya, Islam di Timur Tengah diwarnai dengan jutaan
denominasi yang mengelompokkan diri atas spesifikasi tertentu. Namun ada dua sekte atau aliran
yang besar dan paling berpengaruh dalam dunia Islam di Timur Tengah, yaitu Sunni dan Syiah. Dua
aliran besar ini di topang oleh dua negara adidaya di Timur Tengah Arab Saudi dan Iran. Perbedaan
yang besar di antara dua sekte ini melahirkan perpecahan dan perang dingin yang termanifestasikan
dalam serentetan peristiwa Arab Spring. Arab Saudi yang berhaluan Sunni merupakan aliran Islam
yang sangat konservatif yang menjadi ideologi negara ingin meredam pengaruh Iran yang
berhaluan Syiah di Suriah. Karena bagi Iran, Islam Syiah harus menjadi agama negara dan haluan
politik di pegang oleh para ulama atau pimpinan tertinggi agama yang disebut Mullah.

II. KAJIAN TEORI

Menurut Keohane dan Nye ide inti dari liberalisme institusional merupakan suatu dunia
dimana aktor selain negara juga ikut berpartisipasi langsung dalam dunia politik dan tidak ada
hirarki isu yang jelas serta kekuatan militer menjadi instrumen kebijakan yang tidak efektif
(Ardhiyanto, 10:2014). Terjadinya suatu konflik menunjukkan suatu kondisi dimana ada dua pihak
atau lebih yang mengalami gesekan karena memiliki perbedaan kepentingan. Pihak-pihak yang
terlibat bisa merupakan negara sebagai State Actor dan juga aktor non-negara (Non-State Actor)
yang bisa saja individu atau kelompok (Heiss, 2018:7). Pada akhirnya aktor-aktor tersebut dapat
melakukan kontak yang bersifat ancaman ataupun penghancuran. Dalam beberapa kasus konflik
yang melatarbelakangi penelitian ini khususnya konflik di Suriah sudah jelas bahwa konflik
tersebut merupakan Intra-State Conflict atau konflik yang melibatkan negara dan bukan negara.

Sebagaimana yang terjadi pada negara-negara di Timur Tengah yang terkena dampak Arab
Spring, khususnya Suriah. Dimana negara-negara dengan kekuatan besar melakukan Proxy war di
Suriah untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Ketidakpastian negara-negara yang
berkonfrontasi contohnya dapat dilihat dari peran Turki dan Amerika Serikat di Suriah, dalam
konfrontasi yang dijalankan bersama dengan Amerika Serikat dan negara lainnya Turki juga
menjalankan apa yang menjadi tujuan bersama (Sak, 2016).

Proxy war adalah fenomena yang kompleks. Ini menentukan variabilitas dan ambiguitas,
bahkan ketika coba diuraikan menggunakan pendekatan atau konsep matematika (Konyukhovsky,
2018:6). Pada awalnya, perang proksi dapat dimodelkan sebagai kontes pelatihan untuk mencapai
tujuan pihak yang berkonflik, tetapi akan ada negara lain yang menjalin hubungan melalui
pertukaran informasi yang membahas tentang tingkat kesiapan untuk konfrontasi. Dalam
pengaturan ini, pemain bertukar sinyal sejauh mana mereka mau pergi jika konflik mengikuti jalur
proxy.

III. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dimana penulis menggunakan literatur dan
pengamatan secara langsung berupa literatur visual dan lain-lain yang punya keterkaitan terhadap
objek penelitian. Literatur yang digunakan pun sangat beragam seperti halnya beberapa berita yang
kredibel, buku-buku dan juga jurnal ilmiah. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang
menggunakan metode penjelasan eksplanasi, dimana penulis menggunakan format eksplanasi
untuk menjelaskan pengaruh dari satu variabel terhadap variabel yang lain. Penelitian ekplanasi
(Explanatory Research) digunakan untuk menguji hubungan antar variabel yang dihipotesiskan,
sedangkann hipotesis itu sendiri menggambarkan hubungan antara dua variabel untuk mengetahui
apakah independent variable mempengaruhi dependent variable (Mulyadi, 2011:136).

Penelitian ini disusun dengan berlandaskan beberapa literatur baik itu buku, jurnal-jurnal,
dan artikel. Penulis mengumpulkan beberapa data dengan mengembangkan data yang relevan,
tidak lupa pula proses tersebut dilakukan dengan metode yang ilmiah. Karena metode penelitian
dan teknik penelitian merupakan komponen yang paling penting dalam sebuah penelitian itu
sendiri. Yang mana metode merupakan landasan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan
penulis untuk menemukan solusi dari suatu masalah yang sedang dikaji.

Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki tema yang serupa dengan penelitian penulis
yakni kontradiksi Arab Saudi dengan Iran. Pertama, penelitian yang berjudul “Rivalitas Arab Saudi
dan Iran di Timur Tengah pada Arab Spring Suriah Tahun 2011-2016”. Penelitian yang ditulis oleh
Mustahyun mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang membahas
perang secara tidak langsung yang dilakukan oleh Iran dan juga Arab Saudi dengan menggunakan
negara lain yang berada di Teluk Arab sebagai alat dan medan tempurnya. Masalah yang diangkat
dalam penelitian ini adalah apa yang melatarbelakangi rivalitas Arab Saudi dengan Iran pada
peristiwa Arab Spring.

Kedua, penulis juga membandingkan penelitian ini dengan tesis yang digarap oleh Atena
C. Panaite di Universitas Miami. Penelitian tersebut berjudul “Cold War in the Middle East: Iran
and Saudi Arabia” yang dijadikan Atena sebagai karya the Degree of Masters of Arts. Penelitian
tersebut membahas mengenai beberapa perang dan juga krisis yang terjadi di Timur Tengah dengan
mengangkat setiap isu menggunakan teori Rezim dan konsep kemampuan militer. Penelitian
tersebut menghasilkan bahwa peran Arab Saudi maupun Iran dalam perang dingin yang
ditimbulkan mereka di Timur Tengah adalah untuk memperjuangkan dominasi mereka di tingkat
regional (Panaite, 2017:104-105).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kontradiksi ideologis yang memecahkan mala petaka baru di awali pada tahun 1979 dimana
Revolusi Iran (Iranian Revolution) terjadi. Khomeini merupakan salah satu sosok yang melatar
belakangi adanya Revolusi Iran khususnya terkait ideologi. Pada masa kepemimpinan Shah
ditengah kegiatannya membungkam pihak oposisi dengan kejam, lahirlah aliansi yang mustahil
dibungkam secara politis, yaitu kaum komunis dan ulama. Ketika prediksi Pemerintah Iran tertuju
pada kelompok komunis yang sama-sama modern dan sekuler akan menyerang pemerintah, justru
perlawanan besar lahir dari kelompok yang dianggap terbelakang yaitu ulama.

Pada tahun 1980, setelah Revolusi Iran terjadi pemimpin Irak Saddam Hussein menyerang
Iran untuk mencaplok cadangan minyak bumi di Iran, namun terhambat karena di Irak terjadi
perang parit (Hardy, 2005). Ketika Iran menunjukkan kemenangan yang semakin dekat, Arab Saudi
membantu Irak dengan menyediakan persenjataan, uang dan bahan logistik. Atas bantuan Arab
Saudi, Irak bisa memerangi Iran hingga tahun 1988. Namun pada tahun 2003 Amerika Serikat
menggulingkan Saddam Hussein di masa pemerintahan George W Bush dengan dua alasan.
Pertama, alasan serangan terorisme 11 September di Gedung WTC (World Trade Centre) yang di
yakini oleh Bush ada kerja sama antara Al-Qaeda dan Presiden Irak Saddam Hussein. Kedua,
Amerika Serikat mengindikasikan bahwa Irak sedang membangun dan menyimpan senjata
pemusnah massal (WMD). Dua alasan ini tidak pernah terbukti dan keyakinan Presiden George W.
Bush akan adanya hubungan antara Al-Qaeda dengan Saddam Hussein juga dinyatakan tidak
berdasar oleh Badan Intelejen CIA. Tanpa adanya persetujuan dari PBB selaku mahkamah
internasional Amerika Serikat tetap menginvansi Irak dan menggulingkan Saddam Hussein (Ipeq
Danju, dkk, 2012:682-684).

Rentetan peristiwa di Timur Tengah berdasarkan kondisi politis dan ideologis Arab Spring
mulai terjadi seperti di Tunisia, Mesir, di negara-negara Bahrain, Libya, Lebanon, Maroko, Yaman
dan Suriah. Negara-negara tersebut mengalami kekacauan karena masyarakat berusaha
melengserkan pemimpin yang di anggap otoriter melalui Arab Spring, yang mana sudah
menggulingkan Rezim Zein El-Abidine Bin Ali di Tunisia, Mu’ammar Al-Qadafi Presiden Libya,
dan Presiden Mesir Hosni Mubarak (Afzal, 2017:1-10).

Terinspirasi dari Revolusi Iran dan nama Ayatullah Khomeini, masyarakat di beberapa
negara di Timur Tengah ingin mereformasi negara mereka (Afzal, 2017:5). Di sinilah perang antara
Arab Saudi dan Iran terjadi dalam mempertahankan eksistensi ideologis yang sarat akan politik
atau dikenal dengan perang sektarian terjadi. Dalam Konflik akibat Arab Spring di Tunisia, Bahrain
dan Yaman, Arab Saudi berdiri dibelakang pemerintah dan membantu memukul mundur
kelompok pemberontak yang kontra terhadap pemerintah. Sedangkan Iran sebaliknya, membangun
kerja sama dan memberikan bantuan terhadap kelompok- kelompok berhaluan syiah yang
notabenenya menginginkan lengsernya Pemerintah.

Sedangkan di Suriah yang statusnya masih berlangsung hingga kini, militer Iran berjuang
berdampingan dengan milisi ekstrimis di Suriah seperti Hizbullah sebagai pendukung di pihak
pemerintahan Bashar Al-Assad yang merupakan seorang Syi’ah. Sedangkan Arab Saudi
mendukung kelompok pemberontak kali ini yang berhaluan Sunni untuk melengserkan Bashar Al-
Assad dari tampuk kekuasaan. Jika di negara-negara lain Arab Saudi berada di pihak pemerintahan
atas kepentingannya mempertahankan status Quo yang antri reformalis, berbeda dengan Suriah
yang populasinya di dominasi oleh Muslim Sunni. Arab Saudi kini mempertahankan kelompok
mayoritas yang separuhnya menjadi pejuang untuk melengserkan rezim Bashar Al-Assad yang
dilindungi penuh oleh Iran dan kelompok militan bersenjata Hizbullah (McGim, 2018:5).

Arab Saudi dan negara-negara Arab mayoritas Sunni seperti seperti Qatar dan Turki yang
berpihak di oposisi Suriah, yaitu pihak oposisi yang menginginkan turunnya Presiden Bashar dari
kursi kepemimpinan (anti- Assad). Arab Saudi membantu pihak oposisi, yang sebagian besar
merupakan rakyat sipil Suriah yang pro-demokrasi namun terdiri dari muslim sunni, salah satunya
dengan mengirimkan pasukan militer miliknya yang juga berkoalisi dengan AS dan tentara Turki ke
Suriah untuk melawan Hizbullah dan Iran yang melindungi pemerintah (Cockburn, 2016).

Arab saudi mengirimkan bantuan senjata dan alat-alat berat terhadap kelompok oposisi,
kendaraan lapis baja, dan senjata lain seperti senapan yang diterima secara resmi oleh pihak oposisi
di Suriah. Para pejuang yang berada di kelompok oposisi juga menerima gaji dari Arab Saudi dan
jumlah gaji yang diterima oleh kelompok pemberontak jauh lebih tinggi dari gaji yang di terima
oleh pegawai negeri di Suriah (Cordesman, 2016:7-8).

V. KESIMPULAN

kedua negara ini punya motivasi atau tujuan yang berbeda dalam menjadikan beberapa
negara di Timur Tengah sebagai medan perang tidak langsung mereka. Arab saudi memiliki
kepentingan untuk menanamkan ideologinya di Suriah karena khawatir Iran yang memiliki
ideologi yang berseberangan dengan Saudi akan jauh lebih kuat di semenanjung Arab. Sehingga
Arab Saudi lebih memilih pihak oposisi atau kelompok pemberontak, hal tersebut juga didukung
dengan keputusan Saudi yang tidak hanya memberi bantuan senjata dan pasukan, namun juga
memberikan gaji terhadap kelompok pemberontak. Dengan tujuan akan lebih banyak lagi
masyarakat yang beralih dan bergabung kepada kelompok pemberontak untuk menolak
pemerintahan Bashar Al-Assad. Sedangkan Iran sendiri memiliki lokasi strategis di Damaskus
sehingga lebih memilih menjadi pendukung pemerintahan Bashar dengan harapan tetap memiliki
kerja sama yang baik dengan Suriah. Adanya aspek- aspek sektarian atau keagamaan didalam kasus
ini menjadi indikasi penting munculnya instablititas di kawasan Timur Tengah.

Anda mungkin juga menyukai