Anda di halaman 1dari 13

KONTESTASI IDEOLOGI DALAM KONFLIK ARAB SAUDI & IRAN

(Analisis Konflik Teori Ralf Dahrendorf)

Muhammad Harton Arifin Ritonga


Bahasa dan Sastra Arab – Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
19310025@student.uin-malang.ac.id

ABSTRAK
Konflik yang ada di Timur Tengah sangat bervarian dan mencapai kancah
Internasional serta sulitnya menemui titik perdamaian. Salah satu contoh
konflik yang terjadi di Timur Tengah ialah konflik Arab Saudi-Iran yang mana
mempersoalkan tentang isu Syiah dan dampaknya terhadap dunia luar. Konflik
ini relevan dengan teori konflik Ralf Dahrendorf yang memaparkan bahwa
tidak adanya sebuah konflik apabila sebelumnya tidak ada konsensus. Konflik
ini dipicu oleh adanya pasca revolusi Iran 1979 yang berhasil mengangkat
seorang pemimpin bernama Ayatollah Khomeini yang merupakan tokoh Syiah.
Tujuan penelitian ini ialah menjelaskan penyebab terjadinya konflik Arab
Saudi&Iran dalam penguatan issue Syiah dan pengaruhnya terhadap negara
lain serta upaya rekonsiliasi kedua belah pihak. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan ialah buku-buku
dan jurnal-jurnal yang relevan serta berita-berita, baik berita nasional maupun
internasional; seperti Aljazeera, BBC, CNN, Detik, Kompas, Liputan 6, Mata-
mata politik, Republika, dan lain sebagainya. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik baca dan teknik catat. Sedangkan teknik analisis data
dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.

Kata kunci: Arab saudi, iran, issue syiah, konflik, ralf dahrendorf
PENDAHULUAN
Konflik adalah proses sosial yang di dalamnya terdapat orang perorang atau sejumlah
manusia yang berjuang untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan cara menentang
terhadap lawan yang menggunakan intimidasi dan kekejaman. Baik masyarakat negara
maupun masyarakat dunia tidak menginginkan hal tersebut, meskipun konflik senantiasa
hadir pada setiap relasi dan kultur (Budiyono, 2009: 49). Konflik disebut juga sebagai salah
satu esensi kehidupan dan perkembangan manusia yang memiliki keberagaman karakteristik.
Keberagaman tersebut terdiri dari jenis kelamin, strata sosial, ekonomi, sistem hukum, suku,
bangsa, agama, kepercayaan, aliran, politik, budaya, serta tujuan hidup (Asiah, 2017: 2-3).
Jenis konflik akhir-akhir ini mulai mencuat, konflik dalam negara dengan bentuk perang
saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis, dan pertempuran domestik lainnya.
Salah satu jenis konflik yang mana impak terhadap perubahan secara dramatis ialah konflik
identitas.
Jenis ini mengerahkan seseorang dalam suatu kelompok identitas yang didasari atas
ras, agama, kultur, bahasa, dan lain sebagainya. Konflik ini menjadi ancaman besar terhadap
stabilitas dan perdamaian, baik di tingkatan individual, lokal maupun keamanan internasional
(Annan, 2000: 11-12). Islam di Iran beraliran Syiah, yang mana sejak dulu menjadi benteng
pertahanan kebudayaan Iran. Peristiwa terbunuhnya imam Hussein oleh Kalifah Yazid tahun
638 di padang pasir Kerbala, Irak, menjadi hari diperingatinya sebuah perjuangan melawan
ketidakadilan oleh warga Iran. Semasa Shah Iran berkuasa secara diktator, kebiadaban yang
dilancarkan melalui polisi rahasia SAVAK, hasil daripada latihan orang Israel, menjadikan
agama Islam sebagai pelarian dan tempat sembunyi bagi para pengikutnya. Manakala
diserang, maka semakin radikal dan sempurna para pengikut dan komandan agama ini
(Tamara, 1980: 165).
Ayatollah Khomeini, pemimpin revolusi Islam Iran 1979 memposisikan kaum ulama
(mullah) sebagai pengendali otoritas tertinggi di bidang politik dan agama. Iran merupakan
satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas 90% beraliran Syiah. Selain itu, Iran juga
menjadi satu-satunya negara yang mana sistem politiknya didirikan atas dasar ideologi Syiah,
yang dikenal sebagai Vilayat-i Faqih (pemerintahan kaum ulama). Maka dari itu, Republik
Islam Iran dijuluki sebagai “negara kaum mullah” dianggap sebagai bentuk negara Islam
bercorak Syiah. Gagasan beliau terkait negara Islam dinyatakan dalam karyanya, Hokumat-i
Islami (Pemerintahan Islam). Karya ini juga sebagai “cetak biru” untuk reorganisasi
masyarakat dan sekaligus menjadi pegangan untuk revolusi Islam Iran (Sihbudi, 2007: 67).
Keberhasilan revolusi Iran 1979 ialah hasil kolaborasi kelompok oposisi (Sosialis,
Komunis, dan Islamis Syiah). Secara global, dunia memberi prestise pada Islamis Syiah yang
dipimpin Ayatollah Khomeini. Perubahan sikapnya hadir karena kekhawatirannya terhadap
ancaman Iran. Hal ini merupakan latar belakang di mana Pentagon mengeluarkan mandat
rahasia pada bulan Maret yang memperluas ruang lingkup keterlibatan militer AS di Teluk
(Hiro, 2018: 98). Menteri Pertahanan Caspar Weinberger memandang Syiah sebagai “sekte
Muslim paling fanatik dan sangat anti-Barat.” Mereka tidak memandang urgensi
keberlangsungan hidup manusia (Gerges, 1999: 85).
Arab Saudi dan Iran kerap kali bersaing di kawasan Timur Tengah, terkhusus daerah
Teluk. Hal ini disebabkan supaya keduanya mendapat sebuah pengaruh disana. Peristiwa ini
dimulai sejak revolusi Islam Iran 1979 dan perang Iran-Irak 1980-1988. Sementara itu, antara
Arab Saudi-Iran saling mengklaim diri mereka sebagai Islam. Dalam banyak hal, Arab Saudi
ialah otoritas dengan status quo regional. Sedangkan Iran, kerap kali mencari perubahan
revolusioner diseluruh wilayah Teluk dan Timur Tengah yang lebih luas dengan berbagai
tingkat intensitas. Selain itu, relasi Arab Saudi dengan negara Barat sangat kompeten.
Sedangkan Iran, menganggap Amerika Serikat sebagai musuh berbahaya. Perbedaan
signifikan diantara kedua negara ini ialah bahwa Arab Saudi merupakan negara muslim Sunni
yang konservatif. Pengukuhan postur dan dampak terhadap negara lain menjadi impian setiap
negara, bahkan menjurus anarkis seperti di Timur Tengah. Dalam hal ini, modal sosial dan
kultural rezim Iran ialah Syiah. Maka dari itu, mereka berusaha menebar impaknya pada
kelompok-kelompok Syiah kawasan, terutama Irak, Lebanon, Suriah, Bahrain, dan Yaman
(Burdah, 2020: 97-98).
Dari penjabaran tersebut, penelitian ini menggunakan teori konflik perspektif Ralf
Dahrendorf guna mengupas issue Syiah dalam konflik Arab Saudi-Iran. Teori tersebut sangat
relevan dengan penelitian ini, dikarenakan teori konflik Rafl Dahrendorf membahas tentang
otoritas dan kewenangan dalam sebuah struktur yang mampu menjadikan berubahnya suatu
masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pergolakan-pergolakan berkepanjangan.
Adapun tujuan penelitian ini ialah menjelaskan penyebab terjadinya konflik Arab Saudi-Iran
dalam penguatan issue Syiah dan pengaruhnya terhadap negara lain serta upaya rekonsiliasi
kedua belah pihak. Manfaat daripada penelitian ini ialah sebagai pengetahuan tambahan
peneliti dan bagi siapapun yang membutuhkan kajian ini berdasarkan teori konflik Ralf
Dahrendorf.
KAJIAN TEORI
Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik merupakan suatu perspektif yang melihat masyarakat sebagai struktur
sosial terdiri atas kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dan terdapat upaya untuk mengontrol
unsur lain dengan tujuan melengkapi kepentingan lain atau mendapatkan kepentingan
dominan. Teori ini tampil sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang minim
kepeduliannya terhadap fenomena konflik di masyarakat (Kasim, 2015: 39). Teori konflik
meninggalkan koherensi dan stabilitas yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat
senantiasa dilihat dari kondisi konflik yang melalaikan konvensi dan kualitas umum yang
menjaga terciptanya keserasian dalam masyarakat (Tantoro, 2017: 19). Maka dari itu, teori
konflik berbeda dengan teori konsensus.Teori konflik tidak hanya terikat pada model
keringanan alokasi secara tidak rata yang mengkontruksi perilaku dalam masyarakat, tetapi
teori ini terdorong pada konflik, bukan konsensus, yang melekat pada masyarakat (Saifuddin,
2016: 16).
Teori social-conflict Ralf Dahrendorf tidak sama dengan teori para pendahulu.
Dahrendorf melihat bahwa dalam suatu masyarakat terdiri dari struktur sosial yang saling
terikat. Dahrendorf menyebut struktur sosial dengan istilah ICA (Imperatively Coordinated
Association) (Ikrom, 2011: 270). ICA atau asosiasi yang didesain berdasarkan perintah,
merupakan pernyataan Dahrendorf yang menjelaskan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa
komponen. Komponen-komponen ini merupakan asosiasi orang yang dikendalikan oleh
hierarki otoritas. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, akan tetapi dalam kedudukan.
Dikarenakan terletak dalam kedudukan, otoritas menjadi tidak stabil. Dalam arti, seseorang
yang berkuasa dalam satu lapisan tertentu tidak harus menduduki posisi otoritas didalam
lapisan lain (Izza, 2020: 43). Dalam setiap aliansi, otoritas bersifat dikotomi. Dalam hal ini,
hanya ada dua kelompok konflik pemegang posisi otoritas (superordinasi) dan kelompok yang
memiliki kepentingan tertentu (subordinasi). Orang yang berada diatas berusaha
mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada dibawah berusaha melakukan
perubahan. Konflik kepentingan seperti ini senantiasa ada setiap waktu yang dapat
mengancam legitimasi otoritas (Tualeka, 2017: 41).
Menurut Dahrendorf (dalam Raho, 2021: 101-102), teori konflik kerap kali disebut
sebagai teori konflik dialektik. Baginya, suatu masyarakat memiliki dua bentuk, yaitu konflik
dan konsensus. Tidak akan terjadi suatu konflik jikalau sebelumnya belum ada konsensus.
Begitu juga sebaliknya, konflik dapat membawa seseorang kepada konsensus. Beliau
menerima bahwa dalam fungsionalisme struktural, kesepadanan atau kestabilan dapat menetap
karena hubungan sukarela atau konsensus yang umum. Sedangkan dalam teori konflik,
kesepadanan atau kestabilan terjadi karena paksaan (koersi). Dahrendorf mengutarakan bahwa
kekayaan, status ekonomi dan status sosial tidak termasuk determinan kelas. Term yang beliau
pakai berimpak pada intensitas pertentangan. Dalam arti, beliau menengahkan proposisinya
sebagaimana berikut: semakin rendah korelasi antara posisi otoritas dan aspek-aspek status
sosial ekonomi, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas, begitu juga sebaliknya
(Tumengkol, 2012: 18).
Dahrendorf memilah kepentingan menjadi dua, yaitu: (1) kepentingan tersembunyi,
ialah intensi peran yang tidak disadari; dan (2) kepentingan nyata, ialah kepentingan
tersembunyi yang telah disadari. Menurutnya, relasi dua kepentingan tersebut adalah sebagai
tugas utama teori konflik. Selanjutnya, dua kepentingan tadi saling beresensial dengan
kelompok yang berbeda-beda. Kelompok yang berbeda-beda tersebut ialah kelompok semu
(quasi grup) dan kelompok kepentingan. Kelompok semu ialah pemegang postisi dengan
kepentingan yang sama. Sedangkan kelompok kepentingan ialah sejumlah agen yang memiliki
struktur, model organisasi, tujuan atau program, dan anggota perorangan (Razak, 2017: 130).
Dari berbagai macam kelompok kepentingan ini, timbul kelompok konflik atau
kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Kelompok ini melangsungkan aksi
yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Jikalau konfliknya sengit, maka
perubahan yang terjadi ialah radikal. Apabila konflik tersebut dibarengi kekerasan, maka
secara mendadak terjadi perubahan struktur (Rahmaniah, 2016: 15-16). Gagasan kepentingan
dan nilai menggambarkan dua bentuk suprastruktur normatif masyarakat bahwa apa yang
muncul sebagai konsensus nilai berdasarkan teori integrasi dapat dianggap sebagai konflik
kepentingan dalam hal teori paksaan (Dahrendorf, 1959: 163).
PEMBAHASAN
Penyebab Terjadinya Konflik
Konflik Iran dan Arab disebabkan oleh perbedaan sikap politik mereka terhadap AS
dan pengaruh Barat di wilayah Timur Tengah. Amerika Serikat turut ke Timur Tengah dengan
tujuan minyak bumi. Pra Revolusi Iran 1979, Iran dan Arab Saudi merupakan dua negara yang
relasinya baik dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat memasok palayanan keamanan
nasional untuk kedua negara. Namun, pasca revolusi kedudukan Iran berubah menjadi negara
oposisi yang menantang keberadaan Amerika Serikat. Revolusi yang terjadi di Iran merupakan
respons terhadap kesenjangan ekonomi di bawah pemerintahan Syah Mohammad Reza
Pahlavi yang terkenal dengan pola pikir baratnya. Revolusi 1979 mencetuskan republik Islam
anti Amerika dan negara Barat. Sementara Arab Saudi menetapkan untuk memperkuat
relasinya dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat1.
Relasi antara Arab Saudi dan Iran menjadi tidak rukun. Berbeda dengan Amerika
Serikat, relasi keduanya semakin harmonis. Konflik Iran dan Arab Saudi terjadi sejak 1979,
saat itu penguasa Arab Saudi melihat Raja Shah Mohammed Reza Pahlevi dijatuhkan ulama
Muslim Syiah. Atas kekalahan itu, Iran mendeklarasikan Revolusi Islam mereka. Sedangkan
Arab Saudi sering berkolaborasi dengan Amerika Serikat. Pada Maret 2019, secara diam-diam
Pemerintahan presiden AS Donald Trump menjejaki kontrak tentang teknologi nuklir antara
negaranya dan Arab Saudi, dengan tujuan setidaknya membangun dua pembangkit listrik
tenaga nuklir2. Selaras dengan sejarah, akar konflik Arab Saudi-Iran berawal dari Revolusi
Iran 1979, yang mana Syah Muhammad Reza Pahlavi (pro-Barat) dijatuhkan dan digantikan
oleh Ayatollah Khomeini.
Dari serangan rudal Yemini hingga pembunuhan komandan tertinggi Qassim Soleimani,
perbedaan politik, ideologis, dan agama antara Iran dan Arab Saudi menjadi penyebab
konfrontasi berkelanjutan. Arab Saudi dan Iran menjadi negara dengan kekuatan politik yang
kuat, strategis, dan dominan di Timur Tengah. Dari sinilah mulai adanya eksplorasi
superioritas menjadi penguasa politik yang lebih unggul dan berkuasa. Kegentingan semakin
melonjak dan menjadi kontra pada tahun 2016, pihak Iran menyerang kedutaan Saudi seiring
pembunuhan seorang ulama Syiah. Relasi diplomatik terputus dan terjadi kekacauan serta
1
https://theconversation.com/konflik-panas-as-iran-dan-dampaknya-bagi-indonesia-130290
2
https://www.merdeka.com/dunia/konflik-iran-amerika-serikat-makin-memperjelas-kawan-dan-lawan-di- timur-
tengah.html?page=6
ketidakpastian, tulis Modern Diplomacy3. Pada 3 Januari 2016, Menteri Luar Negeri Arab
Saudi Adel bin Ahmed al-Jubeir melansir pengakhiran hubungan diplomatik dengan Iran.
Keputusan itu diambil pasca penyerbuan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di
Teheran dalam sebuah protes melawan eksekusi terhadap sejumlah orang yang dituduh
sebagai teroris. Ada 47 orang yang dituduhsebagai teroris dieksekusi di Arab Saudi. Mayoritas
yang dieksekusi terkait dengan penyerangan di Arab Saudi antara tahun 2003 dan 2006. Empat
orang di antaranya disebut sebagai tokoh Syiah. Salah satunya ialah Sheik Nimr al-Nimr,
seorang pemimpin Syiah yang dituduh terlibat kerusuhan dan memimpin protes anti-
pemerintah di Arab Saudi bagian timur pada tahun 2011.

Pengaruhnya Terhadap Negara Lain


Tatkala terdapat dua kelompok atau negara yang bersengketa, maka ada yang menjadi
korban, baik dari salah satu diantara kedua pihak maupun pihak ketiga yang dijadikan “alat”
oleh kedua pihak yang bersengketa untuk mencapai targetnya. Matriks proxy war, yang mana
dua negara tidak berkelahi secara langsung, melainkan beradu kekuatan di wilayah konflik
lain. Di Suriah, Iran mendukung pemerintahan Bashar al-Assad yang menentang mayoritas
masyarakat Sunni. Saudi pun tampil untuk mendukung para pemberontak. Di Yaman,
kelompok pemberontak Syiah Houthi, dianggap mempunyai relasi dengan Iran. Iran
menggunakan dalih untuk membela pemerintahan resmi di bawah Presiden Abd Mansour
Hadi, Saudi mengirimkan pasukan serangan udara untuk menumpas Houthi. Proxy war juga
dirasakan di beberapa negara mayoritas Syiah, seperti Lebanon, dimana Saudi berusaha
meredam impak Hizbullah yang didukung Iran. Kegentingan ini juga tampak di Irak, sebuah
negara di mana Sunni yang mendominasi ajang politik kini taringnya mulai tumpul4.

Suriah
Perang saudara Suriah dimulai pada Maret 2011, sesudah kekacauan protes Musim
Semi Arab yang menjatuhkan para pemimpin otokratis di seluruh kawasan dan berupaya
menjatuhkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Al-Assad menangani demonstran yang
menyerukan demokrasi pada tahun 2011, memusat pada pembentukan kelompok bersenjata
dan meletusnya kekerasan. Konflik tersebut telah menewaskan hampir 500.000 orang dan
3
https://www.matamatapolitik.com/perang-dingin-saudi-vs-iran-kacaukan-timur-tengah-analisis/
mengakibatkan jutaan lainnya mengungsi.
Pada pertengahan 2015, Assad nyaris kehilangan kekuasaan. Setelah itu, Rusia
berkoalisi dalam perang pada September 2015. Bersama dengan laskar Hizbullah dan Iran,
intervensi Rusia memberi al-Assad garis hidup. Dia telah meluaskan kendali atas kawasan
negara yang ditimpa konflik dari sekitar sepertiga pada tahun 2015 menjadi saham mayoritas.
Kelompok pemberontak yang didukung Saudi telah dipandu oleh pasukan pro-Assad. Situasi
ricuh dan kevakuman politik di Suriah memicu lahirnya Negara Islam Irak dan Levant (ISIL),
yang dikenal sebagai ISIS dan Daesh. ISIL meraih kendali atas beberapa bagian Suriah, yang
mana baru-baru ini menelan kerugian besar, termasuk ibu kota de facto, Raqqa5.

Yaman
Iran dan Arab Saudi terlibat dalam konflik di Yaman 2004 setelah kelompok Syiah Zaidiyah di
Yaman mengobarkan pemberontakan. Iran disebut-sebut membela pemberontak Houthi, sedangkan
Arab Saudi sebagai mediator dituduh telah memasok dukungan kepada pemerintah Yaman dengan
membombardir minoritas Houthi di utara Yaman. Ada juga orang Yaman menilai bahwa konflik di
negara tersebut karena adanya dua kekuatan regional, seperti dilaporkan Time dengan tulisan
“Yemen is the Latest Victim of the Increase in Iran-Saudi Arabis Tension.” Berawal dari
perang sipil dan melaju ke konflik internasional. Ribuan warga sipil pun menjadi korban dan
mengakibatkan krisis kemanusiaan di Yaman6.
Houthi merupakan kelompok suku dari kawasan pegunungan utara dan mewakili
kurang dari 15% dari total penduduk negara tersebut. Pada Maret 2015, MBS selaku menteri
pertahanan Arab Saudi, secara sembunyi-sembunyi menyusun koalisi negara-negara Arab dan
masuk dalam perang dengan serangan udara yang luar biasa. Serangan itu diharapkan
mendesak Houthi menyerah dalam hitungan bulan. Hampir selama enam tahun, meskipun
ribuan orang terbunuh atau kehilangan rumah dan kedua belah kubu melancarkan aksi konflik
kriminal, koalisi pimpinan Arab Saudi tidak berhasil membersihkan kelompok Houthi dari
Sanaa serta dari sebagian kawasan barat yang padat penduduk7.

4
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160105133321-120-102293/sejarah-panjang-perselisihan-
arab-saudi-dan-iran

5
https://www.aljazeera.com/news/2017/11/14/saudi-iran-proxy-wars-in-pursuit-of-regional-hegemony
6
https://tirto.id/jejak-permusuhan-iran-dan-arab-saudi-couS
7
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-55243955
Pemberontak Houthi yang berkongsi dengan Iran di Yaman melancarkan rudal yang
diberitahukan telah mencapai Riyadh, ibu kota Arab Saudi, Selasa (23/6/2020). Serangan ini
merupakan yang pertama kalinya terjadi sejak gencatan senjata selama pandemi Covid-19
berakhir bulan lalu. Dua ledakan besar terdengar di Riyadh menjelang fajar dan asap
mengepul ke udara. Pemberontak Houthi mengutarakan serangan mereka telah menimpa
Kementerian Pertahanan Arab Saudi dan pangkalan militer. Namun, koalisi militer yang
dipimpin Saudi menyampaikan bahwa mereka telah menembak jatuh rudal tersebut tanpa
menyebutkan sasarannya8.

Lebanon
Sejak dulu, Lebanon berdiri di jantung konflik kekuasaan di Timur Tengah, terutama
antara Arab Saudi dan Iran. Saat ini hanya Hizbullah yang membendung menyebarnya impak
Riyadh di Lebanon. Arab Saudi sudah lama berupaya mengontrol otoritas Iran dan Suriah
dengan mendukung pemerintahan Saad Hariri9. Pada Jumat (20/9), kelompok milisi Hizbullah
di Lebanon mengingatkan Arab Saudi supaya tidak berperang melawan Iran. Kelompok
tersebut menyebut Teheran akan mengacaukan Arab Saudi dan mengutarakan “Riyadh serta
Uni Emirat Arab harus meredam konflik di Yaman untuk menjaga diri mereka sendiri.”
Ketua kelompok Syiah yang didukung Iran (Sayyed Hassan Nasrallah) juga
menyampaikan “pertahanan udara baru tidak akan melindungi Arab Saudi dari model drone
yang dipakai dalam agresi 14 September terhadap instalasi minyak Saudi.” Kegentingan
melambung di kawasan tersebut sejak agresi yang mana oleh pejabat di Washington dan
Riyadh ditudingkan pada Iran, telah membantah keterlibatan mereka.
Serangan itu diklaim gerakan Houthi, sebuah faksi pemberontak yang pro-Iran melawan
koalisi pimpinan Arab Saudi dalam perang saudara di Yaman. Hizbullah ialah faksi Syiah
bersenjata komplit yang dibangun Pengawal Revolusi Iran pada 1982 merupakan sektor utama
dari koalisi regional yang didukung Teheran. “Jangan bertaruh dalam perang melawan Iran
karena mereka akan menghabiskan Anda,” kata Nasrallah dalam pidato televisi yang dikutip
situs kantor berita Mesir, Ahram10.
8
https://www.kompas.id/baca/internasional/2020/06/24/milisi-houthi-tembakkan-rudal-menyasar-riyadh/
9
https://www.dw.com/id/hizbullah-di-garda-depan-konflik-sunni-dan-syiah/g-43695677
10
https://mediaindonesia.com/internasional/260837/hizbullah-yakin-iran-bisa-hancurkan-arab-saudi-dalam-
Irak
Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya membela Saddam Hussein waktu konflik
Iran-Irak tahun 1980-1988 dan mengalami agresi Iran terhadap kapal-kapalnya. Hubungan
diplomatik Iran dan Arab Saudi menjadi stagnan selama tiga tahun sesudah konflik. Semenjak
jatuhnya Saddam, kelompok mayoritas Syiah di Irak memegang pemerintahan dan menjaga
relasi dekat dengan Teheran. Hal ini memicu dampak Iran dalam mencapai perbatasan Arab
Saudi dan menimbulkan perserikatan Syiah Iran, Irak, Suriah, serta Lebanon. Baghdad
menuding Arab Saudi membela kelompok Sunni radikal dan kekerasan sektarian di Irak11.
Dalam jangka pendek, milisi Syiah sokongan Iran di Irak mampu memperoleh
keuntungan dari krisis yang terjadi. Selama beberapa bulan terakhir, pemerintah Irak telah
menjadi target dari aksi protes karena impresi Iran di negara tersebut, selain keluhan soal
tatanan pengelolaan yang kotor dan korupsi. Demonstrasi baru-baru ini di Irak diwakili
berbagai elemen masyarakat di negara tersebut. Milisi-milisi dan kekuatan-kekuatan politik
lainnya, memanfaatkan wafatnya Jenderal Qasem Soleimani untuk memperoleh kembali
impak yang pernah lenyap dan melegitimasi perlunya mereka tetap berada di negara itu. Janji
pengusiran pasukan AS dari Irak sudah lama dituturkan oleh kelompok-kelompok tersebut.
Penarikan pasukan AS juga menyebabkan kekosongan keamanan yang mampu dimanfaatkan
oleh kelompok-kelompok teroris seperti Al-Qaida dan kelompok yang menamakan diri Negara
Islam (ISIS)12.

Upaya Rekonsiliasi
Diketahui bahwa Saudi dan Iran ikut serta dalam persaingan sengit untuk mendominasi
kawasan, telah mengakhiri asosiasi satu sama lain pada tahun 2016, sesudah demonstran Iran
menyerbu operasi diplomatik Saudi mengikuti eksekusi mati seorang ulama Syiah oleh
otoritas Saudi. Kedua negara ini senantiasa mendukung kelompok yang bersebrangan dalam
beberapa konflik kawasan, mulai dari Suriah hingga Yaman. Dalam konflik Yaman, Iran
mendukung pemberontak Houthi dan Saudi mendukung pemerintahan Yaman yang
dilengserkan Houthi13. Sebelumnya, dalam sebuah wawancara, Pangeran Mohammad bin

perang
11
https://internasional.kompas.com/read/2016/01/06/09171261/Mengapa.Iran.dan.Arab.Saudi.Bermusuhan.?
page=all
12
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51054280
13
https://news.detik.com/internasional/d-5562709/arab-saudi-akui-berunding-dengan-iran-untuk-redakan-
Salman berindikasi hendak berdamai dengan Iran. Kedua negara di Timur Tengah itu sudah
lama berseteru. “Pada akhirnya, Iran adalah negara tetangga. Yang kita harapkan ialah
mempunyai relasi baik dan terhormat dengan Iran,” kata Putra Mahkota Arab Saudi. “Kami
tidak berharap kondisi dengan Iran menjadi sulit. Sebaliknya, kita berharap menjadi
berkembang dan sejahtera karena Saudi mempunyai atensi di Iran, dan Iran mempunyai atensi
di Arab Saudi. Hal itu yang mendorong
kemakmuran dan pertumbuhan di wilayah tersebut dan seluruh dunia,” imbuhnya.
Putra Mahkota Arab Saudi mengomentari “perilaku negatif” Iran, merujuk pada
program nuklirnya, membantu milisi di negara-negara regional dan program rudal balistik.
“Sekarang kami bekerja dengan mitra kami di wilayah ini dan dunia untuk menemukan solusi
terhadap problematika ini. Kami benar-benar berharap kami akan mengatasinya dan menjalin
relasi baik dan positif dengan Iran yang akan menguntungkan semua pihak,” ujarnya 14. Pada
Selasa (27/4), Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mengutarakan
bahwa Riyadh ingin merajut relasi baik dengan Iran. MBS bahkan menyebut Arab Saudi
tengah berproses untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan permasalahannya dengan
Teheran. Menanggapi niat tersebut, Iran menyambut baik iniatif MBS. Jurubicara
Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh pada Kamis (29/4) menyebut Teheran dan
Riyadh merupakan dua negara penting di kawasan dan dunia Islam.
“Dengan menyampaikan ide dan inisiatif untuk dialog serta kerjasama di kawasan
Teluk Persia, termasuk Hormuz Peace Endeavour (HOPE), Republik Islam Iran telah menjadi
pelopor dalam jalur persahabatan dan kerjasama regional, dan menerima dengan baik
perubahan nada di Arab Saudi,” kata Khatibzadeh, seperti dikutip Sputnik. Ia menyampaikan
bahwa kedua negara bisa mengawali kerja sama menuju perdamaian regional, stabilitas, dan
pembangunan dengan pendekatan konstruktif dan berbasis dialog15.

KESIMPULAN

ketegangan/2
14
https://www.wartaekonomi.co.id/read339517/mendengar-respons-iran-saat-mbs-getol-bawa-arab-saudi- pada-
perdamaian
15
https://dunia.rmol.id/read/2021/04/30/486005/iran-sambut-perubahan-baik-retorika-arab-saudi-menuju-
rekonsiliasi
Penyebab konflik Arab Saudi-Iran ialah adanya perbedaan sikap politik kedua negara
terhadap Amerika Serikat dan pengaruh negara Barat di Timur Tengah serta dominasi
pengaruh kedua negara dalam kawasan. Selain itu, konflik Arab Saudi-Iran semakin memanas
atas hadirnya pasca revolusi 1979 yang menjadikan pemimpin baru Ayatollah Khomeini
dengan keberhasilannya menjatuhkan rezim Reza Shah Pahlevi. Dengan kekuatan dan
semangat yang dimiliki, Khomeini memiliki tujuan baru dalam menjalankan roda
reformasinya dengan status rezim Syiah. Hal ini menyebabkan Arab Saudi yang mayoritas
warganya adalah sunni, menentang betul kepemimpinannya. Begitu juga Amerika Serikat,
yang menjadi aliansi Arab Saudi. Hal ini dikhawatirkan revolusi Syiah Iran terjadi dimana-
mana dan mampu mempengaruhi negara lain.
Bukti impak tersebut menuai banyak korban dan kerugian dalam beberapa pertikaian:
(1) Suriah. Dukungan Iran kepada pemerintahan Bashar al-Assad yang menentang mayoritas
masyarakat Sunni menjadikan Arab Saudi mendukung para pemberontak. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya beberapa kericuhan dan memicu lahirnya Negara Islam Irak dan
Levant (ISIL) yang dikenal sebagai ISIS dan Daesh. (2) Yaman. Di Yaman, terdapat
kelompok Syiah Houthi. Kelompok ini menjadi sekutu Iran dalam memerangi Arab Saudi
dengan melepaskan rudal balistik ke kilang minyak di Riyadh. Begitupun sebaliknya, Arab
Saudi mengirim serangan udara yang diarahkan ke pusat Houthi di Sanaa, ibukota Yaman. (3)
Lebanon. Adanya laskar Hizbullah yang pro-Iran menentang koalisi Arab Saudi dengan
membendung pengaruh Riyadh di Lebanon. (4) Irak. Arab Saudi mendukung pemerintahan
Saddam Hussein pada perang Iran-Irak 1980-1988. Jatuhnya Hussein mengakibatkan
kelompok Syiah menduduki pemerintahan dan mampu mengambil keuntungan dari krisis yang
sedang terjadi.
Adapun upaya rekonsiliasi yang diajukan oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman
ini diterima dengan baik oleh Iran, meskipun kedepannya belum bisa diprediksi. Setidaknya,
upaya yang dilakukan oleh Putra Mahkota mampu membuka jalan terhadap kedua negara
dalam menjalin kembali relasi yang baik dan membawa keuntungan terhadap semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Annan, Kofi A. (2000). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk
Negosiator. Depok: Ameepro.
Asiah, Siti. (2017). Manajemen Konflik Teori dan Aplikasi. Gorontalo: Pustaka Cendekia.
Dahrendorf, Ralf. (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Standford
University Press.
Rahmaniah, Aniek. (2016). “Metateorizing: Teori Konflik Ralf Dahrendorf”. Dalam
Repository UIN Malang.
Haryanto, Sindung. (2012). Spektrum Teori Sosial dari Klasik hingga Postmodern. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Hiro, Dilip. (2018). Cold War in the Islamic World Saudi Arabia, Iran and the Struggle for
Supremacy. UK: Oxford University Press.
Ikrom. (2011). “Konflik Prita Vs Rs. Omni Pembacaan Teori Dahrendorf: The Dialectical
Conflict Theory”. Dalam jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 2, November 2011.
Izza, Yogi Pranata. (2020). “Teori Konflik Dialektika Ralf Dahrendorf”. Dalam jurnal At-
Tuhfah: Jurnal Studi Keislaman. Vol.9, No.1, 2020.
Terrill, W Andrew. (2012). Rivalry In The Middle East Saudi Arabia And Iran Politics and
Economics of the Middle East. New York: Nova Science Publishers.
Raho, Bernard. (2021). Teori Sosiologi Modern Edisi Revisi. Flores-NTT: Ledalero.
Razak, Zulkifli. (2017). Perkembangan Teori Sosial Menyongsong Era Postmoderinisme.
Makassar: CV Sah Media.

Anda mungkin juga menyukai