Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Harton Arifin Ritonga

NIM : 19310025

Kelas :A

Jurusan : Bahasa & Sastra Arab

Matkul : Pancasila

Dosen : Ustadz Misbahus Surur,M.Pd

Para pendiri Indonesia sudah menyadari bahwa bangsa ini terdari atas berbagai suku bangsa,
bahasa, dan agama. Diperlukan dasar negara yang kuat sebagai pijakan bersama buat bangsa ini.

Dasar negara itu tertuang dalam Pancasila. Sila-sila yang ada di dalamnya menjadikannya
sebagai ideologi terbaik untuk negeri ini. Dalam Pancasila terdapat harmoni tentang kehidupan
beragama dan berbudaya yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia, terutama dalam menghadapi
serangan ideologi transnasionial yang ingin memecah belah Nusantara.

“Pancasila itu artinya gotong-royong, serasi, selaras, baik dalam beragama maupun berbudaya.
Artinya dengan Pancasila jiwa orang Indonesia terbentuk menjadi manusia yang harmonis dan
toleran. Itulah kekuatan Pancasila dan itu telah kita buktikan sejak dari jaman kemerdekaan
sampai sekarang,” ujar mantan ketua umum PBNU KH As’ad Said Ali di Jakarta, Jumat
(30/3/2018).

Menurut Kiai As’ad, Pancasila yang lahir dari hasil kesepakatan para tokoh negeri, baik tokoh
nasionalis maupun tokoh agama, saat Indonesia baru didirikan. Terbukti Pancasila menjadi
ideologi terbaik bagi Indonesia dengan berbagai keragamannya.

Kendati demikian, ia tidak menampik ada banyak kelompok yang ingin ‘menggoyang’ Pancasila.
Karena itu bangsa Indonesia harus terus memperkuat persatuan dan pemahaman Pancasila
sebagai antisipasi dari berbagai ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Pancasila itu adalah satu kesatuan antara agama dan budaya atau hubbul wathon minal iman.
Artinya dengan lima sila yang ada, negara kita bukan negara sekuler atau teokrasi, tapi negara
beragama,” imbuh mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Ia mengungkapkan, setelah periode reformasi lalu, ada kelompok yang ingin menarik Indonesia
menjadi negara sekuler. Misalnya, mereka mengatakan Pancasila ingin ‘dihijaukan’, kemudian
juga ada yang mengatakan Pancasila anti syariat Islam. Kemudian pada 1956, PKI waktu di
Konstituante, meminta sila Ketuhanan yang Maha Esa diganti dengan kebebasan beragama dan
berkeyakinan, dan lain sebagainya yang menjadi kekacauan saat itu.

“Itu penafsiran yang keliru. Yang benar Islam telah diwadahi dalam Pancasila. Makanya dalam
Dekrit Presiden 1959 disebutkan Piagam Jakarta menjiwai Pancasila,” tukas Kiai As’ad.

Dan sekarang nilai-nilai syariat Islam yang bersifat universal sudah diterapkan dalam bentuk
Undang-undang seperti UU Haji, UU Bank Syariah, UU Perkawinan, dan lain-lain. Itu bukti
bahwa Pancasila menaungi syariat Islam sehingga yang kelompok yang mengatakan Pancasila
tidak memuat syariat Islam itu adalah salah.

Kiai As’ad menilai bahwa Indonesia adalah negara yang bisa menghasilkan ideologi yang bisa
menaungi bangsa besar ini yaitu Pancasila. Beda dengan negara-negara lain. Sebut saja Pakistan
dan Arab Saudi, yang sampai saat ini masih terus mencari ideologi ideal untuk negaranya. Ini
patut disyukuri oleh seluruh pihak. Apalagi Pancasila sangat fleksibel dan terus relevan dengan
perkembangan jaman.

Dalam hal ini, Kiai As’ad memuji langkah pemerintah dengan lahirnya UU melarang organisasi
masyarakat yang anti Pancasila seperti Hizbut Thahir Indonesia (HTI). Dan pada saat yang sama,
Presiden Joko Widodo membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurutnya,
langkah ini merupakan suatu kemajuan dalam rangka menstabilkan dan menjaga eksistensi
NKRI.

“Semua ideologi baik, tapi tidak semua ideologi lain cocok buat kita. Yang baik kita ambil yang
jelek kita buang. Silakan mau mendirikan khilafah, tapi jangan disini. Jangan berlindung dengan
mengatakan khilafah itu hanya wacana. Kalau wacana sudah ada organisasi bukan wacana lagi.
Jadi pemahaman seperti ini harus dihilangkan. Ketika kita melangkah bernegara, maka visi dan
ideologi negara yang jadi acuan yaitu Pancasila,” papar Kiai As’ad. Ideologi Pancasila disebut
sebagai ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia, bahkan terbaik di muka bumi ini karena
mencakup seluruh sendi kehidupan manusia mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan. Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah, Prof
Murod, mengatakan  bangsa Indonesia wajib menerapkan dan terus mendalami falsafah
Pancasila demi untuk mewujudkan Indonesia yang adil, tenteram, damai, dan kuat.
 
“Jadi kalau ada orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, maka
mereka bukan WNI dan silakan keluar dari NKRI,” kata Murodi di Jakarta, dalam siaran
persnya, Kamis (12/5).
 
Murodi menjelaskan, ideologi Pancasila itu juga mencakup agama islam sebagai agama yang
komprehensif dan mengandung ajaran yang sangat moderat serta rahmatan lil alamin. Artinya,
islam itu tidak hanya membawa keberkahan kepada alam dan manusia saja, tapi seluruh makhluk
ciptaan Tuhan seperti binatang, tumbuhan, dan lain-lain, juga membawa kedamaian,
kesejahteraan, keadilan.
 
“Semua sudah tercakup. Jadi apalagi yang mau diganti? Semua sudah ada alam Pancasila yaitu
ketuhanan, kemanusiaan, keadilan. Makanya saya mendorong agar generasi muda kita kembali
belajar falsafah Pancasila demi membangun karakter manusia Indonesia yang baik dan
bermartabat,” jelas Murodi.
 
Terkait propaganda paham radikalisme dan terorisme, menurut Murodi, radikalisme itu sudah
ada sejak manusia ada. Sekarang tugas bangsa Indonesia adalah menangkal gerakan radikalisme
dan terorisme. Dalam pandangannya, radikalisme dan terorisme itu terjadi akibat banyak faktor,
tetapi dari banyak faktor itu, paling banyak persoalan ideologi agama.  Dari situlah para
penganut paham radikalisme dan terorisme itu tidak saja mengkafirkan dan menganggap orang
yang tidak seagama sebagai musuh, bahkan yang seagama pun seringkali tetap dianggap musuh
dan harus dimusnahkan.
 
Menurut Murodi, upaya-upaya mengkafirkan itu sudah muncul sejak abad 7-8 masehi. Saat itu,
terjadi konflik internal dan perebutan kekuasan di banyak negara yang menjadi akar munculnya
radikalisme. Selain itu, tujuan mereka adalah menggulingkan kekuasaan politik, makanya
gerakan radikal itu muncul di negara-negara islam, termasuk di Indonesia.
 
“Mereka ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi islam. Itulah salahnya, mestinya yang
harus diajarkan ke masyarakat adalah bahwa negara ini didirikan oleh para pahlawan yang
berideologi Pancasila yang digali dari sumber-sumber agama itu sendiri,” tutur Murodi.
 
Selain itu, Murodi menggarisbawahi tujuan kelompok radikal yang ingin mengganti NKRI
menjadi khilafah. Ia justru mempertanyakan khilafah yang mana. Menurutnya, khilafah itu sudah
habis dan sudah tidak ada. Khilafah itu sudah hancur pada abad ke-8 masehi, saat munculnya
dinasti Bani Umayah. Tapi saat itu bukan khilafah, tapi kerajaan (mulk). Menurutnya, khilafah
itu sebenarnya terjadi saat era sahabat nabi, Abubakar, Umar, Usman, dan Ali yang sistemnya
demokrasi. Tapi setelah Muawiyyah, itu kerajaan monarki yang absolut.
 
“Mau diganti yang mana? Khilafah sudah selesai, tidak ada lagi. Bahawa model-modelnya boleh
ditiru. Karena modelnya yang baik seperti equality (kesamaan), justice (keadilan), dan
kebebasan. Itu doktrin agama,” jelas Murodi.
 
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (Wasekjen PBNU),
Ishfah Abidal Aziz prinsip-prinsip hidup berbangsa dan bernegara yaitu dengan mengamalkan
nilai-nilai Pancasila harus dhidupkan lagi di kalangan anak muda.
 
“Problemnya yang selama ini terjadi Pancasila hanya menjadi konsep yang hanya sekadar
dihafalkan saja dari sila kesatu sampai kelima. Harusnya nilai-nilai Pancasila diamalkan dan
diwujudkan di setiap nafas kehidupan bangsa Indonesia,” ujar pria yang biasa disapa Gus Ishfah
ini.
 
Selain itu, empat pilar kebangsaan yakni Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, NKRI dan
Bhineka Tunggal Ika ini harus ditanamkan kembali kepada para generasi bangsa. Menurutnya,
selama ini generasi muda enggan mengamalkan nila-nilai Pancasila akibat pengaruh dunia
modern dan kebudayaan asing.
 
Gus Ishfah menilai peran lembaga pendidikan sangat besar dalam membangun generasi
Pancasila demi untuk membendung pengaruh paham radikalisme dan terorisme. Ia mengakui
bahwa pelajaran mengenai keanekaragaman budaya nasional Indonesia yang merupakan
perwujudan dari Bhinneka Tunggal Ika di sekolah-sekolah sudah banyak berkurang secara
drastis. Bahkan menurutnya, konten-konten buku ajar di sekolah-sekolah saat ini sudah masuk
materi radikal dan materi anti Pancasila.
 
“Mari kita lawan propaganda paham radikalisme dan terorisme mulai dari akar terbawah yang
pendidikan. Kalau dunia pendidikan kita bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila, Insya Allah kita
akan terbebas dari pengaruh paham radikalisme dan terorisme,” kata Gus Ishfah.

Anda mungkin juga menyukai