“Keragaman dalam hal agama merupakan salah satu tantangan terbesar yang
dihadapi oleh Bangsa Indonesia,” ujar Fachrul. Menurut Fachrul, saat ini konflik yang
berbasis isu keagamaan masih sesekali terjadi diakibatkan menajamnya perbedaan
penafsiran, hingga konflik yang diakibatkan oleh adanya sikap intoleransi,
ekstremisme, radikalisme, hingga terorisme.
Oleh karena itu, perlu ada upaya terus menerus untuk menjelaskan dan
memberikan pengertian bahwa nilai-nilai Pancasila sama sekali tidak bertentangan
dengan nilai-nilai agama mana pun. Bahkan Pancasila dapat dianggap sebagai jalan
tengah yang mampu mengakomodasi nilai-nilai agama untuk diterjemahkan dalam
konteks bernegara dan dapat dikatakan bahwa pengaruh agama sangat kuat
mewarnai rumusan berbagai isi perundang-undangan, peraturan, serta regulasi-
regulasi turunannya di Indonesia.
Pancasila sebagai sebuah ideologi negara telah teruji karena lahir dari kesepakatan
bersama antarkelompok yang beragam. Lahirnya Pancasila tidak hanya melibatkan
tokoh dari kalangan satu agama saja, melainkan juga tokoh-tokoh agama lain dan
kelompok nasionalis. “Namun, dalam implementasinya, nilai-nilai Pancasila masih
perlu diterjemahkan secara lebih konkret agar betul-betul dirasakan manfaatnya
oleh seluruh umat beragama,” kata Fachrul.
"Karena dari lima sila itu tidak ada yang bertentangan dengan agama Islam. Justru itu
adalah nilai-nilai Islam," kata Said Aqil di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa
(10/12/2019).
Dia menjelaskan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, semuanya ada dalam Al-
Qur'an.
"Karena dari lima sila itu tidak ada yang bertentangan dengan agama Islam. Justru itu
adalah nilai-nilai Islam," kata Said Aqil di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa
(10/12/2019).
Dia menjelaskan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, semuanya ada dalam Al-
Qur'an.
Pengertian Demokrasi
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, di antaranya
seperti yang dikutip Hamidah1 adalah sebagaimana di bawah ini: Menurut Joseph A.
Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan
cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam Encyclopaedia
Americana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari
rakyat dewasa2. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah
suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas
tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara
tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih3.
Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-
nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat,
adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman
Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok dan yang
bersifat derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah
kebebasan, persamaan, musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan
individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbangan antara hak-hak
individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat.4 Nurcholish Majid, seperti yang
dikutip Nasaruddin5 mengatakan, bahwa suatu negara disebut demokratis sejauhmana
negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain: kebebasan
menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi
menolak6 dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi,
hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan
berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip utama
demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang
musyawarah); al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang
persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan
mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan berpendapat)
dst. 6 Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin7, agama dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya
sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-
elemen pokok demokrasi dalam perspektif Islam meliputi: as-syura, al-musawah,
al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-
masing dari elemen tersebut? 1. as-Syura Syura merupakan suatu prinsip tentang cara
pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja
disebut dalam QS. As-Syura: 38:
“Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam
surat Ali Imran:159 dinyatakan: “Dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu”. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai
pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini
lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau
khalifah8 Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan
dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi
tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi
pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti musyawarah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri juga menyerahkan
musyawarah kepada umatnya.
1. 2. al-‘Adalah
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa secara normatif doktriner, dalam
ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipun secara
generik, global. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajara Islam itu adalah: as-
syura, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas demokrasi dalam
sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin.
Tetapi setelah itu, pada sebagian besar negara-negara Islam tidak mewarisi nilai-nilai
demokrasi tersebut. Realitas ini tidak hanya terjadi pada negara-negara Islam saja, tetapi
juga negara non-Islam (Barat). Inilah problem yang dihadapi oleh banyak negara. Secara
umum nilai-nilai agama memang belum banyak dipraktikkan dalam ikut memberikan
kontribusi pada banyak negara, apalagi negara sekular. Oleh sebab
itu statement Fukuyama maupun Huntington, yang mengatakan bahwa secara empirik
Islam tidak compatible dengan demokrasi tidak sepenuhnya benar. Sebab di negara non-
Muslim pun demokrasi juga tidak sepenuhnya diterapkan.
Agama dan Pancasila merupakan dua hal yang melekat dalam nilai kultur masyarakat
Indonesia. Kedua hal itu merupakan dua hal yang sama sekali tidak bertentangan karena
nilai-nilai agama diejawantahkan dalam sisa-sila Pancasila.
Hal itu merupakan poin penting yang disampaikan dalam sesi paralel Konvensi Nasional
Indonesia Berkemajuan (KNIB) di Ruang Sidang Gedung Kasman Singodimedjo Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa pagi (24/5). Sesi tersebut dihadiri oleh empat
tokoh nasional seperti rohaniawan Katolik Frans Magnis Suseno, Prof. Dr. Amin Abdullah,
Prof. Dr. Chamamah Soeratno, dan Prof. Dr. Syafiq Mughni. Sesi tersebut membahas tema
“Budaya Berkemajuan: Revitalisasi Karakter: Aktualisasi Agama dan Pancasila dalam
Identitas Keindonesiaan”.
Cendekiawan muslim Prof. Dr. Amin Abdullah, dalam paparannya menyatakan bahwa
pemikiran politik keislaman di Indonesia penting untuk terus dikembangkan agar agama dan
pancasila dapat berjalan berbarengan untuk menangkal pergolakan seperti fenomena Arab
Spring yang melanda negara-negara Timur Tengah. Di samping itu ia juga menyatakan
bahwa Islam di Indonesia memiliki korelasi kultural dengan pancasila yang membuat
pemikiran politik keislaman di Indonesia lebih mudah diterapkan.
“Pemikiran politik keislaman sangat sulit dikembangkan di negara Timur Tengah. Indonesia
dengan Pancasila dapat mengembangkan pemikiran tersebut lebih mudah melihat kultur di
Indonesia. Pemikiran tersebut penting untuk menangkal Arab Spring masuk ke Indonesia.
Tantangannya sekarang adalah kompleksitas antara agama dan pluralitas di Indonesia,” tutur
Amin Abdullah.
Ditegaskan oleh paparan Romo Magnis, ia memaparkan bahwa Islam tidak bisa lepas dari
kebangkitan nasional, hal yang digarisbawahi dari kebangkitan Islam itu pula, menurut Romo
Magnis merupakan sumbangan yang luar biasa ketika para tokoh Islam tidak mengkhususkan
posisi Islam dalam konstitusi dan dasar negara. “Kebangkitan Islam adalah bagian dari
kebangkitan nasional dengan adanya Budi Oetomo, Serikat Indonesia, dan Muhammadiyah.
Hebatnya mereka tidak mengkhususkan posisi Islam dalam ideologi dan dasar negara. Itu
merupakan sumbangan yang luar biasa,” ungkap Romo Magnis.
Lebih lanjut ia membandingkan antara Indonesia tahun 1998 dan Mesir tahun 2010 yang
sama-sama mengalami democratic spring. Mesir gagal menjalankan demokrasi, Indonesia
berhasil menjalankan demokrasi beringingan dengan Islam lewat tokoh-tokoh Islam seperti
B.J. Habibi, Amin Rais, dan Gus Dur.
Sementara itu pemapar ketiga, Prof. Syafiq A. Mughni, memaparkan bahwa agama dan
Pancasila adalah dua hal yang sama sekali tidak bertentangan. “Agama dan Pancasila sama
sekali tidak bertentangan dan nilai agama diejawantahkan dalam pancasila di mana sila-sila
yang ada itu sebetulnya nilai agama yang mendasari, Muhammadiyah komitmen terhadap
kedua hal itu,” terang Syafiq Mughni.
Di samping itu Syafiq Mughni menyoroti pragmatisme yang kian merajalela dalam
masyarakat yang mengesampingkan idealisme. Hal itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai
agama maupun Pancasila. “Pragmatisme merajalela dalam diri bangsa kita, tidak lagi pada
idealisme, semua jalan ditempuh demi keuntungan pribadi, bangsa kita sering berorientasi
pada kuantitas. Bangga dengan jumlah, tapi agama hanya simbol dan jargon,” tambah Syafiq.
(suf)
Berita terkini