Secara bahasa atau etimologi, Islam berasal kata Bahasa Arab yaitu salima yang
berarti selamat, sentosa dan damai. Secara istilah atau terminologi, kata Islam dapat diartikan
sebagai patuh dan taat kepada kehendak atau kemauan Allah Swt begitu juga dengan aturan
Allah Swt. Ajaran Islam yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu berbeda dari segi syariatnya,
kesempurnaannya, masa berlakunya dan wilayah cakupannya dengan Islam yang dibawa
Nabi Muhammad Saw dan Islam tidak mungkin lengkap tanpa adanya masukan dari agama
sebelumnya. Agama Islam yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad Saw berisi tentang
pembenaran serta pengakuan eksistensi syariat-syariat terdahulu sudah melenceng jauh dan
juga menyempurnakan syariat tersebut untuk diberikan kepada seluruh umat manusia hingga
akhir zaman.
Agama Islam juga memiliki keistimewaan yakni Agama Islam merupakan agama
yang dapat digunakan sebagai suatu penyeimbang antara dunia dan akhirat. Dalam kehidupan
di masa sekarang ini agama pun tetap diperlukan oleh manusia sebagai suatu pedoman hidup.
Ada suatu pemikiran dari kalangan cendekiawan muslim Indonesia yang menggagas suatu
wacana untuk memadukan antara ilmu pengetahuan dengan agama, yang menjadikan agama
seagai pengontrol atau pengendali terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, karena dalam agama Islam tidak hanya
mengenai teori kosong.
Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi Islam adalah pada
periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian dikenal dengan warisan “Generasi Salaf”,
yakni generasi Nabi Muhammad Saw dengan para sahabat dan tiga generasi sesudahnya.
Generasi tersebut juga sering disebut Muslim Awal. Dalam kehidupan politik, warisan
dimaksud adalah praktik politik dan ide, yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat sahabat
(Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan kehidupan politik
saat itu “murni” sejarah dan praktik politik nabi dan empat khalifah. Dalam hal ini apa yang
diwariskan merupakan praktik politik, atau kebijakan politik serta “pemikiran politk” yang
tidak dirumuskan secara koheren
Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf Faruqi (1996) .
Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam Islam prosedurnya antara lain, analog
atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih karena analog sebagai imam
(pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan. Di sini ada dua tahap “sumpah setia”
(baiat), yakni tahap elit (baiat khusus) dan tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang
menyertai hal ini adalah kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya
bagus dan terhormat demi “integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the ummah could
be preserved). Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal dari klan terhormat, Quraisy.
Namun demikian, hal itu hanyalah contoh kontekstual yang sesuai dengan zamannya.
Karenanya, sangat diherankan bila di kemudian hari masih mempertimbangkan bahwa
khalifah harus dari Quraisy. Padahal besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah
meliputi seluruh bumi.
Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk
pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan
politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai
penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun
suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang
dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004). Masyhuri Abdillah (2005), juga
melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena konsep
negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah
sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa
Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia
juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan
yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme,
persamaan, musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol.
Kedua, demokrasi agama yang didukung di antaranya oleh Soeharto dan Amin Rais.
Eksponen model ini percaya bahwa Islam tidak secara khusus menyuruh kaum Muslim
untuk mendirikan tipe institusi politik tertentu. Yang ditekankan Islam adalah
mendirikan masyarakat yang sepenuhnya berkomitmen pada prinsip-prinsip dasar agama
seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Semua prinsip itu bisa saja terkandung di
dalam sistem politik yang tidak secara khusus dan formal menentukan Islam sebagai
dasarnya. Pondasi dasar model kedua adalah bahwa masyarakat politik haruslah religius.
Agama adalah unsur vital kehidupan komunal. Tanpa agama, negara akan dihancurkan
oleh murka Tuhan. Indonesia lebih mendekati model demokrasi ini. Dalam pasal 29 ayat
1 UUD 1945 Indonesia berdasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa, menandakan
Indonesia adalah negara beragama. Bukan negara tanpa agama.
Ketiga, Demokrasi Liberal yang menegaskan bahwa urusan politik harus dibahas dan
dilaksanakan di luar wilayah agama. Di antara pendukung model ini adalah Nurcholis
Madjid dan Abdurahman Wahid. Argumennya adalah bahwa Islam pertamatama adalah
agama moral. Eksponen model ini menganggap ucapan Nabi “kalian lebih tahu
mengenai urusan dunia” (antum a‘lamu bi umu ri dunya kum) sebagai rujukan yang
kokoh bagi proyek sekularisasi Islam. Mereka meyakini bahwa hadis itu secara eksplisit
memberikan nasehat kepada umat Islam untuk membedakan urusan dunia dengan urusan
akhirat. Para pendukung pada umumnya adalah tokoh Islam yang sangat percaya bahwa
agama adalah sumber nilai-nilai etis transendental bagi kehidupan manusia.