Anda di halaman 1dari 4

RELEVANSI PANCASILA TERHADAP NILAI-NILAI AJARAN AGAMA ISLAM

Latar Belakang

Indonesia dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam memiliki sebagian kelompok yang fanatik
terhadap Islam. Mereka menginginkan Indonesia direkonstruksi sebagai negara Islam, atau setidaknya
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sehingga menurut mereka Pancasila yang merupakan nilai
dasar, kaidah pokok fundamental, serta sumber dari segala sumber hukum bagi negara Republik
Indonesia perlu dihapuskan dan diganti dengan hukum Islam.

Menurut dosen FISIP UI, Dr. Muhammad Nasih, konsep negara-bangsa sebagai konsep negara modern
bagi Indonesia diformat dalam bentuk negara berdasarkan Pancasila, sehingga pada mulanya
menimbulkan pertentangan antara Pancasila dengan Islam. Pancasila dinilai tidak relevan dengan
konsep umat Islam yang berpegang pada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Akan tetapi, Indonesia bukan merupakan negara Islam. Indonesia adalah negara kesatuan. Indonesia
tidak hanya memiliki agama Islam semata, tetapi juga memiliki agama-agama yang lain seperti Kristen,
Katolik, Hindu dan Budha. Sehingga diperlukan suatu ideologi yang dapat mempersatukan agama-agama
tersebut untuk tercapainya kebersamaan dalam sebuah negara. Ideologi tersebut harus dipahami dan
dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

Pancasila yang dibuat pada tahun 1945 dengan sepuluh kali perumusan, menjadi sebuah ideologi negara
Indonesia yang sah. Pancasila merupakan suatu upaya untuk mempersatukan Negara Republik Indonesia
yang memiliki banyak suku dan budaya serta agama. Sehingga Pancasila dapat diterima oleh seluruh
warga masyarakat Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, melalui makalah ini penulis bermaksud untuk mengemukakan apakah
Pancasila sudah sesuai dengan sumber ajaran Islam, bagaimana Islam menyikapi Pancasila sebagai suatu
dasar negara, sebagai sumber hukum negara Indonesia.

Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan permasalahan yang terjadi maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana Islam menyikapi Pancasila sebagai dasar negara.

Apakah Pancasila sesuai dengan sumber ajaran Islam.

Tujuan Penulisan
Mengemukakan relevansi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia terhadap sumber ajaran agama
Islam.

Meluruskan pandangan masyarakat Islam fanatik yang menolak Pancasila sebagai dasar negara.

Manfaat Penulisan

Mengembangkan konsep pengetahuan pembaca tentang sudut pandang Islam terhadap Pancasila.

Mengetahui relevansi Pancasila terhadap sumber ajaran agama Islam

BAB II

Tinjauan Pustaka

Munculnya Penolakan Pancasila di Indonesia

Penolakan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dimulai setelah Indonesia merdeka pada tahun
1945. Suatu kelompok dengan fanatisme terhadap Islam yang kuat tidak menyetujui Pancasila sebagai
dasar negara. Pada tahun 1949 kelompok tersebut diproklamirkan di desa Cisampah Tasikmalaya,
dengan nama NII (Negara Islam Indonesia) atau DI (Daarul Islam). Sebelumnya pun dalam sidang
BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus
berdasar atas “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18
Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar


negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum
Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan
"Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas
menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan
penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan
"hukum kafir", sesuai dalam Qur'an surah Al-Maidah, ayat 50. [1]

Kelompok ini berkembang dan menyebar di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (perbatasan Jawa
Barat dan Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Walaupun pada tahun 1962 kelompok ini telah
terpecah karena penangkapan Kartosoewirjo, namun perkembangannya tetap berjalan hingga sampai
saat ini secara diam-diam.
Perkembangan gerakan NII ini menyebabkan terjadinya banyak perdebatan tentang hukum Pancasila
dan hukum Islam. Akibatnya banyak masyarakat yang terprovokasi dalam perdebatan-perdebatan ini.
Contohnya masalah undang-undang perkawinan, terorisme, serta masalah-masalah kontroversial
lainnya. Selain itu, gerakan NII memprovokasi masyarakat untuk berupaya menghapuskan Pancasila dari
negara Indonesia sebagai dasar negara Indonesia.

Negara Pancasila sebagai Negara Kebangsaan yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa

Negara Pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Landasan Pokok sebagai pangkal tolak paham tersebut adalah Tuhan sebagai Sang Pencipta segala
sesuatu, dengan prinsip sebab akibat. Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan
makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling berhubungan dan
saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral
(Ensiklopedi Pancasila, 1995).

Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara Kebangsaan Indonesia, yaitu bukan negara
sekuler yang memisahkan antara negara dengan agama, namun bukan pula negara teokrasi yaitu negara
yang mendasarkan atas agama tertentu.

Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah merupakan suatu keyakinan
batin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat dipaksakan. Tidak ada satu agamapun yang
membenarkan untuk memaksakan kepada orang lain untuk menganutnya. Dengan perkataan lain,
negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadah menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing (Kaelan, 2010).

Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikekang ataupun dipaksakan.
Kebebasan beragama merupakan suatu hak untuk setiap individu sebagai hubungan antara kodratnya
sebagai manusia dengan Tuhan Yang Menciptakan. Karena itu Pancasila yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia memberikan sebuah kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan pilihannya masing-
masing.

Selain itu negara Indonesia menganut paham integralistik. Negara Indonesia merupakan suatu kesatuan
integral yang mencakup banyak suku, budaya dan agama, serta berbagai golongan lainnya baik golongan
mayoritas maupun minoritas. Paham integralistik yang terkandung dalam Pancasila meletakkan azas
kebersamaan hidup, mendambakan keselarasan dalam hubungan antar individu maupun masyarakat.
Dalam pengertian ini paham integralistik tidak memihak kepada yang kuat, tidak mengenal dominasi
mayoritas maupun tirani minoritas. Maka di dalamnya terkandung nilai kebersamaan, kekeluargaan, ke
“bhinneka tunggal-ika”an, nilai religius serta selaras (Ensiklopedia Pancasila, 1995).
BAB III

ISI

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar filsafat negara

“Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sila pertama dari Pancasila. Sila tersebut merupakan dasar
filsafat negara yang merupakan nilai dasar, dan sumber norma. Dengan kata lain, setiap aspek aktivitas
penyelenggaraan negara seperti bentuk negara, tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara, harus
sesuai dengan nilai-nilai dan norma agama. Hal ini ditegaskan oleh Moh. Hatta, bahwa sila Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan nilai dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan untuk menyelenggarakan
yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. (Hatta, Panitia Lima, 1980)

Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa secara filosofis menggambarkan kesesuaian hubungan sebab akibat
antara Tuhan, manusia dan negara. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Maka antara Tuhan dengan manusia mempunyai hubungan sebab akibat yang langsung.
Hakikat Tuhan adalah sebagai causa prima (sebab pertama), sedangkan manusia adalah akibat dari
penciptaan manusia oleh Tuhan.

Hubungan antara manusia dengan negara mempunyai sebab akibat yang langsung. Sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an:

Anda mungkin juga menyukai