Anda di halaman 1dari 8

NEGARA PANCASILA SEBAGAI NEGARA KEBANGSAAN

YANG BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Pancasila Program Studi Pendidikan Agama Islam
IAIN BONE

Di Susun
Oleh:

IRNAJULIANA
(862082021043)

DOSEN PEMANDU

Andi Sarwo Edy Haruna, SH

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN B0NE)
2021
Nama : Irnajuliana

Nim : 862082021043

NEGARA PANCASILA SEBAGAI NEGARA KEBANGSAAN YANG

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

Negara Pancasila pada hakikatya adalah negara Kebangsaan yang ber-

Ketuhanan yang Maha Esa. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana

terdapat dalam pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada

negara kebangsaan Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang

mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil

dan beradap, yaitu negara kebangsaan yang memelihara budi pekerti kemanusiaan

yang luhur dan memegang teguh cita-cita kemanusiaan sebagai makhluk

Tuhan,dengan segala hak dan kewajibannya. Negara tidak memaksa dan tidak

memaksakan karena agama adalah merupakan suatu keyakinan bathin yang

tercermin dalam hasil sanubari dan tidak dapat dipaksakan. Tidak ada satu agama
pun yang membenarkan untuk memaksakan kepada orang lain untuk

menganutnya.

Sesuai dengan makna negara kebangsaan indonesia yang berdasarkan

pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka

memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan serta religiusitas. Dalam pengertian

inilah maka negara pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan yang

berketuhanan yang maha esa. Rumusan ketuhanan yang maha esa sebagai mana

terdapat dalam pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada

negara kebangsaan indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang


memisahkan antara agama dengan negara demikian juga bukan merupakan negara

agama yaitu negara yang mendasarkan atas negara agama tertentu.

Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah

merupakan suatu keyakinan batin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak

dapat di paksakan. Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan

hak asasi manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat

manusia yang berkedudukan sebagai mahluk pribadi dan mahluk ciptaan tuhan

yang maha esa. Oleh karena itu agama bukan pemberian negara atau golongan

tetapi hak beragama dan kebebasan beragama merupakan pilihan pribadi manusia

dan tanggung jawab pribadinya.

Hubungan negara dengan agama menurut negara pancasila adalah sebagai berikut:

1. Negara adalah berdasar atas ketuhanan yang maha esa,

2. Bangsa indonesia adalah sebagai bangsa yang berketuhanan yang maha

esa,

3. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakekatnya

manusia berkedudukan kodrat sebagai mahluk tuhan,

4. Tidak ada tempat pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter

pemeluk agama serta antar pemeluk agama,

5. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan

hasil paksaan siapapun juga,

6. Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam

menjalankan agama dan negara.

7. Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus

sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa terutama norma-

norma hukum positif maupun norma moral baik moral negara maupun

moral para penyelenggara negara,


8. Negara pada hakikatnya adalah merupakan”……berkat rahmat Allah

yang maha esa”.

Menurut paham theokrasi hubungan negara dengan agama merupakan

hubungan yang tidak dapat di pisahkan karena negara menyatu dengan agama dan

pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman tuhan. Dengan demikian

agama menguasai masyarakat politis.

Dengan sila ketuhanan ini, tampak kuat kehendak para pendiri bangsa

menjadikan Negara Pancasila sebagai negara yang religius (religious nation state).

Dengan paham ini, kita tidak menganut paham sekuler yang ekstrem, yang

memisahkan "agama" dan "negara" dan berpretensi menyudutkan peran agama ke

ruang-ruang privat/komunitas. Meski kita juga bukan negara agama, dalam arti

hanya satu agama yang diakui menjadi dasar negara Indonesia.

Menjadi religious nation state maknanya adalah negara melindungi dan

mengembangkan kehidupan beragama. Lebih dari itu, agama didorong untuk

memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan norma dan etika sosial.

Dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai ketuhanan

(nilai-nilai agama/religiusitas) harus dijadikan sumber etika dan spiritualitas.

Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi fundamen etik

kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga sangat jelas kebangsaan kita adalah

kebangsaan yang berketuhanan. Konstitusi, UUD 1945, secara tegas menyatakan,

negara ini berdiri di atas dasar ketuhanan. Hal itu dinyatakan pada Pasal 29 Ayat

(1), "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Lalu Ayat (2), "Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."Di negara ini

tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan dan antikeagamaan.

Tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang menghina dan menistakan agama.
Sama halnya tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang mengerdilkan peran

agama. Aktualisasi keagamaan bukan saja diberikan ruang, tetapi didorong terus

untuk menjadi basis moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala upaya

sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (memisahkan agama dan

negara) tidak memiliki tempat dan bertentangan dengan falsafah Pancasila dan

UUD 1945.Nilai-nilai ketuhanan/agama harus menjadi fundamental pembangunan

sumber daya manusia Indonesia. Dan hal ini sudah sangat baik diafirmasi oleh

UUD 1945 hasil perubahan. Pasal 31 Ayat (3) jelas menegaskan visi

pengembangan SDM Indonesia melalui pendidikan, "Pemerintah mengusahakan

dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."

Amanat UUD 1945 ini dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Pasal 1 Ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, dan negara. Inilah visi sekaligus semangat baru yang

mengarahkan pada pembentukan watak dan peradaban bangsa. Visi dan semangat

ini menjadi rujukan utama pelaksanaan fungsi pendidikan di Indonesia, dan tentu

saja,harus termanifestasi dalam kurikulum pendidikan. Saatnya kita kembali

mengokohkan kepribadian dan karakter sebagai bangsa ber-Ketuhanan Yang

Maha Esa sejalan dengan falsafah Pancasila. Ada anasir yang hendak

mengarahkan Indonesia menjadi negara atau bangsa yang liberal dan sekuler, dan

itu perlu diwaspadai sebagai ancaman serius bagi kebangsaan kita. Kita adalah
bangsa besar yang dibangun di atas konsepsi besar bernama Pancasila. Pancasila

menginginkan kita menjadi bangsa yang ber-Ketuhanan, bangsa yang religius,

bukan bangsa sekuler apalagi tak ber-Tuhan. Inilah karakteristik kita, inilah

kepribadian kita. Dan, ini jualah yang dipesankan Bung Karno dan para pendiri

bangsa sebagai warisan untuk kita rawat.

Kuatnya dimensi ketuhanan di dalam pemikiran the foundings fathers

dalam mendirikan negara berketuhanan tercermin dan ditegaskan setelah

disepakatinya rumusan dasar negara “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam

Pembukaan UUD 1945. Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut, konon

merupakan rumusan yang didapat Soekarno saat mengunjungi Syekh Abbas

Abdullan, ulama pejuang di Padang Japang, sekira pada masa-masa transisi dari

era Belanda ke Jepang. Ketika Soekarno bertanya perihal apa yang terbaik jika

kelak bangsa Indonesia merdeka? Syekh Abbas menjawab, “Negara yang akan

didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dan benar, Ketuhanan Yang Maha Esa disepakati untuk ditempatkan

sebagai sila pertama Pancasila. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa

memberikan nafas sekaligus roh bagi keseluruhan sila-sila Pancasila. Menurut

Jimly Asshiddiqie, sila pertama dan utama tersebut menerangi keempat sila

lainnya. Hazairin menuliskan, dari kelima sila Pancasila, ada satu sila yang

mempunyai posisi istimewa,yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa?

Karena sila tersebut tertelak di luar ciptaan akal-budi budi manusia. Hanya sila

Ketuhanan Yang Maha Esa yang bukan merupakan hasil kebudayaan manusia.

Sila itu, kata Hazairin, merupakan sesuatu yang abadi, yang kekal, tidak berubah-

ubah, tidak dapat dipengaruhi oleh manusia, dan tidak pula dapat ditundukkan

pada kemauan dan keinginan manusia. Oleh karena itu, sila Ketuhanan Yang

Maha Esa dijadikan landasan yang paling kokoh bagi Negara Republik Indonesia.
Ketuhanan yang Maha Esa pada dasarnya memuat pengakuan ekplisit akan

eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta. Nilai ketuhanan dalam Pancasila

menunjukkan bahwa eksistensi negara, bangsa, dan manusia Indonesia berelasi

dengan Tuhan yang diyakini sebagai sumber segala kebaikan. Ia merupakan

fundamen moral dan berdimensi religius yang menentukan pola dasar bagi seluruh

kehidupan negara.

Dalam Pancasila, nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis.

Nilai ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat

mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan

dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan.

Berikutnya, dalam bacaan Pancasila juga, prinsip ketuhanan diwujudkan dalam

paham kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai watak kebangsaan Indonesia.

Dalam pandangan Jimly, dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara

sesama manusia sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat

tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil sehingga kualitas peradaban

bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa.

Dalam pemahaman di atas, Ketuhanan yang Maha Esa bukan merupakan

prinsip yang memasuki ruang akidah umat beragama, melainkan suatu prinsip

hidup bersama dalam suatu negara di tengah masyarakat dengan keragaman

agama dan keyakinan. The founding fathers tidak memaknai sila Ketuhanan

dalam makna yang terlalu teologis dan filosofis. Ia tidak ditampilkan sebagai

konsep Ilahiah menurut klaim agama dan filsafat tertentu. Ketuhanan dimaknai

dalam konteks kehidupan praksis, suatu kehidupan yang dicirikan dengan

bagaimana nilai-nilai ketuhanan itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,

seperti bersikap adil terhadap sesama, berkata dan bertindak jujur, dan
menyambung silaturrahmi, sehingga perpecahan antar sesama dapat dihindari.

Dari nilai-nilai demikian itulah, negara memperoleh fundamennya.

Jika diibaratkan Pancasila ialah sebatang pohon, sila pertama merupakan

akarnya, sila kedua adalah batang, sila ketiga adalah buah, sila empat adalah buah

yang telah diolah dalam permusyawaratan perwakilan sehingga menjadi

pemerintahan. Tujuan bangsa terdapat di sila ke lima Pancasila: Keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia. Esensi utama nilai-nilai Pancasila terletak pada

nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa nilai itu, semua tidak memiliki arti

apapun. Pemahaman terhadap keempat nilai lain yang terdapat dalam Sila kedua

hingga keempat Pancasila tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap nilai

Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai Ketuhanan yang terdapat dalam sila pertama ini

menjadi perekat nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila berikutnya, atau ia

meliputi dan menjiwai sila-sila berikutnya.

Dari sini jelas, dalam konteks Pancasila dan nilai ketuhanan, dapat

dikatakan bahwa segala sesuatu bersandar pada aspek ketuhanan. Inilah yang

disebut oleh Yudi Latief sebagai perspektif iluminasi. Maksudnya, masyarakat

Indonesia berpandangan bahwa segala sesuatu di jagad raya ini saling

berpasangan dan saling tergantung yang merupakan pancaran dari satu kekuatan

yang tunggal, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ketuhanan yang

dijadikan dasar atau jiwa penyelenggaraan negara tidak hanya berasal dari agama

atau kepercayaan tertentu, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran agama

dan kepercayaan yang sifatnya universal. Semua agama dan kepercayaan di

Indonesia 5 sudah barang tentu mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Itulah esensi

dari nilai-nilai ketuhanan.

Anda mungkin juga menyukai