Anda di halaman 1dari 8

KUMPUL KEBO SEBAGAI PERBUATAN MENYIMPANG DALAM

MASYARAKAT

OLEH : NISA BELAGAMA BALIRAHAJENG

NPM : 10040017184

KELAS : D

KRIMINOLOGI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

JL. RANGGAGADING NO. 8 TAMANSARI


I. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan


(norma) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh
masyarakat. Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang masih kita
jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku pada
masyarakat. Perilaku yang tidak sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku disebut
perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial.1

Menurut Kartono (2010:6) perbuatan menyimpang adalah suatu perbuatan yang


melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia
remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. Salah satu perbuatan menyimpang
adalah kumpul kebo. Praktek Kumpul Kebo atau Cohabitation yaitu hidup sebagai
suami istri tetapi tidak diikat oleh perkawinan tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.2 Masyarakat Indonesia sendiri sering memaknai kumpul kebo sebagai
perbuatan yang negatif atau sebagai problem sosial karena pola hidup bersama di
antara dua orang yang belum menikah dengan orang yang bukan istri atau suaminya
merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan norma atau nilai yang
dipegang oleh masyarakat. Praktek kumpul kebo juga sangat identik dengan seks di
luar lembaga perkawinan. Oleh karena itulah maka umumnya dugaan terhadap
pasangan yang hidup bersama, dianggap telah melakukan hubungan seksual diluar
perkawinan.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin mengangkat fenomena perilaku


menyimpang kumpul kebo ini menjadi bahasan dalam tugas makalah kriminologi.
Karena disadari atau tidak di Indonesia praktek kumpul kebo. yang dianggap
bertentangan dengan norma agama dan norma kesusilaan, telah hidup dan
berkembang dalam masyarakat tanpa ada aturan hokum yang tegas untuk
menanggulanginya.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian masalah dalam pendahuluan maka permasalahan yang ingin


dibahas oleh penulis yaitu :

1. Apa yang menjadi penyebab praktek kumpul kebo dianggap sebagai perbuatan
menyimpang dan dapat menimbulkan sosial problem dalam masyarakat?

2. Bagaimana penanggulangan praktek kumpul kebo sebagai perbuatan menyimpang


dalam masyarakat?

1
fahdisjro.com/2017/05/perilaku-menyimpang.html diakses pada hari Kamis, 23 Oktober 2019 pukul 12.49.
2
I.P.M Rahunandoko, terminology Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika Jakarta 1996
III. PEMBAHASAN

Dalam pergaulan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari norma dan aturan
yang berlaku di masyarakat. Apabila semua anggota masyarakat mentaati norma
dan aturan tersebut, niscaya kehidupan masyarakat akan tentram, aman, dan
damai. Namun dalam kenyataannya, sebagian dari anggota masyarakat ada yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma dan aturan tersebut.
Pelanggaran terhadap norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat dikenal
dengan istilah perbuatan menyimpang.

Salah satu perbuatan menyimpang yaitu praktek kumpul kebo. “Kumpul kebo”
dalam bahasa Belanda disebut “Samenleven” dan dalam bahasa trendinya adalah
“Living Together” tetapi, yang dimaksud adalah “kumpul kebo”. Istilah “kumpul
kebo” berasal dari masyarakat Jawa tradisional (generasi tua). Secara
gamblangnya pasangan yang belum menikah, tapi sudah tinggal di bawah satu
atap. Perilakunya itu dianggap sama seperti kebo. Entah kenapa hidup bersama
tanpa ikatan perkawinan itu dibilang sebagai “kumpul kebo”. Tapi konon secara
anekdotal, kebo atau kerbau dianggap binatang yang kerap bersikap semau-
maunya sendiri, jadi hidup bersama tanpa ikatan perkawinan dianggap sebagai
cermin perilaku semau-maunya sendiri. Atau menurut para pengamat kebo,
mereka sangat jarang melihat kebo jantan dan betina berhubungan seks, yang
mereka lihat hanya mesra-mesraan saja dan tahu-tahu si betina, bunting serta
kemudian melahirkan anak. Nah, ini yang mungkin disamakan dengan para pelaku
kumpul kebo, di depan publik hanya bermesraan layaknya orang pacaran akan
tetapi tahu-tahu hamil dan punya anak.3

Beberapa negara sebenarnya telah mengatur mengenai tindak pidana


cohabitation dalam KUHPnya namun tujuan utama yang di masukkan dalam
elemen kejahatannya dalam pengaturan di beberapa Negara sangat berbeda.4
Namun, secara yuridis hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini tidak dapat
mengancam dengan sanksi pidana terhadap orang yang melakukan hubungan badan
diluar perkawinan yang sah, apabila dilakukan oleh orang yang sudah dewasa atau
kedua belah pihak tidak diikat oleh perkawinan dengan orang lain serta dilakukan tanpa
adanya paksaan.5 Meski telah sering menjadi bahasan dalam rancangan undang-undang,
sampai saat ini belum ada aturan hukum tegas yang mengatur tentang kumpul kebo.

Kebijakan kriminalisasi kumpul kebo sudah sepatutnya dilakukan, karena


perbuatan kumpul kebo tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan
kriminalisasi yang dilakukan harus berpijak pada unsur nilai, keadilan dan
kepastian hukum sehingga dapat diimplementasikan dalam suatu bentuk aturan
hukum yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Perbuatan hidup
serumah (tinggal bersama) tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang sah atau

3
Muh. Zulfan Uswah, Kumpul Kebo dalam pembaharuan hokum pidana positif di Indonesia, Skripsi.
4
Barda nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 93-101
5
Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung:Sinar Baru,1983), hlm 53.
yang lebih dikenal sebagai kumpul kebo, dalam KUHP yang sekarang berlaku
belum ditemukan pengaturannya. Sedangkan, kumpul kebo oleh mayoritas
masyarakat di Indonesia dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap kesusilaan
(menurut hukum adat dan hukum agama). Sehingga dengan tidak adanya
instrumen hukum yang mengaturnya maka tidak jarang pasangan kumpul kebo
digerebek oleh masyarakat dan diarak keliling kampung karena masyarakat
menganggap bahwa hukum tidak mampu untuk menjangkau dan menyelesaikan
masalah yang dianggap sebagai suatu kejahatan kesusilaan oleh masyarakat.6

Seorang individu mengambil keputusan untuk melakukan” kumpul kebo”


karena di dasari beberapa factor,di antaranya:

a) Ketidak siapan mental untuk menikah

Individu ingin membentuk hubungan yang romantis degan pasanganya


sehingga dapat menyalurkan kebutuhan seksual tampah harus terikat dalam
perenikah yang sah. Mereka yang melakukan” kumpul kebo”,umumnya tidak
memiliki kesiapan mental untuk memasuki jengjang pernikahan walaupun dari
segi usia dan pekerjaan atau ekonomi yang sudah memenuhi syarat.menurut
popenoe dan whitenhead (dalam pabila ,Olds ,dan felman, 2001) mengatakan
bawhwa laki-laki menganggap”kumpul kebo” sebagai kesemptan melakukan
hubungan seksual dengan pasangan hidupnya ,sedangkan wanita “kumpul
kebo” dianggap sebagai persiapan untuk memasuki pernikahan yang sah.

b) Ketidak siapan secara Ekonomis

Dari segi usia,mungkin namun seseorang telah memenuhi syarat,namun


dari segi ekonomis mungkin merasa belum siap untuk menikah. Mereka yang
tergolong belum mapdiri secara ekonomi,misalnya mereka yang masih duduk
di perguruan tinggi,lulus universitas atau akademi tetapi masih
menganggur,atau sudah bekerja tapi penghasilanya belum mencukupi jika di
pergunakan untuk hidup berdua dalam pernikahan sementara itu,dorongan
seksual dari dalam dirinya sudah seharusnya sudah mempeoleh penyaluran
secara teratur dan sah dari segi hukum perkawinan.

c) Pengalaman teomatis sebelum dan sesudah pernikahan

Bagai seorang individu yang telah menjalani hubungan dangan lawan


jenis,tetapi putus .Akhirnya mengalami patah hati, dangan persaan sagat
kecewa (prustasi) ,sedih,putus asa,dan dendam, individu memiliki fikiran
(niat) untuk tidak menikahi secara resmi.Ahirnya mereka pun melakukan
“kumpul kebo” dan tinggal serumah dengan pasangan hidupnya. Mereka
hidup bersama sehingga dapat saling membagi cinta dan kasih dan
menyalurkan hasrat seksual.

6
Irwansyah, “Kriminalisasi Kumpul Kebo menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. OM
Fakultas Hukum Volume III No.2 Oktober 2016. hlm 10.
Perbuatan tinggal bersama-sama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh tali
perkawinan yang sah (kumpul kebo), dalam hukum adat (gewoonrecth) telah dikenal sebagai
suatu perbuatan yang melanggar delik kesusilaan masyarakat setempat. Kumpul kebo
merupakan salah satu perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan masyarakat sehingga dapat
digolongkan pelanggaran terhadap delik kesusilaan adat. Berbeda dengan pengaturan di
beberapa Negara di Indonesia cohabitation atau kumpul kebo coba diatur dalam Rancangan
KUHP yang memasukkan tindak pidana tersebut dalam Pasal 488 yakni:
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan
yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori II. Penjelasan : Pasal 488 Ketentuan ini dalam masyarakat
dikenal dengan istilah “kumpul kebo”.

Sebelumnya Dalam R KUHP 2012. Hal ini sebelumnya diatur Dalam Pasal 485
Rancangan Undang-Undang KUHP disebutkan:
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan
yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak
Rp 30 juta)

Konsep 2012 juga ruang lingkup sebetulnya mengurangi ruang lingkup tindak pidana kumpul
kebo dari konsep dari tahun 1999/2000. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tersebut
dalam Pasal 422 dinyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar
perkawinan yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II
(paling banyak Rp 30 juta). (2) tindak pidana sebagaimana diatur dalam ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah satu pembuat tindak
pidana sampai derajat ketiga, Kepala adat, atau oleh kepala desa/Lurah setempat.
Konsep ini sebetulnya lebih mengambil jalan tengah karena praktek ini juga berlaku
di beberapa wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri ternyata memiliki beragam budaya, dan
ukuran kesusilaan dalam kaitannya dengan praktek ini, sehingga akan sulit menentukan
patokan dan batasnya. Di Indonesia ada tiga daerah yang membolehkan kumpul kebo, yaitu
Bali, Minahasa, dan Mentawai, kemungkinan masyarakat daerah-daerah itu tidak sependapat
dengan ketentuan tersebut.
Semua agama dan kepercayaan yang ada diakui keberadaanya di Indonesia tidak ada
yang mentolerir perbuatan kumpul kebo karena dianggap melanggar norma-norma
keagamaan dan dianggap sebagai suatu perbuatan perzinahan (pelanggaran terhadap norma
agama dan kesusilaan). Kumpul kebo merupakan salah satu contoh pelanggaran norma
agama dan norma kesusilaan dalam masyarakat. Dengan tidak adanya pengaturan tentang
kumpul kebo dalam peraturan hukum yang tertulis di negara ini, maka masyarakat sering kali
berindak sendiri untuk bisa meredakan konflik tersebut. Masyarakat menganggap KUHP
tidak mengkamodir tentang perbuatan kumpul kebo sehingga kelompok masyarakat yang
merasa terganggu kehidupannya maka dengan serentak akan menyelesaikan permasalahan
yang timbul dengan hukumnya sendiri. Pengaturan kumpul kebo sebagai suatu delik dalam
KUHP dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya (secara nasional) tidak dijumpai.
Hal ini tentu menyulitkan aparat penegak hukum untuk bertindak apabila menemukan kasus-
kasus yang serupa di masyarakat. Sehingga diperlukan langkah-langkah konstruktif untuk
mengadakan suatu pembaharuan hukum. Salah satunya adalah dengan memasukkan berbagai
perbuatan yang oleh masyarakat dianggap jahat (yang tidak diatur dalam KUHP atau
peraturan perundang-undangan lainnya) untuk dijadikan perbuatan pidana dalam peraturan
perundang-undangan (kriminalisasi), dengan tetap memperhatikan syarat-syarat kriminalisasi
agar dapat berlaku efektif dalam masyarakat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka praktek kumpul kebo atau cohibiton


dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidaksiapan mental untuk
menikah maupun ketidaksiapan secara ekonomis. Di Indonesia, kumpul kebo
dianggap melanggar norma dan nilai leluhur dalam masyarakat. Oleh karena itu
masyarakat Indonesia mengaggap perlu adanya aturan yang mengatur praktek
kumpul kebo agar masyarakat tidak main hakim sendiri dalam menangani
permasalahan ini.

Mengkriminalisasi praktek kumpul sekiranya diperlukan karena melanggar


norma agama dan nilai luhur dalam masyarakat. Maka perlu diciptakannya aturan
hukum mengenai praktek kumpul kebo tersebut.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Jurnal :
- Irwansyah, “Kriminalisasi Kumpul Kebo menurut Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana” OM Fakultas Hukum Volume III No.2
Oktober 2016.
- Vivi Vike Mantiri, Perilaku Menyimpang di Kalangan Remaja.
2. Skripsi :
- Muh. Zulfan Uswah, Kumpul Kebo dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Positif di Indonesia.

3. Blogspot :
- https://reformasikuhp.org/masalah-tindak-pidana-kumpul-kebo-
cohabitation-dalam-r-kuhp/
- http://eprints.umm.ac.id/39422/2/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai