Anda di halaman 1dari 3

A.

        MASA KECIL HINGGA REMAJA


Pemuda dari Bagelen (Purworejo)
Ahmad Yani dilahirkan di Jenar, Purworejo, pada tanggal 19 Juni 1922, sebagai putra tertua
dari Sarjo bin Suharyo dan isterinya Murtini. Sarjo kemudian lebih dikenal dengan nama M.
Wongsorejo. Ahmad mempunyai dua orang adik, Asmi dan Asina.
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Yani senang bermain perang-perangan dan mobil-mobilan.
Ia menjadi pemimpin dari kelompok anak-anak di kampungnya. Pada suatu ketika di
kampungnya terjadi suatu peristiwa. Seekor kerbau mengamuk, dan menyerang setiap orang
yang ditemuinya di jalan. Semuanya berlari-larian mencari tempat persembunyian. Seorang
anak kecil, dengan ketenangan yang mengagumkan, memanjat sebuah pohon. Dari pohon itu
ia memberi “komando” kepada beberapa orang yang berusaha menangkap kerbau itu. Entah
kekuatan apa yang dimilikinya, namun perintah-perintahnya diikuti oleh orang-orang
tersebut. Akhirnya binatang liar itu berhasil ditangkap. Ketenangan Ahmad yang
diperlihatkannya dalam peristiwa kerbau liar di atas, menarik perhatian Hulstyn, seorang
Belanda majikan ayahnya. Ahmad diambil dan kemudian diasuhnya. Oleh Hulstyn nama
Ahmad kemudin ditambah dengan Yani, sehingga ia lebih terkenal dengan nama Ahmad
Yani. Watak seseorang, sifat-sifat dan tindak tanduknya, seringkali dipengaruhi oleh
lingkungan tempat tinggal atau daerah tempat kelahirannya. Begitu pula halnya dengan Yani.
Di dataran rendah Bagelen di daerah Kedu, daerah tempat Yani dilahirkan tumbuh subur
mitos kepahlawanan yang diwariskan dari masa perjuangan Pangeran Diponegoro. Daerah ini
cukup lama ditempati oleh Diponegoro dan pasukannya. Di daerah ini pula Pangeran itu
berhasil melancarkan serangan gerilya terhadap Belanda. Kisah-kisah kepahlawanan itu
diceritakan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Cerita itu diterima pula oleh Ahmad
Yani dan ternyata mempengaruhi wataknya.
Atas usaha Hulstyn dalam tahun 1928, ia dimasukkan ke HIS (Hollandsch lnlandsche
School) di Purworejo. Pendidikan di sekolah ini ditempuhnya di tiga tempat. Kelas III HIS
diikutinya di Magelang, dan sejak kelas IV sampai tamat, ia mengikutinya di Bogor.
Di sekolah Yani bukan hanya tergolong murid yang pintar tetapi juga disegani oleh teman-
temannya. Tenang, pendiam dan tidak suka dipuji, menyebabkan anak-anak yang sebaya
dengannya menaruh hormat yang besar. Hampir-hampir tidak ada yang berani
mengganggunya, karena mereka tahu bahwa Yani pasti berani menjawab setiap tantangan
yang diberikan kepadanya. Sekalipun kota Purworejo terkenal sebagai kota militer yang
penuh dengan anak-anak “kolong”, namun anak-anak ini pun harus berpikir dua kali sebelum
berani menganggu Yani.
Setelah menamatkan HIS dalam tahun 1935, Yani meneruskan pendidikannya ke MULO
bagian B di Bogor. Pendidikan di sekolah ini ditempuhnya sampai ia tamat dalam tahun
1938. Dewi fortuna tetap mengikutinya, sehingga di sekolah ini ia termasuk tiga terbaik.
Prestasi itu memungkinkannya melanjutkan pelajaran ke AMS (Algemeene Middelbare
School) bagian B di Jakarta. Ada suatu peristiwa yang menarik sewaktu Ahmad Yani sekolah
di MULO. Suatu hari dalam tahun 1938, ia berkunjung ke tempat ayahnya bekerja. Ia tiba
dalam suasana yang kurang baik. Siayah sedang dimarahi dan dimaki-maki secara kasar oleh
atasannya, seorang Belanda. Makian yang dilontarkan itu cukup pedas untuk telinga anak
tersebut. Dengan menggunakan bahasa Belanda yang fasih, ia membalas menyerang berupa
makian pula. Si Belanda yang menganggap dirinya “yang dipertuan” dan kata-katanya, tidak
boleh dibantah, menjadi naik pitam. Anak kecil itu dipukulnya. Di luar dugaan, anak itu
melawan. Pergumulan yang tidak seimbang pun terjadi. Lopias, seorang Kopral KNIL suku
Ambon yang berdiri tidak jauh dari tempat peristiwa itu terjadi, tidak sampai hati melihat
perlakuan Belanda terhadap anak tersebut. Ia ikut mencampuri pergumulan itu dan sebuah
tiju yang cukup keras dilayangkannya ke kepala si Belanda. Orang yang dipukul itu terjatuh.
Akan tetapi persoalannya tidak berakhir sampai di situ. Seminggu kemudian Lopias
menerima surat dari atasannya. Pangkatnya diturunkan, karena berani memukul seorang
Belanda.
Memasuki Pendidikan Militer
Mungkin Yani akan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, jika Perang Dunia II tidak pecah
di Eropah. Dalam bulan Mei 1940 Negeri Belanda diduduki Jerman. Pemerintah Hindia
Belanda mengumumkan milisi untuk menghadapi kemungkinan menjalarnya perang ke
Indonesia. Dalam tahun 1940 itu Yani meninggalkan AMS dan mendaftarkan diri sebagai
aspirant pada Dinas Topografi Millter.
Pendidikan millter ditempuhnya di Malang selama enam bulan. Pertengahan tahun 1941
Sersan Cadangan Bagian Topografi Ahmad Yani ditugaskan di Bandung. Atasannya melihat
bahwa dalam diri bintara ini terdapat bakat millter yang cukup besar.Karena itu pada akhir
tahun 1941 ia dikirim ke Bogor mengikuti pendidikan militer secara intensif. Setelah selesai,
ia dikembalikan ke Bandung.
Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan perang terhadap Jepang. Ternyata
Angkatan Perang Belanda tidak cukup kuat. untuk menahan serangan pasukan Jepang dalam
pertempuran di Ciater, Lembang, Sersan Ahmad Yani ikut serta. Waktu kota Bandung jatuh
ke tangan Jepang, Yani ditawan. Selama beberapa bulan ia ditempatkan dalam kamp tawanan
di Cimahi. Setelah melalui beberapakali pemeriksaan, ja dibebaskan. Yani kembali ke
kampung halamannya.
Selama tahun 1942 Yani menganggur. Tetapi pada awal tahun 1943 ia mendaftarkan diri
untuk menjadi juru bahasa (Cuyaku}. Dari beberapa test yang diikutinya, seorang perwira
Jepang, Obata, melihat bahwa dalam diri pemuda ini tersimpan bakat militer yang tinggi.
Atas dasar itu Obata mengusulkan supaya Yani menjadi militer penuh. Saran itu diterima dan
Yani mengikuti pendidikan militer untuk heiho  di kota Magelang. Bagi Yani yang sudah
pernah menempuh pendidikan militer di zaman Belanda, pendidikan Heiho itu tidak terasa
berat. Tidak heran kalau ia lulus dengan hasil gemilang. Dan dengan modal itu ia dikirim ke
Bogor untuk mengikuti pendidikan Syodanco pada Boei Giyugun Kambu Renseitai.
Sebelum berangkat ke Bogor, Yani mengisi waktunya dengan belajar mengetik di sebuah
sekolah mengetik diPurworejo. Sekolah itu ternyata meninggalkan kenangan indah baginya.
Di situ ia berkenalan dengan Bandiah Yayu Rulia, ibu guru muda yang masih single.
Perkenalan itu menumbuhkan cinta dan kedua remaja itu berjanji kelak akan membangun
sebuah rumahtangga.
Selama empat bulan di Bogor, Yani mengalami pendidikan yang cukup berat. Jiwa militernya
mengalami tempaan yang sesungguhnya. Prestasi yang dicapainya menyebabkan para
pelatihnya, antara lain Kapten Yanagawa, menaruh perhatian khusus kepadanya. Sewaktu
diadakan upacara penutupan pendidikan, Yani dinyatakan lulus sebagai siswa terbaik. Lebih
dari itu ia juga mendapat penghargaan berupa sebilah pedang samurai berbentuk istimewa
yang dihadiahkan kepadanya.
Dari Bogor ia dikembalikan ke Magelang. Mulai bulan Januari 1944 ia menjalani dinas aktif
sebagai Komandan Dai lci Syodan Dai San Cudan dari Dai Ni Daidan (Komandan Seksi I
Kompi III Batalyon II). Pada tanggal 5 Desember 1944, ia melangsungkan pernikahannya
dengan Bandiah, yang dulu menjadi guru mengetiknya. Dari perkawinan ini kelak mereka
dianugerahi delapan orang anak.
 

Anda mungkin juga menyukai