Anda di halaman 1dari 4

RESENSI BUKU

“SEMANGAT DAN PERJUANGAN MGR. ALBERTUS SOEGIJAPRANATA, SJ”

FAKULTAS : TEKNOLOGI PERTANIAN

JURUSAN : TEKNOLOGI PANGAN

Identitas Buku :
Judul Buku : Semangat Dan Perjuangan MGR. ALBERTUS SOEGIJAPRANATA, SJ
Penulis : Theodorus Sudimin dan Yohanes Gunawan, Pr.
Editor : Widiantoro
Penerbit : PT KANISIUS
Cetakan : Keenam
Tebal Buku : 144 halaman
ISBN : 978-979-21-4363-8

Isi Resensi :
Sosok tokoh nasional yang lahir di Surakarta tanggal 25 November 1896 sebagai
anak kelima dari sembilan bersaudara, pasangan bapak Karijosoedarma dan ibu
Soepijah. Ia diberi nama Soegija dengan harapan agar kelak ia menjadi orang “soegih”
(kaya). Dengan pekerjaan bapaknya sebagai abdi keraton Surakarta dan ibunya sebagai
penjual setagen dan nila, keluarga ini tidak termasuk keluarga yang berekonomi sangat
mampu. Soegija pernah menjalani ritus “pembuangan” di tempat sampah dengan
permohonan kepada Tuhan agar ia selamat dan dapat tumbuh sehat. Dengan latar
belakang kehidupan di lingkungan abdi dalem keraton yang bersuasana Jawa, sejak
kecil Soegija dididik untuk olah batin, olah seni, hidup sederhana, dan bermati raga.
Dari pihak ayahnya, Soegija mendapat pendidikan dalam bidang seni tradisional, seperti
bermain gamelan, menonton pagelaran wayang kulit semalam suntuk, dan diajari
kebijaksanaan hidup melalui olah kebatinan dan tembang (lagu). Sedangkan dari pihak
ibunya, Soegija mendapat pendidikan keluhuran budi dengan mengatur rasa dan
kehendak, serta tahu sopan santun. Sejak kecil ia juga sudah terlatih untuk tidak mencari
yang menyenangkan bagi badannya, melainkan dengan bermati raga dan berupaya
untuk memperhatikan kehidupan kejiwaannya. Nilai-nilai keutamaan lain yang
diajarkan keluarganya antara lain: sikap setia memegang janji terhadap perkataan yang
diucapkan, sikap membantu orang tua, memberikan derma, ikut pergi melayat saudara
atau teman yang meninggal dunia, dan membantu tetangga di sekitar rumah.
Singkatnya, di dalam keluarganya, Soegija mendapat pendidikan yang baik dalam olah
seni dan olah batin.
Tahun 1910 Soegija memilih untuk bersekolah di Sekolah Guru di Muntilan
Soegija bukan hanya maju di bidang studi saja, melainkan juga dalam bidang olah raga
dan dalam seni khususnya seni drama. Di kelasnya Soegija diterima sebagai pemimpin
oleh teman-temannya, karena dalam diri Soegija ada dua sifat yang cukup menonjol
yaitu kemampuan dalam kepemimpinan dan senang melayani orang. Terjadi persoalan
saat Soegija minta dibaptis. Dengan caranya sendiri ia meminta kepada Rama Mertens
SJ sebagai pimpinan asrama untuk ikut belajar agama Katolik, namun rama itu tidak
mengizinkannya selama tidak ada izin dari orang tua. Soegija berusaha meyakinkan
bahwa keinginan untuk belajar agama Katolik semata-mata hanya bagian dari proses
pendidikan dan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk menjadi Katolik. Soegija
semakin mendalami ajaran Katolik dan dengan berbagai argumentasi meminta izin
untuk dapat dibaptis, sekalipun tanpa izin dari orang tua. Akhirnya, sakramen babtis pun
ia terima pada 24 Desember 1910 dengan nama permandian “Albertus Magnus”.
Pada tahun 1915 Albertus Soegija lulus dalam ujian akhir Sekolah Guru di
Kolese Xaverius Muntilan dan kemudian diminta untuk menjadi guru di almamaternya
itu. Tampaknya menjadi guru belum menjadi pilihan pekerjaan yang akan ditekuninya.
Menjadi guru, mantri pertanian, dokter, atau menjadi imam merupakan profesi-profesi
yang ikut dipertimbangkannya. Dengan pertimbangan yang masak akhirnya Soegija
memilih untuk menjadi imam. Sebelum memulai pendidikan calon imam di Eropa, ia
bersama beberapa kawanannya yang mempunyai cita-cita sama belajar bahasa Latin,
Yunani, dan Perancis serta kesusastraan dari Rama Mertens SJ. Setelah menyelesaikan
studi filsafatnya, ia menjalani tahun kolese selama tiga tahun menjadi pamong di
Sekolah Guru di Muntilan.
Tahun 1928 Frater A.Soegija bertolak kembali ke Nederland untuk menyelesaikan
masa persiapan imamatnya dengan belajar teologi di kota Maastricht. Tanggal 25 Mei ia
menerima tahbisan subdiakonat dan 26 Mei 1931 tahbisan diakon. Tanggal 15 Agustus
1931 Frater Albertus Soegija SJ dan Frater Reksaatmadja SJ ditahbiskan menjadi imam
oleh Mgr. Schrijnen di Belanda. Albertus menambahkan namanya dengan kata
“pranata”, sehingga sekarang namanya ialah Rama Albertus Soegijapranata.
Pada tanggal 8 Agustus 1933 Rama A. Soegijapranata SJ kembali ke tanah air.
Tugas barunya adalah menjadi pastor pembantu di Gereja Kidul Loji. Kemudian
mendapat tugas melayani Gereja paroki St. Yusup Bintaran yang baru selesai dibangun
dan dikhususkan bagi umat Katolik pribumi. Ia bukan hanya bertugas
mempersembahkan misa dan menerimakan sakramen, melainkan juga sangat
memperhatikan pembinaan iman umat yang menjadi tanggung jawabnya. Seminggu
dua kali pada sore hari selama lebih dari satu jam memberi pelajaran agama untuk para
ibu maupun bapak, baik para pemuda maupun pemudi, karena caranya menerangkan
selalu disertai contoh kongkret dengan diselingi humor. Ia hendak menjadi gembala
yang baik, dengan berkunjung ke rumah masing-masing umat, dengan demikian ia
benar-benar mengenal umatnya dan memberikan perhatian penuh kepada umatnya.
Masa akhir berlangsung dari akhir April sampai dengan Juli 1963, yaitu
keberangkatan perjalanan ke Eropa sampai dengan wafatnya di Belanda hingga
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Agenda perjalanan
itu adalah berobat dan menghadiri sidang lanjutan Konsili Vatikan II. Rencana
perjalanan itu sempat dihalangi oleh beberapa orang, karena kesehatan beliau yang
kurang baik. Namun dengan alasan kedudukannya sebagai Uskup yang bertanggung
jawab terhadap Gereja dan setia kepada Paus, ia tetap berangkat. Masa akhir dengan
kondisi kesehatan seperti itu MGR. A. Soegijapranata SJ masih sibuk dengan berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan tanggung jawab penggembalaan umat wilayah
keuskupannya dan kehidupan bangsa Indonesia. Cinta kasih senantiasa membara dalam
pola pemikirannya untuk memperjuangkan bangsa dan negara.
Beliau memang sosok yang pantas untuk diteladani khususnya bagi kaum muda
generasi zaman ini, pribadi yang berjiwa religius sekaligus nasionalis. Pahlawan yang
menghadapi penderitaan dan tantangan hidup dengan tidak mudah menyerah dan tidak
kehilangan pengharapan.

Kelebihan Buku :
Buku ini mempunyai kelebihan dalam gaya bahasa yang mudah untuk dipahami
sehingga pembaca dengan mudah mencerna maksud dan tujuan buku ini serta mengerti
teladan yang dapat diambil dari tokoh yang diceritakan, dan juga terdapat berbagai
macam-macam gambar yang menggambarkan materi-materi yang disampaikan
sehingga dapat membuat pembaca seakan merasakan kejadiannya langsung.

Kekurangan Buku :
Buku ini mempunyai kekurangan dalam runtutan ceritanya, buku ini juga menggunakan
bahasa yang berulang-ulang sehingga terkadang beberapa cerita sudah diceritakan
diawal diulang kembali.

Anda mungkin juga menyukai