Anda di halaman 1dari 4

MANUSIA PURBA DI INDONESIA

Sejarah Manusia Purba di Indonesia


Indonesia merupakan salah satu tempat ditemukannya fosil manusia purba. Ini artinya, Indonesia pada masanya
pernah didiami oleh manusia purba. Kenyataan ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu tempat penting bagi para
ahli yang akan melakukan studi tentang manusia purba. Adapun tempat lain yang juga ditemukan fosil manusia purba
yaitu Prancis, Jerman, Belgia, dan Cina.
Faktor apakah yang membuat Indonesia menjadi tempat menarik untuk didiami oleh manusia purba? Kita tahu,
kehidupan manusia purba masih sangat bergantung oleh alam. Jadi besar kemungkinan faktor utama yang menarik
manusia purba untuk mendiami Indonesia adalah kesuburan tanahnya serta kekayaan akan faunanya. Sejak 10.000 tahun
yang lalu ras-ras manusia seperti yang kita kenal sekarang ada di Indonesia. Pada kala Holosin dikenal dua ras, yaitu ras
Austromelanosoid dan ras mongoloid. Ras Austromelanosoid mempunyai ciri-ciri tubuh agak besar, tengkorak kecil,
rahang kedepan, hidung lebar, alat pengunyah kuat. Ras mongoloid memiliki ciri-ciri tubuh lebih kecil, tengkorang
sedang, muka lebar dan datar, hidung sedang. Temuan rangka manusia Pos Plestosin di pantai timur Sumatera Utara,
gua-gua di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara. Sisa-sisa manusia di langsa tamiang dan binjai
menunjukkan ciri-ciri austromelanosoid.
Dengan melihat keadaan di Sumatera Timur dan membandingkan dengan keadaan di pantai selat Malaka,
manusia ini memakan bintang laut, kerang laut, dan ikan, disamping beberapa hewan darat, seperti babi dan badak.
Manusia ini juga telah mengenal api, mengubur mayat, dan upacara tertentu. Pada saat bersamaan di gua lawa, sampung,
ponorogo, didapati manusia yang termasuk ras Austromelanosoid. Mereka hidup dari binatang buruan, seperti kerbau,
rusa, dan gajah.
Di Flores, yaitu Liang Toge, Liang Momer, dan Liang Panas didapatkan sisa-sisa manusia yang menunjukkan
ciri-ciri Austromelanooid. Di Liang Toge, Flores Barat manusianya diperkirakan hidupnya secara meramu dan berburu.
Dari data tersebut maka populasi di Indonesia di kala Pos Plestosin: Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara didiami ras
Austromelanosoid dengan sedikit unsur Mongoloid, tapi di Sulawesi selatan menunjukan ras mongoloid. Mungkin
karena pengaruh mongoloid melalui Filipina – Kalimantan – Sulawesi.
Kehidupan praaksara di Indonesia dimulai sejak munculnya manusia purba. Berdasarkan banyaknya fosil purba
yang ditemukan, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan tempat yang menarik bagi manusia purba untuk ditempati.
Oleh karena itu, Indonesia menjadi sangat penting bagi para ilmuan.

Jenis-Jenis Manusia Purba yang Ditemukan di Indonesia


Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dapat
dibedakan menjadi Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo sapiens.
A.     Meganthropus
Jenis manusia purba ini berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran pada tahun 1936 dan 1941. Ukuran fisik
manusia purba jenis ini serba besar dan bentuknya tegap. Para ahli kemudian menamai manusia purba jenis ini
Meganthropus paleojavanicus yang artinya manusia raksasa dari Jawa. Diperkirakan makanan manusia jenis ini adalah
tumbuhan dan masa hidupnya pada zaman Pleistosen Awal. Berdasarkan fosil yang ditemukan, para ahli menduga
Meganthropus paleojavanicus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tulang pipi yang tebal
2. Otot kunyah yang kuat
3. Kening menonjol
4. Memiliki tonjolan belakang yang tajam
5. Tidak memiliki dagu
6. Memiliki perawakan yang tegap
7. Memakan jenis tumbuhan
8. Geraham besar
9. Bentuk muka diduga masih masif
10. Bentuk gigi homonin
11. Permukaan kunyah tajuk terdapat banyak kerut

Fragmen fosil Meganthropus yang ditemukan masih sangat sedikit. Sampai sekarang belum ditemukan perkakas atau
alat-alat yang digunakan oleh Meganthropus. Para ahli mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi keberadaan dan
kebudayaan yang ditingalkan. Oleh karena itu, para ahli masih berbeda pendapat tentang keberadaan Megantropus.
Sebagian ahli menganggap sebagai Pithecanthropus, tetapi ada juga ahli yang menganggapnya sebagai Australopithecus.
B. Pithecanthropus
Manusia purba jenis Pitchecanthropus banyak ditemukan di Indonesia nama Pitchecanthropus berasal dari dua kata yaitu
pithecos dan anthropus. Fosil Pitchecanthropus dapat ditemukan di Trinil, Mojokerto, Kedungbrubus, Sangiran,
Sambungmacan, dan Ngandong. Daerah-daerah tersebut diduga masih berupa padang rumput dengan pohon-pohon
jarang sehingga cocok sebagai daerah perburuan. Manusia jenis ini hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan
makanan. Mereka tinggal di tempat terbuka dan hidup berkelompok. Secara umum Pithecanthropus memiliki ciri-ciri
berubuh tegap dengan tinggi badan 165-180 cm, alat pengunyahnya tidak sehebat Meganthropus, belum ada dagu dan
hidungnya lebar dengan volume otak berkisar 750-1.300 cc. Pithecanthropus hidup sekitar 2,5 juta-200 ribu tahun yang
lalu. Beberapa jenis Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia antara lain Pithecanthropus mojokertensis,
Pithecanthropus erectus, dan Pithecanthropus soloensis. Setiap jenis manusia purba tersebut memiliki ciri fisik yang
berbeda.
1. Pithecanthropus mojokertensis
Pithecanthropus mojokertensis (manusia kera dari Mojokerto) merupakan manusia purba jenis Pithecanthropus
tertua yang ditemukan di Indonesia. Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup sekitar 2,5-1,25 juta tahun yang lalu.
Pithecanthropus mojokertensis ditemukan oleh von Koeningswald di Mojokerto pada tahun 1936. Fosil yang berhasil
ditemukan berupa tengkorak anak-anak, atap tengkorak, rahang atas, rahang bawah, dan gigi lepas. Berdasarkan temuan
tersebut, ciri-ciri Pithecanthropus mojokertensis dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)      Tulang pipi kuat
2)      Berbadan tegap
3)      Tonjolan kening tebal
4)      Otot tengkuk kukuh
5)      Muka menonjol ke depan
6)      Volume otak 650-1.000 cc

2. Pithecanthropus erectus atau Homo erectus


Pithecanthropus erectus (manusia kera berjalan tegak) merupakan manusia purba yang memiliki persebaran
paling luas. Sehingga frakmen yang ditemukan lebih banyak. Fragmen fosil yang berhasil ditemukan antara lain atap
tengkorak, tulang paha, rahang bawah, gigi lepas, dan tulang kering. Sebagian besar fosil ditemukan di tepi Sungai
Bengawan Solo. Berdasarkan fosil yang ditemukan, para ahli menduga ciri-ciri Pitchecanthropus Erectus sbb:
1) Tinggi badan sekitar 160 – 180 cm
2) Volume otak berkisar antara 750 – 1000 cc
3) Bentuk tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap meganthropus
4) Alat pengunyah kuat
5) Bentuk geraham besar dengan rahang yang sangat kuat
6) Bentuk tonjolan kening tebal melintang di dahi dari sisi ke sisi
7) Bentuk hidung tebal dan lebar
8) Bagian belakang kepala tampak menonjol menyerupai wanita berkonde
9) Muka menonjol ke depan, dahi miring ke belakang

Sedangkan, hasil budaya Pithecanthropus erectus antara lain:


-Kapak perimbas
-Kapak penetak
-Kapak gengam
-Pahat gengam
-Alat serpih
-Alat-alat tulang

C. Homo
Hasil penelitian Van Koeningswald menyimpulkan bahwa makhluk yang diberi nama homo ini memiliki tingkatan lebih
tinggi dibanding Pitchecanthropus Erectus dan Meganthropus. Bahkan manusia purba jenis homo dapat dikatakan
sebanding dengan manusia biasa. Di Indonesia ditemukan tiga jenis fosil homo, yaitu Homo soloensies, Homo
wajakensis, dan Homo florensiensis.
1. Homo soloensies
Nama Homo soloensies berarti manusia dari solo. Fosil ini ditemukan oleh von Koeningswald di daerah Ngandong, tepi
Sungai Bengawan Solo antara tahun 1931-1934. Manusia jenis ini diperkirakan hidup sekitar 900-200 ribu tahun yg lalu.
Ciri-ciri Homo Soloensis:
 Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc
 Tinggi badan antara 130 – 210 cm
 Berat badan 30-150 kg
 Otot tengkuk mengalami penyusutan
 Muka tidak menonjol ke depan
 Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
Hasil Budaya Homo Soloensis
 Kapak gengam / Kapak perimbas
 Alat serpih
 Alat-alat tulang
 Alat-alat zaman dahulu
2. Homo Wajakensis
Nama Homo wajakensis berarti manusia dari wajak. Fosil ini
ditemukan oleh Eugene Dubois di Desa Wajak, Tulungagung
pada tahun 1889. Manusia purba ini diperkirakan hidup sekitar
40-25 ribu tahun yang lalu. Menurut Eugene Dubois, Homo
wajakensis termasuk ras Australoid dan bernenek moyang
Homo soloensis. Von Koeningswald memasukkan Homo
wajakensis dalam jenis Homo sapiens (manusia cerdas) karena
sudah mengenal upacara penguburan.

3. Homo florensiensis
Pada tahun 2003 para ilmuwan dari Australia dan Indonesia melakukan
peggalian di gua Liang Bua, Flores. Mereka berhasil menemukan fosil
tengkorak manusia purba yang memiliki bentuk mungil atau hobbit.
Manusia purba yang ditemukan di Gua Liang Bua tersebut kemudian
diberi nama Homo Floresiensis. Ukuran manusia  ini tidak lebih besar
dari anak-anak usia lima tahun. Homo Floresiensis diperkirakan
memiliki tinggi badan 100 cm dan berat badan 30 kg. Selain itu, mereka
sudah berjalan tegak dan tidak memiliki dagu. Manusia purba ini hidup
di Kepulauan Flores sekitar 18.000 tahun lalu. Homo floresiensis hidup
sezaman dengan gajah-gajah pigmi (gajah kerdil) dan kadal-kadal
raksasa (komodo) di Flores.
Menurut tim ilmuwan yang menemukan fosil tersebut. Homo floresiensi merupakan keturunan spesies Homo erectus
yang hidup di Asia Tenggara sekitar 1 juta tahun lalu. Akibat proses seleksi alam, tubuh mereka berevolusi menjadi
bentuk yang lebih kecil. Hipotesis ini didasarkan pada penemuan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh Homo
erectus di sekitar fosil Homo floresiensis. Selain itu, di Flores ditemukan fosil stegodon (gajah purba) berukuran kecil.
Penemuan ini semakin menguatkan ipotesis para ilmuwan bahwa banyak makhluk hidup di pulau ini menyesuaikan diri
dengan habitatnya dengan cara menjadi lebih kecil.
Sementara itu, dalam jumlah ilmiah Nature para ilmuwan lan menjelaskan Homo Floresiensis sebagai spesies baru
manusia. Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh para peneliti dari Universitas Gadjah Mada. Menurut mereka, Homo
floresiensis bukan merupakan spesies baru, melainkan nenek moyang dari orang-orang katai Flores yang menderita
penyakit microcephalia, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil. Sampai sekarang penyakit tersebut masih ditemukan
pada beberapa penduduk yang hidup di sekitar Gua Liang Bua.

Lokasi Penemuan Fosil Manusia Purba di Indonesia


Penemuan fosil manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di
daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang
berhasil ditemukan, misalnya di Flores. Berikut ini akan dipaparkan mengenai penemuan penemuan penting fosil
manusia di beberapa tempat.
A. Sangiran
Secara geografis, Sangiran terletak di kaki Gunung Lawu dan sekitar 15 km dari lembah Sungai Bengawan Solo.
Sangiran dianggap pusat peradaban besar, penting, dan lengkap manusia purba di Indonesia, bahkan dunia. Sangiran
merupakan pusat perkembangan manusia dunia yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000
tahun yang lalu.
          Karakteristik wilayah Sangiran berbentuk menyerupai kubah raksasa berupa cekungan besar di pusat kubah
akibat erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa tersebut diwarnai dengan perbukitan bergelombang. Kondisi deformasi
geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia puba dan
binatang, termasuk artefak. Lapisan batuan Sangiran memperlihatkan proses evolusi lingkungan yang sangat panjang.
Proses itu dimulai dari formasi Kalibeng berlanjut pada formasi Pucangan, formasi Kabuh, dan formasi Notopuro.
          Penelitian purbakala di Sangiran diawali oleh P.E.C. Schemulling pada tahun 1864, dengan laporan penemuan
fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah
terlupakan dalam waktu yang lama. Selanjutnya, pada tahun 1895 Eugene Dubois mendatangi tempat ini, tetapi Dubois
tidak menghasilkan temuan sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat untuk melanjutkannya. Pada tahun 1932,
seorang ahli geografi, L.J.C. van Es, membuat peta geologi di kawasan Sangiran dengan skala 1:20.000. peta ini
kemudian dimanfaatkan oleh Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald pada tahun 1934 untuk melakukan survei
eksploratif wilayah Sangiran.
          Berbekal peta tersebut, Koeningswald berhasil menemukan berbagai peralatan manusia purba. Di sela-sela
survei tersebut, pada tahun 1936 seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil rahang kanan manusia purba kepada
Koeningswald. Inilah temuan pertama fosil manusi purba yang diberi kode S1 (Sangiran 1). Sejak saat itu hingga 1941,
ditemukan fosil manusia purba Homo erectus. Homo erectus merupakan takson paling penting dalam sejarah manusia,
sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
          Sejak penemuan von Koeningswald, situs Sangiran menjadi sangat terkenal dan secara resmi ditetapkan
sebagai Warisan Dunia pada tahun 1966, yang tercantum dalam Nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List)
UNESCO.
B. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Trinil merupakan sebuah situs paleoantropologi di pinggiran Bengawan Solo. Penelitian kehidupan manusia purba di
Trinilsudah dilakukan jauh sebelum penelitian yang dilakukan von Koeningswald di situs Sangiran. Penelitian manusia
purba di Trinil dilakukan pertama kali oleh Eugene Dubois.
        Penelitian Eugene Dubois diawali dengan penggalian pada endapan aluvial Bengawan Solo dan dari lapisan
tersebut ditemukan tulang rahang. Dalam penggalian berikutnya, Eugene Dubois berhasil menemukan gigi geraham,
bagian atas tengkorak, dan tulang paha kiri. Eugene Dubois memberi nama penemuannya Pithecanthropus erectus yang
berarti manusia kera berjalan tegak. Pada masa sekarang para ahli sepakat menyebut Pitechanthropus erectus dengan
sebutan Homo erectus yang artinya manusia berjalan tegak.
        Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya
sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol
dan di bagian belakang mata terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada
bagian belakang kepala terlihat bentuk meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan
kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan individu ini telah mencapai usia dewasa.
        Penemuan manusia purba jenis Homo erectus oleh Eugene Dubois telah mendorong beberapa penelitian lain.
Pada tahun 1907-1908 Selenka melakukan penelitian dan penggaian di Desa Trinil. Dalam penelitiannya ini, Lenere
Selenka tidak berhasil menemukan fosil manusia. Akan tetapi, ia berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuhan
yang dapat memberikan dukungan untuk menggambarkan lingkunga hidup Homo erectus. Inilah penelitian pertama yang
mengaitkan fosil manusia dengan lingkungan alamnya.
C. Ngandong
Ngandong merupakan sebuah desa di tepi Bengawan Solo dalam wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Pada tahun
1933, Ter Haar, Oppenoorth, dan von Koeningswald melakukan penelitian di daerah ini dan berhasil menemukan
beberapa atap tengkorak yang diidentifikasi sebagai Homo soloensis. Berdasarkan morfologi yang dimiliki, manusia
Ngandong digolongkan sebagai Homo erectus paling maju. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan
volume otak rata-rata 1.100 cc, lebih besar dibandingkan dengan Homo erectus dari sangiran dan Trinil.
D. Patiayam
Situs Patiayam merupakan daerah perbukitan di lereng Gunug Muria, sebelah utara jalan raya antara Kota Kudus dan
Pati. Penemuan fosil manusia di daerah ini terjadi pada tahun 1978 ketika tim dari Pusat Arkeologi Nasional menemukan
gigi dan pecahan tengkorak Homo erectus. Dari penelitian selanjutnya diketahui bahwa fosil Homo erectus ini berasal
dari formasi Slumprit yang berumur awal ploistosen tengah.
E. Wajak
Wajak merupakan sebuah desa yang terletak di Tulungagung, Jawa Timur. Nama Wajak mulai terkenal pada tahun 1889
saat B.D. Reitschoten menemukan sebuah fosil tengkorak. Fosil tersebut kemudian diserahkan kepada C.P. Sluiter,
kurator dari Koninklijke Natuurkundige Vereeniging (Perkumpulan Ahli Ilmu Alam) di Batavia pada saat itu. Sluiter
kemudian menyerahkan fosil tengkorak Wajak kepada Eugene Dubois.
               Bagi Dubois, fosil tersebut membuka harapan baru untuk menemukan missing link asal usul manusia. Ini sesuai
teori ahli geologi Verbeek yang sepakat bahwa pegunungan batu gamping tersier di Jawa sangat menjanjikan bagi
Dubois. Dubois akhirnya tinggal selama lima tahun di Tulungagung yang saat itu masih merupakan kota kecil bagian
dari Kediri. Dia menyusur kembali tempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di cekungan bebatuan
sekitar Wajak. Di sekitar tempat itu Dubois menemukan fosil mamalia dan reptil, serta fosil tengkorak meskipun tidak
seutuh temuan Rietschoten. Fosil temuannya diberi nama Homo wajakensis.
F. Flores
Penelitian kehidupan purba di Flores dimulai pada tahun 2003. Penelitian tersebut dilakukan oleh beberapa ilmuwan dari
Indonesia dan Australia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada penggalian di gua Liang Bua,
Flores, para ilmuwan tersebut menemukan fosil manusia kerdil atau hobbit yang diberi nama Homo floresiensis.

Anda mungkin juga menyukai