Anda di halaman 1dari 19

MASA BERCOCOK TANAM PADA MASA PRAAKSARA

DWI KARUNIAWAN, S.Pd

1. Latar Belakang
Masa Praaksara atau biasa disebut pra aksara adalah masa kehidupan manusia
sebelum mengenal tulisan. Manusia yang diperkirakan hidup pada masa pra aksara
adalah manusia purba. Pada masa ini, kita tidak dapat mengetahui sejarah serta
kebudayaan manusia melalui tulisan. Satu-satunya sumber untuk mengetahui
kehidupan manusia purba hanya melalui peninggalan-peninggalan mereka yang berupa
fosil, alat-alat kehidupan, dan fosil tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang hidup dan
berkembang pada masa itu. Zaman pra aksara berlangsung sangat lama, yaitu sejak
manusia belum mengenal tulisan hingga manusia mulai mengenal dan menggunakan
tulisan.
Untuk mempelajari kehidupan manusia Praaksara khususnya bentuk bercocok
tanam zaman Praaksara hingga sampai dengan saat ini, maka kita tidak boleh lepas
dari kajian ilmu Antropologi, yang memperlajari tentang peradaban manusia dari
bentuk yang paling sederhana sampai ketingkat yang lebih maju. serta bantuan
beberapa cabang ilmu pengetahuan, antara lain:
a. Paleontologi, ilmu yang mempelajari tentang fosil.
b. Paleontropologi, ilmu yang mempelajari asal usul dan evolusi manusia dengan
mempergunakan fosil manusia sebagai bahan penemuan.
c. Geologi, ilmu yang mempelajari ciri-ciri lapisan bumi serta perubahan
perubahannya.
d. Arkeologi, ilmu yang mempelajari peninggalan-peninggalan sejarah dan purba
kala untuk menyusun kembali kehidupan manusia dan masyarakat masa lampau.
e. Geografi, ilmu yang mempelajari keberadaan bumi sebagai tempat berpijaknya
manusia di dalam menjalani kehidupannya, dan lain lain.

Zaman Praaksara tidak meninggalkan bukti tertulis, tetapi hanya meninggalkan


benda-benda hasil kebudayaan. Oleh karena itu untuk mengetahui Umur peninggalan
budaya itu dapat diketahui melalui cara:
a. Tipologi, merupakan cara penentuan usia benda peninggalan budaya berdasarkan
bentuk tipe dari peninggalan itu. Semakin sederhana bentuk peninggalan budaya
manusia itu. Maka usianya semakin tua.
b. Stratigrafi, merupakan cara penentuan usia benda peninggalan budaya
berdasarkan lapisan tanah tempat benda itu ditemukan, semakin kebawah lapisan
tanah tempat penemuan benda peninggalan budaya manusia, maka semakin tua
usianya.
c. Kimiawi, merupakan cara menentukan usia benda peninggalan budaya manusia
berdasarkan unsur-unsur kimia yang dikandung oleh benda tersebut.
Sedangkan sumber/peninggalan yang digunakan untuk mengetahui kehidupan
zaman Praaksara adalah fosil dan arterak.
a. Fosil adalah tulang belulang manusia, hewan, dan tumbuhan yang telah membatu.
Fosil yang dapat memberi petunjuk kehidupan manusia purba disebut fosil pandu.
b. Arterak adalah alat-alat atau perkakas yang dipakai oleh manusia purba untuk
menunjang kehidupannya. Contoh: kapak persegi, kapak lonjong, kapak corong,
dan lain lain.

Secara umum, masa Praaksara ditinjau dari dua aspek, yaitu berdasarkan
benda-benda peninggalan yang digunakan oleh manusia pada masa pra aksara,
dibedakan menjadi dua zaman yaitu zaman batu dan zaman logam.
a. Zaman batu adalah zaman yang menunjuk pada suatu periode dimana alat-alat
kehidupan manusia terbuat dari batu, meskipun ada juga alat-alat tertentu yang
terbuat dari kayu dan tulang. Tetapi, pada zaman ini secara dominan alat-alat yang
digunakan terbuat dari batu. Zaman batu dibedakan lagi menjadi tiga periode
sebagai berikut :
1) Zaman batu tua (Paleolithikum) merupakan suatu masa dimana hasil buatan
alat-alat dari batunya masih kasar dan belum diasah sehingga bentuknya masih
sederhana.
2) Zaman batu madya (Mesolithikum) merupakan masa peralihan dimana cara
pembuatan alat-alat kehidupannya lebih baik dan lebih halus dari aman batu
tua.
3) Zaman batu muda (Neolithikum) merupakan suatu masa dimana alat-alat
kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya
lebih sempurna dari aman sebelumnya. Misalnya, kapak persegi dan kapak
lonjong.

b. Zaman Logam : adalah zaman yang menunjuk pada suatu periode dimana
alat-alat kehidupan manusia terbuat dari logam. Dengan dimulainya zaman logam,
bukan berarti berakhirnya zaman batu, karena pada zaman logampun alat-alat dari
batu terus berkembang bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya, nama
zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut
alat-alat dari logam telah dikenal dan digunakan secara dominan.
Dan berdasarkan ciri kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya, dibagi dalam tiga
zaman, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam,
dan masa perundagian.
1) Masa berburu dan mengumpulkan makanan : pada masa ini kehidupan manusia
purba masih sangat sederhana. Mereka mengumpulkan makanan dan
meramunya serta berburu dengan menggunakan peralatan bantu yang sangat
sederhana. Untuk melindungi dirinya dari hujan, panas, dan gangguan hewan
buas, manusia purba memanfaatkan ceruk yang ada di batu karang. Letak ceruk
tempat tinggal mereka biasanya tidak jauh dari sumber air karena sumber air
biasa digunakan juga oleh binatang buruan untuk minum. Pada saat binatang
minum, manusia purba memburunya dan selanjutnya digunakan untuk makan
sehari-hari.
2) Masa Bercocok tanam : pada masa ini manusia purba sudah mampu bercocok
tanam sehingga terjadilah perubahan dari tradisi food gathering
(mengumpulkan makanan) menjadi food producing (menghasilkan makanan).
Mereka sudah tidak tergantung lagi pada alam. Mereka sudah berusaha untuk
menghasilkan makanan sendiri dengan bercocok tanam dan beternak. Pada saat
itu pula, manusia sudah bertempat tinggal tetap. Artinya, mereka telah
mengenal cara membuat rumah dan beternak hewan peliharaan.
3) Masa Perundagian : pada masa ini, manusia purba telah pandai membuat
perkakas yang berasal dari logam. Mereka kemudian menggunakan perkakas
tersebut sebagai bagian dari hidupnya. Pada masa ini kehidupan manusia purba
tidak jauh berbeda dengan masa bercocok tanam hanya saja peralatan yang
mereka gunakan semakin lebih baik yaitu mulai digunakannya alat-alat yang
terbuat dari logam.

2. Bentuk Bercocok Tanam pada Zaman Praaksara Hingga Sampai


dengan Saat Ini.
Masa berburu dan menumpulkan makanan pada Praaksara berangsur-angsur
ditinggalkan. Masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menetap di suatu tempat
(nomaden) dengan nengembangkan kegiatan baru seperti bercocok tanam dan
penjinakan hewan. Dengan beberapa penemuan bahwa mereka memiliki
kecenderungan untuk mendiami suatu tempat terbuka yang mana dekat dengan air
misalnya tepi sungai dan laut.
Ciri-ciri zaman bercocok tanam:
a. Pola hidupnya mulai menetap di dataran rendah secara berkelompok dan sudah
memilih pemimpin.
b. Manusia pada masa ini, sudah mengenal cara bercocok tanam, mengolah tanah, dan
memelihara hewan.
c. Mereka mulai menguasai cara menyimpan makanan dan mengawetkan makanan
secara sederhana.
d. Mereke mengenal sistem kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan
alam. Sistem kepercayaan ini ditunjukan melalui simbol-simbol gambar berwarna,
bangunan, dan arca yang terbuat dari batu besar.
e. Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu, dan bahan lainnya yang bentuknya
sudah diasah.
Tabel 1. Zaman bercocok tanam
Kondisi Zaman bercocok tanam
Keadaan alam Bumi sudah stabil
Flora Hampir sama dengan keadaan saat ini
Fauna Hampir sama dengan keadaan saat ini
Kehidupan masyarakat Sudah mulai menetap, bercocok tanam (food
producing), sudah mengenal memelihara hewan, sistem
barter (pertukaran barang), sistem kepercayaan,
animisme dan dinamisme
Alat-alat kehidupan Terbuat dari batu dan sudah diasah. Beliung persegi,
kapak lonjong, gerabah, alat pemukul kulit kayu,
perhiasan

3. Kehidupan Sosial pada Masa Bercocok Tanam


Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu
dapat disebabkan karena ada interaksi antara manusia dengan manusia dan manusia
dengan alam. Ketika kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi oleh alam, manusia
tidak perlu bersusah payah menghasilkan dan mengolah makanan, mereka cukup
mengambilnya dari alam. Akan tetapi, ketika alam tidak lagi dapat memenuhi
kebutuhan hidup, manusia pra aksara (Praaksara) tidak lantas berdiam diri. mereka
mulai memikirkan bagaimana caranya untuk menghasilkan makanan (food producing).
Dari sinilah muncul bahwa manusia perlu mengolah alam. Dengan demikian corak
kehidupan manusia pun berubah dari berburu dan mengumpulkan (meramu) makanan
menjadi bercocok tanam.
Pada awal bercocok tanam, mereka melaksanakan peladangan berpindah atau
pertanian lahan kering (shifting cultivation). Pelaksanaan sistem ini dilakukan dengan
cara membuka hutan untuk ditanami dan mereka akan berpindah lokasi pertanian ke
lahan yang lain apabila dirasa lahan yang mereka tanami sudah tidak produktif lagi.
Sistem peladangan dapat dilaksanakan oleh mereka ketika jumlah penduduknya masih
sedikit, dan hutan sebagai lahan pertanian masih luas. Karena jumlah penduduk
bertambah, kebutuhan bahan makanan semakin banyak dan akibatnya sistem
perladangan lambat laun menjadi tidak efektif lagi, ditambah lahan pertanian yang
diubah menjadi lahan pemukiman.
Masyarakat awal mulai memikirkan cara mengatasi hal ini sampai akhirnya
mereka menemukan jalan keluarnya, yaitu dengan jalan pertanian yang menetap di
suatu perkampungan dan membentuk masyarakat yang teratur dan mempertahankan
kesuburan tanah dengan pemupukan. Menurut H.R Van Heekeren tanah pertanian
diciptakan di hutan dengan cara penebangan dan pembakaran pohon-pohon dan
semak-semak belukar. Abu dari pohon-pohon dan semak-semak belukar tersebut
kemudian dijadikan pupuk (H.R. Van Heekeren 1957, halaman 154). Pertanian
menetap dilakukan di lahan kering maupun lahan basah. sumber-sumber alam mereka
manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada umumnya dilakukan secara
bersama-sama atau gotong royong. Jenis tanaman di lahan kering meliputi sayuran dan
jenis yang biasa pada lahan perladangan, yaitu padi, keladi, ubi jalar, kacang-kacangan,
dan berbagai jenis tanaman musiman serta tahunan seperti buah-buahan dan biji-bijian.

4. Kehidupan Ekonomi pada Masa Bercocok Tanam


Pada masa kehidupan bercocok tanam, kebutuhan hidup masyarakat semakin
bertambah, namun tidak ada satu anggota masyarakatpun yang dapat memenuhi
seluruh kebutuhan hidupnya sendiri. Dengan kenyataan seperti ini, dalam rangka
memenuhi kebutuhannya masing-masing diadakan pertukaran barang dengan barang
(sistem barter). Pertukaran barter ini menjadi awal munculnya sistem perekonomian
dalam masyarakat.
Sistem barter merupakan sejenis bentuk perniagaan yang tidak menggunakan
sembarang bentuk perantara pertukaran, dimana barangan atau perkhidmatan ditukar
dengan barangan dan/atau perkhidmatan lain. Ia boleh jadi dibuat antara dua atau
beberapa pihak. Melalui sistem ini mereka terpaksa membuat pilihan sesama mereka
untuk mendapatkan barang perantaraan yang dapat membawa manfaat bersama antara
mereka. Oleh sebab itu, barang-barang yang digunakan sebagai alat perantaraan itu
berbeda mengikut suasana dan zaman. maka jelaslah di sini bahwa pertukaran adalah
tidak mustahil tanpa uang dan tidak heranlah manusia boleh menjalankan
kegiatan perdagangan dengan sistem pertukaran barter.

5. Alat-alat yang dihasilkan pada Masa Bercocok Tanam


Perkembangan kebudayaan pada masa bercocok tanam makin bertambah pesat.
Hal ini dikarenakan manusia mulai dapat mengembangkan dirinya untuk menciptakan
kebudayaan yang lebih baik. Namun demikian alat-alat yang dihasilkan pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan atau zaman palaeolithikum tidak ditinggalkan.
Alat-alat itu masih dipertahankan dan dikembangkan, seperti alat-alat dari batu sudah
tidak kasar lagi tapi sudah lebih halus karena ada proses pengasahan.
Peninggalan-peninggalan kebudayaan manusia pada masa bercocok tanam makin
banyak dan beragam, baik yang terbuat dari tanah liat, batu maupun logam. Berikut ini
alat-alat atau benda-benda yang dihasilkan pada masa bercocok tanam adalah sebagai
berikut :
a. Kjokkenmoddinger Pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa bercocok tanam,
manusia purba sudah tinggal menetap. Salah satu bukti adanya sisa-sisa tempat
tinggal itu ialah kjokkenmoddinger (sampah-sampah dapur). Istilah ini berasal dari
bahasa Denmark (kjokken = dapur, modding = sampah). Penemuan
kjokkenmoddinger yang ada di pesisir pantai Sumatera Timur menunjukkan telah
adanya penduduk yang menetap di pesisir pantai. Hidup mereka mengandalkan
dari siput dan kerang. Siput-siput dan kerang-kerang itu dimakan dan kulitnya
dibuang disuatu tempat. Selama bertahun-tahun, ratusan tahun, atau ribuan tahun,
bertumpuklah kulit siput dan kerang itu menyerupai bukit. Bukit kerang inilah
yang disebut kjokkenmoddinger.

Gambar 1. Pebble dari kjokkenmoddinger di Sumatera Timur


Di tempat kjokkenmoddinger ditemukan juga alat-alat lainnya,
seperti pebble (kapak genggam yang sudah halus), batu-batu penggiling beserta
landasannya, alat-alat dari tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak.
b. Abris Sous Rosche Pada Masa Bercocok Tanam
Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous
rosche, yaitu tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu
karang. Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes, batu-batu
penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat dari batu.
Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat ditemukannya abris
sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamoncong
(Sulawesi Selatan).

Gambar 2. Abris sous rosche di Lamoncong, Sulawesi Selatan


c. Gerabah Pada Masa Bercocok Tanam
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan
manusia mengolah makanan. Hal ini dikarenakan fungsi gerabah diantaranya
sebagai tempat meyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu alat yang terbuat
dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan berikut, gerabah tidak
hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin beragam, bahkan
menjadi barang yang memiliki nilai seni. Cara pembuatan gerabah mengalami
perkembangan dari mulai bentuk yang sederhana hingga ke bentuk yang kompleks.
Dalam bentuk yang sederhana dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang
digunakan berupa campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan
menggunakan tangan. Teknik pembuatan semakin berkembang, pencetakan
menggunakan roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih baik bahkan lebih
indah. Dalam perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi
gerabah mulai dihias dengan pola hias dan warna. Hiasan yang ada diantaranya
hiasan anyaman. Untuk membuat hiasan yang demikian yaitu dengan cara
menempelkan agak keras selembar anyaman atau tenunan pada gerabah yang
masih basah sebelum gerabah dijemur. Kemudian gerabah dijemur sampai kering
dan dibakar. Berdasarkan bukti ini, para ahli menyimpulkan bahwa pada masa ini
manusia sudah mengenal bercocok tanam dan orang mulai dapat menenun.

Gambar 3. Gerabah
d. Kapak Persegi pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini
yaitu batu yang garis irisannya melintangnya memperlihatkan sebuah bidang segi
panjang atau ada juga yang berbentuk trapesium. Jenis lain yang termasuk dalam
katagori kapak persegi seperti beliung atau pacul untuk yang ukuran besar, dan
untuk ukuran yang kecil bernama tarah. Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu.
Pada alat-alat tersebut terdapat tangkai yang diikatkan. Orang yang pertama
memberikan nama Kapak Persegi yaitu von Heine Geldern.

Gambar 4. Berbagai jenis kapak persegi


Daerah-daerah tempat ditemukannya kapak persegi yaitu di Sumatra, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Batu api
dan chalcedon merupakan bahan yang dipakai untuk membuat kapak persegi.
Kapak persegi kemungkinan sudah menjadi barang yang diperjualbelikan. Alat ini
dibuat oleh sebuah pabrik tertentu di suatu tempat kemudian di bawa keluar daerah
untuk diperjualbelikan. Sistem jual-belinya masih sangat sederhana, yaitu sistem
barter. Adanya sistem barter tersebut, kapak persegi banyak ditemukan di
tempat-tempat yang tidak banyak ada bahan bakunya, yaitu batu api.

Gambar 5. Kapak persegi yang belum dihaluskan


e. Kapak Lonjong pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini
yaitu garis penampang memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk lonjong.
Sedangkan bentuk kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya yang agak lancip
ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya yang bulat diasah hingga tajam. Ada
dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang besar disebut
dengan walzeinbeil dan kleinbel untuk ukuran kecil. Kapak lonjong masuk ke
dalam kebudayaan Neolitihikum Papua, karena jenis kapak ini banyak ditemukan
di Papua (Irian). Kapak ini ditemukan pula di daerah-daerah lainnya, yaitu di
Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak.

Gambar 6. Kapak lonjong dari muka dan samping


Selain di Indonesia, jenis kapak lonjong ditemukan pula di negara lain,
seperti Walzeinbeil di temukan di Cina dan Jepang, daerah Assam dan Birma
Utara. Penemuan kapak lonjong dapat memberikan petunjuk mengenai
penyebarannya, yaitu dari timur mulai dari daratan Asia ke Jepang, Formosa,
Filipina, Minahasa, terus ke timur. Penemuan-penemuan di Formosa dan Filipina
memperkuat pendapat ini. Dari Irian daerah persebaran meluas sampai ke
Melanesia.
f. Beliung Persegi pada Masa Bercocok Tanam
Diantara peralatan batu yang paling menonjol dari masa bercocok tanam di
Indonesia adalah beliung persegi. Beliung persegi bentuknya mirip cangkul,
namun tidak sebesar dan selebar cangkul zaman sekarang. Beliung persegi
digunakan untuk mengolah kayu, misalnya untuk membuat rumah dan perahu.
Beliung persegi ditemukan hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, yaitu
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Adapun
penemuannya diluar wilayah Indonesia yaitu di Semenanjung Melayu dan Asia
Tenggara. Beliung persegi terbuat dari batu api.

Gambar 7. Beliung Persegi


g. Mata Panah pada Masa Bercocok Tanam
Mata panah merupakan salah satu dari perlengkapan berburu maupun
menangkap ikan. Mata panah untuk menangkap ikan dibuat bergerigi seperti mata
gergaji dan umumnya dibuat dari tulang. Sisi-sisi mata panah dari zaman
kehidupan bercocok tanam berhasil ditemukan didalam gua-gua yang ada di
pinggir sungai. Kemungkinan juga ada mata panah yang dibuat dari kayu seperti
yang masih digunakan oleh penduduk asli Papua. Daerah yang banyak ditemukan
mata panah ini adalah jawa timur dan Sulawesi selatan.

Gambar 8. Mata Panah


h. Perhiasan pada Masa Bercocok Tanam
Hiasan sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan
dibuat dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti
hiasan kulit kerang dari sekitar pantai. Hiasan lainnya ada yang terbuat dari yang
dibuat dari tanah liat seperti gerabah, dan ada pula yang terbuat dari batu. seperti
gelang, kalung, dan beliung.
Gambar 9. Berbagai perhiasan dari batu
Pembuatan hiasan dari batu dilakukan dengan cara, pertama batu
dipukul-pukul sampai menjadi bentuk gepeng. Setelah itu kedua sisi yang rata
dicekungkan dengan cara dipukul-pukul pula, kedua cekungan itu bertemu
menjadi lobang. Untuk menghaluskannya, kemudian digosok-gosok dan diasah
sehingga membentuk suatu gelang. Bentuk gelang tersebut dari dalam halus rata
dan dari luar lengkung sisinya. Selain dipukul, cara lain untuk membuat lobang
pada gelang yaitu dengan cara menggunakan gurdi. Batu yang bulat gepeng itu
digurdi dari kedua belah sisi dengan sebuah gurdi dari bambu. Setelah diberi air
dan pasir, bambu ini dengan seutas tali dan sebilah bambu lainnya diputar di atas
muka batu sampai berlubang.
i. Pakaian pada Masa Bercocok Tanam
Kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh manusia pada masa bercocok tanam
diperkirakan mereka telah memakai pakaian. Bahan yang digunakan untuk pakaian
berasal dari kulit kayu. Daerah tempat ditemukan bukti adanya pakaian adalah di
Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya. Pada daerah-daerah
tersebut ditemukan alat pemukul kulit kayu. Kulit kayu yang sudah dipukul-pukul
menjadi bahan pakaian yang akan dibuat.

Gambar 10. Pakaian dari Kulit Kayu

6. Konsep Kepercayaan dan Bangunan Megalit pada Masa Bercocok Tanam


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pada zaman berburu dan mengumpulkan
makanan hingga kegiatan bercocok tanam, manusia masa kini melakukan usaha
menjinakkan binatang. Jenis binatang yang dipelihara antara lain babi, anjing, dan jenis
unggas seperti ayam dan itik (H.R. Van Heekeren 1995,halaman 40) Tujuan pokok
menjinakkan binatang bukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani melainkan
untuk tujuan religious. Hal ini disebabkan karena dalam kehidupan masyarakat telah
muncul untuk kepercayaan. Salah satu segi yang menonjol dari kepercayaan itu
adalah sikap hidup terhadap alam kehidupan sesudah mati. Menurut kepercayaan
mereka, roh seorang tidak lenyap pada saat orang meninggal sehingga roh-roh tersebut
dianggap masih dalam keadaan sesudah mati.
Pandangan masyarakat pada masa ini berpangkal pada keyakinan bahwa arwah
nenek moyang dapat mendatangkan berkah serta menjamin kesejahteraan kehidupan
keluarga. Atas dasar kepercayaan tersebut maka dalam kehidupan mayarakat becocok
tanam muncul kebiasaan megadakan upacara-upacara yang dianggap sebagai sarana
untuk meminta berkah dari nenek moyangnya. Upacara tersebut pada umumnya
disertai dengan penyembelihan binatang korban. Sesudah binatang korban disembelih
kemudian isi perut (misalnya hati dan limpa) dikeluarkan. Mereka percaya bahwa isi
perut tersebut dapat memberi petunjuk berhasil atau tidaknya suatu usaha atau
tindakan yang dijalankan (H.R. Van Heekeren 1957, halaman 156).
Penyembelihan binatang korban dilakuan antara lain pada waktu upacara penguburan,
upacara membuka ladang baru, dan upacara-upacara lainnya.
Bukti peninggalan kepercayaan pada masa bercocok tanam yaitu ditemukannya
bangunan-bangunan batu besar yang berfungsi untuk penyembahan. Zaman penemuan
batu-batu besar ini disebut dengan zaman megalithikum. Bangunan-bangunan batu
yang dihasilkan pada zaman megalithikum antara lain sebagai berikut.
a. Menhir

Gambar 11. Menhir


Menhir merupakan tiang atau tugu batu yang dibuat untuk menghormati
roh nenek moyang. Daerah-daerah tempat ditemukannya menhir di Indonesia,
seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, Sulawesi
Tengah, Kalimantan, dan Bali.
b. Sarkofagus

Gambar 12. Sarkofagus


Sarkofagus menyerupai peti mayat atau keranda yang bentuknya seperti
palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup. Benda ini terbuat dari batu sehingga
diperkirakan kehadiran sarkofagus sezaman dengan zaman megalithikum (zaman
batu besar). Adanya sarkofagus ini menandakan kepercayaan pada waktu itu,
bahwa orang yang meninggal perlu dikubur dalam peti mayat. Di daerah Bali,
sarkofagus ini banyak ditemukan.
c. Dolmen

Gambar 13. Dolmen


Tempat lain untuk melakukan pemujaan pada arwah nenek moyang pada
waktu itu ialah Dolmen. Dolmen ini terbuat dari batu besar yang berbentuk meja.
Meja ini berkaki yang menyerupai menhir. Dolmen berfungsi sebagai tempat sesaji
dalam rangka pemujaan kepada roh nenek moyang. Di beberapa tempat, dolmen
berfungsi sebagai peti mayat, sehingga di dalam dolmen terdapat tulang belulang
manusia. Sebagai bekal untuk yang meninggal, di dalam dolmen disertakan
benda-benda seperti periuk, tulang dan gigi binatang, dan alat-alat dari besi.
d. Peti Kubur

Gambar 13. Peti Kubur


Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu
dibuat dari lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti
mayat yang dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan
batu. Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat),
Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga
ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta
manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui
persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya merupakan
tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
e. Waruga
Waruga atau kuburan tua, adalah peti kubur peninggalan zaman megalithic
orang Minahasa yang berkembang pada awal abad ke-13 SM. Tetapi
kemunculannya di tafsir pada sekitar abad ke-16 pertengahan. Waruga pertama
muncul di daerah bukit Kelewer, Treman dan Tumaluntung Kabupaten Minahasa
Utara (Minut) dan terus berkembang diberbagai daerah di Sulawesi Utara sampai
pada awal abad 20 Masehi.
Menurut catatan sejarah, waruga berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari
kata Wale Maruga yang berarti rumah dari badan yang akan kering. Sedangkan
dalam arti lainnya, yakni Wale Waru atau Kubur dari Domato (jenis tanah lilin).
Umur waruga tidak dapat dipastikan, karena bangsa Minahasa pada saat itu belum
mengenal tulisan. Namun berdasarkan berbagai sumber, waruga telah ada sebelum
zaman Kristianisasi atau sebelum abad 16 Masehi. Waruga terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus dan bagian
tutup berbentuk menyerupai atap rumah. Waruga berfungsi sebagai wadah
penguburan mayat atau orang yang sudah meninggal. Pada zaman pra-sejarah
masyarakat Minahasa percaya bahwa roh leluhur memiliki kekuatan magis,
sehingga wadah kubur mereka harus dibuat sebaik dan seindah mungkin. Hal yang
paling menarik adalah waruga itu dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal.
Ketika orang itu akan meninggal maka dia dengan sendirinya akan memasuki
waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur yang selengkapanya. Kelak
bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi
masyarakat yang di tinggalkan. Didalam waruga (peti kubur batu) ini akan
ditemukan berbagai macam jenis benda, antara lain berupa tulang- tulang manusia,
gigi manusia, periuk tanah liat, benda-benda logam, pedang, tombak,
manik-manik, gelang perunggu, piring, dan lain-lain.

Gambar 15. Waruga atau kubur batu banyak ditemui di daerah Minahasa
f. Punden Berundak-undak
Bangunan lainnya yang dihasilkan pada zaman megalithikum adalah
punden berundak-undak. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan yang
berupa batu tersusun secara bertingkat-tingkat. Di tempat punden berundak-undak
biasanya terdapat menhir. Daerah ditemukannya punden berundak-undak antara
lain di Lebak Sibedug (Banten Selatan) dan Ciamis (Jawa Barat).

Gambar 17. Punden berundak-undak dari Lebak Sibedug (Banten Selatan)


g. Arca
Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia.
Bentuk binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet.
Sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya,
wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang
sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah
Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca
batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Gambar 18. Batu Gajah, di punggung penunggangnya (kiri atas) nampak sebuah nekara yang diikat
dengan tali
7. Kehidupan pada Masa perundagian
Pada masa bercocok tanam, manusia sudah berusaha bertempat tinggal menetap
dengan mengatur kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, yaitu
menghasilkan bahan makanan sendiri, baik dibidang pertanian maupun peternakan.
Pada masa perundagian, semuanya mengalami kemajuan dan penyempurnaan. Pada
masa ini mulai ditemukan bijih-bijih logam sehingga berbagai peralatan mulai dibuat
dari logam. Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan terbuat dari bahan logam. Adanya
penggunaan logam, tidaklah berarti hilangnya penggunaan barang-barang dari batu.
Pada masa perundagian, manusia masih juga menggunakan barang-barang yang
berasal dari batu. Penggunaan bahan dari logam tidak begitu tersebar luas sebagaimana
halnya bahan dari batu. Persediaan logam sangat terbatas. Hanya orang-orang tertentu
yang memiliki barang-barang dari logam. Kemungkinan hanya orang-orang yang
mampu membeli bahan-bahan tersebut. Keterbatasan persediaan tersebut
memungkinkan barang-barang dari logam diperjualbelikan. Adanya perdagangan
tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pada zaman perundagian telah
mengadakan hubungan dengan luar.
Ciri-ciri zaman perundagian:
a. Sudah terbentuk kelompok-kelompok kerja dalam bidang pertukangan.
b. Adanya status keanggotaan masyarakat yang didasarkan pada tingkat kekayaan.
c. Sudah mengenal teknik pengolahan logam, sehingga alat-alat upacara, senjata, dan
peralatan kerja yang digunakan dibuat dari tembaga, perunggu, dan besi.
d. Mereka sudah membuat perhiasan dari emas.
e. Tempat-tempat ibadah digunakan untuk memuja roh nenek moyang, terbuat dari
batu-batu besar.
f. Kepercayaan mereka adalah animisme dan dinamisme.
Zaman perundagian (zaman logam) ini dibagi atas :
a. Zaman Perunggu
Pada zaman perunggu atau yang disebut juga dengan
kebudayaan Dongson-Tonkin Cina (pusat kebudayaan) ini manusia purba sudah
dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga
diperoleh logam yang lebih keras.
Alat-alat perunggu pada zaman ini antara lain :
1) Kapak Corong (Kapak perunggu, termasuk golongan alat perkakas) ditemukan
di Sumatera Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, Irian.
2) Nekara Perunggu (Moko) sejenis dandang yang digunakan sebagai maskawin.
Ditemukan di Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti, Selayar, Leti Bejana
Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
3) Arca Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur) dan
Bogor (Jawa Barat)
b. Zaman Besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang
menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik
peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas
yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Alat-alat besi yang dihasilkan antara lain:
1) Mata Kapak bertungkai kayu
2) Mata Pisau
3) Mata Sabit
4) Mata Pedang
5) Cangkul

Alat-alat tersebut ditemukan di Gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor (Jawa


Barat), Besuki dan Punung (Jawa Timur). Zaman logam di Indonesia didominasi
oleh alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam juga disebut zaman perunggu.
Alat-alat besi yang ditemukan pada zaman logam jumlahnya sedikit dan bentuknya
seperti alat-alat perunggu, sebab kebanyakan alat-alat besi, ditemukan pada zaman
sejarah.
Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan
megalitikum, yaitu kebudayaan yang menggunakan media batu-batu besar sebagai
alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalitikum justru pada zaman
logam. Perkembangan zaman logam di Indonesia berbeda dengan di Eropa, karena
zaman logam di Eropa mengalami 3 fase/bagian, yaitu zaman tembaga, zaman
perunggu, dan zaman besi.
Di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak
mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi
secara bersamaan. Dan hasil temuan yang lebih dominan adalah alat-alat dari
perunggu sehingga zaman logam disebut juga dengan zaman perunggu.

8. Kehidupan pada Masa Sekarang


Pada era modern saat ini, perkembangan teknologi telah banyak merubah tatanan
kehidupan masyarakat saat ini, Perkembangan kebudayaan pada masa bercocok
tanampun makin bertambah pesat. Hal ini dikarenakan manusia mulai dapat
mengembangkan dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik seiring
dengan kehadiran teknologi saat ini.
Pada zaman dahulu, ketika manusia masih hidup di zaman purba, alat pertanian
yang mereka gunakan adalah berupa alat-alat dari batu atau kayu. Tapi di zaman
modern ini, untuk bercocok tanam, manusia mencari kemudahan-kemudahaan dengan
menciptakan alat yang bisa mempemudah proses bertani atau bercocok tanam. Dan alat
yang diciptakan untuk tujuan pertanian ini kemudian dikenal dengan istilah Alat dan
mesin pertanian.

Gambar 19. Alat-alat Pertanian

Alat dan mesin pertanian sesungguhnya mempunyai pengertian yang sangat


jauh berbeda. Alsintan adalah dua kata yang di satukan. Berasal dari istilah alat
pertanian dan mesin pertanian. Keduanyanya, baik alat maupun mesin mempunyai
perbedaan dalam bentuk, tenaga pengerak dan proses yang dilakukan. Alat pertanian
mempunyai bentuk dan mekanisme yang sederhana, dijalankan secara manual dan
proses yang dilakukan sedikit. Sedangkan mesin pertanian bentuk dan mekanismenya
sangat kompleks, bekerja secara otomatis dan hasil proses yang di kerjakan sangat
banyak.
Berikut ini adalah contoh alat-alat dan mesin pertanian yang sekarang banyak di
gunakan di tingkat petani dari yang sederhana dan manual hingga yang modern dan
otomatis.
Tabel 2. Perkembangan Alat pertanian

Proses Yang dikerjakan Alat Pertanian Mesin Pertanian


Membalik tanah Cangkul Traktor
Memotong Rumput Sabit Sabit Bergerigi
Menyiram Tanaman Ember/gembor Power Sprayer
Menanam Biji Kayu Tugal Mesin Tugal

9. Kesimpulan
a. Satu-satunya sumber untuk mengetahui kehidupan manusia purba hanya
melalui peninggalan-peninggalan mereka yang berupa fosil, alat-alat
kehidupan, dan fosil tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang hidup dan
berkembang pada masa itu.
b. Untuk mempelajari kehidupan manusia Praaksara di Indonesia, diperlukan
bantuan beberapa cabang ilmu pengetahuan, antara lain:
1) Paleontologi, ilmu yg mempelajari tentang fosil.
2) Paleontropologo, ilmu yg mempelajari asal usul dan evolusi manusia
dengan mempergunakan fosil manusia sebagai bahan penemuan.
3) Geologi, ilmu yg mempelajari ciri2 lapisan bumi serta perubahan
perubahannya.
4) Antropologi, yg mempelajari tentang peradaban manusia dari bentuk yg
paling sederhana sampai ketingkat yg lebih maju.
5) Arkeologi, ilmu yg mempelajari peninggalan2 sejarah dan purba kala untuk
menyusun kembali kehidupan manusia dan masyarakat masa lampau.
6) Geografi, ilmu yg mempelajari keberadaan bumi sebagai tempat
berpijaknya manusia di dalam menjalani kehidupannya, dan lain lain.
c. Untuk mengetahui Umur peninggalan budaya itu dapat diketahui melalui cara:
1) Tipologi, merupakan cara penentuan usia benda peninggalan budaya
berdasarkan bentuk tipe dari peninggalan itu. Semakin sederhana bentuk
peninggalan budaya manusia itu. Maka usianya semakin tua.
2) Stratigrafi, merupakan cara penentuan usia benda peninggalan budaya
berdasarkan lapisan tanah tempat benda itu ditemukan, semakin kebawah
lapisan tanah tempat penemuan benda peninggalan budaya manusia, maka
semakin tua usianya.
3) Kimiawi, merupakan cara menentukan usia benda peninggalan budaya
manusia berdasarkan unsur-unsur kimia yang dikandung oleh benda
tersebut.
d. Fosil adalah tulang belulang manusia, hewan, dan tumbuhan yang telah
membatu. Fosil yang dapat memberi petunjuk kehidupan manusia purba
disebut fosil pandu.
e. Arterak adalah alat-alat atau perkakas yang dipakai oleh manusia purba untuk
menunjang kehidupannya. Contoh: kapak persegi, kapak lonjong, kapak
corong, dan lain lain.
f. Secara umum, masa Praaksara ditinjau dari dua aspek, yaitu berdasarkan
benda-benda peninggalan yang digunakan oleh manusia pada masa pra
aksara, dibedakan menjadi dua zaman yaitu zaman batu dan zaman
logam. Dan berdasarkan ciri kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya,
dibagi dalam tiga zaman, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan,
masa bercocok tanam, dan masa perundagian.
g. Masa Bercocok tanam : pada masa ini manusia purba sudah mampu bercocok
tanam sehingga terjadilah perubahan dari tradisi food gathering
(mengumpulkan makanan) menjadi food producing (menghasilkan makanan).
Mereka sudah tidak tergantung lagi pada alam. Mereka sudah berusaha untuk
menghasilkan makanan sendiri dengan bercocok tanam dan beternak. Pada saat
itu pula, manusia sudah bertempat tinggal tetap. Artinya, mereka telah
mengenal cara membuat rumah dan beternak hewan peliharaan.
h. Masa Perundagian : pada masa ini, manusia purba telah pandai membuat
perkakas yang berasal dari logam. Mereka kemudian menggunakan perkakas
tersebut sebagai bagian dari hidupnya. Pada masa ini kehidupan manusia purba
tidak jauh berbeda dengan masa bercocok tanam hanya saja peralatan yang
mereka gunakan semakin lebih baik yaitu mulai digunakannya alat-alat yang
terbuat dari logam.
i. Peninggalan-peninggalan kebudayaan manusia pada masa bercocok tanam
makin banyak dan beragam, baik yang terbuat dari tanah liat, batu maupun
logam. Berikut ini alat-alat atau benda-benda yang dihasilkan pada masa
bercocok tanam adalah sebagai berikut : Kjokkenmoddinger (Sampah-sampah
dapur), Abris sous rosche, Gerabah, Kapak Persegi, Kapak Lonjong,
Perhiasan, Anak Panah, Beliung Persegi, dan Pakaian yang terbuat kayu
j. Bangunan-bangunan batu yang dihasilkan pada zaman megalithikum antara
lain sebagai berikut : Menhir, Sarkofagus, Dolmen, Kubur Batu, Waruga,
Punden Berundak-undak, dan Arca.
k. Zaman perundagian terbagi atas 2 yaitu : Zaman Perunggu dan Zaman Besi.
l. Hasil Kebudayaan pada zaman perunggu antara lain : Kapak Corong (Kapak
perunggu, termasuk golongan alat perkakas), Nekara Perunggu (Moko) sejenis
dandang yang digunakan sebagai maskawin, dan Arca Perunggu.
m. Hasil Kebudayaan pada zaman besi yang dihasilkan antara lain: Mata Kapak
bertungkai kayu, Mata Pisau, Mata Sabit, Mata Pedang dan Cangkul.
n. Pada zaman modern ini, untuk bercocok tanam, manusia mencari
kemudahan-kemudahaan dengan menciptakan alat yang bisa mempemudah
proses bertani atau bercocok tanam yang dikenal dengan istilah Alat dan mesin
pertanian.

Anda mungkin juga menyukai