2. Peralatan
Peralatan yang digunakan pada masa itu terbuat dari batu yang masih sangat kasar.
Perlatan itu dibuat dengan cara memukulkannya pada batu lain yang lebih keras,
sehingga dihasilkan serpihan batu yang lebih kecil. Benda – benda yang ditemukan pada
zaman ini adalah kapak genggam, anak panah, tombak, pisau batu, flakes, alat – alat
dari tulang, dan tanduk rusa.
1. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan pacitan ditandai dengan penemuan alat batu dan kapak genggam di daerah
Pacitan pada tahun 1935 oleh Von Koenigswald. Kapak – kapak tersebut merupakan
kapak – kapak yang dikerjakan dengan cara kasar yang disebut dengan kapak penetak.
Selain di Pacitan, di Gombang dan Progo (Jawa Tengah), Suka Bumi, dan Lahat juga
banyak ditemukan alat-alat seperti itu.
2. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong ditandai dengan ditemukannya alat-alat dari tulang, alat
penusuk dari tanduk rusa, flakes dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan
Sidoarjo.
Selain itu, ditemukan pula alat yang sangat kecil dari batu – batuan yang sangat indah di
dekat Sangiran. Benda ini disebut dengan Serbih Pilah. Keberadaan kebudayaan
Ngandong ini didukung juga oleh penemuan yang berupa lukisan pada dinding –
dinding goa yang berupa lukisan tapak tangan berwarna merah dan juga lukisan babi
hutan yang ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan).
ZAMAN MESOLITIKUM
Pada tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian pada
Kjokkenmoddinger. Kemudian, dia menemukan kapak genggam yang berbeda dengan
kapak genggam pada zaman phaleotikum (chopper).
4. Pipisan
Di dalam bukit kerang tersebut ternyata ditemukan pipisan, yaitu batu – batu penggiling
beserta dengan landasannya. Batu pipisan ini digunakan untuk menggiling makanan dan
juga dipergunakan sebagai penghalus cat merah yang berasal dari tanah merah. Cat
merah ini diperkirakan sebagai alat untuk keperluan keagamaan dan juga untuk ilmu
sihir.
ZAMAN NEOLITIKUM
Zaman Megalitikum (mega berarti besar dan lithikum atau lithos berarti batu) disebut
juga zaman batu besar. Hasil budayanya berupa bangunan-bangunan besar yang
berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada roh nenek moyang.
Kebudayaan ini berlangsung hingga zaman logam, bahkan sampai saat ini kita masih
dapat menjumpai di berbagai daerah di indonesia sebagai sisa-sisa tradisi budaya
Megalitikum. Adapun hasil budaya Megalitikum ini meliputi: menhir, batu berundak,
dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, serta berbagai jenis arca berukuran besar.
1. Menhir
Menhir adalah tugu atau batu yang tegak, yang sengaja di tempatkan di suatu tempat
untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini berupa media
penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal tersebut.
Menhir adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari
periode Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan
Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya.
Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para arkeolog
mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna
simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.
2. Punden berundak
Punden berundak merupakan bangunan yang di susun secara bertingkat-tingkat yang di
maksudkan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang, bangunan ini
kemudian menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa hindu-buddha.
Struktur dasar punden berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode
kebudayaan Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun
ternyata juga dipakai pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai
periode Islam masuk di Nusantara. Persebarannya tercatat di kawasan Nusantara sampai
Polinesia, meskipun di kawasan Polinesia tidak selalu berupa undakan, dalam struktur
yang dikenal sebagai marae oleh orang Maori. Masuknya agama-agama dari luar sempat
melunturkan praktik pembuatan punden berundak pada beberapa tempat di Nusantara,
tetapi terdapat petunjuk adanya adopsi unsur asli ini pada bangunan-bangunan dari
periode sejarah berikutnya, seperti terlihat pada Candi Borobudur, Candi Ceto, dan
Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.
3. Kubur batu
Bentuknya mirip seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat saat ini,
umumnya tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar.
Sebagian besar kubur batu yang di temukan terletak membujur dari arah timur ke barat.
Pada masa prasejarah ketika kebudayaan Megalitikum berkembang bahwa kubur batu
merupakan salah satu dari jenis peninggalan batu-batu besar (megalit). Sedangkan
sesuai dengan namanya fungsi dari kubur batu sendiri sebagai tempat penguburan
(stonecists) bagi orang-orang yang dihormati di lingkungan masyarakat yang hidup
pada masa megalit. Kubur batu ini sudah dilakukan pengamanan dengan cara diberi
pagar keliling yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 5,50 meter dan lebar 5
meter. Sedang bagian atas di beri cungkup seng dengan tiang penyangga dari kayu dan
pondasi semen.
4. Sarkofagus
Sejenis kubur batu tetapi memiliki tutup di atasnya, biasanya antara wadah dan tutup
berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia atau
binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir,
dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai
bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain
dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus
merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang
dipahat dengan alabaster
5. Dolmen
Dolmen merupakan bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk dan fungsi,
sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya di letakan
di tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat pelaksanaan upacara yang ada
hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.
Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat
meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk
meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka
kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukan
kalau masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah hubungan antara yang
sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka percaya bahwa apabila terjadi
hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan keselarasan bagi kedua
belah pihak.
6. Arca batu
Arca batu banyak di temukan di beberapa tempat di wilayah indonesia, diantaranya
pasemah, Sumatra Selatan dan Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai
binatang atau manusia dengan ciri Negrito. Di Pasemah ditemukan arca yang
dinamakan Batu Gajah, yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat diatasnya terdapat
pahatan wajah manusia yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang
menjadi objek pemujaan.
Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मरम रर), atau murthi,
yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta).
Berarti “penubuhan”, murti adalah perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya
terbuat dari batu, kayu, atau logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran
konsentrasi kepada Tuhan dalam pemujaan. Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas
dipuja sebagai fokus pemujaan kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan
bersemayam didalamnya dengan tujuan memberikan persembahan atau sesaji.
Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut, atau proporsinya harus mengacu
kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.
7. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup, waruga banyak ditemukan di situs
Gilimanuk, Bali.
Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan
terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan
bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.