STIE EKUITAS
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “lembaga
negara dan hubungannya ” ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr.
Nina Nuraini, SH.,M.Si. Selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah
wawasan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini masih
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih
baik lagi. Akhir kata kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun agar dapat
lebih baik lagi.
Daftar Isi
3
2.7.7 Komisi Yudisial dengan MA ..................................................................................................... 20
Bab 3 ........................................................................................................................................................... 21
TINJAUAN KASUS......................................................................................................................................... 21
Bab 4 ........................................................................................................................................................... 22
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................. 22
Bab 5 ........................................................................................................................................................... 27
Kesimpulan dan Saran ................................................................................................................................. 27
Kesimpulan .............................................................................................................................................. 27
SARAN / SOLUSI .................................................................................................................................. 28
Daftar pustaka ............................................................................................................................................. 29
4
BAB 1
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dikaji dalam makalah ini, yakni dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Apa definisi dari organisasi pemerintahan
Apa itu lembaga Negara
pembagian kekuasaan
Bagaimana lembaga Negara sebelum dan sesudah amandemen UUD’45
Hubungan antar lembaga negaranya
C. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui bagaimana konsep tentang “Lembaga Negara” yang
dimaksud oleh Undang-Undang Dasar 1945
Mengetahui dan memahami tentang hubungan antar lembaga Negara
5
BAB II
DASAR TEORI
6
asli acuan ikatan badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan
keilmuan atau melakukan suatu usaha dan pola perilaku manusia yang mapan,
terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan.
Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga, yaitu
lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan pemerintahan dalam
lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan diganti dengan kata negara,
diartikan ’badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara
(khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Lembaga Negera terdiri dari :
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Majelis Agung (MA)
Mahkamah Konstitusi (MK)
Presiden
B. Pembagian kekuasaan
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan
ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga
kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di
Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar
pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica)
adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan
sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin kebebasan rakyat yang
terperintah.
Ajaran Trias Politika dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh
pemikir Perancis de Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois,
yang mengandung maksud bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan
negara atau lembaga negara yang menurut ajaran tersebut adalah :
7
a. Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang
b. Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
c. Badan yudikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-
undang, memeriksa dan megadilinya.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengalami empat kali perubahan (amandemen). Perubahan (amandemen)
Undang-Undang Dasar 1945 ini, telah membawa implikasi terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya sistem ketatanegaraan Indonesia,
maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang ada.
8
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945
merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat.MPR diberi kekuasaan tak terbatas (Super
Power). karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia”
yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil
presiden.
3. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.Menurut UUD 1945, BPK
merupakan lembaga yang bebas dan mandiri.
Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan
oleh Presiden.
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk
memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
5. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah
memberikan persetujuan atas RUU [pasal 20 (1)], mengajukan rancangan
Undang-Undang [pasal 21 (1)], Memberikan persetujuan atas PERPU [pasal
9
22 (2)], dan Memberikan persetujuan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara [pasal 23 (1)].
UUD 1945 tidak menyebutkan dengan jelas bahwa DPR memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.
6. Presiden
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR,
meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”. Presiden
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of
power and responsiblity upon the president). Presiden selain memegang
kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative
(legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden
mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai
batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
10
Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945, dapat
dijelaskan sebagai berikut : Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi
dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut
UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6
lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden,
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi
Negara lainnya seperti
Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
Menghilangkan supremasi kewenangannya. Menghilangkan
kewenangannya menetapkan GBHN.
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
secara langsung melalui pemilu.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Posisi dan kewenangannya diperkuat.
Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan
presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara
pemerintah berhak mengajukan RUU.
Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga Negara.
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan
kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah
ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai
anggota MPR.
11
Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara
Republik Indonesia.
Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain
yang berkait dengan kepentingan daerah.
4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara
(APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan
kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.
Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal
departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
5. Presiden
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara
pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta
memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan
pertimbangan DPR.
Syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden
menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai
pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
6. Mahkamah Agung (MA)
Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan
yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
12
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan
Undang-undang.
Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian,
Advokat/Pengacara dan lain-lain.
7. Mahkamah Konstitusi (MK)
Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the
guardian of the constitution).
Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai
politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau
wakil presiden menurut UUD.
Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh
Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden,
sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu
yudikatif, legislatif, dan eksekuti
13
sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah
lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di
dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan
berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur
pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau
wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya,
sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.
Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau
organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya
akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya
Lembaga-Lembaga Negara ada yang bersifat utama/primer (primary
constitutional organs), dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs).
Sedangkan dari segi hirarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3 (tiga)
lapis yaitu
1. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, dimana nama,
fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD 1945. Adapun yang
disebut sebagai organ-organ konstitusi pada lapis pertama atau dapat disebut
sebagai lembaga tinggi negara yaitu ; Presiden an Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah
Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, dimana dalam lapis ini
ada lembaga yang sumber kewenangannya dari UUD, ada pula sumber
kewenangannya dari Undang-Undang dan sumber kewenangannya yang
bersumber dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah Undang-
Undang. Kelompok Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat
kewenangan dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY),
Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara, Komisi pemilihan
umum, Bank Sentral ; Kelompok Kedua organ institusi yang sumber
kewenangannya adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM,
14
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain sebagainya. Walaupun
dasar/sumber kewenangannya berbeda kedudukan kedua jenis lembaga
negara ini dapat di sebandingkan satu sama lain, hanya saja kedudukannya
walaupun tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan
secara eksplisit dalam UUD, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan
hanya karena kebijakan pembentukan Undang-Undang.
Sedangkan Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang termasuk kategori
Lembaga Negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau
pembentuk peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi Hukum
Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden.
3. Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah yaitu merupakan lembaga
negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah diatur oleh UUD 1945
yaitu : Pemerintah Daerah Provinsi; Gubernur; DPRD Provinsi; Pemerintahan
Daerah Kabupaten; Bupati; DPRD Kabupaten; Pemerintahan Daerah Kota;
Walikota; DPRD Kota, Disamping itu didalam UUD 1945 disebutkan pula
adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa
yang diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD, sehingga
eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.
15
2.6 Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara
Hubungan antar alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim
disebut sebagai lembaga negara merupakan hubungan kerjasama antar institusi-
institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Berdasarkan
teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara
yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan
(fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan
pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif).
Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli
hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan
kekuasaan antara ketiga fungsi negara tersebut (separation power).
Alat kelengkapan negara berdasarkan teori–teori klasik hukum negara
meliputi kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri
atau raja, kekuasaan legilatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan
nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti
mahkamah agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut
bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan fungsinya.
Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri yang biasanya
memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, tipe-tipe lembaga
negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan
sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam
negara yang bersangkutan.
Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau
alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga untuk
menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-
lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling
berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang
digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi,
meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap
negara bisa berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja
dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk
16
merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan
tujuan negara jangka panjang.
Sampai dengan saat ini, proses awal demokratisasi dalam kehidupan
sosial dan politik dapat ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 secara langsung, terbentuknya
kelembagaan DPR, DPD dan DPRD baru hasil pemilihan umum langsung,
terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan perundangan-
undangan otonomi daerah yang baru, dimana setelah jatuhnya Orde Baru (1996 -
1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem
pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep
Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan, selain itu
terciptanya format hubungan sipil-militer, serta TNI dengan Polri berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku, serta terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
17
2.7.2 DPR dengan Presiden, DPD, dan MK.
Berdasarkan UUD NRI tahun 1945, kini MPR terdiri dari anggota DPR
dan anggota DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan
yang diwakilinya, anggota DPR untuk mewakili rakyat sedangkan anggota
DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR
sebagai pemegang kekuasaan legislatif, maka pada Pasal 20 ayat (5)
ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan
oleh Presiden, dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui,
secara otomatis sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam hubungan DPR dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal
ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu. DPD dapat
mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah (Lihat Pasal 22 D).
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan
tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa
pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Di samping itu
terdapat hubungan tata kerja lain, misalnya dalam hal apabila ada sengketa
dengan lembaga negara lainnya, dan proses pengajuan pendapat DPR yang
menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
2.7.3 DPD dengan BPK
Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945, DPD menerima hasil
pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan untuk pemilihan anggota
BPK. Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil
laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas
dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan
keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Di samping itu,
18
laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan
pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
2.7.4 MA dengan lembaga negara lainnya
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak
kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK.
Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3
(tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah
Konstitusi.
2.7.5 Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA,
KY
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah
satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena
kedudukan MPR sebagai lembaga negara, maka apabila MPR bersengketa
dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan
yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat
(1) dan (2) UUD NRI tahun 1945 adalah untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Di samping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD.
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata
kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar
19
lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan
oleh lembaga negara pada MK.
2.7.6 BPK dengan DPR dan DPD
BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil
pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu
menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan
perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini
pemeriksaan BPK juga meliputi pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan
harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan
DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR
dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
2.7.7 Komisi Yudisial dengan MA
Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon
hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat
persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini menjelaskan bahwa jabatan hakim
merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan
ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri.
Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi
pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan
pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan
KY.
20
BPK DPR Undang- Presiden
undang
Hubungan lembaga Negara
DPR PRESIDEN
1. Produk Legislatif
BPK 2. Produk Yudikatif MA
3. Penggunaan uang
Negara
Atas dasar system penilaian
Bab 3
TINJAUAN KASUS
3.1 SENGKETA LEMBAGA NEGARA ANTARA EKSEKUTIF DAN
LEGISLATIF
21
menyangkut hubungan Presiden dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga
Negara lainnya. Padahal seharusnya konstitusi mampu menciptakan suatu sistem
yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata hubungan
kelembagaan Negara itu dan upaya bangsa Indonesia mencapai tujuan
nasionalnya. Namun yang terjadi, justru aroma konflik antar lembaga negara,
yaitu antara Presiden dengan DPR dalam penetapan kebijakan negara,
sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
tentang kekuasaan kehakiman, dan penyusunan kabinet dan hubungan
Pusat dengan Daerah yang sampai kini tetap menjadi isu-isu politik yang
strategis, bersifat laten dan tidak mudah menyelesaikannya secara tuntas, dan
konflik-konflik lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu di tulisan ini.
Bab 4
PEMBAHASAN
Salah satu tuntutan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah
dibangunnya suatu sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasis secara murni
dan konsekuen pada paham kedaulatan rakyat dan Negara hukum (rechstaat).
Karena itu, dalam konteks penguatan sistem hukum yang diharapkan mampu
membawa rakyat Indonesia mencapai tujuan bernegara yang di cita-citakan,
maka perubahan atau amandemen UUD 1945 merupakan langkah strategis yang
harus dilakukan dengan seksama oleh bangsa Indonesia. Berbicara tentang sistem
hukum tentunya tidak terlepas dari persoalan politik hukum atau rechts politiek,
sebab politik hukumlah yang menentukan sistem hukum yang bagaimana yang
dikehendaki(Wiratma, 2002:140). Politik hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk (Wahjono, 1983:99)
22
Kebijakan dasar tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara RI tahun
1945 (UUD1945) dan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional
(RPJMN 2004-2009). Dengan demikian UUD 1945 atau konstitusi Republik
Indonesia menentukan arah politik hukum Negara Kesatuan Republik Indonsia
yang berfungsi sebagai hukum dasar tertulis tertinggi untuk dioperasionalisasikan
bagi pencapaian tujuan Negara.
Menurut Adnan Buyung Nasution (Forum, No.19, 16 Juni 2002, 70), hal ini
disebabkan karena para tukang amandemen di MPR sama sekali tidak memiliki
konsep atau desain yang jelas tentang sistem pemerintahan yang dinilai terbaik
buat Indonesia. Sehingga pasal-pasal UUD 1945 hanya asal tempel saja,
amburadul, sangat pragmatis, campur aduk, tumpang tindih, kontradiksi, dan
berlubang-lubang, yang akan menimbulkan polemik berkepanjangan di kemudian
hari.
Situasi dan kondisi setelah perubahan UUD 1945 (1999-2002) sangat
berbeda dengan situasi dan kondisi sebelum perubahan UUD1945. Hal ini
disebabkan dalam teks UUD 1945 hasil perubahan tidak secara eksplisit
disebutkan mana yang termasuk lembaga tertinggi negara dan lembaga mana
yang dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam teks perubahan UUD
1945 dijumpai adanya 2(dua) pasal yang menyebut secara eksplisit istilah
Lembaga Negara, yaitu :
1. Pasal 24c ayat(1) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, antara lain :
memustus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
2. Dan dalam Pasal 11 Aturan Peralihan yang menyatakan : Semua
Lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Dari dua pasal tersebut di atas, untuk Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 tidak
jelas tentang kriteria Lembaga Negara, kecuali hanya disebutkan kriteria bahwa
kewenangannya harus diberikan oleh UUD 1945. Sedangkan pasal 11 Aturan
Peralihan dapat ditafsirkan meliputi Lembaga-Lembaga yang dahulu disebut oleh
23
MPR dengan Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari
MPR, Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK.
Selain ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud dengan Lembaga
Negara oleh UUD 1945 hasil perubahan, juga terjadi tumpang tindih dan
ketidakjelasan kewenangan antara Lembaga-Lembaga tersebut, sehingga
kemudian terjadi kontradiksi dan kompleksitas hubungan antar LembagaNegara.
Contoh paling aktual dalam kasus ini adalah tentang kewenangan pengawasan
yang dimiliki Komisi Yudisial. Dalam pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial menyebutkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk
menjaga dan mengawasi perilaku hakim.Sedangkan menurut UU No. 5 tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap
kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim.
Kemudian menurut pasal 23 ayat (3) UU No. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dinyatakan Pengawasan Hakim Konstitusi ditentukan oleh
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengakibatkan timbulnya
konflik antar Lembaga Negara yang mestinya tidak perlu terjadi apabila UUD
1945 hasil perubahan merumuskan dengan jelas kewenangan masing-masing
lembaga tersebut.
Selain itu UUD 1945 perubahan juga memberikan kekuasaan yang lebih
besar kepada DPR dibandingkan UUD 1945 yang asli. Dengan kata lain, DPR
yang ada sekarang ini telah menjadi super parlemen, merupakan lembaga
perwakilan rakyat dengan kewenangan yang amat besar.
Dalam pasal 6a dan Pasal 17 ayat (2) dinyatakan: “Bahwa Presiden dan
Wakil Presiden di pilih langsung oleh Rakyat dan Menteri diangkat serta
diberhentikan oleh Presiden” . Apabila konsekuen dengan isi pasal tersebut,
maka sudah semestinya UUD 1945 mengikuti pula tolok ukur sistem
pemerintahan presidensial yang antara lain:
a. Kekuasaan bersifat tunggal (tidak bersifat kolegial) baik sebagai kepala
Negara maupun kepala pemerintahan.
b. Kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling
menjatuhkan
24
c. Masa jabatan presiden bersifat pasti (fix-term), tidak
dapat diberhentikan kecuali melanggar konstitusi
d. Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen,
tetapi bertanggungjawab kepada rakyat
e. Presiden dipilih rakyat baik langsung maupun tidak langsung dengan
suara mayoritas
f. Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri dan
menteri bertanggungjawab kepada Presiden.
g. Pertangungjawaban pemerintahan berada ditangan Presiden.
Oleh karena itu tidak tepat apabila DPR mencampuri kewenangan yang
seharusnya menjadi domain Presiden, bahkan dalam UUD 1945 sekarang ini
nampak adanya dominasi legislatif terhadap eksekutif. Antara lain dalam :
1. Pasal 5 ayat (1) : “Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan
Undang-Undang (RUU) kepada DPR”. Sebaliknya Pasal 20 ayat
(1): DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang..
Perubahan ini jelas bertujuan untuk menggrogoti kekuasaan
Presiden dari pada melaksanakan prinsip demokrasi.
2. Pasal 6A, Pasal 7A, dan Pasal 7B: “Sekalipun Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi tetap
dapat diberhentikan dari masa jabatannya oleh MPR atas usul
DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: apabila terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perubahan ini,
jelas sudah keblabasan, sebab Mahkamah Konstitusi diberikan
kekuasaan peradilan pidana sekaligus peradilan politik (untuk
perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden
yang dapat ditafsirkan secara politis). Padahal, setiap perbuatan
tindak pidana seharusnya diadili di peradilan umum baik tindak
pidana umum maupun pidana khusus, serta tidak mengenal adanya
peradilan politik.
25
3. Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan dalam hal ini mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat dan ayat (3) menyatakan Presiden menerima penempatan
duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat, Pasal 14 ayat (2) menyatakan Presiden
memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Pasal 30 berkorelasi dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000,
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Panglima
TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR.
Jadi semuanya, mesti lewat persetujuan DPR. Apabila UUD 1945 asli
dibandingkan dengan UUD 1945 perubahan, maka nampak bahwa berdasarkan
UUD 1945 asli Presiden memiliki 11 (sebelas) kewenangan. Dari 11 (sebelas)
kewenangan Presiden tersebut hanya 2 (dua) kewenangan yang tidak merupakan
kategori hak prerogatif Presiden, yaitu : Pertama, Pasal 5 ayat (1) yang
menyatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ke dua, Pasal 12 yang menyatakan
presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan menurut UUD 1945
perubahan, telah ditetapkan 14 (empat belas) kewenangan Presiden, tetapi hanya
2 (dua) kewenangan yang berkategori hak prerogatif Presiden yaitu: Pertama,
Pasal 10 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ke dua, Pasal 17 ayat (2)
yang menyatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Dengan dipangkasnya dan dibatasinya kekuasaan Presiden tersebut, maka
terjadi dominasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Presiden, sehingga Presiden
tidak memiliki keleluasaan baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala
pemerintahan. Di samping itu Presiden mengalami kesulitan untuk memperoleh
dukungan DPR dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikannya.
26
Bab 5
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
27
sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi
tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar
tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar
lembaga negara. Terlebih fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan
sistem pemerintahan Negara Indonesia benar-benar taat asas serta konsekuen
dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai
dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.
Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu
tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang
perubahan Undang-Undang Dasar dan itu menurut pendapat saya, masih perlu
diadakan. Oleh karena itu sebenarnya perubahan terhadap UUD 1945 adalah
merupakan hal yang wajar dalam rangka menampung dinamika masyarakat.
namun permasalahannya adalah perlu adanya tahapan yang harus dilalui
agar perubahan UUD 1945 tidak menimbulkan permasalahan di kelak kemudian
hari.Sebab apabila MPR keliru dalam mengambil keputusan maka dapat
mengacaukan proses ketatanegaraan di masa yang akan datang.
SARAN / SOLUSI
28
d. Perubahan UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh suatu komisi yang
independen dengan melibatkan Perguruan Tinggi,tokoh keagamaan, kaum
professional, Oonop dan sebagainya yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan masalah yang akan diputuskan.
e. Hasil rancangan komisi tersebut diserahkan pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), untuk dibahas dalam Badan Pekerja MPR (BPMPR), Sidang
Komisi MPR dan Sidang Paripurna MPR untuk diambil putusan.
Selanjutnya,apabila kita telaah substansi UUD 1945 sebelum perubahan baik
dalam Batang Tubuh maupun dalam penjelasannya, tidak diketemukan istilah
lembaga negara secara eksplisit.
Daftar pustaka
http://peterrchandradinata.blogspot.com
http://ratnapharmasist.blogspot.com/
http://nusantarapermai.mywapblog.com
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997
Undang-Undang Dasar 1945
RI, LAN, SANKRI Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Perum
Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003
.SANKRI, Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraa Negara, LAN RI, 2003
. Dikutip dari artikel Hubungan antar Lembaga, Indoskripsi.com
http://hukum.kompasiana.com
Darmonodiharjo, Darji; Dekker, Nyoman ,dkk. SANTAJI PANCASILA. Surabaya-indonesia:
Usaha Nasional, 1981.
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/02/01150735/Inilah.Lima.Tren.Pemberantasan.
Korupsi.Masa.Depan
29